"Kakak..." lirih Allesya setelah menyadari kehadiran sesosok pria tampan yang sedang melangkah memasuki perkarangan rumahnya seraya melempar senyuman manis nan hangat kepadanya.
"Kenapa kau malah diam? Apa kau tidak ingin memelukku, adik kecilku?" seloroh pria tersebut seraya merentangkan kedua tangannya.
Senyuman Allesya mengembang sempurna hingga akhirnya ia berlari kecil berhamburan ke pelukan sang Kakak, yang tak lain dan tak bukan adalah Arthur.
"Kak, aku sangat merindukanmu," ujar Allesya, menumpahkan segala rasa kerinduan di dalam dada bidang Arthur.
"Aku juga sangat merindukanmu sayang," balas Arthur lalu menghadiahi sebuah kecupan pada pucuk kepala Allesya.
Mengingat akan sesuatu hal, Allesya merenggang pelukannya. "Tapi Kak, apa tidak apa kau datang ke sini?" raut muka Allesya berubah cemas.
"Tenang saja, Mama tidak tahu aku datang menemuimu kali ini. Apa Nenek ada di dalam?" tanya Arthur yang tampak beberapa kali menyusuri pandangannya ke arah bangunan rumah di depannya, mencari keberadaan Fanne.
"Nenek ada di dalam Kak, dia pasti sangat senang melihatmu, ayo masuk dulu," Allesya menggamit tangan kekar Arthur lalu membawanya ke dalam rumah.
"Nek.. Nenek...!" suara lengkingan Allesya menyapu langit-langit ruangan.
"Iya.. Iya.. sebentar," sahut Fanne yang juga berteriak. "Ini masih pagi, kenapa kau berteriak-teriak? Bukankah kau tadi sudah berpamitan akan berangkat kerja?" celoteh Fanne seraya melepas apron dari tubuhnya tanpa melihat ke arah Allesya.
"Nenek, apa kabarmu?" suara bariton Arthur sontak membuat wanita berusia senja tersebut menoleh dengan cepat ke arah sumber suara.
"Arthur cucuku, kenapa kau datang kemari Nak, bagaimana kalau Inggrid sampai tahu? Dan sejak kapan kau kembali ke London? Apa kuliahmu sudah selesai?" bukannya menyambut Arthur dengan pelukan, Fanne malah terlihat cemas dan menghadiahinya setumpuk pertanyaan.
Arthur memeluk tubuh renta Fanne sebelum akhirnya menjawab semua pertanyaan tanpa ada yang terlewat. "Tenang saja Nek, kali ini Mama tidak tahu kalau aku mengunjungi kalian. Dan aku baru dua hari ini berada di London. Kuliahku sudah selesai Nek, dan aku akan segera mencari pekerjaan agar tidak terlalu lama menjadi pengangguran."
Fanne tersenyum hangat lalu menyapu pipi Arthur penuh akan kasih sayang. "Jalani hidup dengan baik ya."
"Tentu saja Nek, dan aku akan mencari banyak uang dengan keringatku sendiri lalu membawa kalian tinggal bersamaku," ucap Arthur. Sejenak ia memandangi Allesya dengan guratan muka penuh akan makna.
"Tidak sayang, jangan lakukan itu. Inggrid bisa marah dan akan kembali berbuat nekat. Tetaplah hidup seperti ini seolah kami tidak ada. Kami tidak ingin merusak kebahagiaan kalian," tutur Fanne yang sebenarnya tidak habis pikir dengan sikap Inggrid yang terang-terang tidak ingin mengakuinya sebagai Ibu di depan suami barunya.
"Iya Kak, bukankah Ibu selama ini merahasiakan keberadaan kami dari suami barunya? Aku dan Nenek benar-benar tidak ingin merusak kebahagiaan kalian," timpal Allesya. Jujur dia harus menelan kegetiran ketika mengatakan tentang perihal Inggrid yang seolah tak ingin mengakui keberadaanya.
"Tapi sayangnya selama ini aku tidak bahagia," lirih Arthur tertunduk.
Fanne kembali mengulas senyuman hangat penuh kasih. "Nenek yakin, suatu saat kedua cucuku yang tampan dan cantik ini akan menggenggam sebongkah kebahagiaan kelak."
Arthur dan Allesya serentak memeluk tubuh Fanne. Bagi mereka setiap perkataan sederhana Fanne adalah sebuah kalimat ajaib yang bisa meluruhkan kegundahan.
"Astaga... Aku lupa kalau aku harus bekerja," seru Allesya seraya melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Nek, Kak. Aku berangkat kerja dulu ya," pamit Allesya yang hendak pergi.
"Al, biar aku antar ya," tawar Arthur namun langsung ditolak Allesya.
"Tidak Kak, aku bisa berangkat sendiri. Kakak sebaiknya gunakan waktumu untuk ngobrol bersama Nenek, kalian pasti sangat saling merindu bukan," tutur Allesya lalu melanjutkan langkahnya.
"Al, tunggu sebentar," lagi-lagi langkah Allessya tersendat karena panggilan Arthur.
"Iya Kak, ada apa lagi?" tanya Allesya, melihat Arthur berjalan mendekatinya.
"Berhati-hatilah, jangan berlarian," tutur Arthur sebagai bentuk kepeduliannya lalu mencium dalam pucuk kepala Allesya, sang Adik.
"Siap komandan!" seru Allesya seraya memberi gerakan hormat ala-ala prajurit militer yang hendak berperang membasmi kuman-kuman jahat yang meresahkan masyarakat.
Arthur mendengus geli bercampur gemas karena tingkah Allesya. "Gadis pintar."
°°°
"Selamat pagi Paman Hugo..," sapa Allesya yang baru saja melewati gerbang besar kediaman keluarga Willson.
"Selamat pagi Nona Allesya," jawab ramah Hugo, si Security.
"Allesya, tolong panggil aku Allesya saja Paman, tanpa embel-embel Nona," pinta gadis beriris hazel tersebut yang langsung mendapat anggukan kepala Hugo sebagai jawaban.
Selang tidak lama, sebuah mobil datang dari arah depan hendak melewati gerbang. Suara lumba-lumba Allesya kembali menyeruak ketika mengetahui siapa sosok di balik setir.
"Kak Sean..! Kak Sean..! Berhenti dulu! Kak?!" Sean mendadak sontak menghentikan laju mobilnya ketika Allesya menghadang mobil yang ia kendarai dengan tubuhnya seraya membentang kedua tangannya.
TIN! TIN!
Dengan mimik muka jengah Sean menekan klakson mobil agar Allesya menyingkir dari hadapannya, namun gadis itu tak mengindahkannya. Hingga akhirnya pria tampan yang sedang memburu waktu karena hendak menghadiri rapat tersebut memilih membuka kaca jendela mobil.
Srett...!
Muka tampan itu terlihat menyembul dari dalam jendela kaca mobil.
"Menyingkirlah! Kau menghalangi jalanku Allesya..!" titah Sean setengah kesal bercampur gemas.
Gemas pada Allesya yang selalu bertindak sesuka hati dan juga gemas pada dirinya sendiri karena sekesal-kesalnya ia terhadap Allesya, dia tidak akan bisa berbuat kasar melebihi porsinya. Apalagi terhadap wanita.
Allesya tersenyum ceria, kemudian mendekati jendela kaca mobil yang terbuka. "Aku hanya ingin memberi bekal sarapan untukmu. Tolong dimakan sampai habis ya," pinta Allesya seraya menyodorkan tas bewarna merah jambu beraksen pita yang berisi makanan.
"Lagi-lagi kau ingin meracuniku dengan makananmu," ketus Sean yang masih enggan menerima kotak bekal dari Allesya.
"Aku yakin kali ini rasanya jauh lebih baik karena aku sudah mencicipinya," sanggah Allesya sambil menyematkan senyuman manis yang tak akan pernah luntur jika berada di hadapan pria tampan beriris biru tersebut.
"Kau yakin?" Sean tampak ragu.
Allesya mengangguk cepat. "Aku yakin 1000 persen yakin," jawab Allesya penuh percaya diri lalu meletakkan bekal sarapan tersebut di atas pangkuan Sean begitu saja.
"Terus apa lagi?" tanya Sean heran karena Allesya tak kunjung pergi. Gadis itu malah mendaratkan dagunya pada bingkai jendela mobil seraya bertumpu dengan kedua tangannya yang ditekuk.
"Aku minta imbalan."
"Aku tidak akan berkencan denganmu."
"Kalau begitu tersenyumlah."
"Tidak akan."
"Ayolah Kak, apa susahnya tersenyum untukku?" rengek Allesya, masih dalam posisi tubuh yang sama.
"Tidak akan," tolak Sean kemudian menekan tombol jendela mobil agar tertutup. Berharap caranya itu berhasil membuat Allesya jera.
Namun bukan Allesya namanya jika ia harus menyerah begitu saja. Dia bahkan tidak beranjak dari posisi lamanya meski kepalanya terancam terjepit jendela mobil. Hal itu tentu sukses membuat Sean menghentikan niatnya untuk menutup jendela mobil yang sudah naik setengah.
"Allesya....! Singkirkan kepalamu dari sana. Apa kau sudah tidak menyayangi kepalamu?" sentak Sean.
"Hmmm, pokoknya beri aku satu senyumanmu," rengek Allesya setengah memaksa.
Sean mendesah kasar, membuang napasnya ke udara sebelum akhirnya ia menyerah akan kegigihan Allesya yang tak pernah surut.
Blush...
Kedua pipi Allesya seketika merona kemerahan karena seulas senyuman penuh pesona terbit dari muka tampan Sean. "Aiiihhh! Senyumanmu seperti angin surga, sungguh menyejukkan jiwa," ucap Allesya penuh damba, meski terkesan seperti gombalan receh.
"Sudah puas? Sekarang singkirkan kepalamu," titah Sean setelah menuruti permintaan Allesya sebagai bentuk imbalan.
Allesya tersenyum puas lalu berniat beranjak dari posisinya yang sebenarnya sudah memberikan rasa pegal pada punggungnya.
"Hati-hati di jalan Kakak tampan...," Allesya melambai-lambaikan tanganya seraya menatap mobil Sean yang kian menghilang di telan jalanan.
❣
❣
❣
Bersambung~~
...Ayo biasakan tinggalkan jejak like dan comment pada setiap bab setelah membacanya ya para readers. Biar ini cerita nggak sepi kayak kuburan🤣 Sumbangkan vote dan gift juga kalau berkenan🤭...
...Intinya, dukungan para Readers adalah penyemangat berharga bagiku untuk terus menulis🥰...
...Terima kasih.. Lop Lop you superrr...
...💜💙💚💛🧡❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Anita Kumala Sari
jgn bilang sodara sebapak...
perang dunia nih...
2022-12-01
0
Arin
ya ampun bnran kn dia kkak adik,gmn nich klo Sean tau...yg psti nanti tambah benci
2022-09-06
0
💮Aroe🌸
merinding bayanginya😆
2022-05-23
0