Naina duduk kaku di tepi ranjang, sedangkan Reygan mengambil laptop dan beberapa dokumen, lalu bergegas menuju balkon. Naina bingung melakukan apa di dalam kamar yang luas ini, sementara Reygan sama sekali tidak menghiraukannya.
Naina masih betah di sana, enggan keluar kamar, sesekali melirik ke arah balkon yang terbuka, pria itu tengah sibuk dengan laptop dan dokumennya.
Reygan tampak sibuk, sampai tidak menyadari tatapannya. Jujur saja, Naina terkesima akan ketampanan pria itu. Wajah kebule-bulean bercampur darah Asia, menghasilkan perpaduan sempurna untuk pria setampan itu.
Darah Amerika lebih mendominasi, dengan hidung mancung, mata hazel, serta rahang tegasnya. Tidak lupa mata tajam itu, memancarkan aura intimidasi yang pekat, membuat setiap orang takut membalas menatapnya.
Naina menggelengkan kepalanya, menyadarkan dirinya. Tetapi Naina ingin tahu, apakah Reygan mengingat dirinya? Karyawan baru yang dipecat secara tidak terhormat olehnya. Naina belum sepenuhnya melupakan kejadian itu.
Sampai menjelang malam, Reygan masih betah berada di balkon. Pria itu bangkit setelah menyelesaikan pekerjaannya. Melihat Naina yang tengah tertidur di paling ujung ranjang, mungkin bergeser sedikit saja, gadis itu pasti terjatuh.
Beberapa detik Reygan memperhatikan Naina, "Kamu pintar juga rupanya. Setelah keluar dari perusahaanku, kamu membalas dendam dengan masuk ke dalam keluargaku?" lirihnya seraya tersenyum sinis. Reygan seolah begitu jijik melihat Naina. Tidak ingin berlama-lama di sana, Reygan segera pergi. Benar-benar pergi dari rumah itu.
Keesokan harinya, dari balkon kamarnya, Naina bisa melihat Sesil, Rudi dan Steve di halaman rumah yang luas itu. Sesil memeluk mereka bergantian, bersamaan dengan pelayan pria mengangguk dua koper ke dalam bagasi. Lalu Sesil masuk ke dalam mobil.
Sesil pergi?
"Elisa! Ya ampun!" Naina terkejut, karena Elisa tiba-tiba berada di belakangnya.
"Anda baik-baik saja Nyonya?"
Naina mengangguk, "Kemana Sesil akan pergi?"
"Nona Sesil kembali ke Amerika. Nona Sesil kuliah di sana, dan akan masuk pekan depan." jelas Elisa.
"Jadi Sesil di sini karena libur?"
"Iya Nyonya."
"Nyonya saya harus menjelaskan sesuatu." ucap Elisa.
"Ya? Apa itu Elisa?" sedikit meregangkan kakinya karena memakai hills ini sepanjang hari. Ya, kata Elisa dia harus berpenampilan elegan selama masih menyandang status Nyonya di rumah ini. Harus mengenakan gaun indah dan mahal setiap hari, juga sepatu berhak.
Kehidupannya berubah sepenuhnya. Di rumah ini Naina tidak perlu melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, membersihkan rumah dan segala pekerjaan rumah lainnya. Elisa melarang, atas perintah Rudi.
Peraturan dari mana itu? Naina berdecih. Dia sungguh tidak terbiasa dengan semua perubahan dalam hidupnya ini.
"Tuan Rudi meminta saya memberitahu Anda."
"Katakan saja."
"Karena Nyonya besar Emma sudah pergi, dan Nona Sesil juga sudah pergi. Secara otomatis, tugas-tugas mereka akan dilanjutkan oleh Anda Nyonya." ucap Elisa.
"Tugas?"
"Benar. Anda yang akan melakukan semuanya."
Naina penasaran tugas apa itu.
"Tugas utama Nyonya adalah mengurus Tuan Reygan dan Tuan Muda Steven." Elisa berhenti sejenak, "Mengurus Tuan Reygan tentu Anda tahu bagaimana. Saya tidak akan menjelaskan lagi."
Naina mengangguk samar, tidak menolak disuruh mengurus Reygan. Naina sadar itu adalah tugasnya sebagai istri. Namun Naina bingung bagaimana memulai, sebab Reygan saja tidak sudi bicara dengannya.
"Setidaknya beritahu aku apa yang tidak dan dia suka Elisa. Kamu tahu sendiri aku belum mengenalnya secara menyeluruh." ucap Naina akhirnya.
Elisa mengangguk, "Saya akan menuliskan poin-poin pentingnya dan memberikannya pada Nyonya."
"Terima kasih."
"Tuan Muda Steve, Anda harus mengantar dan menjemputnya setiap hari. Tuan Muda kecil tidak mau hanya diantar oleh supir atau pelayan lain." Naina mengangguk paham, "Setiap malam Anda harus menemani Tuan Muda kecil dan membacakan dongeng sebelum tidur. Sebelumnya Nona Sesil yang melakukannya." Naina mengangguk lagi.
Hanya itu saja, dan ada beberapa tugas lain seperti mengatur tata letak rumah. Naina tidak mengerti itu, tapi Elisa berjanji akan mengajarinya.
Sepanjang pagi menjelang siang, Naina memanfaatkan waktunya dengan belajar merangkai bunga. Kata Elisa kemampuan itu harus dimiliki oleh seorang Nyonya di rumah ini. Semuanya berjalan lancar, sebab di rumah ini tidak ada lagi yang mengganggunya.
Dua jam sebelum menjemput Steve dari sekolah, Naina menyempatkan diri membaca beberapa buku yang Elisa berikan. Buku tentang bisnis. Katanya lagi, Naina harus menguasai hal itu.
Naina tersenyum sinis, sepertinya Elisa tidak tahu dirinya adalah lulusan terbaik jurusan Manajemen bisnis. Tetapi sialnya, dia harus dipecat bahkan belum genap satu bulan masa percobaan.
Naina menurut, membaca buku tersebut. Hitung-hitung juga memperkuat kemampuannya dalam bidang ini.
Saat waktunya tepat, Naina pergi ke sekolah Steve. Jaraknya lumayan jauh dari rumah, sebuah sekolah elit yang terkenal di kota Jakarta. Hanya orang-orang beruang yang mampu sekolah di sana.
Naina diantar oleh supir pribadi Steve, keduanya menunggu di dalam mobil sambil melihat ke arah gerbang yang dijaga oleh satpam.
"Steve kok lama keluar ya Pak?" tanya Naina pada supir, karena sudah lima belas menit sejak bel pulang berbunyi, Steve belum keluar juga.
Naina turun tangan, turun dari mobil. Di luar gerbang sekolah sudah mulai sepi, dan tepat saat itu juga, sosok kecil yang dia cari muncul, diikuti oleh beberapa anak kecil yang berseragam sama dengan Steve.
"Steve." panggil Naina. Seketika Steve berhenti, terkejut saat melihat Naina di sana.
Steve melihat ke belakang, empat bocah itu menatapnya sejenak, lalu lari menuju mobil jemputannya masing-masing.
Naina mendekat, "Steve, kenapa keluarnya lama sekali?"
Seperti biasa, Steve menatap angkuh. "Kenapa kamu yang menjemputku?!"
"Tante Sesil kan udah nggak di sini lagi. Terus kata Elisa kami nggak suka cuma dijemput pelayan atau supir saja. Jadi aku saja yang menjemputmu." terang Naina, mencoba bersabar menghadapi keangkuhan Steve.
"Tapi kamu itu juga pelayan!" ucap Steve sarkas membuat Naina termangu.
Dengan kesal Steve berjalan menuju mobil, meninggalkan Naina yang speechless akan kata-katanya.
Naina mengabaikannya, tidak memasukkan ke hati, berdalih Steven hanyalah anak kecil. Mengikuti Steve ke dalam mobil, mereka duduk sebelahan.
Mobil melaju, keduanya masih diam. Steve menatap lurus ke depan, sedangkan Naina memperhatikan Steve. Bocah angkuh ini cukup besar untuk anak kelas satu SD. Naina tidak heran, mengingat bagaimana keluarga Dos Santos merawatnya.
Benar-benar jiplakan Papanya. Naina mendengus. Steve dan Reygan bagai pinang dibelah dua. Mata, hidung, bibir mereka sangat sama, bahkan kelakuannya juga sama. Angkuh dan dingin!
Pandangan Naina terhenti pada leher Steve, terdapat bercak kemerahan yang hampir membiru di sana. Tidak hanya itu, di pergelangannya juga.
Naina menyentuh leher itu, membuat Steve mendesis, lalu menatapnya sengit.
"Lehermu kenapa Steve?" tanya Naina, ikut bergidik merasakan kesakitan Steve.
"Jangan sentuh aku!" Steve segera menjauh. "Berani sekali pelayan sepertimu menyentuhku!" sentak Steve.
"Tapi Steve, leher dan tanganmu..." menunjuk tangan mungil itu.
Steve mengikuti pandangan itu, lalu menyembunyikannya dari jangkauan Naina. "Bukan urusanmu pelayan!"
Bertepatan saat itu, mobil sampai di rumah. Steve langsung turun, berjalan cepat masuk ke rumah.
Naina menatap Steve yang masuk ke dalam rumah. Sesuatu yang buruk diterka oleh pikirannya. Meski Steve selalu kasar padanya, Naina tetap saja khawatir. Steve masih anak kecil, dan masih butuh perlindungan.
Malam menjelang, Naina duduk di atas ranjang. Matanya enggan terpejam karena menunggu Reygan. Ada sesuatu yang harus dia katakan.
Naina tidak yakin Reygan akan pulang, mengingat semalam saja, pria itu menghilang saat dirinya terbangun. Naina sudah bertanya pada Elisa, tapi Elisa juga berpikiran sama.
Namun sepertinya, harapan Naina terkabul. Pukul sebelas malam, Reygan pulang. Naina langsung berdiri, mendekat pada pria itu.
"Pak..." panggil Naina yang bingung mau memanggil apa.
Reygan diam, menatap lekat Naina. Mata tajam itu tetap menyorot, tetapi tak sedikit pun membuat Naina takut.
"Saya ingin bicara." ucap Naina, karena Reygan enggan membalasnya.
Reygan tidak peduli, "Jangan bicara padaku. Kamu tidak pantas!" ucap Reygan ketus, lalu berjalan melewati Naina.
Naina diam, anak dan bapak sama saja. Selalu menyakiti hatinya.
"Ini soal Steve Pak." ucap Naina akhirnya membuat langkah Reygan berhenti.
Naina ikut berbalik, seolah mengerti maksud Reygan, "Sepertinya Steve mendapat buli dari teman-temannya di sekolah Pak." ucapnya.
Cukup lama hening, sampai Reygan berbalik, memberikan tatapan sengit.
"Tidak usah sok tahu! Putraku tidak selemah itu untuk dibuli! Kamu tidak tahu apa-apa tentang keluarga ini! Lebih baik simpan omong kosongmu, dan jangan mengurusi kami!"
Benar-benar menyakitkan saat pria ini yang menghinanya dan merendahkannya. Berbeda dari Emma, Sesil dan Steve yang bahkan lebih tajam menohok hatinya.
Tapi pria ini, hati Naina langsung menciut seketika.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Meili Mekel
visualx ko kayak gambar komik
2022-08-20
1
siccasiccasic
Heels thor.. Kalo hills artinya bukit
2022-04-05
0
Naomi
sombong amat 😒
2022-02-20
0