Prambudi memakai kemeja kotak kotak yang terlihat sudah kusam, sementara Citra dan Amanda memakai kaos putih yang senada. Mereka bertiga berjalan menuju rumah Mbah Kadir, pemilik kontrakan. Berjalan sekitar seratusan meter sampailah mereka di rumah Mbah Kadir. Rumah dengan halaman luas dan pohon asem di bagian depan. Di sekitar rumah Mbah Kadir berjejer 5 rumah lain, namun lebih kecil dan sempit jika dibandingkan dengan rumah Mbah Kadir.
"Ini rumah Mbah Kadir Cit," Prambudi tersenyum memandang Citra.
"Mbah nya ini termasuk yang paling kaya ya di daerah sini, rumahnya paling gedhe," Citra mengamati sekitar.
"Ya, dia kan memang yang dituakan disini. Sesepuh lah, simpenannya banyak," Prambudi setengah berbisik.
"Simpenan?," Citra menatap Prambudi penuh tanya.
"Ha ha ha maksudnya harta benda, tanah, emas mungkin," Prambudi tertawa, mengusap usap rambut Citra.
"Darimana kamu tahu Mas?," Citra kembali bertanya. Prambudi terdiam sejenak.
"Kemungkinan, dugaanku saja," Prambudi kembali tersenyum, istri cantiknya itu terlalu banyak bertanya.
"Yuk ah masuk," Prambudi menggandeng Citra, dan Amanda yang sejak tadi diam saja mengikuti orangtuanya. Mungkin Amanda masih bingung tiba tiba saja pindah rumah di daerah pedesaan yang tentunya berbeda jauh dengan rumah mewah kakek neneknya.
Dok dok dok dok
Prambudi mengetuk pintu pelan.
"Kulonuwuunn," Prambudi mengucap salam. Tidak ada jawaban, sepi. Seperti tidak ada orang saja di dalam rumah.
"Mbah Kadiirrr," Prambudi memanggil manggil yang punya rumah.
Terdengar suara batuk batuk dari dalam rumah. Suara langkah kaki yang seperti diseret dan tongkat kayu yang mengetuk ngetuk lantai keramik terdengar nyaring. Menit berikutnya pintu terbuka. Kakek tua memakai udheng (ikat kepala) dengan wajah penuh kerutan, terlihat renta keluar dari dalam rumah.
"Hmmm, Nak siapa ini . . .aku lupa," Mbah Kadir terlihat mengingat ingat.
"Prambudi Mbaah," Prambudi segera menyahut dengan senyum ramahnya.
"Ah, iya. Nak Prambudi, mari masuk," Mbah Kadir mempersilahkan tamunya masuk.
Akhirnya mereka semua masuk ke dalam rumah. Ruang tamu cukup luas, dengan kursi kayu jati ukiran yang indah. Tembok bercat putih bersih, namun terlihat di beberapa sudut ruangan banyak terdapat sarang laba laba yang menghitam.
"Perkenalkan Mbah, ini istri saya namanya Citra dan anak saya namanya Amanda," Prambudi memperkenalkan Citra dan Amanda pada Mbah Kadir.
"Oohh, saya Mbah Kadir. Semoga kerasan ya di rumah itu," Mbah Kadir tersenyum namun entah mengapa Citra merasa takut menatap kakek tua di hadapannya itu. Sementara Amanda tetap saja diam, dan terus menempel erat pada Citra.
"Mbah, mohon maaf saya kesini tadi mau merepotkan njenengan," Prambudi mengutarakan maksud kedatangannya.
"Ada apa Nak Budi?," Mbah Kadir bertanya nampak penasaran.
"Begini Mbah, kebetulan motor saya masih ada di rumah sebelumnya. Belum dibawa kesini. Nah, ini si kecil ngajakin jalan jalan. Kalau mungkin ada, saya mau pinjam motornya Mbah," Prambudi terlihat malu malu.
"Oohh, iya ada kok. Motornya anakku, biasanya yang make si Prapto. Ada di samping rumah, kuncinya juga disana," Mbah Kadir ternyata sosok yang murah hati.
"Prapto siapa Mbah?," Citra akhirnya membuka suara, bertanya pada Mbah Kadir.
"Oohh itu, yang biasa bantu bantu aku disini. Maklum sudah tua punya anak satu malah kerja ke luar negara. Ya Prapto itu yang tiap hari nengokin dan bantu aku," Mbah Kadir menjelaskan.
"Oohhh," Citra bergumam.
Prambudi sudah beranjak dari duduknya, hendak berpamitan pada Mbah Kadir ketika Citra teringat sesuatu.
"Mbah, itu . . . Boleh nggak kalau lukisan pengantin di ruang tamu saya ganti? Soalnya serem," Citra memberanikan diri bertanya.
"Jangan! Itu lukisan buatan anakku satu satunya," Mbah Kadir sedikit membentak. Citra langsung tertunduk ketakutan. Prambudi mencubit lengan Citra agak keras.
"Maafin istri saya Mbah, dia memang penakut. Kami nggal bakal otak atik rumah itu kok Mbah," Prambudi buru buru minta maaf.
"Emm, kami tak permisi dulu ya Mbah. Motornya kami pinjam dulu ya," Prambudi segera pamit, khawatir Amanda akan menangis ketakutan. Sedari tadi anaknya yang periang itu diam membisu.
Akhirnya Prambudi dan keluarganya berboncengan naik motor milik Mbah Kadir. Saat keluar dari halaman rumah Mbah Kadir, mereka berpapasan dengan seorang laki laki paruh baya yang menatap mereka dengan tatapan tajam. Mungkin si Prapto.
"Mas, Mbah Kadir serem," Citra membuka suara ketika motor yang mereka naiki sudah pergi menjauh dari rumah Mbah Kadir.
"Haduh Cit, lagian kamu ya aneh. Masak mau ngganti lukisan yang dibuat anaknya," Prambudi menyalahkan Citra.
"Lha kan kita ngontrak mas disana, bayar juga. Masak nggak boleh ngerubah dekorasi rumahnya," Citra mendebat Prambudi.
"Nggak boleh Cit. Mbah Kadir itu sudah pesen sama aku, rumahnya boleh ditempati asalkan nggak ngerubah isi di dalamnya," Prambudi menjelaskan.
"Kok aneh sih Mas? Kenapa Mas pilih ngontrak rumah itu? Lagian Mbah Kadir kalau se sayang itu sama lukisan anaknya kenapa nggak dibawa pulang ke rumahnya sendiri saja lukisannya," Citra terus menerus ngomel.
Ciitttt
Prambudi mengerem motornya, menoleh pada Citra.
"Kan sudah aku jelasin, aku pilih yang murah Cit. Harusnya bersyukur dapat rumah yang cukup luas dengan kondisi keuanganku kayak gini. Jangan mempermasalahkan hal kecil nggak jelas kayak gini deh," Prambudi mulai merasa emosi.
"Stop Yah, mamah. . .jangan berantem," Amanda akhirnya buka suara, setelah sedari tadi diam saja. Kelihatannya bocah balita itu merasa gerah dengan perdebatan orangtuanya. Amanda diusianya yang masih balita nyatanya tergolong anak yang cerdas dan terkadang omongannya seperti orang dewasa. Memang tak seharusnya orangtua beradu argumen di hadapan sang anak, lebih lebih ini anaknya masih balita.
"Sudahlah Cit. Nikmati saja kebersamaan dengan keluarga kecil kita, tanpa ada gangguan dari Ayah Bundamu," Prambudi menghela nafas.
"Percaya sama aku," Prambudi menatap Citra dengan tulus. Tatapan itulah yang selalu membuat hati Citra luluh.
"Ngomong ngomong, pemandangannya indah ini Mas," Citra mengalihkan pembicaraan. Melihat sekeliling berupa persawahan yang begitu hijau.
"Ah, itu seperti bekas rumah ya Mas," Citra menunjuk puing puing bangunan di tengah tengah persawahan tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Iya, sepertinya itu memang bekas rumah," Prambudi ikut memperhatikan.
"Yahhh ayok jalan lagi," Amanda merengek minta jalan lagi.
"Udah lapar ya kamu Nak?," Citra mengelus elus Amanda. Amanda mengangguk pelan.
"Memangnya kita mau beli makan apa Mas?," Citra bertanya pada Prambudi
"Kayaknya mie ayam bakso deh. Katanya banyak yang enak menu itu di area kecamatan sini," Prambudi berpikr sejenak kemudian menjawab.
"Aku suka mieee," Amanda bersorak girang. Prambudi mengusap usap kepala Amanda dengan sedikit kasar, saking gemesnya.
Akhirnya Prambudi dan keluarga menaiki motor, melewati area persawahan dan puing puing rumah di tengah sawah. Mereka menuju ke pasar induk kecamatan, tempat yang Prambudi ketahui menjual berbagai macam makanan, termasuk makanan kesukaan keluarganya yang enak, mie ayam.
BERSAMBUNG. . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Hulatus Sundusiyah
puing puing rumah dani kyknya
2025-05-13
0
Rose_Ni
Prambudi ini pasti ad hub. keluarga sma Mbah Kadir, keturunan Wira kah?
2024-02-02
0
Rara Aida
harusnya prambudi mikirin kenyamanan anak istri , jangan ngontrak rumah cuma mikir besar dan murah , gimana kalau prambudi kerja , citra dan manda cuma berdua dirumah angker mana ratusan meter jaraknya dari tetangga
2024-01-09
0