Suara deru mobil terdengar memenuhi lingkungan mansion mewah keluarga Willson. Derap langkah kaki jenjang menghempas kesunyian hari yang menjelang petang.
Masih dalam mode cepat, si Pria Blonde yang tak lain adalah Sean bergegas melewati pintu besar yang kebetulan sudah terbuka. Langkahnya seketika terhenti ketika mendapati keberadaan pria tengah baya tengah duduk di sofa ruang tamu dengan mimik muka tak terbaca.
Dari raut mukanya sangat jelas sekali bahwa Sean sangat tidak suka akan keberadaan sosok pria yang memiliki pahatan garis muka yang mirip dengannya saat ini.
"Buat apa kau datang kemari?" nada bicara Sean terdengar sangat dingin.
"Apakah begitu caramu berbicara dengan Ayahmu sendiri?" jawab pria paruh baya yang bernama Erick.
Sean tersenyum getir. "Ayah katamu?" Sean seolah mengoreksi perkataan Erick yang terdengar salah baginya.
PRANK...!
Suara gaduh yang berasal dari lantai dua seolah sebagai pengingat apa tujuan awal Sean segera pulang yang sempat terlupakan. Sejurus kemudian, pria blonde itu gegas menuju sumber keributan meninggalkan Erick yang tampak membatu di tempat. Ia sadar diri, bahwa dialah penyebab utama keributan saat ini.
PRANK...!
"Jangan! Jangan pergi bersama wanita itu! Aarrggg! Kenapa kau tega menghianatiku?!"
"Sarah! berhentilah, kau bisa melukai dirimu sendiri Nak."
Dari dalam kamar terdengar Henry berusaha membujuk putrinya agar berhenti menghancurkan barang-barang yang ada. Namun usahanya tampak sia-sia. Wanita itu justru semakin menggila.
Seorang perawat yang memang khusus ditugaskan untuk menjaga dan merawat Sarah juga tampak kewalahan menghadapi amukan pasiennya tersebut.
"Ma! Tolong hentikan?!" teriak Sean yang baru saja menjejakkan kakinya di dalam kamar.
"Sean akhirnya kau datang. Cepat bujuk Sarah agar dia kembali tenang," pinta Henry. Setidaknya keberadaan Sean bisa membuatnya sedikit lega.
Dengan hati-hati Sean mencoba mendekati dan menghentikan Sarah namun ia tampak kesulitan karena sang Ibu masih terus mengamuk disertai tangis histerisnya.
"Aarrggg! Aku memang istri tidak berguna! Aku tidak berguna!" Sarah masih terus menjerit histeris.
"Ma! Sean mohon berhentilah bersikap seperti ini," Sean berusaha memeluk tubuh Ibunya yang masih berdiri di salah satu sudut kamar berharap tindakannya bisa menenangkan hati wanita yang telah melahirkannya tersebut.
Akan tetapi, sepertinya goncangan mental yang sedang merundung jiwa Sarah kali ini dirasakan lebih besar dari biasanya sehingga membuat Sean sedikit kesulitan untuk menenangkan.
Tatapan Sarah semakin menyalang. Dadanya naik turun tak beraturan akibat gejolak rasa yang merajai hatinya. Penampilannya begitu berantakan, membuat Sean yang begitu menyayangi Ibunya itu sangat tidak tega melihatnya.
"Pergi! Aku tidak ingin kau berada disini! Pergi!" pekik Sarah lalu mendorong tubuh Sean hingga tersentak ke belakang dengan cukup keras.
Sarah meraih vas bunga yang terletak tidak jauh dari ia berdiri dan melemparkannya ke sembarang arah.
PRANK...!
"Sean! Kau berdarah Nak!" pekik Henry yang panik seketika di kala menyaksikan sendiri vas bunga yang dilempar Sarah mendarat tepat di kepala cucu kesayangannya.
Sedangkan Sean, alih-alih mengadu kesakitan, ia hanya menyentuh bagian kepalanya yang terluka. Mengusap cairan hangat bewarna merah yang sudah mengalir menghiasi muka tampannya.
Sean kembali memangkas jarak antara dia dan Sarah. Muka itu, sungguh terlihat bahwa saat ini dia sedang merasakan sakit. Bukan sakit karena luka di kepalanya melainkan sakit di hatinya.
Ia menatap sendu sang Ibu yang masih dikuasai hantaman emosi jiwa yang tak terkendali. Gejolakan hebat akibat gangguan kesehatan mental yang sudah Ibunya alami selama kurang lebih 10 tahun lamanya. Tepatnya di saat sang Ibu mengetahui sang suami menghianatinya dan menceraikannya demi wanita lain.
"Ma, tak bisakah kau melihatku sekali saja," Lirih Sean tertunduk dalam. Getaran suaranya terdengar seolah sedang menahan beban di hatinya.
"Aku yang selalu ada di saat kau terpukul, bukan lelaki bajingan itu tapi kenapa Mama tak pernah melihatku? Kenapa hanya dia yang kau pikirkan? Padahal aku juga butuh perhatianmu," perlahan Sean mengangkat mukanya, menatap nanar sang Ibu.
"Ma, apa kau tidak bisa sedikit saja berusaha tegar dan kuat demi aku, demi putramu Ma, aku juga ingin diakui. Kau..," kalimat Sean tercekat karena berusaha menahan sesuatu yang seolah ingin mencuat saat itu juga.
"Kau bahkan tidak peduli meski aku bersedih dan terluka. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Apakah keberadaanku tidak bisa mengembalikan duniamu yang hancur? Aku putramu Ma, aku juga butuh kasih sayangmu yang telah lama tak kau berikan untukku," lolos sudah cairan bening yang sempat terbendung.
Sekeras-kerasnya hati seorang pria dia tetaplah makhluk bernyawa yang dikarunia hati dan perasaan oleh Tuhan. Dia bisa merasakan kesedihan dan juga terluka ketika melihat orang yang dikasihinya menderita dan hancur.
Sementara Henry yang menyaksikan adegan antara ibu dan anak itu turut berderai air mata. Sungguh pemandangam saat ini begitu menyayat hati. Ia sangat mengerti bagaimana selama ini cucu kesayangannya itu menjalani hari-harinya bersama seorang ibu yang terkena tekanan mental berkepanjangan.
"Hiks! Hiks! Aku tidak ingin kau berada disini. Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu! Pergi! Arrgg!" Sarah kembali meraung dan menangis seolah semua perkataan putranya sama sekali tak berarti.
Wanita paruh baya itu memukul-mukul dada Sean dengan keras seolah sudah tidak peduli bahwa tindakannya tersebut bisa melukai hati sang Putra.
"Cukup Ma!" bentak Sean seraya mencekram kedua tangan Ibunya untuk menghentikan aksinya. Suara Sean yang meninggi sukses membuat Sarah terkesiap dan membatu.
"Sudah cukup Mama bersikap seperti ini. Kau bisa bahagia tanpa pria bajingan itu karena ada aku disini yang akan selalu menemanimu. Aku lebih bisa membuatmu bahagia dari pada dia! Aku mohon percayalah kepaku Ma, lihatlah aku sekali saja. Duniamu tidak akan hancur hanya karena dia yang menyakitimu," tandas Sean penuh penakanan. Ia menatap lekat netra sang Ibu yang masih basah. Mencoba meyakinkannya.
Sepertinya ucapan Sean kali ini mulai memperlihatkan hasil. Mimik muka keras yang sedari tadi ditunjukkan Sarah kian melunak.
"Putraku.., maafkan Mamamu yang tak berguna ini," Sarah berkata lirih. "Aku memang tidak berguna," suaranya semakin tak terdengar hingga akhirnya pingsan di dalam pelukan sang Putra.
°°°
Setelah Sarah diberi obat penenang, Sean berjalan menapaki undakan tangga yang membawanya ke lantai satu. Dengan amarah yang masih tertahan, Ia mendatangi Erick yang memang masih belum pergi dari rumahnya sedari tadi.
Erick tampak terkejut ketika melihat Sean datang dengan muka berlumuran darah.
"Nak apa yang telah terjadi kepadamu?" Erick tidak dapat mengelak kekhawatirannya. Bagaimanapun juga dia masih sangat menyayangi Sean.
"Bukankah aku sudah mengatakannya berulang kali, jangan menemuinya. Kehadiranmu justru semakin menambah tekanan mentalnya. Kau sudah melihatnya sendiri bukan? Jadi aku harap berhentilah mengusik kehidupan kami," ucap Sean begitu dingin dan penuh penekanan. Ia bahkan tidak menghiraukan ungkapan wujud kekhawatiran Erick untuknya.
"Tapi Nak, Ayah menemuinya karena ingin meminta maaf. Sungguh tidak ada niat untuk mengusik kehidupan kalian," sanggah Erick. Sungguh dia memang sangat menyesali akan perbuatannya di masa lalu.
"Apakah dengan kata maaf bisa mengembalikan semua seperti semula?"
"Tapi putraku,"
"Jangan panggil aku putramu!" Sean memangkas kalimat Erick dengan nada suara satu tingkat lebih tinggi.
"Sean, tenangkan dirimu, berbicaralah yang sopan. Bagaimanpun juga dia adalah Ayahmu," Henry yang memang juga berada di sana mencoba menenangkan cucunya.
"Tidak! Kami sudah tidak ada hubungan darah," kalimat Sean sukses membuat hati Erick tersayat.
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu Nak? Kau tetaplah putraku, tidak ada yang bisa memutuskan hubungan darah antara orangtua dan anak," Erick mencoba melunakkan hati putranya yang keras.
"Siapa bilang memutuskan hubungan darah itu tidak bisa dilakukan? Kau melakukannya. Kau sendiri yang memutuskan hubungan darah itu. Kau membuang aku dan ibu demi wanita jalang yang baru kau kenal. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanku ketika teman-temanku datang bersama Ayahnya di hari peringatan Ayah di sekolah sedangkan aku memilih bolos sekolah karena waktu itu kau lebih memilih menghabiskan waktumu bersama keluarga barumu. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya ketika melihat teman-temanku didampingi oleh kedua orangtuanya di saat wisuda lulusan sekolah sedangkan aku lebih memilih tidak menghadiri acara lulusan karena ayahku pergi berlibur ke luar negeri bersama keluarga barunya dan aku juga tidak mungkin datang bersama ibuku yang tengah sakit akibat depresi berat. Kau tidak akan pernah tahu karena kau memang tidak pernah peduli akan hal itu!" meluap sudah segala rasa tumpang tindih yang terpendam di dalam hati Sean selama ini. Semua untaian kata yang terucap menggambarkan segala rasa sakit dan kecewanya terhadap pria yang berstatus Ayahnya tersebut.
Erick membisu, semua perkataan Sean benar-benar menalaknya secara brutal. Tidak ada satu katapun yang dapat ia gunakan sebagai tameng pembelaan karena memang dasarnya dia berada dipihak yang salah. Bukan pihak tersakiti melainkan pihak yang menyakiti.
"Maaf," hanya itu yang mampu diucapkan Erick saat ini.
❣
❣
❣
Bersambung~~
...Terima kasih sudah berkenan mampir pada tulisan receh Nofi ini. Mohon dukungannya dengan cara meninggalkan jejak like dan comment ya. Kalau ada rejeki lebih bolehlah sumbangkan gift dan vote mingguannya sebagai apresiasi karya Nofi. Dukungan kalian merupakan penyemangat behargaku. *I love you***😘**...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Nur Evida
sedih banget 😢
2022-11-07
0
Arin
ech pak emng dngn minta maav bisa sperti dulu lagi....enak bner loh mnta maav trs maunya di maavin gtu huh dasar
2022-09-06
0
💮Aroe🌸
yah, menyesal adanya di belakang, Eric😏
2022-05-12
0