Sebuah keindahan

Pagi ini cukup dingin, matahari hanya mengintip di balik awan hitam di ufuk timur sana. Embun masih menetes dari ujung daun. Dalam kondisi normal kebanyakan orang akan kembali bersembunyi di balik selimut hingga udara mulai menghangat. Tapi hal itu tidak berlaku bagi tim 15. Mereka sudah bersiap, masing-masing menyandang ransel logistik dan senjata tergenggam erat di tangan.

“Kita berdoa dahulu.” Ef memimpin doa untuk timnya, semua anggota menundukkan kepala mereka. Berharap pertolongan langit akan membantu dan memberi keselamatan.

“Kita berangkat, tetap jaga formasi.” Maya berjalan paling depan, di susul Hamish, kemudian Lin. Ef berjalan paling belakang. Formasi terbalik dengan kekuatan berada paling belakang adalah yang paling cocok untuk strategi bertahan. Jika ada musuh melihat pergerakan mereka, Maya dengan tampilan menarik dan kemampuan aktingnya bisa berguna untuk mengalihkan konsentrasi lawan. Memberi waktu bagi Hamish untuk melakukan tembakan jarak dekat, karena Shot Gunnya hanya efektif untuk close range. Lin yang memiliki karakter penyerang jarak jauh memang harus berada di belakang, untuk mendapat jarak ideal melakukan tembakan. Kelemahan sniper adalah area belakangnya, maka dari itu Ef berada di posisi paling belakang.

Sambil berangkat Ef dan Hamish melepaskan ranjau yang mereka pasang di beberapa tempat, granat tangan itu masih sangat mereka perlukan. Percuma saja jika di tinggalkan.

“Kita akan berjalan menuju utara sejauh empat kilometer, jika perjalanan kita lancar, sebelum tengah hari kita sudah sampai disana.” Ef memberi petunjuk kepada tim sambil membaca peta.

“Bagaimana kita bisa tahu arah utara, kita tidak memiliki kompas?” tanya Maya. Dia yang berada paling depan jelas harus paham menentukan arah.

“Kau lihat saja rumput muda yang baru tumbuh, tumbuhan cenderung tumbuh condong ke arah matahari terbit. Dengan begitu kau akan tahu posisi timur, dan bisa menentukan arah utara.” Pengetahuan dasar ini memang tampak mudah bagi Ef, dia di latih sejak muda. Sedangkan bagi ketiga anggota lain yang tidak memiliki dasar survival, tentu masih membingungkan.

Bunyi ranting kecil yang terinjak menjadi suara pengiring. Karena tidak ada percakapan apa pun selama mereka berjalan, jelas sekali kalau semua orang sedang gugup dan ketakutan.

Saat menemui medan extream, seperti tebing tinggi atau jurang yang agak dalam, semua anggota akan bersembunyi dahulu, dan Ef yang maju mengecek situasi. Setelah memastikan keadaan aman, barulah dia kembali menjemput timnya.

Jika diukur dari sebuah tim tempur sungguhan, perjalanan mereka seperti siput. Sangat lambat. Setiap dua jam mereka berhenti istirahat, karena Hamish sering mengeluh. Pria bertubuh pendek dan gemuk itu sangat cepat lapar dan haus. Bekal minumnya sudah habis, Lin terpaksa membagi jatah minumnya karena Maya menolak berbagi.

Target untuk tiba di lokasi cek poin sebelum tengah hari harus terjeda, sudah pukul setengah tiga tapi mereka belum juga tiba.

“Masih lama kah?” Hamish memegang lututnya agar masih bisa menahan beban tubuh.

“Berdasarkan peta ini seharusnya di depan sana. Tidak sampai satu kilometer lagi.” Ef kembali membuka peta dari sakunya.

“Ayolah, jangan cengeng. Masa kau kalah dari kami,” ejek Maya. Dia tampak begitu jengkel dengan Hamish yang sering mengeluh.

“Kau enak berbicara, berjalan dengan tubuh ringanmu. Aku harus membawa beban 100 kilogram di tambah ransel dan senjata ini.” Hamish mendebat ejekan Maya.

“Sudah, kita berjalan lagi, paling lama hanya tiga puluh menit lagi.” Ef menengahi pertengkaran timnya.

Mereka kembali bergerak menyusuri hutan belantara. Beberapa kali mereka menemukan pohon buah tropis, cukup menjadi penambah semangat.

Sayup terdengar debur air yang cukup keras.

“Itu seperti suara air terjun!” Maya menoleh ke arah Ef. Meminta saran.

“Lanjut berjalan. Tetap waspada!”

Tim 15 terus berjalan, semakin langkah mereka bertambah, semakin keras debur itu terdengar. Di depan sana tampak lebih terang, pohon besar yang tinggi menjulang di ujung sana seperti bersinar akibat cahaya matahari menyinari dari baliknya. Pohon itu bagai pintu keluar hari hutan ini.

Mereka harus mendaki jalan menanjak hingga tiba di pangkal pohon. Pohon itu pasti sudah sangat tua, andaikan mereka berempat memeluk pohon itu dengan tangan bertautan, belum akan mampu melingkarinya.

“Hei lihat, ada bangunan!” seruan Maya direspons oleh anggota lain dengan mempercepat langkah mereka.

Benar saja, di ujung sana ada sebuah bangunan seperti mercusuar. Ef menyamakan dengan peta, sepertinya itu adalah cek poin yang mereka tuju.

Senyum gembira mereka segera hilang saat melangkah makin dekat. Jika di tarik garis lurus, jarak dari mereka berdiri ke mercusuar itu lebih kurang tiga ratus meter. Namun sebuah jurang yang sangat dalam menjadi pembatas mereka. juga tidak ada jembatan untuk melintasinya.

“Bagaimana ini, capt?” Hamish menoleh kepada Ef.

Ef mengamati kondisi sekitar mereka, dia juga melongok untuk melihat dasar jurang. Terlalu gelap, tidak tampak apapun. Di sebelah kanan mereka juga ada air terjun yang tidak tampak ujungnya. Hanya suara air itu saja yang terdengar. Potensi ada sungai besar dengan arus kuat di bawah sana.

“Sepertinya kita harus memutar. Tidak ada jalan lain.”

“Hari sudah sore, apakah kita akan terus berjalan hingga malam?” protes Maya.

“Tidak, kita hanya akan berjalan sebentar sambil mencari tempat untuk istirahat. Kita bergerak ke arah air terjun. Biasanya di baliknya ada celah, kita beristirahat di sana.”

Satu jam kemudian, mereka tiba. Air terjun itu terhubung dengan sebuah sungai besar yang berbatu. Air jernih dan segar di depan mata pasti menggoda siapa pun untuk terjun dan berenang denga suka cita. Apalagi setelah berkeringat seharian berjalan.

“Kita buka tenda di tepi sungai ini saja?” Maya sudah jongkok di tepi sungai sambil mencuci mukanya.

“Tidak, terlalu terbuka. Kalian tunggu di balik pohon itu. Aku akan mengecek ke bawah.”

Ef turun dari sisi sungai dan menuju pangkal air terjun. Area itu menurun dan berbatu besar. Dia harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir dari berbatuan yang penuh lumut.

Dalam lima belas menit Ef sudah kembali menemui rekannya, tubuhny tampak penuh tanah liat.

“Celah di sana cukup lapang dan kering. Kita beristirahat disana.”

Perjalanan tim 15 untuk turun lebih mudah, karena Ef sudah menyiapkan tangga-tangga darurat dari dahan pepohonan sebagai pijakan. Tidak begitu susah untuk mereka tiba disana.

Celah itu sangat besar, dan kering. Air terjun menjadi seperti tirai tembus pandang satu sisi. Mereka bisa melihat keluar sedangkan dari luar tidak bisa melihat ke dalam celah. Di bagian ujung ada mata air tua yang membentuk kolam kecil yang bisa berfungsi sebagai kamar mandi. Mereka seperti menemukan hotel yang dibentuk oleh alam.

Lin menengadahkan tangan, membiarkan tetesan air membasahi telapak tangannya. Ef berjalan mendekati gadis itu.

“Indah sekali. Kita beruntung menemukan tempat ini,” ucap Lin saat Ed berdiri di sisinya.

“Kau suka?”

Lin membalas pertanyaan Ef dengan angguan dan sebuah senyuman yang manis.

“Hei lihat ini!” Maya berteriak membuat Lin dan Ef menoleh ke arahnya.

Melihat benda yang ada di dekat Maya, membuat Ef kembali bersiaga.

Terpopuler

Comments

eunhye19

eunhye19

novel ini kyk the hunger game
seru

2022-09-02

0

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

next

2021-12-14

0

🇴​🇫​🇫​

🇴​🇫​🇫​

Cara penulisan suasana tempatnya secara alami langsung terbayang, hebat othor!! LANJUTKAN...!!!

2021-09-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!