Malam terasa panjang dengan kehadiran Heru sekarang mereka berlima, mereka berempat yang polos benar-benar begitu baik dan naifnya hingga membuat Heru merasa iba, "Bila kalian bertemu dengan orang baru, jangan secepat ini mempercayainya. Belum tentu aku begitu baik, bagaimana kalau aku ini orang jahat?" ucap Heru.
Keempatnya hanya saling pandang dan tersenyum, "Jahat atau tidaknya seseorang, kami menyerahkannya saja kepada yang kuasa." Ucap Kabir.
Ia malas mengkotak-kotakkan semua orang dengan kualitas maupun kuantitas dari kepribadian setiap individu. Kabir percaya orang terlahir ke dunia ini dengan suatu alasan untuk ia hidup dan berjuang di dalam kisah kehidupannya.
"Aku bukan hakim yang harus menghakimi semua perbuatan orang lain" Ucap Kabir.
Mereka semua diam, mereka masih saja mendengarkan suara heli yang setiap satu atau 3 jam berputar-putar mengitari pulau dan suara tembakan.
"Apakah mereka tidak lelah?" tanya Mona penasaran ia masih saja terus mendengarkan suara-suara tembakan.
"Kalau mereka lelah mungkin semua ini tidak mereka buat" ucap Heru.
"Selama chip itu masih ada mereka akan dengan mudahnya menemukan kalian, karena mereka masih terus memantau dari monitor komputer mereka sebagai penghubung." Jawab Heru.
"Apakah di sekitar sini banyak seperti kita?" tanya Kirana.
"Banyak, setiap 3 bulan sekali selalu saja mereka membawa datang orang-orang baru korban penculikan." Jawab Heru.
"Apakah ada yang pernah bertahan sampai sejauh ini?" tanya Kabir.
Heru hanya menggeleng, "Dulu pernah ... kami hampir menuju kastil akan tetapi kami kalah dipersenjataan hingga kami banyak yang meninggal hanya aku dan dua orang yang selamat, kedua temanku mengungsi ke daerah barat pulau." Ucap Heru.
"Ini sebuah pulau?" tanya Mona.
"Iya sebuah pulau, nanti bila chip kalian sudah kita buang aku akan membawa kalian menyusuri Pulau ini." Balas Heru. Mereka menggunakan bahasa isyarat seperti orang bisu.
"Pak Heru sendiri asalnya dari mana?" tanya Kirana penasaran.
"Aku dari Samarinda." Ucapnya ia mengingat masa 5 tahunnya yang bahagia mungkin anak dan istrinya sudah melupakannya.
"Apa pekerjaan Bapak sebelumnya?" tanya Hendro.
"Aku seorang pengawal yang disewa orang-orang kaya untuk mengawal keselamatan mereka. Siapa sangka aku malah berakhir di tempat jelek ini" umpatnya kesal.
Mereka semuanya terdiam mengingat semua kenangan saat mereka masih bersama keluarga.
Berlahan tapi pasti matahari mulai muncul di ufuk timur, hari mulai pagi.
"Aku benar-benar penasaran, aku ingin mengambil chip ini biar kita dengan leluasa bergerak dan bicara." Ucap Kabir dengan bahasa isyarat.
"Baiklah! Tetapi sebaiknya kita harus mencari sejenis tumbuhan penghilang rasa sakit dan menghentikan darah yang mengalir ke luar." Ucap Heru
Ia menunjukkan bekas lukanya, sedikit ada koloid yang tinggal karena tanpa perawatan yang jelas, ia hanya melakukan perawatan dengan otodidak.
Mereka mengendap-endap ke luar berlahan, mencari sejenis tumbuhan liar Kabir mengenali beberapa tumbuhan yang sering ia gunakan di kampung halamannya bila terluka untuk menghentikan pendarahan.
Setelah dirasa cukup ketiga pria kembali ke gua mereka, menggerusnya di sebuah batu dengan berlahan agar suaranya tidak menembus ke luar gua.
"Hidupkan api untuk membakar sangkur!" perintah heru, Hendro menghidupkan api dan membakar sangkur, Kabir mengunyah sejenis tumbuhan dan menelan airnya, Kirana masih saja menggerus tumbuhan lain di batu gua yang pipih, Heru memberika sebatang dahan kayu kecil kepada Kabir, "Gigitlah untuk menahan sakitnya" Ucap Heru.
Kabir melakukan semua perintah Heru dan dengan cepat Kabir berbaring di lantai gua yang dingin, Heru melakukan tugasnya. Mengiris berlahan bekas sayatan operasi yang dilakukan oleh Alberto Kuro, Kabir menahan sakitnya ia semangkin keras menggigit dahan kayu di mulutnya, keringat membanjiri keningnya Kirana menyeka keringat dengan lembutnya.
Heru dengan berhati-hati mengeluarkan sebuah chip memori dari sayatan di dada sebelah kiri Kabir, darah mengucur deras. Heru mengambil sangkur yang dibakar dan menempelkan kepada luka yang terbuka menganga walaupun hanya beberpa centi saja. Asap mengepul dari luka saat sangkur diletakkan di atas dada Kabir ia semangkin keras menggigit dahan kayunya hingga pingsan.
Kemudian Heru memberikan ramuan yang digerus oleh Kirana, meletakkan sedemikian rupa di dada Kabir membungkusnya dengan sobekan kain dari baju Heru yang compang camping.
"Apakah sekarang giliranku?" tanya Hendro di dalam bahasa isyarat.
"Nanti dulu! aku tidak ingin mereka langsung curiga, bagaimana bila mereka tiba-tiba menyerang? Aku tidak bisa menyelamatkan kalian semu. Itu artinya kematian akan sia-sia, sebaiknya buang chip milik Kabir jauh ke luar gua." Balas Heru di dalam bahasa isyarat juga. Hendro secepat ia bisa melemparkan chip sejauh ia bisa.
Kemudian Heru melakukan hal yang sama kepada Kirana, kini kedua orang itu sedang pingsan.
"Giliran kalian sabarlah, aku takut mereka curiga dan mendatangkan bala bantuan, sebaiknya kau" Heru menunjuk Mona.
"Pergilah di sebelah sana, seakan-akan kita berpencar." Ucap Heru.
Mona mengikuti saran Heru, ia memanggang ikan hasil tangkapan
Hendro, Heru mencari ikan di dalam kolam di gua menunggu Kabir dan Kirana siuman.
Setengah jam kemudian Kabir siuman ia meminum banyak air kolam karena rasa dahaganya, lukanya sedikit sakit. Ia memandang Kirana yang berbaring di sisinya masih pingsan juga.
Setelah mereka sarapan menyantap ikan giliran Mona dan Hendro dilakukan operasi kecil seadanya, Kirana sudah siuman dan memakan ikannya. Mereka membuang semua chip dengan cara berbeda.
Menunggu keduanya siuman Kabir, Kirana dan Heru bercerita banyak hal.
"Apakah pulau ini begitu luas Pak?" tanya Kabir mulai leluasa bersuara.
"Iya sangat luas aku sudah menyusuri semua pulau, akan tetapi aku tidak pernah bisa ke kastil Alberto Kuro, bila nanti mereka memberikan makanan dari helikopter jangan coba-coba memakannya" Nasihat Heru.
"Memang mengapa?" tanya Kirana
"Karena sepertinya ada zat aditif yang sengaja dicampur dimakanan itu hingga kewarasanmu hilang seketika dan kau akan menjadi monster yang menyerang temanmu sendiri hingga kematian baik dipihakmu maupun lawanmu." Ucap Heru sekelebat kepedihan tergambar dengan jelas di wajahnya yang sarat akan luka dan perjuangan bertahan hidup di pulau terpencil yang mengerikan ini.
"Apakah kita tidak bisa kabur Pak?" tanya Kabir.
"Pulau Kematian ini di tengah lautan luas entah di mana dan di tembok dengan beton seukuran 5 meter belum lagi kawat berduri yang dialiri listrik, andaikan pun kau sanggup memanjat ke atas kau harus berjuang dengan sengatan listrik, belum lagi batu terjal dan padas di pinggir lautan belum lagi perjuanganmu menyeberangi lautan yang tiada bertepi. Kau akan mati dengan sia-sia juga" Ucap Heru mengasah sebilah sangkurnya dengan bebatuan gua, ia menyembunyikan banyak senjata di balik jubah compang-campingnya.
Kirana bergidik memandang ketajaman sangkur itu, "Kau harus terbiasa Nona Muda bila ingin selamat di sini. Biasakan dirimu melihat darah dan memegang senajata bila perlu belajarlah untuk mempertahankan nyawamu." Ucap Heru melirik keryitan gamang dan takut di wajah dan tubuh Kirana.
Ia memahami hal ini bagi wanita yang baru mendarat ke Pulau Kematian. Kebanyakan mereka akan lari terbirit-birit.
"Bagaimana mereka yang di bawah sini mendapatkan banyak senjata juga?" tanya Kabir heran, "Tidak mungkin Alberto akan memberikannya cuma-cuma" batinnya bertanya.
"Mereka mendapatkannya saat mereka menyergap beberapa tentara buatan Alberto Kuro, percayalah! Ada waktunya yang tidak ditentukan ia akan mengirim pasukannya untuk pembersihan atau mungkin sebagai lawan yang sengaja ia turunkan untuk diadu dengan kita, bagi mereka yang kuat mereka berhasil melumpuhkan dan mendapat senjata." Ucap Heru.
Di udara kembali helikopter meraung-raung membelah pagi, Mereka merasa bagaikan rusa yang sedang diburu.
Suara helikopter berderu di atas gua mereka, "Sembunyikan Mona dan Hendro cepat!" ucap Heru. Ia beranjak membopong tubuh Mona dan menyembunyikannya di sela bebatuan yang gelap dan agak dalam.
Kabir dan Kirana menggotong tubuh Hendro menyembunyikan di tempat lain. Mereka bersembunyi, benar saja tiga tentara berbaju loreng hitam lengkap dengan senjata memasuki gua. Mereka memeriksa keadaan gua, bekas darah dan bara api.
Salah satunya menggunakan bahasa isyarat menyuruh kedua temannya agar maju berlahan ke depan. Heru sudah mengeluarkan sangkurnya dari balik jubah compang-campingnya begitu juga Kabir mereka semangkin waspada akan banyak kemungkinan.
Kedua tentara bayaran itu pun berjalan semangkin mendekati tempat Kirana bersembunyi, tubuh Kirana bergetar. Ia sudah mengingat banyak hal film Jacky Chan yang pernah ia tonton bagaimana cara melumpuhkan lawan.
"Aku harus berani! Aku ingin bertemu Nani" batinnya menyemangati dirinya sendiri.
Saat salah satu mulai menusukkan moncong senjatanya ke arah Kirana dengan cekatan ia menarik senjatanya hingga keduanya saling adu tarik-menarik.
"Hiaat!" Suara teriakan Kabir melompat dari persembunyiannya menusukkan sangkurnya tepat ke batang leher teman si tentara bayaran yang ingin menembak Kirana, Heru secepat kilat melemparkan sangkur miliknya kepada komandan mereka hingga terkapar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Naya Kunaya
syereum
2021-11-12
1
Your name
Sampai sini Thor besok lanjut lagi
2021-10-28
3
Hiat
lanjutttt
2021-10-11
1