Masih di malam yang sama, Naina tengah asik bermain-main dengan anak-anak panti. Semuanya masih terbangun meski sudah hampir jam sepuluh. Apalagi di sana ada Chris yang baru datang sore tadi. Semenjak Naina pulang ke panti, Chris selalu menyempatkan waktunya datang dan menginap di sana.
Mereka sedang bermain kartu mainan saat itu. Tak jarang tawa bahagia terdengar dari anak-anak malang itu. Terutama Naina. Gadis itu terlihat menikmati momen ini. Naina seolah melupakan cacian yang didapatnya dari keluarga Dos Santos.
"Naina, Chris..." Arnita keluar dari kamar, "Sudah malam, suruh adik-adik kalian tidur."
"Baik Bu." ucap Naina. "Udah dulu ya mainnya sayang. Ayo tidur, besok lanjut lagi mainnya."
"Ok Kak. Selamat malam Kak Naina, Kak Chris. Selamat malam Bu." ucap anak-anak itu kompak. Lalu berhamburan menuju kamar mereka.
Naina tersenyum, "Jangan lupa berdoa sebelum tidur."
"Kak Chris nginap lagi?" melihat Chris.
Chris menggeleng, "Kakak harus pulang. Berkas dari perusahaan Atmaja belum Kakak periksa." ucap Chris.
"Maaf ya Kak. Naina kelamaan ambil cuti, jadinya nggak ada yang bantuin Kakak di kantor." ucap Naina.
"Udah nggak papa. Kakak bisa ngerjain semuanya. Lebih baik kamu jagain Ibu. Ibu masih kurang sehat." menggenggam tangan Arnita yang kini duduk di sebelahnya.
"Lebih baik kamu pulang sekarang, udah jam sepuluh." ucap Arnita.
"Iya Bu. Ibu jaga kesehatan ya. Jangan banyak-banyak aktifitas dulu. Nanti Chris bakal cari orang buat bantu ibu ngurus adik-adik." ucapnya.
"Terimakasih banyak Nak." Arnita terharu. Chris dan Naina bukan anak kandungnya, tapi kasih sayangnya sangat besar.
"Ya udah, Chris pulang dulu. Naina, Kakak pulang ya." memeluk singkat dan mengecup kening Naina. Itu sudah biasa, mereka bagaikan Kakak beradik lazimnya.
"Hati-hati Kak." ucap Naina.
"Ingat, kamu juga harus jaga kesehatan. Makannya jangan sering terlambat." omel pria itu.
"Iya Kak. Bawel deh."
Chris mengacak-acak rambut panjangnya, sebelum akhirnya pergi.
"Ayo Bu. Ibu juga harus istirahat."
Arnita mengangguk, mengikuti Naina yang membantunya menuju kamar. Arnita berbaring, diikuti Naina di sampingnya. Selama di sini, Naina memilih tidur bersama Arnita.
"Kapan pulang ke rumah suamimu Nak?" tanya Arnita.
Naina diam, dalam satu minggu ini, baru kali ini Arnita membahas hal ini.
"Naina?"
"Belum tahu Bu. Ibu kan belum sehat." Naina mencari alasan.
"Nak, Ibu tahu kamu pulang bukan karena Ibu sakit kan?"
"Ibu..." rengeknya.
Keduanya diam beberapa saat, sampai Naina memulai pembicaraan.
"Naina nggak betah tinggal di sana Bu. Naina nggak nyaman. Naina mau tinggal di sini aja sama Ibu." ucapnya pada akhirnya.
"Jangan seperti itu Nak. Kamu sudah dewasa. Kamu harus sadar dengan statusmu sekarang. Kamu sudah menjadi istri orang, dan otomatis, kamu harus mengikuti suamimu kemanapun dia membawamu." nasihatnya.
"Tapi Bu..."
"Ibu tahu semua ini berat untukmu. Tapi Ibu yakin, kamu akan mendapatkan kebahagiaanmu, asal kamu sabar dan tulus menjalaninya."
Naina diam, dari lubuk hatinya, dia sangat enggan pulang ke rumah itu. Dia lebih nyaman di sini.
***
Siang itu di sebuah gedung raksasa yang menjulang tinggi mencakar langit, Reygan tengah berdiri, memandang pemandangan kota metropolitan dari lantai teratas gedung itu.
Di tengah kesibukannya saat ini, pria itu sama sekali tidak bisa fokus bekerja. Siluet wajah cantik yang kini berstatus menjadi istrinya memenuhi pikirannya beberapa hari ini, membuatnya terganggu dalam segala kegiatan.
Apalagi ketika tidak sengaja melihat foto yang entah mengapa membuatnya semakin gelisah. Reygan melihat foto itu lagi. Gambar wajah Naina yang tengah dipeluk mesra oleh rekan kerjanya, Chris. Dia mendapatnya dari postingan media sosial Chris.
Reygan ingin marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Harusnya dia tidak terpengaruh oleh foto ini. Naina bukanlah siapa-siapa baginya. Terserah gadis itu bergaul dengan siapapun, harusnya dia tidak peduli.
Tapi saat ini, Reygan tidak terima. Reygan membantah dirinya tengah cemburu. Hanya merasa tidak dihormati sebagai suami saja. Itu saja. Dan Reygan memakai dalih itu, untuk menekan Naina.
"Ehhem..." seseorang tiba-tiba bersuara dari belakangnya.
Reygan berbalik, melihat Rudi yang entah sejak kapan di ruangannya.
"Ada apa?" pria itu tetap dingin.
Rudi menaikkan alisnya, diiringi senyum jahat, "Apa yang kamu pikirkan?"
"Tidak ada. Ada apa Papa datang kemari?" tanya pria itu balik, sambil berjalan menuju meja kerjanya.
"Naina?" ucap Rudi membuat langkahnya terhenti.
Mengerutkan keningnya, "Naina? Ada apa dengan wanita itu?"
"Kamu memikirkannya. Istrimu." cecar Rudi.
"Apa maksud Papa. Lelucon macam apa itu?" pria itu berdecih.
Membuat Rudi malah terkekeh. "Reygan, kamu pikir Papa tidak tahu apa yang kamu lakukan selama ini?"
Reygan menghela nafas kasar, "Jika tidak ada hal penting lain, lebih baik Papa keluar. Aku masih harus kerja." usirnya terang-terangan.
Namun Rudi tidak peduli, "Papa tahu semuanya Reygan. Selama ini kamu diam-diam memperhatikan istrimu kemana pun dia pergi. Papa benar kan?" ucapnya dengan senyum puas.
Reygan menatap Rudi melotot, "Papa mengawasiku?!" sarkas pria itu.
Rudi mengedikkan bahu, "Kamu melakukannya di depan Papa."
"Papa..." geram Reygan.
Rudi berdecak, "Selama ini Papa mempekerjakan pengawal untuk menjaga Naina. Dan ya.. anak buah Papa melihat kamu juga mengawasi Naina, dan kamu selalu ada di sekitar Naina setiap saat." tersenyum sinis.
Reygan bungkam, tidak mampu berkata-kata lagi. Reygan pun tidak menyangkal, karena memang dia melakukan hal itu.
"Apa susahnya bersikap baik pada istrimu Reygan? Kamu sudah lihat dengan mata kepalamu sendiri? Naina adalah gadis baik-baik. Dia tulus. Tidak hanya itu, dia juga cerdas, tidak akan ada yang tahu kalau Naina berasal dari panti asuhan." nasihat Rudi.
Reygan mengalihkan pandangannya, "Buka hatimu sedikit saja Son. Lihat Naina. Papa yakin, dia akan menjadi istri dan Ibu yang baik untukmu dan Steve."
Hening sejenak, Rudi masih merasakan penolakan Reygan.
Dia hanya bisa menghela nafas, "Jemput istrimu sore ini. Ingat Steve, putramu sekarang sudah ketergantungan dengan Naina."
"Ingat Rey, jangan sampai berlian yang kamu miliki sekarang, hilang hanya karena gengsimu!" kecam Rudi sebelum akhirnya berlalu dari ruangan Reygan.
Rudi keluar dari ruangan Reygan, bertepatan dengan Alena yang akan masuk.
"Siang Pak." ucap Alena sopan.
Rudi menyipitkan matanya, "Sadar diri sedikit sebagai wanita. Reygan sudah memiliki istri, jauhi dia atau kamu akan menyesal seumur hidupmu!" sarkasnya, melepaskan pandangan jijik pada wanita itu.
"Maaf Pak?" wanita itu bingung. Namun Rudi tidak peduli. Pria tua itu pergi begitu saja.
***
Dua hari berlalu, Naina masih enggan pulang ke rumah keluarga Dos Santos. Meski Arnita selalu mendesaknya, dia selalu memiliki alasan untuk tetap tinggal di panti. Naina terlalu menikmati mengurus anak-anak panti.
Naina menuju teras rumah panti, sambil membawa nampan berisi gorengan buatannya untuk adik-adiknya.
Begitu melihat Naina, anak-anak itu berhamburan menghampirinya. Duduk lesehan di atas keramik.
"Jangan rebutan, Kakak buat banyak. Semua bakal kebagian kok."
Naina tersenyum melihat adik-adiknya lahap memakan gorengan buatannya. Ada kesenangan tersendiri di hatinya ketika melihat anak-anak malang itu tersenyum dan begitu ceria.
"Ada yang datang." ucap salah seorang anak, sambil menunjuk ke arah gerbang panti yang terbuka. Sebuah mobil mewah, berwarna hitam mengkilat memasuki pekarangan panti.
Naina mengerutkan keningnya, merasa familiar dengan mobil itu. Sampai akhirnya pintu mobil terbuka, dua makhluk yang sangat ingin dihindarinya muncul.
Naina membelalakkan matanya.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Meili Mekel
lanjuy
2022-08-20
0
devymariani
lanjuuuttt thorr
2022-01-29
0
Nurlela Aritonang
semoga kehadiran suaminya ke panti adalah awal yg baik.
2022-01-25
0