Bagaikan rekaman video yang sedang berputar, bayangan akan ingatan peristiwa di saat Henry pertama kali bertemu dengan Allesya kembali terulang.
Brukkk!
Ahhkk!
Seorang pria berusia senja mau tidak mau harus menerima rasa sakit pada tubuhnya karena terjerembab di dalam perjalanannya menuju parkiran mobil. Hal itu bukan semerta-merta karena kecerobohannya sendiri, melainkan akibat ulah sembrono seorang pemuda asing yang berlari tanpa berhati-hati dan menabraknya dengan begitu keras.
"Astaga...! Kakek tidak apa-apa?" pekik seorang gadis yang kebetulan sedang lewat dan melihat kejadian. Dengan cekatan ia membantu Henry bangun dari tanah.
"Hei kau berhenti..!" teriak gadis itu agar si Pelaku berhenti. Akan tetapi, alih-alih berhenti, tubuh pemuda itu justru semakin terlihat mengecil dan menghilang dari pandangannya.
Gadis itu, Allesya, tampak menggeleng seraya membuang napas dengan kasar karena menyadari pemuda tersebut tidak ada etikad baik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Aduuh...! Pinggangku..., rasanya seperti mau rontok," rintih Henry yang merasa kesakitan akibat benturan keras dengan tanah seraya memegang pinggangnya yang bernasib malang.
"Kakek coba duduk dulu," Allesya menuntun Henry menuju bangku yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berpijak. Ia menyapu butiran salju yang menutupi alas bangku sebelum mempersilahkan pria tua tersebut duduk.
"Bagian mana yang sakit Kek? Apa di sebelah sini?" tanya Allesya seraya menunjuk bagian yang diyakini sebagai sumber penderitaan Henry saat ini.
"Iya, bagian situ sakit sekali," sambil meringis ia membenarkan seraya mengangguk cepat.
Allesya gegas mengobrak-abrik isi tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Permisi ya Kek," tanpa sungkan dan berpikiran yang aneh-aneh, Allesya sedikit menyibak mantel dan baju yang dikenakan Henry.
"Nak, apa yang akan kau lakukan?" tanya Henry yang tampak terkesiap karena tindakan Allesya yang tiba-tiba tanpa meminta persetujuan darinya terlebih dahulu.
"Aku akan mengobatimu Kek, semoga ini bisa mengurangi rasa sakit di punggungmu," jawabnya lalu mengoles cream pereda nyeri yang seketika memberi sensasi hangat pada punggung pria tua tersebut. Kemudian ia memberi pijatan ringan bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri.
"Bagaimana Kek? Apa masih sakit?" tanya Allesya yang masih telaten memijit punggung Henry.
"Rasanya sungguh nyaman, sepertinya rasa sakitku berangsur-angsur berkurang," jawab Henry dengan seutas senyum penuh kelegaan.
"Syukurlah Kek. Lain kali Kakek lebih berhati-hati ya. Kalau begitu aku permisi dulu ya Kek," pamit Allesya yang langsung berdiri.
"Tunggu dulu," cegah Henry agar gadis yang menolongnya tidak pergi.
"Iya Kek, ada apa? Apa masih sakit?" tanya Allesya sebagai wujud perhatiannya. Sungguh sikap Allesya sukses membuat hati si Pria Tua kian menghangat saat ini.
"Ini untukmu," Allesya terperangah ketika Henry menyodor beberapa lembar uang poundsterling yang diyakini jumlahnya tidaklah sedikit.
"Kek, ini untuk apa?"
"Ini sebagai imbalan karena kau telah menolongku,"
Allesya tampak berpikir. Terus terang ia tidak ingin menolak uang itu begitu saja.
"Benarkah ini untukku Kek? Tapi ini terlalu banyak dan berlebihan," Allesya tampak ragu.
"Jumlah uang ini tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan untukku barusan Nak," Henry berusaha meyakinkan gadis di depannya agar bersedia menerima pemberiannya.
"Hmm..., baiklah Kek, aku terima pemberianmu. Tapi Kakek tolong tunggu sebentar disini ya, jangan kemana-mana sampai aku kembali," pinta Allesya yang tentu dituruti Henry.
Masih di dalam jangkauan pandangan Henry. Allesya tampak memasuki sebuah toko baju yang memang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Dan selang tidak lama ia keluar dengan menenteng sebuah paper bag di tangannya.
Pria tua itu masih terus memperhatikan gerak gerik Allesya yang tampak mendekati seorang pria tua yang diyakini penyandang tunawisma. Pria tua yang terlihat sangat menyedihkan itu sedang duduk meringkuk seperti menahan hawa dingin di pelataran toko baju.
Rasa kagum langsung menyelimuti hati Henry di kala melihat Allesya mengeluarkan mantel musim dingin dari paper bag dan memakaikannya kepada penyandang tunawisma tersebut.
Rasa kagum kian menggunung ketika si Gadis memberikan sebagian uang miliknya kepada penyandang tunawisma tersebut.
Dari kejauhan, si Penyandang Tunawisma terlihat sangat senang dan bahagia. Ia bahkan terlihat berurai air mata.
"Kakek aku membelikan ini untukmu," Allesya melilitkan syal yang baru ia beli pada leher Henry.
"Dan ini sisa uang yang kau berikan kepadaku tadi," Allesya mengulurkan tangannya, mengembalikan sisa uang yang sudah ia belanjakan sebagian.
Dengan cepat Henry mendorong tangan Allesya yang terulur. "Sudah ku bilang itu untukmu, jangan kau kembalikan lagi," tolak Henry.
"Tapi Kek aku sudah menerima sebagian uang pemberianmu sesuai yang aku butuhkan jadi sisanya aku kembalikan," gadis itu masih keukeuh dengan pendiriannya.
"Ambillah semua."
"Tidak Kek, terima kasih. Tapi aku tidak bisa menerima semuanya."
Dari sorot matanya, Henry bisa membaca bahwa gadis di depannya itu memang sedang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia sudah bisa memastikan akan ada adegan saling menolak uang sampai hari berganti esok jika tidak ada yang mengalah.
"Baiklah kalau kau memang bersikeras menolak sisa uang ini," Henry akhirnya menyerah.
"Terus kenapa kau membelikan aku syal ini?" sambung si Pria Tua kembali.
"Itu sebagai ucapan terimakasihku karena Kakek sudah membantuku untuk mewujudkan keinginanku dengan uang pemberianmu," Henry langsung bisa menangkap maksud dari perkataan Allesya. Dengan uang itu, Allesya bisa membelikan mantel musim dingin untuk penyandang tunawisma yang memang sedang tampak kedinginan. Itulah keinginan Allesya saat itu.
Henry tiba-tiba terkekeh geli. "Jadi kau menghadiahiku syal dari uang yang ku beri?"
Allesya mengangguk cepat dengan mimik muka yang begitu tampak lugu. "Hehehe, iya Kek karena terus terang aku memang tidak mempunyai uang lebih karena belum gajian," gadis itu tampak tersipu malu.
"Kau sungguh gadis yang manis. Hmm, apa kau mau berteman denganku?" Henry mencoba menawarkan sebuah jalinan yang lebih dekat.
"Tentu saja," Allesya menjawab dengan cepat tanpa ada keraguan sedikitpun.
"Tapi apa kau tidak malu berteman dengan pria tua sepertiku? Aku sudah keriput dan peyot," Henry mencoba memancing kembali respon Allesya.
"Kenapa aku harus malu berteman dengan Kakek tampan."
"Tampan? Aku? Benarkah?" Henry mencoba mengoreksi. Sebenarnya jika benar yang dimaksud tampan itu adalah dia, sungguh dia akan sangat senang dan langsung melambung tinggi membawa eksistensi kenarsisannya ke langit ke 7.
Ternyata dari sini bisa terlihat, bahwa kenarsisan Sean diwarisi dari Kakeknya, Henry.
Lagi-lagi Allesya mengangguk cepat. "Iya, setelah aku perhatikan Kakek masih sangat tampan meski usia sudah di lanjut usia. Aku yakin dulu Kakek seorang idola para wanita," Henry sontak tergelak mendengar ucapan polos Allesya.
"Kau memang benar, aku dulu memang sangat tampan. Bahkan ketampananku menurun ke cucu lelakiku. Aku yakin kau akan langsung jatuh cinta jika berjumpa dengan cucuku," Henry langsung membenarkan meski terkesan narsis.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan meja yang menyeruak ke dalam indera pendengaran Henry sontak menarik paksa ingatannya dari lamunannya. Tepatnya melamun sambil memakan bekal sarapan dari Allesya.
"Kek, kenapa kau malah menghabiskan bekal sarapanku?" tanya Sean dalam mode heran.
"Kenapa kau terlihat tidak ihklas jika aku memakannya. Bukankah kau tidak menginginkannya? Atau jangan-jangan kau menyesal tidak memakannya," Henry mencoba membuat kalimat pancingan. Berharap dia mendapatkan jawaban yang dia harapkan.
"Mana mungkin aku menyesal. Aku hanya tidak ingin Kakek sakit perut karena memakan makanan yang tidak terjamin kebersihannya," kilah Sean yang ternyata memberi jawaban tak sesuai harapan Henry.
"Aku akan ada meeting sebentar lagi," sambung Sean. Sekilas ia melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya. Dia tidak ada niat mengusir Kakeknya, memang benar hari ini dia ada jadwal meeting.
"Dasar cucu kurang ajar, kau berniat mengusirku ternyata," cerca Henry lalu beranjak dari duduknya berniat meninggalkan cucu kesayanganya.
"Kek, berhati-hatilah saat pulang. Jangan lupa makan dan minum obat," langkah Henry yang sudah berada di ambang pintu seketika tertahan lalu merotasikan lehernya ke arah Sean dan melempar senyuman hangat sebagai wujud respon senangnya.
Itulah Sean, meski ia sering kali menggelar perdebatan dengan sang Kakek namun perhatian dan kepeduliannya masih selalu ia torehkan sebagai wujud kasih sayangnya.
❣
❣
❣
Bersambung~~
...Terima kasih sudah berkenan mampir pada tulisan receh Nofi ini. Mohon dukungannya dengan cara meninggalkan jejak like dan comment ya. Kalau ada rejeki lebih bolehlah sumbangkan gift dan vote mingguannya sebagai apresiasi karya Nofi. Dukungan kalian merupakan penyemangat behargaku. I love you😘...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
💮Aroe🌸
ceritanya menarik😁 tapi kenapa dengan novel sebelumnya?🤔
2022-05-11
0
Laskar Pelangi
bucin entar
2021-11-15
1
bang sat
ingat Sean penyesalan ada diakhir
jangan sampai menyesal
2021-09-24
1