Rumah Tusuk Sate
Bulan Desember tahun 2016. Penghujung tahun, langit terlihat begitu muram. Mendung bergerak liar kesana kemari membawa sang tirta yang dapat tumpah sewaktu waktu. Udara dingin menusuk kulit, gemuruh juga terdengar bersahut sahutan dengan beberapa kilat menyambar terang di kaki bukit.
Prambudi menaiki motor bebek bututnya dengan wajah lesu. Tas slempang kumal dan kemeja lengan panjang dengan daki yang menempel parah di kerahnya membuat aura kegagalan semakin kentara. Sudah berkali kali dia berupaya, mungkin ada ratusan surat lamaran pekerjaan dia sebar di seantero kota tempat tinggalnya dan tak ada satupun yang memberikan hasil.
Hari ini Prambudi memenuhi panggilan interview dari tiga perusahaan. Awalnya terasa lancar, namun ketika sebuah pertanyaan terucap dari manajer HRD Prambudi tak mampu mengiyakan.
“ Apakah saudara Prambudi bersedia di tempatkan di kantor cabang kami di luar kota?,”
Pertanyaan tersebut hanya mampu dijawab Prambudi dengan gelengan kepala. Dan akhirnya hanya sebuah doa dan harapan kesuksesan di tempat lain yang Prambudi dapatkan. Prambudi ditolak dari pekerjaan yang dia lamar. Sakit hati? Tentu.
Motor Prambudi berbelok masuk ke sebuah rumah dengan pintu pagar stainless mewah mengkilap. Sebuah rumah besar dengan dua lantai, rumah paling besar di daerah tersebut. Rumah yang sangat kontras dengan keadaan Prambudi saat ini.
“Ayah? Ayah pulaaangg,” Sesosok anak kecil, cantik mungil, berkulit putih bersih menyambut Prambudi sambil menggendong kucing Anggora yang berbulu super cantik.
“Haloo Manda sayaanggg,” Sapa Prambudi dengan senyumnya yang terkembang. Wajah lesunya kini secara instan berubah menjadi wajah paling bahagia di dunia.
Prambudi memasukkan motornya di garasi belakang. Sementara garasi depan berjejer dua mobil mewah berwarna hitam dan putih seperti dua bidak catur. Perempuan cantik dengan rambut terurai memakai daster yang terlihat mahal keluar dari dalam rumah, ikut menyambut Prambudi. Dia lah Citra, istri Prambudi. Mantan finalis Duta Kampus tercantik di masa kuliahnya dulu.
“Gimana Mas?,” Citra bertanya pada Prambudi. Sebuah pertanyaan pendek namun terasa menghujam ulu hati. Prambudi menggeleng pelan, raut wajahnya kembali terlihat lesu.
“Gak pa pa Mas, yang penting Mas sudah berusaha,” Citra menepuk nepuk bahu Prambudi.
“Semangat Ayaahhh,” Amanda, bocah lima tahun itu berteriak tanpa beban pada Ayahnya.
Prambudi berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Citra dan Manda. Rumah yang benar benar megah namun membuat hati Prambudi semakin gerah. Lantai marmer cokelat mengkilat, sebuah foto besar terpampang di tembok ruang tamu. Ada empat sosok di foto tersebut. Seorang Bapak berkumis tebal dengan tuxedo yang terlihat wah, Ibu ibu bersanggul tinggi dengan baju batik limited edition menenteng tas yang harganya selangit, beserta anak dan istri Prambudi.
Prambudi, pemuda yang tak punya apa apa dan tak punya siapa siapa setelah kelulusan SMA nya pergi dari Panti Asuhan untuk mencari kerja. Hingga akhirnya dia sampai di rumah mewah nan megah ini. Bekerja sebagai tukang kebun, untuk bisa menggapai cita citanya bisa mengenyam pendidikan hingga sarjana.
Namun, siapa sangka Tuan Puteri di istana tempatnya bekerja menaruh hati padanya. Ya, Prambudi memang pemuda yang tampan, meski finansial tak mapan. Citra yang kuliah di luar kota nyatanya selalu rindu untuk pulang ke rumah hanya sekedar untuk melihat senyum dari Prambudi. Padahal gadis itu bisa saja mendapatkan laki laki yang jauh lebih baik segalanya dari Prambudi, namun begitulah cinta, tak dapat memilih kemana akan berlabuh.
Orangtua Citra marah besar ketika tahu anaknya bermain asmara dengan Prambudi. Segala cara dilakukan termasuk memecat dan mengusir Prambudi. Namun, hal itu malah menjadi petaka. Citra nekat menemui Prambudi diam diam. Di usia muda dimana hati masih menjadi patokan pengambilan sebuah keputusan, dua insan dalam kamar kos dengan pencahayaan temaram melakukan sebuah perbuatan terlarang.
Di usia 20 tahun Citra dan Prambudi dinikahkan. Dan setelahnya Prambudi kembali ke rumah megah itu, namun bukan sebagai tukang kebun melainkan sebagai seorang menantu Bos besar pemilik tambang pasir dan ratusan kandang ayam petelur tersohor di kota T.
Apakah hidup Prambudi mapan setelahnya? Jawabannya adalah tidak. Menjadi menantu satu satunya dari Tuan Kaya Raya adalah mimpi buruk bagi Prambudi. Secara materi dan kehidupan sehari hari Prambudi memang terlihat lebih terjamin, namun secara mental Prambudi menahan rasa sakit. Dia tidak pernah dianggap sebagai bagian dari keluarga.
Pernah suatu ketika, Prambudi sudah tidak tahan dengan segala gunjingan dan sindiran dari sang mertua, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri saja bahtera rumah tangganya dengan Citra. Namun saat melihat istrinya menangis tersedu di hadapannya, tak ada yang bisa dia lakukan. Prambudi kembali memeluk istrinya. Cinta mereka berdua lebih besar dari rasa benci Sang mertua kaya raya.
“Budi, berhasil dapat kerja?,” nyonya Doto, sang Ibu mertua bertanya ketus sambil menonton TV ketika melihat menantunya memasuki rumah.
“Belum Bunda,” Jawab Citra pelan.
“Aku tanya si Budi. Kenapa kamu yang menjawab,” Nyonya Doto melihat ke arah Citra.
“Belum Bun,” Kali ini Prambudi bersuara, terdengar sedikit bergetar.
“Kamu itu nurut saja kenapa sih. Sama mertuamu kan mau dikasih 3 kandang ayam petelur tuh. Ngurus itu saja hasilnya buat jajan bulananmu kan ya cukup. Citra sama Manda biar kami yang urus. Soalnya kamu juga nggak bakalan mampu!,” Nyonya Doto kembali melontarkan kata katanya yang tajam menusuk.
“Mas Prambudi mau coba usaha nyari kerja sendiri Bunda. Lagian kan Mas Pram punya ijasah IPK nya cumlaude juga Bun. Pengen bisa dapat kerja sesuai bidangnya,” Citra mengambil air putih di dispenser memberikan pada suaminya.
“Halah, mbelgedhes. Yang tak tanya si Budi, kamu jangan jawab terus. Budi apa nggak bisa ngomong?,” Nyonya Doto mematikan TV kemudian beranjak meninggalkan anak dan menantunya itu.
“Oma gak boleh nakal ya,” Amanda tiba tiba saja nyeletuk menegur neneknya, masih sambil menggendong kucing anggora kesayangannya.
“Nanti kalau nakal bisa dicakar si Kity,” Ujar Amanda sambil mengangkat kucingnya yang diberi nama Kity itu.
“Enggak sayangkuu . . . Yang nakal kan ayah sama Bundamuu,” Nyonya Doto mengusap usap rambut cucunya. Terlihat jelas dia begitu sayang pada Amanda. Memang, wajah Amanda begitu mirip dengan wajah Citra sewaktu kecil dulu.
Prambudi memasuki kamarnya, yang begitu mewah nan indah. TV, AC, lengkap namun tetap nggak bikin dia betah. Prambudi mengganti bajunya dengan kaos oblong berwarna putih. Citra menyusul masuk kamar, menutup pintu kemudian memeluk suaminya dari belakang.
“Maafin Bunda ya Mas,” bisik Citra lirih.
“Udah biasa,” Jawab Prambudi pendek.
“Mas marah?,” Citra mengecup pundak prambudi. Prambudi diam saja.
“Mungkin sebaiknya kita cari kontrakan saja Cit. Kalau begini lebih baik aku terima pemberian kandang ayam ayahmu. Biar aku urus, aku gedhein sendiri. Tapi kita pindah, nggak tinggal disini. Biar aku tenang, aku bisa fokus Cit,” Prambudi menahan amarahnya.
“Terserah Mas saja, pokoknya aku ikut Mas,” Citra menatap Prambudi, mata biru yang begitu indah dimiliki oleh suaminya itu. Prambudi memeluk Citra dengan erat, ada rasa syukur yang terucap dalam hati Prambudi memiliki istri se baik dan se pengertian Citra.
BERSAMBUNG . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Abi Zar
walaupun hidup terjamin kalo hati gag nyaman mah buat apa?tul gag thor
2024-03-28
0
FiaNasa
harta tak menjamin hidup bahagia tp tanpa harta kita bisa apa
2024-01-16
1
RI VaLs
kenapa ya wanita dgn nama "CITRA" itu rata² orangnya baik.
2023-12-30
0