Pukul 3 pagi Prambudi mengendap ngendap keluar dari rumah mewah mertuanya lewat pintu belakang. Citra menggendong Amanda mengekor di belakang Prambudi. Mereka masuk ke mobil hitam tanpa plat nomor yang telah menunggu di seberang jalan. Tiga koper penuh pakaian telah dimasukkan ke bagasi. Begitupun kucing kesayangan, si Kity beserta kandangnya telah berada di dalam mobil.
“Mas, yakin kita pergi dengan cara seperti ini?,” Citra nampak ragu ragu dengan keputusan yang diambil suaminya.
“Ya mau gimana lagi Cit? Kalau ijin kamu tahu kan apa yang bakal terjadi, orangtuamu itu takkan pernah mengijinkan. Percayalah padaku,” Prambudi menatap Citra lekat.
“Kita akan kembali kesini, membawa kabar kesuksesan dan kebahagiaan keluarga kecil kita Cit. Orangtuamu akan mengakui aku, dan kita bisa bahagia seterusnya,” Prambudi menggenggam erat tangan Citra. Citra menghela nafas dan menyandarkan kepalanya pada bahu Prambudi. Sementara Amanda masih tidur pulas tak terganggu dengan segala drama pagi buta itu.
“Jalan Pak,” Prambudi menepuk kursi kemudi di depannya. Pak Sopir segera tancap gas meninggalkan rumah mewah di pusat kota.
Mobil melaju cukup kencang. Suasana jalanan pagi masih sangat sepi, hanya sesekali kendaraan yang melintas. Dari pusat kota tempat tinggal Citra, mobil melaju ke arah selatan. Meninggalkan daerah kota meluncur melewati kecamatan G dan masih terus ke selatan, Satu jam perjalaanan, Prambudi merasakan kantuk dan akhirnya tertidur lelap.
Sementara Citra tak mampu memejamkan mata, hanya memandang deretan bangunan di kiri kanan jalan. Semakin jauh mobil melaju, bangunan di kiri kanan jalan berubah menjadi pepohonan yang menghijau lebat. Itu artinya, mereka telah sampai di kecamatan K, hampir sampai di lokasi yang dituju.
Entah mengapa suasana terasa semakin suram. Citra merasakan hawa dingin pada tengkuknya. Mobil memperlambat lajunya tepat di sekitar area pemakaman yang terlihat lawas. Jalanan rusak parah, Pak sopir tidak mau membuat customer nya terantuk dengan kondisi jalan yang luar biasa hancur dengan lubang menganga.
Tanpa sengaja Citra melihat kaca depan kursi kemudi. Citra beradu pandang dengan Pak Sopir. Usia Pak Sopir mungkin di atas empat puluh tahun, memakai setelan pakaian serba hitam dengan raut wajah seperti orang kurang tidur. Cekungan mata yang terlihat jelas, namun sorot matanya terasa liar. Detik berikutnya pak Sopir tersenyum lebar menampilkan barisan giginya yang menghitam. Citra buru buru mengalihkan pandangannya. Entah kenapa ada rasa ngeri di benaknya.
Citra mengamati makam di sebelah kiri jalan. Makam yang terlihat kurang terawatt, seakan yang dikubur disana tidak memiliki keluarga yang sudi membersihkan ataupun sekedar menengok menabur bunga. Tiba tiba Citra melihat dua sosok anak perempuan bergandengan tangan menatap tajam kearah Citra, seolah mereka bisa melihat Citra yang berada di dalam mobil dengan kaca yang tertutup rapat. Dua anak perempuan memakai gaun putih nan pucat, begitupun wajah mereka nampak pucat pasi. Citra merinding hebat. Dua anak perempuan itu terus memandang kearah Citra. Citra memejamkan matanya, dia ketakutan.
Pukul lima pagi, langit mulai berubah lebih terang. Mobil yang dinaiki keluarga Prambudi telah sampai di sebuah pertigaan jalan yang terbuat dari semen, dan berhenti tepat di sebuah rumah yang terletak di ujung jalan persis di tengah jalur pertigaan. Sebuah rumah cukup luas dengan cat warna merah maron berdiri sendirian, tetangga terdekat terlihat sekitar seratus meter di sebelah selatan. Rumah dua lantai dengan pohon asem jawa besar di sampingnya.
“Kita sampai sayang,” Prambudi sudah bangun dari tidurnya. Begitupun Amanda terlihat mengusap usap matanya,
“Ini rumah baru yang Mamah ceritakan tadi malam ya?,” Amanda bertanya dengan wajah polosnya.
“Iya sayang. Suka?,” Amanda membelai rambut Amanda dengan lembut.
“Suka Mah, pokoknya yang penting ada Kity, aku suka,” Amanda tersenyum menoleh kucingnya yang sedang bersantai di kandang.
Pak Sopir segera turun dan membukakan pintu. Citra tidak berani menatap Pak Sopir, dia masih merasa ngeri. Pak Sopir dengan cekatan menurunkan barang barang bawaan keluarga Prambudi.
“Saya pamit Pak, terimakasih telah memakai jasa kami,” Pak Sopir berpamitan pada Prambudi setelah pekerjaannya dirasa sudah selesai.
“Sama sama Pak, terimakasih kembali,” Jawab Prambudi ramah.
Mobil hitam tanpa plat nomor kendaraan itu melaju kencang meninggalkan keluarga Prambudi di rumah barunya. Citra mendekati suaminya.
“Mas, Pak Sopirnya serem aku takut. Lagian juga kenapa pakai mobil bodong sih?,” Citra menggerutu.
“Yang murah Cit, yang penting kan kita sampai dengan nyaman,” Prambudi menepuk nepuk pundak Citra.
“Nyaman apanya, aku takut banget,” Citra begidik ngeri.
“Sudah sudah, ayok masuk yuk,” Prambudi menenteng barang bawaan mereka, sementara Citra menggandeng tangan Amanda. Kity sudah berlari lari kecil mendahului majikannya.
Kriiieetttttt
Pintu depan dibuka oleh Prambudi. Ruang tamu terlihat cukup luas. Dengan sofa empuk di tengah ruangan. Sebuah lukisan besar terpasang di tembok. Lukisan seorang perempuan memakai baju pengantin. Terlihat anggun, namun ada yang aneh di lukisan itu. Bagian wajah nampak kosong, tidak ada apapun, seakan lukisan tersebut belum selesai namun dipaksakan untuk dipajang.
“Mas, lukisannya kok serem sih?,” Citra menempel, bergelayut manja pada Prambudi.
“Ha ha ha, serem apanya. Itu mungkin lukisannya diberi judul Pengantin tanpa wajah,” Prambudi terkekeh, santai menanggapi ketakutan istrinya.
“Kamu kok milih rumah ini jadi tempat tinggal kita? Kan cukup jauh dari tetangga Mas. Kalau kamu pas kerja aku kan sendirian Mas disini,” Citra memprotes keputusan Prambudi meimilih rumah.
“Pertama rumah ini cukup luas. Kedua rumah ini jaraknya hanya satu kilometer saja dari tempatku bekerja. Dan ketiga yang paling penting, rumah ini harga sewanya murah,” Prambudi menjelaskan.
“Pemilik rumah ini kemana Mas?,” Citra kembali bertanya.
“Katanya sih jadi TKI. Yang menyewakan rumah ini adalah Bapak dari pemilik rumah. Namany Mbah Kadir. Rumahnya nggak jauh kok dari sini. Nanti siang deh tak ajak ke rumah Mbah Kadir,” Prambudi duduk di sofa, diikuti oleh Amanda.
“Duduklah kemari,” Prambudi mengajak Citra untuk duduk, Citra menurut.
“Berbahagialah, mulai hari ini kita bisa menata kehidupan keluarga kecil kita, sesuai keinginan kita sendiri,” Prambudi tersenyum bahagia. Citra baru kali ini melihat senyuman bahagia Prambudi setelah bertahun tahun lamanya. Biasanya suaminya itu selalu tersenyum yang terasa dipaksakan.
“Mas, ngomong ngomong motornya mas Pram gimana? Kan tertinggal di rumah Bunda,” Citra bertanya teringat motor kesayangan suaminya.
“Ya terpaksa, biarkan saja dulu disana. Nanti Mas kerja manggil becak saja,” jawab Prambudi enteng.
Akhirnya, salah satu impian Prambudi tercapai hari ini. Dia bisa hidup tenang bersama istri dan anaknya tanpa adanya hinaan, sindiran dan cemoohan dari mertuanya yang kaya raya itu.
BERSAMBUNG . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Yulay Yuli
saya pernah tinggal dirmh kontrakan tusuk sate, masalah finansial ga pernah kekurangan. tapi ada aja masalah goib.
2025-01-10
0
Karin Nurjayanto
rumah di pertigaan jalan , itu namanya rumah tusuk sate,, mau di buat apa" ttep gak jalan, buat usaha juga g jalan
2024-12-23
0
Zuhril Witanto
serem
2024-02-07
0