Naina, gadis malang yang tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya. Tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan, menjalani kehidupan hampa tanpa adanya kasih sayang dari kedua orang tua kandungnya. Kasih sayang? Hah, orang tuanya saja dia tidak tau dimana. Yang dia ingat hanya perkataan ibu panti, bahwa dirinya ditemukan di gerbang panti saat tengah malam. Hanya berbalut sehelai kain, menutupi tubuh merahnya. Ya, ibu panti memprediksi bahwa dirinya sampai di panti tidak lama setelah dilahirkan.
Miris bukan? Tentu saja, tetapi Naina sudah terbiasa.
Kehidupan Naina tidak beda jauh dari anak-anak yatim piatu lainnya. Bersekolah di sekolah biasa dengan uang sekolah yang terbilang sangat murah. Tidak ada les atau kursus, seperti anak-anak sekolah kebanyakan.
Tetapi Naina bersyukur. Setidaknya dia masih bisa mengenyam pendidikan, meski dengan keadaan terbatas.
Sebuah keberuntungan bagi anak seperti Naina, yang hidup di panti. Sebuah yayasan yang kebanyakan tidak mampu menyekolahkan anak-anak asuhnya. Tetapi beruntung panti asuhan tempat Naina tinggal, seringkali mendapat sumbangan dari beberapa dermawan. Sehingga Naina dan juga teman-teman lainnya bisa bersekolah hingga lulus SMA.
Setelah lulus SMA, Naina memutuskan keluar dari panti. Mulai mencari pekerjaan demi mencukupi kebutuhannya dan juga membayar uang kuliahnya. Naina kuliah? Ya, Tidak sia-sia dia bersusah payah sekolah dulu, hingga akhirnya gadis malang itu mendapat beasiswa di sebuah universitas negeri di Jakarta.
Hari ini, tepatnya pada hari Jumat, merupakan hari wisudanya, Naina lulus dengan gelar Sarjana Manajemen Bisnis. Naina terlihat murung duduk di sebuah bangku panjang. Sambil memegang toga sarjananya, dan sebuket bunga hadiah dari temannya, Naina memperhatikan teman-temannya tengah asyik berfoto ria dengan keluarga mereka.
Naina tersenyum miris, tanpa sadar maniknya berkaca-kaca. Betapa bahagianya jika saja dirinya memiliki keluarga.
Ya, hari ini Naina menghadiri acara wisudanya sendirian. Tidak ada keluarga yang menemaninya. Sebelumnya, Naina sudah menghubungi Arnita, ibu panti, untuk datang menghadiri acara ini, tetapi sayang sekali, Ibu Arni tidak bisa, karena adik-adik pantinya tengah sakit. Katanya salah satu adiknya terkena demam, tetapi malah menular pada adik-adiknya yang lain, membuat ibu panti kerepotan mengurus mereka.
Sebenarnya Naina memiliki orang terdekat di Jakarta ini, dan dia sudah berjanji akan datang. Tetapi sampai acara selesai dan berfoto-foto dengan teman-temannya, orang itu belum juga datang.
Setengah jam, bagi Naina sudah cukup menunggu orang itu. Akhirnya Naina memilih pulang, dari pada hanya duduk mematung di tempat ini.
"Dorr..."
Hampir saja Naina berdiri, tetapi seseorang mengejutkannya dari arah belakang.
"Kak Risa!" Naina memekik kaget, seketika senyumnya mengembang, melihat sosok yang dia sayangi muncul di hadapannya. "Kakak datang?" dan langsung memeluk wanita tersebut.
"Loh kok malah nangis?" wanita dewasa berperawakan tinggi itu heran melihat Naina menangis.
"Naina pikir Kak Risa nggak bakalan datang...." dilanjutkan dengan tangisannya.
"Cup...cup..cup, aduh adik kesayanganku ini. Maafin Kakak, soalnya macet banget di jalan." membalas pelukan Naina, lalu mengusap-usap bahunya. Risa paham perasaan Naina yang hanya sebatang kara. Sedih rasanya tidak memiliki seorang pun untuk merayakan kebahagiaannya ini.
Begitulah Risa, sosok wanita yang selama ini mendukung Naina selama ini. Risa adalah pemilik toko roti, tempat Naina bekerja selama ini. Awalnya mereka hanya bos dan karyawan. Tetapi seiring berjalannya waktu, mereka sudah seperti keluarga. Risa sudah menganggap Naina seperti adik kandungnya sendiri.
Semua itu berawal karena mereka saling membutuhkan. Risa, anak dari keluarga kaya, merasa kesepian karena keluarganya lebih sibuk dengan bisnis dibanding dirinya. Sehingga Risa menjadikan Naina sebagai teman ceritanya, yang berlanjut menjadi sebuah hubungan yang erat.
"Udah-udah... Jangan nangis lagi. Kan Kakak udah di sini sekarang. Nah, lihat kan. Make upnya udah luntur." dengan telaten, Risa menghapus sisa air mata di wajah Naina.
"Udah jangan nangis lagi." sekali lagi Risa menghapus air mata, karena Naina masih saja menangis.
"Foto yuk. Nanti Kakak mau pajang foto kamu di kamar Kakak." ajak Risa. Naina tersenyum bahagia, menurut dan mulai tersenyum ke arah kamera ponsel milik Risa.
Kedua wanita itu tertawa bahagia, layaknya sahabat. Setelah mengambil beberapa foto, keduanya memutuskan pulang.
"Kamu mau kado apa dari Kakak?" tanya Risa di perjalanan mereka menuju parkiran.
"Nggak usah deh Kak. Naina masih belum pengen apa-apa. Kan semua keperluan Naina udah Kakak beli minggu kemarin." tolak Naina halus.
"Uhuh. Kamu ini ya. Dari dulu nggak banyak maunya." Risa jengkel akan sifat Naina yang satu ini. Jika ditanya seperti itu, pasti menolak. Oleh karena itu, Risa selalu memberikan Naina hadiah, tanpa memberitahunya dulu.
"Tapi Kakak nggak mau tau. Kali ini kamu harus..."
"Auu..." Naina memekik saat tubuh mungilnya terhempas ke tanah, dihantam oleh tubuh besar yang melewati mereka.
"Aduh Naina... kamu nggak papa?" Risa segera membantu Naina yang kesulitan berdiri, karena kebaya dan roknya yang sempit. Manik Risa melebar, melihat kedua telapak tangan Naina tergores oleh pasir, hingga menimbulkan luka.
"Tangan kamu terluka." lalu menoleh pada sosok bertubuh besar yang baru saja menabrak Naina. Pria yang mereka yakini bukan orang lokal, tengah berdiri tegap, sambil meletakkan ponsel di telinganya. "Hei kamu! Kalau jalan liat-liat dong. Adik saya jatuh kan, tangannya luka." sembur Risa tanpa basa basi.
"Kak udah, jangan marah-marah. Naina nggak papa kok." Naina melerai, kadang jengkel dengan Risa yang mudah marah.
Tetapi Risa mengabaikannya, dan semakin marah saat melihat pria bule itu mengacuhkannya, terlihat lebih fokus mendengar seseorang dari seberang telepon.
"Hei! Kamu denger nggak?" bentak Risa, kali ini membuat pria itu bereaksi. Memperhatikan Risa dan Naina dengan tatapan mencemooh.
"Malah bengong lagi. Cepat minta maaf!" perintah Risa.
Namun sangat menjengkelkan, "Saya salah apa?" pria itu menyahut dengan acuh.
"Loh loh..." Risa semakin tersulut, paling benci melihat orang angkuh seperti ini. "Kamu udah nabrak adik saya, sampe tangan dia luka begini, kamu masih tanya salah kamu apa?" cecar Risa tidak terima akan respon pria itu.
Pria itu mendelikkan matanya, masih acuh akan Risa.
"Cepat minta maaf. Hei..." kesal Risa karena pria itu tidak mengindahkan perintahnya.
"Sinting." ucap pria itu sarkas, lalu berjalan meninggalkan Naina dan Risa begitu saja.
"Hei, minta maaf dulu..." teriak Risa, hendak mengejar, tetapi segera ditahan oleh Naina.
"Udah Kak, udah. Biarin aja, Naina nggak papa kok." ucap Naina.
Akhirnya Risa menurut, padahal sebenarnya dia masih kesal pada pria asing itu. "Kakak paling benci sama orang kayak dia tau! Dasar bule KW!" rutuk Risa.
"Perasaan bule-bule yang pernah Kakak temuin nggak kayak gitu deh. Mereka itu ramah dan nggak berani macam-macam." omel Risa.
"Kan mereka cuma numpang di sini Kak. Mana mungkinlah mereka macam-macam sama Kakak." sahut Naina jenaka.
"Kamu juga." Risa kesal. "Sini Kakak bantu obatin. Di mobil ada kotak P3K."
Keduanya akhirnya berjalan menuju parkiran. Tanpa sadar dari jauh seseorang memperhatikan interaksi keduanya.
Visualnya pake yang begini atau yang cartoon aja🙂
Beberapa minggu kemudian.
Pagi ini Naina tengah bersiap-siap, memulai awal yang baru setelah lulus kuliah. Beberapa waktu yang lalu, Naina sudah melemparkan lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Sepertinya nasib baik berpihak padanya, sehingga Naina diterima sebuah perusahaan. Naina sudah melewati interview beberapa hari yang lalu, jadi hari ini akan menjadi hari pertamanya bekerja. Meski masih dalam tahap percobaan, Naina sangat bersemangat. Gadis itu mempersiapkan segalanya dengan baik.
"Iya Bu, Naina pasti datang kok akhir pekan ini." ucap Naina yang tengah berbicara dengan ibu melalui panggilan telepon. "Ehm, ini hari pertama Naina bekerja. Doain Naina biar semua lancar ya Bu."
"Ok Bu. Titip salam buat adik-adik aku di sana." ucap Naina sebelum menutup panggilannya.
Naina berpikir sejenak, berusaha menerka-nerka kenapa Arnita mendesaknya pulang ke panti dalam waktu dekat ini. Karena tidak biasanya Arnita seperti ini, dan dari yang Naina dengar, suara Arnita seperti tengah menahan cemas.
"Bagaimana Arnita?" seorang pria tua yang duduk di dekat Arnita menyanggah setelah menutup teleponnya.
"Naina akan pulang akhir pekan ini Rud." sahut Arnita.
"Bagus. Pastikan dia menerima keputusan ini. Lakukan apapun, agar gadis itu bersedia." ucap pria tua itu, yang lebih mengarah pada perintah yang tak terbantahkan.
"Tapi Rud, apakah kamu benar-benar ingin melakukan ini pada Naina? Naina anak yang baik dan tulus. Kamu tega meletakkan anak sebaik itu di tengah kehidupan keluargamu yang begitu kejam?" Arnita menyanggah, tidak tega menjerumuskan anak asuhnya yang sangat dia sayangi.
Pria tua itu menyeringai, "Justru itu yang membuatku tertarik padanya Nita. Aku butuh gadis seperti Naina untuk memperbaiki kehidupan putraku."
"Tapi putramu sudah tua."
"Apa maksudmu?" tidak terima.
"Bukan. Maksudku, putramu terlalu tua untuk gadis seumuran Naina. Naina baru dua puluh tiga tahun. Sedangkan putramu, hampir menginjak tiga puluh empat." protes Arnita.
"Kenapa tidak? Kalau mereka memang jodoh, umur tidak akan menjadi masalah." jawab pria tua itu, membuat Arnita tidak punya alasan lagi.
"Aku tau apa yang kamu cemaskan Nita. Percaya padaku, aku tidak akan membiarkan calon menantuku menderita." pria itu seolah tau kecemasan Arnita, berusaha menenangkan teman dekatnya tersebut.
Arnita pasrah, menyerahkan semuanya pada temannya tersebut. "Baiklah Rud. Semoga semuanya akan baik-baik saja."
***
Satu minggu sudah Naina bekerja di sebuah perusahaan properti. Naina di tempatkan di bagian pemasaran. Selama satu minggu ini pekerjaannya tidak terlalu memberatkan. Karena Naina mendapat beberapa teman dan senior yang ramah dan baik. Tidak seperti bayangannya sebelum masuk kerja beberapa hari yang lalu.
"Aranya nanti pulang bareng yuk." ucap Naina pada teman barunya. Aranya, gadis cantik yang juga merupakan anak baru sama seperti Naina yang masih fresh graduate.
Kost-an mereka memang searah, hanya saja lebih jauh kost milik Naina.
"Boleh. Sekalian temenin aku beli perlengkapan, kamu mau?"
"Ok. Sip."
Keduanya kembali bekerja. Ruangan mereka cukup bising saat itu, karena tim-tim yang lain tengah sibuk mendiskusikan peluncuran produk terbaru bulan ini. Hal itu membuat terganggu, karena dia juga harus mengerjakan tugas dari seniornya.
"Mau kemana?" tanya Naina saat melihat Aranya bergegas pergi.
"Toilet. Kamu mau ikut?" seloroh Aranya.
"Nggak. Pergi aja sana."
Setelah Aranya pergi, Naina benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Hingga tidak sadar karyawan lain sudah meninggalkan ruangan.
Naina tidak sadar, karena memang jika sudah fokus, gadis itu pasti mengabaikan sekitarnya. Hingga lima belas menit kemudian, Naina sadar. Memperhatikan ruangan yang hanya dihuni dirinya sendiri.
"Kemana semua orang?" gadis itu bertanya-tanya. Aneh, karena jam masih belum menunjukkan jam istirahat.
Lalu Naina memeriksa ponselnya, berniat menghubungi Aranya. Namun sebelum itu terjadi, Naina membuka pesan grup dari kepala divisi mereka.
"Semuanya dipanggil menuju aula. GM akan mengumumkan peraturan baru. Semua kumpul dalam lima belas menit. Jangan sampai ada yang terlambat."
Naina membulatkan matanya. Karena terlalu fokus dia sampai tidak mendengar bunyi notif ponselnya. Naina panik, segera bersiap-siap menuju aula yang berada di lantai lima belas.
"Aduh gimana ini?" gadis itu cemas sambil menekan tombol lift berkali-kali.
Lift terbuka, Naina langsung masuk. Naina merapal doa selama di dalam lift, karena teringat cerita Aranya, bahwa GM katanya sangat galak. Tidak segan memecat karyawan yang membuat kesalahan sekecil apapun.
Naina belum mengenal pimpinan perusahaan ini. Oleh karena itu gadis ini tidak terlalu memikirkan ucapan Aranya.
Namun sepertinya doa Naina tidak terkabul, Naina sampai di aula saat GM tengah bicara di atas panggung. Berdiri tegak, menatap dingin semua karyawan tanpa ada ekspresi menyenangkan.
Saat itu juga, seluruh pandangan tertuju pada Naina yang berdiri di ambang pintu, sambil terengah-engah.
Naina menjadi canggung karena teman-teman dan seniornya menatapnya dengan tatapan tak biasa. Bahkan ada salah satu menggelengkan kepalanya, seolah menghiba padanya.
Tidak lupa, tatapan yang paling mengerikan di ruangan ini, yang berasal dari atas panggung sana, menyorot Naina dengan sangat tajam.
Naina menundukkan kepalanya, disertai keringat dingin yang mulai mengucur di sekujur pelipisnya, "Ma...maaf Pak... Saya terlambat." ucap Naina gugup setengah mati.
Namun sepertinya pria yang merupakan petinggi perusahaan itu tidak menanggapi. Pria itu melirik sekretaris yang berdiri di belakangnya. Hanya dengan tatapan saja, sekretaris itu turun dari panggung, berjalan menghampiri Naina.
"Naina..." sekretaris yang juga sama mengintimidasi dengan GM, mengeja nama di kartu pengenal yang menggantung di lehernya. "Silahkan ambil surat pengunduran diri anda dari perusahaan ini." ucap pria berkacamata tersebut tanpa basa basi.
Naina menjatuhkan rahangnya, lututnya lemas, hampir tidak bisa menopang tubuhnya.
"A...apa Pak...? Pengunduran diri..? Maksud..." Naina terbata, masih mencoba menerima perkataan tersebut.
"Kamu benar. Kamu dipecat dari perusahaan ini." sekretaris itu tidak berperasaan.
"Tapi Pak... saya.. "
"Bos tidak suka karyawan yang tidak disiplin, apalagi tidak disiplin waktu. Kamu sudah membaca pesannya bukan? Lima belas menit cukup untukmu berjalan dari parkiran menuju tempat ini. Dan sekarang...." melirik jam tangan mewahnya, "Hampir tiga puluh menit, tidakkah menurutmu ini sudah keterlaluan?"
"Pak..." Lidah Naina terasa kelu ingin menjelaskan. Dia bukan disiplin waktu, hanya saja keadaan ini terlalu mendesaknya.
"Silahkan bereskan barang-barangmu." perintah sekretaris itu, lalu berjalan kembali menuju panggung aula.
"Baik. Kita lanjutkan." GM melanjutkan pembicaraan dari depan sana, membuat karyawan lain kembali fokus.
Mengabaikan Naina yang hampir merosot jika saja tidak menjadikan dinding beton sebagai penopang tubuhnya. Masih seperti mimpi.
Dirinya dipecat begitu saja. Padahal baru satu minggu Naina bekerja. Untuk gadis seperti Naina, tentu saja ini sangat menyakitkan. Susah payah dirinya untuk mendapatkan pekerjaan ini, tetapi dalam sekejap mata, semuanya berakhir.
Naina menoleh ke arah pria jangkung yang tengah menjelaskan di atas panggung. Naina tidak terima dipecat begitu saja. Ini adalah kesalahan pertamanya sejak bekerja, dan tidak terlalu fatal baginya. Harusnya dirinya mendapatkan kesempatan.
Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, hingga dengan beraninya berjalan menuju panggung. Tidak peduli pandangan semua orang yang heran akan tindakannya.
"Pak, tolong kasih saya saya kesempatan Pak... Saya janji tidak akan mengulanginya lagi..." cecar Naina langsung pada petinggi perusahaan tersebut.
Naina mengangkat pandangannya, menatap pria yang ternyata adalah seseorang yang pernah dilihatnya.
"Bule KW...?" tanpa sadar Naina memanggil nama itu dengan suara besarnya. Masih dipenuhi keterkejutan, karena ternyata GM adalah pria bule yang menabraknya beberapa minggu yang lalu.
Karyawan lain menggelengkan kepalanya, heran pada Naina yang sangat berani, apalagi menghina GM dengan sebutan itu.
Tidak hanya karyawan, dalang dibalik semua keributan ini pun sama terkejutnya. Pria bule itu semakin menajamkan matanya, mengeluarkan aura intimidasi yang pastinya akan membuat semua orang ketakutan.
Berani sekali! Pikirnya.
"Kamu ini berani sekali. GM sudah memecatmu secara langsung. Apakah kamu belum mengerti?" Salah satu seniornya mendekat, berusaha membawa Naina dari tempat itu. Karena jika tidak, pemimpin perusahaan pasti akan sangat murka.
"Urus dia!" perintah pria asing itu pada sekretarisnya, sebelum akhirnya berjalan keluar dari aula.
"Pak saya gimana. Saya minta maaf Pak. Saya cuma telat sepuluh menit Pak, tolong kasih saya kesempatan." teriak Naina, berharap pemimpinnya itu menanggapi.
Namun, semua itu sia-sia. Pria itu bahkan tidak sudi melihatnya.
"Pak..."
"Naina udah..." Aranya datang menghampiri, berusaha menenangkan Naina.
"Nya... gimana dong, aku dipecat..."
"Maafin aku juga ya Nai, harusnya tadi aku datang panggil kamu waktu pesan dari divisi masuk. Aku pikir kamu udah jalan duluan."
"Trus aku gimana dong Nya..."
"Sabar ya Nai... mungkin kerja di sini bukan nasib kamu. Tapi kamu tenang aja, aku pasti bantu kamu dapat kerjaan lagi." ucap Aranya menenangkan Naina.
***
Naina berjalan keluar dari gedung perusahaan properti terbesar di kota itu. Meski hatinya masih belum terima dipecat begitu saja, mau tidak mau, Naina harus keluar dari sini. Gadis itu menahan air matanya sedari tadi. Tidak menyangka akan menjadi pengangguran dalam waktu sesingkat ini.
"Dasar bule kw! Harusnya Kak Risa habisin dia kemarin!" Naina menggerutu, mengutuki pimpinan perusaan besar tersebut.
Ketika Naina melewati lobi, tidak sengaja dia melihat sebuah mobil hitam mengkilap saat melewatinya. Naina ingat, pernah melihat sekretaris GM turun dari mobil ini.
"Ini mobil si sekretaris itu kan?" Naina sangat kesal hingga sebuah ide muncul di kepalanya.
"Rasain tuh. Makanya jadi orang jangan blagu." umpatnya sambil menendang kap mobil dengan kasar.
"Gue sumpahin perusahaan lo bangkrut!" umpatnya sebelum akhirnya meninggalkan perusahaan tersebut.
TBC
Akibat pemecatan tidak terhormat yang didapatnya kemarin, Naina memilih pulang ke panti lebih cepat dari rencana. Daripada menghabiskan waktu di kosannya yang sempit, hanya akan menambah sakit kepala.
Jarak panti dari kosnya tidak terlalu jauh, setengah jam sudah cukup baginya melakukan perjalanan menggunakan taksi. Naina sudah mengabari perihal pemecatannya pada Risa. Memberitahu Risa, bahwa dirinya akan tinggal untuk sementara waktu, untuk menenangkan dirinya.
"Ibu..." panggil Naina, yang baru saja memasuki pekarangan panti yang tidak terlalu luas, tetapi cukup luas bagi anak-anak untuk bermain. Arnita tengah menimang bayi di teras saat itu. Seketika tersenyum sumringah saat melihat anak kesayangannya.
"Naina... katanya datang akhir pekan." sapanya senang.
Naina hanya tersenyum kecut, enggan membahas kejadian yang sangat traumatis baginya. Terdengar lebay memang, tetapi Naina benar-benar tidak ingin membahas hal itu.
"Kamu enggak kerja Nak?" sambil membiarkan Naina mencium tangannya.
"Enggak Bu, hari ini ada acara di kantor, tapi anak-anak baru kayak Naina belum terlalu diperlukan, cuma orang-orang penting di kantor aja. Makanya Naina mutusin buat datang ke sini aja." jelasnya berbohong.
"Ohh.. Kamu udah makan, di dapur masih ada sisa lauk adik-adik kamu. Makan gih."
"Enggak usah Bu. Naina baru makan kok sebelum ke sini." tolaknya. "Bu, bayinya?" tanya Naina melirik bayi dalam gendongan Arnita.
"Oh.. ini. Namanya Diah, baru datang minggu kemarin, dititip sama keluarganya. Katanya kedua orang tuanya udah meninggal karena kecelakaan." jelas Arni sambil menimang-nimang bayi tersebut.
Naina menjadi murung, untuk yang kesekian kalinya selalu seperti ini. Merasa sesak setiap ada anak-anak yang dititipkan di panti ini. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang masih keluarga, tetapi mereka tidak mau merawat. Hingga mereka sanggup membuangnya di tempat ini.
"Keluarganya nggak mau rawat?" sambil mengambil bayi mungil tersebut. "Lucu banget." Naina gemas.
"Kayaknya. Katanya nanti mereka bakal datang setiap sekali sebulan."
"Ibu percaya?"
Arnita hanya menggeleng. Tersenyum miris setiap mengingat janji keluarga dari anak-anak asuhnya yang berjanji akan sering mengunjungi. Di awal mereka akan datang, tetapi selanjutnya, semua hanya tinggal janji. Anak-anak ini dilupakan.
Arnita memperhatikan Naina yang tengah asik bermain dengan Diah. Ada kebanggaan tersendiri dalam dirinya karena telah membesarkan Naina. Naina anak yang teguh, baik dan juga tulus. Selama masih tinggal bersama Naina yang lebih sering menjadi temannya, layaknya ibu dan anak.
Setelah Naina memilih hidup mandiri pun, Naina tetap dekat dengannya. Bahkan saat sudah tinggal terpisah, Naina tidak pernah lupa mengirimkan sedikit dari gaji paruh waktunya untuk membantu panti. Memang tidak seberapa, tetapi itu sudah cukup untuk membuktikan betapa besar hati gadis ini.
***
"Bu... Ibu nggak lagi bercanda kan?" suara Naina setengah berteriak, akibat rasa terkejut setelah mendengar penuturan Arnita baru saja. Rasanya seperti mimpi, saat mendengar perjodohannya dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Arnita tidak tega, tetapi dia juga tidak bisa mengingkari janjinya. Dilema. Itu yang Arnita rasakan. Rasanya tidak tega membiarkan anak kesayangannya menikah dengan lelaki yang bahkan memiliki umur yang terpaut jauh dengan Naina.
"Maafkan Ibu Nak. Ibu tidak punya pilihan. Kami ingat waktu kamu masih SMA? Waktu ibu benar-benar tidak punya uang buat bayar uang sekolah kamu? Ibu minta tolong pada orang itu Nak. Mereka setuju, tapi dengan syarat, kamu harus menikah dengan putra mereka." jelas Arnita berharap Naina mengerti.
"Tapi Bu, bukan berarti hanya karena uang itu, Naina harus menikah dengan putra mereka. Berapa yang Ibu minta, biar Naina bayar sekarang."
"Bayar? Kamu tidak akan mampu membayarnya Nak. Bukan hanya kamu Nak. Biaya sekolah adik-adik kamu, dan semua kebutuhan panti ini, mereka yang menanggung. Bukan setahun dua tahun. Sejak kamu masih kecil, mereka sudah membiayai kehidupan kita Nak. Ibu tidak yakin, kamu bisa membayar semua itu. Jumlahnya... pasti tidak sedikit."
Arnita terengah, menjelaskan pada Naina. Dan benar saja, hal itu membuat Naina terperangah.
"Ibu..." masih belum percaya.
"Ibu tidak punya pilihan Naina. Kalau kamu tidak bersedia menerima pernikahan ini, Ibu tidak yakin mereka masih mau membantu panti ini. Dan Ibu tidak tau lagi gimana nantinya panti ini, kalau mereka berhenti menyalurkan dana ke panti ini. Mungkin adik-adikmu akan kesulitan dalam segala biaya sekolahnya, karena hanya mereka penyumbang terbesar panti ini."
Kali ini Arnita memanfaatkan kebesaran hati Naina. Dia yakin Naina tidak akan tega membiarkan mereka kesulitan seperti yang dia katakan.
Dan memang seperti tebakan Arnita, Naina terenyuh. Tidak sanggup membayangkan adik-adiknya merasakan kesulitan yang lebih parah darinya.
"Apa memang tidak ada pilihan lain Bu selain menikah dengan pria itu? Naina bisa kok melakukan apapun, asal tidak menikah."
Naina mencoba bernegosiasi. Terlepas dari ketidaktahuannya dengan siapa ia akan menikah, hanya saja Naina belum siap mengambil langkah menuju jenjang sejauh itu. Mengurus hidupnya sendiri saja, kadang ia merasa tidak kompeten. Apalagi nanti, mengurus satu orang lagi dalam hidupnya. Entah bagaimana nantinya pernikahan itu.
"Kalau memang ada pilihan lain, Ibu tidak akan mungkin membiarkanmu dengan pilihan ini. Maafkan Ibu Nak, Ibu telah mempertaruhkan masa depanmu hanya untuk kehidupan kita di panti ini." penuh rasa bersalah Arnita berucap.
Mau tidak mau, Naina harus bersedia dengan keputusan ini. Menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia temui. Umur, rupa, bahkan kepribadiannya, Naina tidak tau sama sekali. Hanya berbekal pengetahuan, bahwa calon suaminya itu adalah anak dari pengusaha kaya raya.
Kaya raya? Naina tidak tertarik sama sekali, walaupun pria itu kaya. Prinsip Naina dalam memilih pasangan hidup, adalah tanggungjawab dan kebijaksanaan. Baginya, kekayaan hanyalah bonus yang patut disyukuri.
"Minggu depan?" lirihnya diiringi senyum masam. Naina tengah duduk di teras, sambil meratapi masa depannya di malam yang dingin ini.
Naina terus mengulangi kalimat itu. Minggu depan. Hari dimana pernikahannya akan segera diadakan. Jelas Naina syok, membuat gadis yang jarang menangis ini menitikkan air matanya.
Secepat itukah?
"Ok Naina. Semua ini demi adik-adikmu. Kamu harus kasihan sama Ibu, dia pasti udah capek jadi tulang punggung selama ini." lirihnya, berusaha menyemangati dirinya sendiri.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!