Ef tersentak saat merasa ada guncangan di bahu kirinya. Spontan dia menyambar pistol dari pinggang dan menodongkan laras ke arah itu, Hamish tampak terkejut mendapat respon yang tidak dia perkirakan.
“Se-selamat pagi, Capt” sapa Hamish terbata-bata. Perlahan dia bergerak menghindar dari moncong senjata Ef.
“Selamat pagi,” balas Ef.
Dari balik Hamish, Lin dan Maya juga tampak cemas dengan ulah Ef barusan. Dia jadi teringat obrolannya dengan Lin tadi malam.
“Sory, saya sering refleks kalau baru bangun tidur.” Ef menarik senjatanya dan kembali menyelipkan ke pinggang.
Semburat sinar jingga sudah mulai muncul dari timur, matahari sudah mulai terbit. Ef melirik arlojinya, pukul tujuh pagi.
Pukul tujuh, tapi kondisi masih seperti subuh. Berarti benar kalau saat ini kami berada di sisi barat benua Afrika. Daerah tropis dan sebelah barat. Artinya hanya ada 3 kemungkinan, Kamerun, Kongo atau Gabon.
“Lah, dia malah melamun.”
“Aku sedang mengira posisi kita. Pukul tujuh pagi tapi masih gelap. Itu menandakan kita berada di pantai barat.”
“Lalu apakah kita bisa mendapat bantuan setelah mengetahui posisi kita.”
“Belum, tapi informasi ini akan sangat berguna ketika kita bisa berkomunikasi keluar nanti.”
“Apa kegiatan kita hari ini, capt?”
“Kita latihan. Tapi sebelum itu lebih baik kita mandi dan sarapan dulu.”
Mereka berempat menuju bukit belakang camp. Lin dan Maya mandi lebih dulu, Ef dan Hamish menjaga dari atas.
Setelah satu jam, Maya dan Lin berdiri di pinggir sungai sudah berpakaian lengkap.
“Kalian turunlah, kami telah selesai!” teriak Maya.
“Kami tetap menunggu di sini,” lanjut Maya saat Ef dan Hamish turun.
“Kau mau mengintip kami mandi ya?”
“Tidak sudi aku melihat kau, Hamish. Perutmu buncit!”
Ef tidak memperdulikan pertengkaran kecil Hamish dan Maya, mereka memang sudah seperti kucing dan tikus sejak awal. Dia membuka baju dan bersiap menceburkan diri ke sungai.
“Hei, itu badan apa kayu? Otot semua!” Ef berbalik dan menoleh ke arah Maya yang histeris, tatapan gadis itu seolah menelanjanginya. Lin juga sedang memperhatikan, tapi tatapannya berbeda, matanya tampak sedih dan iba, berbeda sekali dengan mata Maya yang berbinar-binar. Saat Lin menyadari kalau Ef juga sedang melihat ke arahnya, dia segera memalingkan wajah.
Tidak sampai lima menit, Ef dan Hamish sudah keluar dari sungai dan mengenakan pakaiannya kembali. Mereka berjalan beriringan menuju camp. Hamish paling depan, di susul oleh Maya. Lin dan Ef berada di belakang.
“Apakah itu semua masih terasa sakit?” ucap Lin pelan.
“Maksudmu?”
“Bekas lukamu. Aku lihat ada begitu banyak bekas luka.”
“Oh itu, tidak terasa sakit lagi sekarang. Semua sudah sembuh, hanya bekasnya yang tidak bisa hilang.”
“Kau menjalani hidup yang berat.” Kalimat itu terakhir yang Lin ucapkan, setelah itu dia diam, bahkan setelah mereka selesai sarapan.
Hari sudah pukul sembilan, Ef sudah selesai memasang tonggak kayu di beberapa titik dengan jarak yang dia atur. Saatnya untuk latihan.
“Apakah kalian ada yang memiliki pengalaman belajar bela diri?” pertanyaan Ef dijawab dengan gelengan ketiga anggotanya.
“Ada yang pernah menggunakan senjata?” lagi-lagi mereka kompak menjawab dengan gelengan.
“Okay, kita akan belajar teknik dasar penggunaan senjata.” Ef memberikan ketiga anggotanya masing-masing sebuah pistol. Tentu dalam kondisi kosong.
“Ugh, berat sekali!” keluh Maya.
“Akan lebih berat saat terisi amunisi. Sekarang angkat pistol kalian, dan arahkan ke depan. Arahkan ke tonggak kayu itu.”
Hamish bisa mengarahkan pistolnya dengan mudah, Lin dan Maya tampak kesusahan. Tangan mereka bergetar menahan beban di ujung tangan mereka.
“Ini namanya Visir, yang berada di bagian depan. pembidik bagian belakang namanya pejera. Kalian harus bisa melihat visir depan dari celah pejera dan bidik ke arah sasaran.” Ef menunjuk besi berbentuk V yang ada di pangkal atas pistol dan tonjolan besi kecil d ujung bistol. “Kalau sudah lurus, tekan trigernya.”
Hamish bisa melakukannya dengan mudah, bahkan dia mengulang-ulang kembali dengan berbagai gaya. Maya bisa melakukannya setelah beberapa kali percobaan. Lin yang masih tampak kesusahan.
“Begini.”
Ef berdiri di belakang Lin, dan ikut menggenggam pistol yang ada di tangan gadis itu kemudian mengarahkan senjata yang mereka genggam ke sasaran. Dengan jarak yang sangat dekat, sudah pasti mereka bisa menghidu aroma orang yang sedang berada di sisi.
“Tekan!” Perintah Ef diikuti Lin dengan menarik trigger dengan telunjukknya.
“Bagus, bisa kau ulangi sendiri?”
EF menoleh ke arah Lin, hampir saja pipi mereka bersinggungan. Bisa melihat dengan jelas kalau wajah Lin memerah, dia menjawab pertanyaan Ef dengan anggukan.
“Perhatikan, sekarang turunkan senjata kalian. Dan ulangi gerakan tadi lebih cepat!”
Satu jam telah berlalu, ketiga anggota tim sudah lancar cara membidik sasaran. Saatnya masuk ke materi kedua.
“Menurut kalian, dengan kemampuan kalian saat ini. Bagaimana cara membuat tembakan kalian mengena sasaran? Hamish, bagaimana pendapatmu?”
“Aku sadar dengan kemampuanku, cara terbaik adalah melakukan tembakan sebanyak-banyaknya. Pasti akan ada yang kena dari sekian banyak percobaan.”
“Maya?”
“Aku setuju dengan Hamish.”
“Lin?”
Lin melirik ke arah Ef, saat pandangan mereka bertemu dia segera memalingkan wajah dan melihat sasaran.
“Menurutku, dengan amunisi kita yang tebatas, aku akan berlatih lebih keras sehingga nanti tembakanku tidak ada yang sia-sia. Satu peluru untuk satu musuh.”
Ketiga anggota tim kemudian diam, menunggu respon guru mereka.
“Jawaban kalian tadi tidak untuk menentukan benar dan salah. Tapi aku mau melihat karakter kalian masing-masing. Hamish dan Maya cocok untuk kombatan, menggunakan senapan serbu atau SMG. Lin akan lebih cocok dengan senjata runduk. Kau akan kulatih menjadi Sniper!”
“Sekarang kita latihan dengan amunisi!”
Matahari sudah melewati batas tengah, hari sudah pukul dua siang. Ef menyudahi latihan mereka dan beristirahat.
“Capt!” sejak tadi pagi Hamish selalu memanggil Ef dengan sebutan itu.
“Ya!”
“Setelah makan siang, kau tidurlah sebentar. Kau tampak sangat lelah.”
“Terima kasih, aku terima tawaranmu.”
Setelah makan siang, Ef menyandarkan diri ke dinding camp, dan mejamkan matanya.
***
Lin masih duduk di sisi dinding berselahan dengan Maya, mereka sedang memperhatikan Ef yang sedang tidur.
“Dia pacarmu?” tanya Maya.
“Bukan, kami baru kenal juga.”
“Dia cukup tampan, tampaknya dia juga kuat. Kau yakin tidak menyukainya?”
“Aku tidak bisa menyukai pria dengan mudah,” kilah Lin.
“Kau lihat, sedang tidur saja dia tampak begitu memesona. Beda sekali dengan Hamish yang buncit.” Maya masih tetap memandang pria yang sedang tertidur di depan mereka.
“Kalau kau suka dia, dekati saja,”
“Kau yakin tidak cemburu?”
“Tidak lah, kenapa aku harus cemburu. Dia bukan siapa-siapaku.”
“Tapi kalian tampak sangat cocok. Dia juga begitu peduli kepadamu.”
“Dia melakukan itu semua karena tugas, kau ingat ceritaku kan. Dia di sewa ayahku untuk menjagaku. Tidak lebih.”
“Kau yakin?”
Kali ini Lin tidak menjawab, dia hanya memandang ke arah pengawalnya yang tampak begitu lelah. Benar kata Maya, wajahnya cukup tampan untuk orang-orang yang bekerja kasar sepertinya. Seulas senyum tergambar di bibir Lin.
“Aku melihatmu. Kau senyum-senyum sendiri sambil melihat dia.”
Lin yang merasa kepergok oleh Maya menjadi salah tingkah, lagi-lagi mukanya memerah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)
mesam mesem guya guyu sajak Arep mundut anu😁😆
2021-12-14
0
🇴🇫🇫
Pemberitahuan kepada Lin, mohon segera bilang kalo suka, sebelum bang Ef di sosor Maya!!
2021-09-13
0
Latifa Eka Nanda
AQ jm juga senyum2
2021-09-06
0