Waktu Mundur

Setelah kejadian tadi malam, Lin seperti selalu menghindari Ef. Saat latihan pagi, dia memilih Hamish sebagai pasangan latihan. Dia juga berbicara agak ketus, padahal sejak mereka tiba di pulau, Lin merupakan anggota yang paling pendiam.

“Lebih baik kau luruskan salah paham ini, lama-lama tatapan matanya bisa menembus jantung kita.” Maya berbisik kepada Ef setelah mereka istirahat latihan.

“Salah paham? Siapa yang salah paham?”

Lin mendengus mendengar jawaban lelaki di sebelahnya. Ef terlatih untuk urusan survival, tapi tampaknya dia tidak memiliki pengalaman apapun dalam urusan cinta.

“Kau ternyata ada bodohnya juga ya. Jelas Lin sedang cemburu. Bisa-bisanya kau tidak mengerti!”

“Cemburu? Kenapa dia bisa cemburu?”

“Oh tuhan..., lama-lama aku juga akan kesal kepadamu. Lin mengira tadi malam kita melakukan ‘sesuatu’.”

“Bukankah kita memang melakukan banyak hal tadi malam. Apa yang salah?”

“Hei tuan, dia mengira tadi malam kita melakukan perbuatan ‘enaenak’. Masa kau tak paham juga.” Emosi Maya memuncak, dia menarik pipi Ef dengan keras. Tapi ternyata luapan kekesalan Maya barusan tampak berbeda di mata gadis yang sedang berdiri di sudut. Matanya makin tajam melihat ke arah mereka. Maya merasa aura membunuh di sekitarnya makin menguat.

“Sana, temui dia. Luruskan kesalahpahaman ini!” Maya melepaskan cubitannya dan mendorong Ef dari tempat duduk.

Lin tampak berusaha tampak sibuk saat Ef berjalan mendekat. Dia mengelap permukaan senapan padahal tidak ada debu sama sekali.

“Lin...,” teguran pertama tidak mendapat respon.

“Erlin, bisa kita bicara?” Ef menaikkan suaranya untuk mendapat perhatian. Hamish yang duduk di dekat Lin segera menyingkir. Dia merasa sebentar lagi akan ada bom yang meledak.

“Aku lagi sibuk!” jawab Lin ketus.

Ef tidak memperdulikan sikap tidak menerima Lin, dia tetap berjongkok menghadap gadis itu.

“Kulihat kau tidak konsentrasi latihan hari ini. Kau juga tampak sedang kesal. Apa yang mengganggu pikiranmu?”

Lin hanya menoleh ke arah pria yang duduk di depannya sekilas, kemudian kembali sibuk mengelap senapan.

“Aku baik-baik saja. Tidak perlu kau hiraukan.”

Ef tidak mempercayai jawaban lin begitu saja. Dia pernah membaca di sebuah buku, kalimat baik-baik saja yabg di ucapkan wanita dengan mimik wajah datar, tidak ekuivalent dengan arti di kamus bahasa. Ada pembiasan atas arti kalimat itu yang belum bisa di jelaskan ilmu pengetahuan hingga detik ini.

“Apa kau merasa senapanmu ada masalah? Biar aku periksa.” Tangan Ef yang baru terulur langsung di tepis oleh Lin.

“Tidak perlu, kau menjauhlah. Nanti pacarmu cemburu!”

Ef mengernyitkan alisnya.

“pacar? Siapa?”

“Tak usah berpura-pura. Mataku tidak buta.”

“Maksudmu?”

“Aku melihat dengan jelas kau bersenang-senang dengan Maya tadi malam. Aku pesan sesuatu, lain kali pelankan suara kalian saat bercinta. Mengganggu orang mau tidur.”

Oh, ternyata ini maksud ucapan maya Tadi.

“Kau salah paham. Malam tadi Maya terpeleset dan menimpaku. Tidak terjadi apa-apa diantara kami.”

“Hahaha, kau kira aku tidak melihat dia mendudukimu tanpa celana? apakah ada orang yang terpeleset harus membuka celananya terlebih dahulu?”

“Hei, itu hanya kecelakaan. Aku hanya-“ Ef belum menyelesaikan kaliamatnya, Lin sudah berdiri.

“Sudahlah, percakapan ini tidak perlu di teruskan. Kau juga tidak perlu menjelaskan apa pun kepadaku. Hubungan kita hanya sebatas tugas. Benarkan?” Lin menekankan kata Tugas.

“Bukan begitu juga. Sekarang prioritas kita harus selamat semua. Aku akan menjaga kalian.”

“TERSERAH!” jawab Lin sambil meninggalkan Ef. Seandainya gua ini ada kamar, dia pasti sudah masuk sambil membanting pintu.

Siang berganti malam, sedangkan suasana kaku itu tetap tidak mereda. Lin masih tampak sinis kepada Ef dan Maya. Bahkan mereka tetap diam sambil makan malam. Hanya dentingan sendok dan kaleng kornet yang menjadi suara pengiring.

“Apa rencana kita esok, Capt? Hamish memecahkan kesunyian.

“Besok kita akan langsung menuju Cek point.” Ef mengambil peta dan menggelar di tanah.

“Kita berada di posisi ini.” Ef menunjuk sebuah titik tak jauh dari cek poin. “tim lain yang paling dekat dengan kita adalah tim 16. Lokasi camp mereka dengan cek poin setengah dari jarak camp kita ke cek poin.”

“kemarin kita menempuh perjalanan 5 jam dari camp hingga ke sini. Berarti tim 16 akan butuh waktu 3 jam untuk tiba. Kita harus tiba di cek poin sebelum tiga jam. Kita beruntung menemukan jalan pintas, kita bisa tiba di sana dalam 1 jam.”

“Kalau begitu kita bisa menjadi tim pertama yang akan tiba di sana?”

“Aku rasa seperti itu. Namun kita tetap harus hati-hati dengan segala kemungkinan. Kita juga tidak tahu kapan penghitung mundur kalung ini di aktifkan.”

“Hmm, benar juga. Hell Game di mulai saat penghitung waktu menyala. Kalau aku tidak salah ingat, waktu yang di sediakan 3x24 jam. Sedangkan waktu tempuh kita hanya 5 jam. Kenapa mereka mengulur waktu terlalu lama?” Hamish mengetuk-ngetuk dagunya sambil menatap peta di depan mereka.

“Aku rasa Hell Game memberi waktu peserta untuk memulihkan diri.” jawab Ef.

“Memulihkan diri dari apa?” Hamish tampak makin bingung.

“jika terjadi pertempuran di cek poin. Tidak menutup kemungkinan tim yang mendapat kode juga terluka. Waktu 3 hari bisa di manfaatkan untuk beristirahat dan mengobati luka. Dan juga jarak antar cek poin pertama dan kedua makin jauh,” jelas Ef sambil menunjuk ke titik cek poin kedua. Jaraknya 2 kali lipat jarak camp ke cek poin pertama.

“kita akan butuh waktu 1 hari untuk ke sana. Lagipula bahaya akan makin besar. Karena peserta yang berhasil di cek poin pertama pasti sudah mendesign rencana yang matang untuk menuju cek poin berikutnya.” Ef menatap ketiga anggotanya. “waktu santai akan makin sempit setiap melewati cek poin.”

“Sejak kemarin rasa cemasku sudah mulai menghilang. Aku sudah meresa kita sedang bertamsya di alam terbuka. Sekarang kenyataan bahwa kita akan berperang kembali membuatku takut. Aku belum siap mati.” Ucapan Maya sepertinya menyadarkan anggota lain. Raut kecemasan kembali menghantui mereka.

“Wajar jika kita takut. Tapi kita harus mampu mengelola rasa takut itu. Dan terus bergerak hingga terlepas dari game biadab ini.” Ef berusaha menyemangati anggotanya. Dalam peperangan, kondisi kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan Fisik. Prajurit yang takut akan sering melakukan kesalahan. Ef tidak mau ada satupun anggotanya ada yang terluka apalagi tewas.

“kita akan bergerak dengan formasi kemarin. Maya, Hamish, Lin dan aku. Dengan logistik tambahan ini dan senjata yang makin baik. kurasa kita tidak akan menemui rintangan berat menuju cek poin.”

Malam itu mereka mengulangi latihan singkat tembak reaksi. Ef juga mengajari jika mereka sedang dalam pertempuran dan kehabisan peluru di senjata utama. Jangan sekali-kali berhenti dan mengisi amunisi ke magazin. Tapi gunakan pistol untuk membuat tembakan pengalihan hingga mendapat bantuan dari rekan yang lain atau mendaoat tempat untuk bersembunyi.

“sudah tengah malam, sebaiknya kita beristirahat sekarang. Besok pagi kita bergerak.”

Mereka berdiri dari duduknya dan masuk ke dalam celah dan kembali ke posisi tidur masing-masing.

Tiba-tiba Ef melihat lampu kecil di kalung Lin menyala. Disusul oleh kalung milik Maya dan Hamish. Saat kalung miliknya juga menyala, Ef bisa mendengar suara ‘bip-bip’ dari logam metal yang melingkari lehernya.

Penghitung mundur sudah menyala.

Terpopuler

Comments

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

next

2021-12-14

0

ria rif'ah restiani

ria rif'ah restiani

uhuuu, seruu

2021-10-10

0

Nina nuno

Nina nuno

untung gua gk ada pintu nya 😂😂😂

2021-09-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!