Di dalam sebuah kamar berukuran luas bernuasa maskulin nan mewah. Sean tampak berkali-kali mendesah kasar guna menghempas ingatan terkutuk yang masih terngiang-ngiang di dalam otaknya.
Akan tetapi salah satu organ yang bersarang di dalam tempurung kepalanya seolah enggan menuruti keinginan. Semakin keras ia berusaha melenyapkan bayangan eksotis itu semakin gencar pula otaknya mengumpulkan kembali kepingan-kepingan rekaman yang tertangkap oleh lensa birunya beberapa saat yang lalu.
"Apa gadis bar-bar itu sengaja menggodaku? Bukankah ada handuk di dalam kamar mandi, tapi kenapa dia keluar dengan tubuh polos seperti itu jika memang berniat mengambil baju yang tertinggal di luar?" tuduh Sean sekenanya, mencoba memutar balikkan fakta seolah tidak ingin disalahkan.
Padahal dia sendirilah yang berinisiatif melanjutkan aksi intip mengintipnya, tidak ada yang meminta ataupun memaksanya. Dia bergerak secara alamiah karena terdorong oleh rasa penasarannya.
Sean menggeram ketika merasakan ngilu pada belalainya yang masih mengeras seakan menuntutnya untuk segera dituntaskan.
"Ayolah, tidak seperti biasanya kau seperti ini adik kecil. Kenapa kau memberontak?" seperti orang yang kehilangan tingkat kewarasannya, Sean menunduk ke bawah dan mulai berinteraksi dengan belalainya yang tampak menonjol seolah ingin mendobrak kain celana yang membungkusnya.
"Calm down baby.., jangan berlebihan oke, dia hanyalah gadis kecil yang bahkan umurnya belum menginjak usia dewasa. Percayalah dia tidak masuk daftar standar kecintaanmu. Lagian tidak ada yang menarik dari tubuhnya yang kurus kering kerontang itu, sama sekali tidak ada yang spesial...," Sean menjeda monolog yang terkesan menampik segala pikiran di otaknya, namun nyatanya usahanya tersebut berakhir sia-sia.
"Miliknya...," ucapan Sean lagi-lagi terjeda. Dari raut mukanya terlihat jelas bahwa saat ini dia sedang mati-matian mengelak pikiran yang sudah mulai ke ranah kotor.
"Miliknya begitu sintal, dua bukit kembar..., bukan! Bukan bukit tapi gunung. Iya, seperti gunung Everest yang menjulang tinggi dan menantang itulah perumpamaan yang cocok untuk benda miliknya," Sean mengangkat tangannya, memperagakan sebuah gerakan *******-***** benda sintal dan kenyal.
"Kulitnya..., begitu putih dan mulus," pria itu lanjut bermonolog dengan pikiran kotor yang terus menerawang. Tampaknya ia sudah tidak mampu membohongi dirinya sendiri.
"Ergggg! Rasa ini sungguh membuatku tidak nyaman. Tubuhku terasa panas dan kepalaku sampai pusing. Sebaiknya aku harus mengguyur tubuhku dengan air dingin," Sean yang semakin frustasi akan sensasi gairah yang mendesak minta di salurkan gegas masuk ke dalam kamar mandi.
Dengan tubuh yang sudah tak terbungkus kain, ia berdiri di bawah siraman shower. Membiarkan sensasi dinginnya air menembus setiap pori-pori kulit tubuh proposionalnya.
Ia menuduk kebawah, menyadari bahwa belalainya seolah tak gentar akan air dingin yang menerjang. Benda itu..., masih saja berdiri tegak, kokoh dan justru kian mengeras.
"Aneh sekali, apa aku tadi salah makan? Siraman air dingin bahkan tidak berpengaruh sama sekali," gerutu Sean yang tampak memijat kedua pelipisnya yang kian terasa nyut-nyutan.
Sejenak ia menggiring pupil birunya ke arah botol sabun yang seakan sedang melambai-lambai, menawarkan sebuah alternatif jitu yang dijamin dapat membantunya lepas dari permasalahan biologisnya saat ini.
Sean tersenyum hambar. "Tidak, aku tidak mungkin melakukan hal memalukan semacam itu," Sean berusaha menepis jauh-jauh niat pikirannya untuk bersolo karir.
"Eerrggg!" Sean kembali mengerang ketika rasa ngilu itu semakin menggila hingga membuatnya menyerah pada akhirnya.
Tidak ingin terlalu lama tersiksa, ia langsung menyabet botol sabun tersebut dan terjadilah kegiatan bersolo karir untuk kali pertama di sepanjang hidupnya.
°°°
Kejadian yang sebenarnya beberapa saat yang lalu. Di kamar mandi tempat Allesya.
"Ya Tuhan, kenapa aku sampai lupa tidak membawa baju ganti ke kamar mandi?" Allesya merutuki kecerobohannya. Ia mendesah kasar seraya menepuk keningnya.
Gadis cantik itu kembali mendesah kasar ketika menyadari tidak ada bathrobe maupun handuk yang tersedia di kamar mandi.
"Apa Bibi tadi lupa tidak meletakkan handuk di kamar mandi? Terus aku harus bagaimana? Haruskan aku keluar dengan tubuh telanjang? Tapi bagaimana kalau ada yang melihat? Hmm, sebaiknya aku cek dulu keadaan di luar kamar."
Setelah bermonolog pada dirinya sendiri, Allesya menyembulkan kepalanya melewati cela pintu kamar mandi yang dibiarkan sedikit terbuka.
"Sepertinya tidak ada orang, aku rasa akan aman jika aku keluar sebentar," Allesya keluar dari kamar mandi membawa tubuh polosnya. Menyabet secepat kilat baju yang teronggok di atas ranjang lalu bergegas kembali ke kamar mandi.
Tanpa Allesya sadari, bahwa sepasang mata sedari mengamati gerak geriknya dari cela pintu masuk yang sedikit terbuka.
°°°
Sean si Kakak Tampan keluar dari kamar pribadinya dan lanjut melangkahkan kaki menuju ruang makan yang terletak di lantai satu.
Selama perjalanan menuju ruang makan ia tampak sesekali memutar dan mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa sangat pegal.
Bagaimana tidak pegal? Dia baru saja menjalani kegiatan kamar mandi yang penuh akan drama romantis antara dia dan si Adik Kecilnya.
Drama romantis? Ah, kalimat itu sangatlah tidak cocok untuk menggambarkan situasi yang baru saja dialami si Tuan Muda Sean. Baginya bersolo karir di kamar mandi tidak seindah dan semudah seperti penggambaran pada cerita Novel dewasa yang di mana hanya beberapa kali kocokan langsung crit.
Iya! Dia sangat kesulitan dan menderita. Perjuangannya tidaklah singkat. Ia bahkan hampir putus asa ketika rasa kebas dan pegal mulai menggelitik tangannya.
"Aku tidak menyangka kegiatan itu sangat melelahkan dan menguras banyak tenaga. Aku seperti habis mengangkat barbel seberat 20 Kg. Bagaimana bisa Sammy dan Alvin melakukanya hampir setiap hari?" Sean berdecak heran.
"Hiish! Tanganku terasa sangat pegal! Ini semua gara-gara si Gadis bar-bar itu. Dia pasti sengaja menggodaku! Dasar rubah kecil yang licik."
"Apa yang kau bicarakan Sean? Kenapa mukamu terlihat sangat masam? Dan..., siapa yang kau maksud rubah kecil?" Sean terhenyak ketika Henry sang Kakek memergokinya sedang menggerutu ria tak jelas.
Sean menampilkan mimik muka sebiasa mungkin. "Apa maksud Kakek? Pasti kau salah dengar," kelit Sean. Sekilas ia melirik ke arah Allesya yang sudah duduk bersebalahan dengan Sarah sebelum ia mendaratkan tubuhnya di kursi meja makan.
"Hai Kak Sean," sapa Allesya tampak berseri.
"Hm," sahut Sean singkat yang membuat muka berseri Allesya berubah cemberut.
Sedangkan Henry hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap Sean yang selalu dingin kepada Allesya.
"Kak Sean, apa kau tidak terkejut melihatku? Bukankah kau baru melihatku di sini?"
"Aku sama sekali tidak terkejut karena aku sudah melihatmu tadi," timpal Sean seraya membeber napkin di atas pahanya.
"Benarkah? Di mana kau melihatku? Kenapa aku tidak menyadarinya?" Sean memandang Allesya yang kembali berseri.
"Aku melihatmu tadi di kamar tamu ketika kau mengendap-ngendap keluar dari kamar mandi dengan tubuh telanjang,"
BRAK!
"APA?! Jadi kau mengintipku? Berani-beraninya kau?! Dasar pria mesum! Aku akan memberimu pelajaran!"
Allesya yang sudah tersulut oleh api amarah sontak menghardik seraya menggebrak meja dan sukses membuat semua penghuni ruang makan tersentak, tak terkecuali Sean yang sudah terlihat sangat pias.
Dengan sorot mata ingin memangsa ia menyeberangi meja dengan sekali lompatan dan mendarat tepat di sebelah Sean yang kian menciut karena ketakutan.
Mukanya yang cantik seketika berubah angker. Tatapannya menyalang tajam. Deru napasnya terdengar menggebu-gebu.
GREP!
Sean terkejut ketika tangan kecil Allesya mencengkram kasar kerah bajunya dan menarik paksa tubuhnya dari tempat duduknya agar berdiri. Hingga akhirnya..
"HIAAAAT...!"
KEDEBUG!
"ARRGGG!! Pinggangku..!"
Dengan mudahnya, Allesya membanting tubuh besar Sean tanpa ampun dan belas kasihan.
Wiu! Wiu! Wiu!
Suara darurat sirine ambulan terdengar nyaring. Tidak butuh waktu lama, beberapa staf medis keluar dari mobil ambulan dan langsung membawa Sean yang sudah sekarat ke Rumah Sakit.
"Kak Sean, apa kau sedang sakit? Wajahmu terlihat pucat," Sean tersentak di kala suara Allesya menyeruak ke dalam indera pendengaran sehingga membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Cucuku, kau kenapa?" Henry ikut bertanya karena Sean belum juga menyahut.
"Ah, itu.., aku tidak apa-apa kok Kek, hanya sedikit lelah saja," kilah Sean. Sesekali ia terlihat bergidik ketika teringat akan halusinasi mengerikannya tadi.
"Bisa-bisanya aku membayangkan hal semengerikan itu," batin Sean menggerutu.
"Ya sudah, sebaiknya kita segera menyantap hidangan di meja sebelum dingin," saran Henry.
Kegiatan makan siang bersamapun berjalan dengan kitmad dan diwarnai obrolan ringan sehingga suasana kegiatan mengisi perut terasa hangat. Meski Sean beberapa kali terlihat jengah karena gurauan Henry yang terkesan berusaha mendekatnya dengan Allesya.
"Sean, Kakek ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Tadi Kakek juga sudah membicarakannya dengan Allesya," ucap Henry setelah acara makan siang selesai.
"Apa itu Kek?"
❣
❣
❣
Bersambung~~
...Ayo biasakan tinggalkan jejak like dan comment pada setiap bab setelah membacanya ya para readers. Biar ini cerita nggak sepi kayak kuburan🤣 Sumbangkan vote dan gift juga kalau berkenan🤭...
...Intinya, dukungan para Readers adalah penyemangat berharga bagiku untuk terus menulis🥰...
...Terima kasih.. Lop Lop you superrr...
...💜💙💚💛🧡❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Arin
sy kira bneran...ech gtauny🤣🤣🤣
2022-09-06
0
💮Aroe🌸
sumpah, ngakak sama Sean😂
2022-05-12
0
Maimunatul Karimah
wkwkwkw bikin skit perut aja
2022-02-11
0