Sehabis membersihkan ruang tamu dan kamar di lantai satu, Prambudi menuju ke dapur. Dilihatnya Citra sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk pagi ini. Untunglah kemarin Prambudi sudah membeli beberapa alat masak dan bahan makanan, sehingga pagi ini nggak bingung mau makan apa. Sementara Amanda terlihat riang bermain main dengan si Kity.
“Mas?,” Citra memanggil Prambudi dengan lembut.
“Ada apa Cit?,” Sahut Prambudi mendekati Citra.
“Ngomong ngomong Mas Pram kok punya uang untuk sewa rumah, beli peralatan masak, bahan makanan dan segala macam kebutuhan kita. Mas Pram dapat uang darimana?,” Citra bertanya penuh selidik.
“Oh, itu. Anu . . . Aku tuh dulu punya uang tabungan di panti, dibawa pengurus panti dan kemarin tak ambil,” Prambudi menjawab pertanyaan istrinya sambil terlihat melamun. Tatapannya kosong ke arah jendela belakang.
“Mas, ruangan atas belum kita bersihin lhoo,” Citra mengingatkan Prambudi.
“Nanti nanti aja lah, kelihatannya banyak tikus disana,” Prambudi menjawab, Citra begidik jijik.
DRRTTT DRRTTT DRTTTT
HP Citra bergetar, sebuah telepon masuk.
“Bunda menelepon Mas, gimana ini?,” Citra terlihat panik.
“Ya angkat dong, ngomong saja kita pindah. Tapi jangan kasih tahu dulu alamat kita disini,” Prambudi mengambil air putih, kemudian meminumnya. Citra mengangguk setuju, kemudian mengangkat telepon dari Bundanya.
“Hallo, . .,” Citra mengangkat telepon.
“Cit, kamu dimana Nak?,” Nyonya Doto terdengar gusar.
“Kenapa baju bajumu di kamar tidak ada, Amanda juga, si Kity juga nggak ada, kalian dimana?,” Nyonya Doto memberondong Citra dengan pertanyaan.
“Kami pindah Bunda. Citra pengen hidup mandiri sama Mas Pram sama keluarga kecil Citra sendiri,” Jawab Citra kalem.
“Ini pasti gara gara si Budi kan? Menantu tak tahu diuntung!,” Nyonya Doto kali ini terdengar meledak ledak, marah.
“Nggak Bun, ini bukan salah Mas Pram. Ini sudah jadi keputusan Citra juga, Citra ingin rumah tangga Citra bahagia Bunda,” Citra tidak ingin suaminya disalahkan atas kepindahan mereka.
“Tapi Citra, kamu akan susah hidupmu jika sama suami kere itu!,” Nyonya Doto masih tidak bisa menerima keputusan Citra.
“Stop Bunda, stop. Jangan ngomong yang jelek jelek soal Mas Pram, jangan menghina Mas Pram. Mas Pram suami Citra, karena bunda seperti ini Citra jadi semakin yakin untuk pergi dari rumah Bunda,” Citra kali ini habis kesabaran, dia setengah membentak.
“Oke, sekarang kasih tahu Bunda . . . Kamu tinggal dimana?,” Nyonya Doto terdengar menahan bicaranya, agar tidak kembali meledak ledak.
“Maaf Bunda, untuk sekarang Citra belum bisa ngasih tahu. Do’a in anakmu ini bahagia, dan menantumu sukses dengan pekerjaannya,” Citra mengakhiri bicaranya dan menutup telepon.
Ada bau yang menyengat tiba tiba menusuk hidung. Sambal goreng yang dimasak oleh Citra ternyata gosong.
“Yah Mas, masakan aku gosong,” Citra cemberut menatap suaminya, Prambudi tergelak, tawanya pecah.
“Masak itu pakai hati, bukan pakai emosi,” Prambudi masih tertawa.
“Lha Mas juga nggak bantuin lho, ah,” Citra masih merengut.
“Maaf ya, aku tadi sibuk melamun sama melihat itu si Manda asyik banget mainan sama si Kity,” Prambudi berdiri mendekati Citra, kemudian mendaratkan satu kecupan di keningnya.
“Terus, kita mau makan apa Mas?,” Tanya Citra, menatap Prambudi.
“Makan kamuu,” Prambudi mencolek hidung Citra yang mancung.
“Iiihhhhhh . . .,” Citra mencubit perut Prambudi, gemas.
“Auuwww, sakit Citra,” Prambudi mengaduh. Citra terkekeh.
“Yaudah, gini aja deh. Kita ke tempat pemilik rumah ini, ke tempat Mbah Kadir,” Prambudi memberi ide.
“Ngapain Mas?,” Citra bertanya, mengernyitkan dahi.
“Ya sekalian tak kenalin sama Mbah pemilik rumah ini, aku juga mau pinjam motornya. Kamu nanti tak ajak jalan jalan ke pusat kecamatan nyari makan disana,” Prambudi mengusap usap rambut istrinya. Citra manggut manggut.
“Mas, aku mau lihat ruangan atas dong,” citra tiba tiba saja mengalihkan pembicaraan.
“Emm, ayok tak antar,” Prambudi berpikir sejenak, kemudian mengiyakan.
“Amanda mainan sama Kity disini dulu aja ya,” Citra berbicara pada Amanda. Amanda mengangguk tanda setuju.
Prambudi dan Citra berjalan menaiki tangga di sebelah dapur. Ruangan lantai dua terdiri atas dua kamar. Ruangan lantai dua terasa pengap dan tak terurus. Sarang laba laba menempel dimana mana. Prambudi membuka salah satu kamar, kosong tidak apapun disana. Ada balkon di luar kamar yang menghadap ke arah belakang rumah. Citra berjalan dan berdiri di balkon, udara terasa segar dan sejuk. Nampak sebuah sungai dengan air jernih dan bebatuan besar besar tak jauh di belakang rumah. Sungai khas pedesaan yang membuat Citra berdecak kagum.
“Mas, itu sungainya bagus, jernih airnya,” Citra menunjuk sungai, memberitahu Prambudi.
“Iya, tapi masih jernih dan bening kulitmu Sayang,” Prambudi mendekap istrinya itu dari belakang.
“Ah, gombal!,” Citra tersenyum manja.
Citra menoleh ke sebelah kanan tempatnya berdiri. Ada sebuah jendela dari kamar sebelah.
“Itu jendela kamar sebelah ya Mas. Kok nggak ada balkonnya kamar yang itu?,” Citra bertanya pada Prambudi.
“Emm, iya. Kamar itu nggak bisa dibuka. Kata Mbah Kadir kuncinya hilang. Kamu jangan mendekati kamar itu . . .,” Prambudi terlihat serius dengan ucapannya.
“Kenapa?,” Citra bertanya penuh selidik.
“Banyak tikusnya sayang,” Parmbudi menjawab dengan berbisik di telinga Citra.
“Hiiiiii,” Citra begidik merinding, bukan karena membayangkan tikus melainkan karena hembusan nafas suaminya mengenai tengkuknya.
Glodakkk!
Sebuah suara benda jatuh terdengar keras dari lantai bawah. Prambudi dan Citra beradu pandang dalam diam.
“Amanda!,” Prambudi dan Citra berteriak bersamaan. Mereka langsung menghambur berlari keluar kamar dan menuruni tangga. Mereka khawatir jika suara benda jatuh tadi adalah Amanda.
“Amanda? Amanda?,” Panggil Citra sambil berlari.
Prambudi dan Citra berlari menuju dapur. Kosong, Amanda tidak ada disana.
“Amanda? Amanda? Dimana kamu nak?,” Citra berteriak panik.
“Iya Maahhh . ..,” Jawab Amanda. Suara Amanda terdengar dari ruang tamu.
Prambudi dan Citra segera berlari ke ruang tamu. Mereka menemukan Amanda sedang berdiri sendirian di ruang tamu.
“Kamu tidak apa apa Nak?,” Citra bertanya gusar, mendekap Amanda.
“Nggak pa pa Mahh,” Jawab Amanda dengan nada datar.
“Terus tadi Mamah dengar ada suara jatuh, mamah pikir Amanda jatuh lho,” Citra menatap putri kecilnya itu.
“Ohhh, tadi itu lho yang jatuh. Manda juga kaget Mah,” Amanda menunjuk dinding di tengah ruang tamu.
Lukisan pengantin tanpa wajah jatuh tertelungkup ke lantai. Prambudi kemudian mengambilnya, menyandarkannya di tembok.
“Waahh, pakunya udah usang, copot ternyata,” Prambudi mengamati dinding tempat dimana lukisan sebelumnya tergantung.
“Nanti tak benerin,” Prambudi tersenyum ke arah istri dan anaknya.
“Yaudah, yuk kita siap siap. Ke rumah Mbah Kadir, pinjam motor terus jalan jalan deh. Beli sarapan, aku lapar,” Prambudi menggandeng Citra untuk segera beranjak meninggalkan lukisan pengantin tanpa wajah. Citra entah kenapa masih merasa ngeri saat menatap lukisan itu, ada yang aneh.
BERSAMBUNG . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
gak ada wajahnya...bikin serem lah
2024-02-07
0
Zuhril Witanto
ini Mbah kadir Mbah nya Dani bukan
2024-02-07
0
FiaNasa
lukisan siapa itu ya
2024-01-16
0