Sebuah Cara

Tujuh orang pria dengan setelan hitam baru saja turun dari pesawat Herkules. Dua buah SUV hitam full modifikasi sudah menunggu mereka. Tiga orang masuk ke SUV pertama dan sisanya masuk ke SUV kedua dan langsung bergerak meninggalkan bandara.

“Terima kasih atas jemputannya.”

“Jendral Nmbie merasa terhormat kedatangan Direktur CIA. Jika berkenan beliau mengajak Anda untuk berkunjung ke kediamannya.”

“Ide bagus, aku juga sudah lama tidam bertemu dengannya. Terima kasih,” jawab John sambil menyandarkan punggungnya.

“Kita menunggu di sana saja, bagaimana menurutmu?” tanya Jhon kepada koleganya yang sedari tadi hanya diam. Sepetinya pengalaman pertama naik kapal kargo cukup membuat Enishi tertekan. Dia tidak berbicara sedikitpun sejak dari pesawat tadi.

“Kita tidak ikut pengejaran?”

“Hahaha, aku memang tangguh dan terlatih. Tapi itu dulu, sekarang aku sudah tua. Dan kau tidak memiliki pengalaman tempur. Kita hanya akan menjadi beban jika ikut bersama mereka. Biarkan para agen menjalankan tugasnya.”

“Apakah kediamannya nyaman?” tanya Enishi.

“Negara ini memang tidak secangih US. Tapi percayalah, selain gadis berkulit putih bertebaran di jalanan, kau bisa mendapatkan semuanya di sini.”

“Baiklah, kita tunggu di sana.”

Kedua SUV itu terus melesat dengan kecepatan tinggi melintasi perkotaan dan pedesaan. Masih banyak pasar tradisional dengan segala hiruk pikuknya, ternak melintasi jalan raya yang membuat kendaraan harus mengalah dan berhenti. Sebuah pemandangan yang tak akan bisa ditemui di kota New York.

Tiga puluh menit mereka tiba di sebuah bangunan besar dengan pagar menjulang. Mereka diperiksa sebentar barulah dipersilakan masuk. Seorang pria tambun dengan seragam militer menyambut mereka.

“Sebuah kehormatan bagiku dikunjungi oleh seorang petinggi dari US.” Nmbie merentangkan tangan menyambut Jhon dan rombongan.

“Lama tidak berjumpa, Jendral. Sudah hampir dua puluh tahun.” Jhon menerima pelukan Nmbie.

“Ya, ini sapaan pertamamu dengan kata ‘jendral’, pak Direktur.”

“Hahaha, ini juga kalimat pertamamu memanggilku dengan kata direktur. Apakah aku harus kembali memanggilmu Mayor Nmbie?”

“Terserah kau mau memanggilku apa, agen Jhon.”

Kedua pria setengah abad itu tertawa dan tampak menikmati nostalgia mereka.

“Perkenalkan, ini sahabatku. Enishi Hanako.” Nmbie menjabat tangan Enishi, mereka berbincang sebentar kemudian masuk ke dalam rumah.

“Apa yang membuat seorang direktur CIA dan pengusaha terkemuka menyambangi Kamerun. Aku rasa kalian bukan orang yang bisa melancong sesuka hati.”

Jhon menghela nafas, dan menoleh ke arah Enishi. Enishi mempersilahkan Jhon yang berbicara.

“Puterinya di culik komplotan Hell Game.”

“Sungguh sebuah tekanan yang besar untukmu, Bro. Apa yang bisa aku bantu?”

“Kami melakukan pelacakan, dan koneksi terakhir dari sosial media para peserta ada di kota Douala.”

“Benarkah, kota itu hanya berjarak 80 kilometer dari sini. Kita bisa membebaskan mereka dalam 3 jam.”

“Aku mau minta bantuanmu, aku butuh kendaraan dan senjata. Juga tambahan pasukan.”

“Akan aku siapkan, siapa yang akan memimpin operasi?” tanya Nmbie.

“Aku membawa 5 agen CIA. Mereka yang akan menjalankan, anak buahmu cukup menjadi bantuan.”

“Baiklah, mari ikut ke gudang. Kita lihat apakah persediaanku cukup untuk operasi ini.”

***

Ef sedang berada di laut lepas, berenang seorang diri tanpa tujuan. Dia hanya mempertahankan diri agar tidak tenggelam dan mengulur waktu berharap akan ada nelayan yang melihatnya.

Dia melihat sekelebat bayangan hitam melintas di bawah tubuhnya yang mengapung. Bayangan hitam itu juga membuat air laut menjadi bergelombang.

Ef meraba ke paha kanan, untung belatinya masih ada di sana. Bayangan hitam itu berputar-putar di bawah sana, dalam radius yang tidak terlalu jauh. Kemudian bayangan hitam itu menjauh. Ef menyelupkan kepalanya untuk mengamati keberadaan bayangan tadi. Sesaat kemudian bayangan itu kembali mengarah kepadanya dengan kecepatan tinggi. Makin dekat rupa bayangan itu makin jelas, seekor hiu dengan gigi yang tajam.

Ef bisa menghindari sambaran pertama dari hiu itu, tapi tampaknya predator laut itu tidak menyerah. Dia kembali berbalik ke arah Ef dan melakukan serangan kedua. Ef bisa menghindar dan menikam punggung Hiu itu dengan belati. Namun sayang belati itu tersangkut di tubuh Hiu sehingga dia terbawa oleh hiu masuk ke dalam laut.

EF terpaksa melepaskan pegangannya dan kembali berenang ke permukaan, saat itu juga hiu itu berbalik menyerang. Ef sudah pasrah, dengan sisa tenaga, dia hanya bisa melakukan upaya perlawanan terakhir.

Hiu itu makin mendekat, mulutnya sudah terbuka lebar dan memamerkan giginya yang tajam. Saat jarak makin dekat, tiba-tiba sebuah tombak menghantam kepala hiu itu. Hewan itu menggeliat, air laut berubah menjadi merah.

“Ef!”

Sebuah suara memanggilnya dari arah permukaan, kemudian ada tangan terulur.

“Ef!”

Ef menyambar tangan itu dan menariknya.

Bugh...

Kepala Ef terbentur sesuatu. Dia membuka matanya. Lin ada di hadapannya, lebih tepatnya dalam pelukan Ef. Tangan Ef mencengkeram tangan Lin dengan kuat.

“Maaf.” Ef segera melepaskan tangan gadis itu.

“Kau bermimpi buruk? Aku lihat wajahmu tampak kesusahan. Maka aku berinisiatif membangunkanmu.” Lin melepaskan diri dari pelukan Ef dan berdiri.

“Terima kasih, aku bermimpi berkelahi dengan Hiu.”

“Hiu itu Lin kah? Hahahaha” Maya yang duduk di sudut ruangan menggoda mereka.

Ef berdiri, “Berapa lama aku tertidur?”

“lebih kurang tiga jam,” jawab Lin.

“Ayo latihan lagi, waktu kita mepet.”

Sore itu mereka mengulangi latihan dengan senjata api. Ke tiga anggota memperlihatkan kenaikan kemampuan mereka. Lin adalah yang paling pesat.

Gadis itu sudah bisa menembak dengan akurat di jarak lima puluh meter hanya dengan sebuah pistol. Bahkan saat dicoba pada jarak tujuh puluh meter, tembakan Lin hanya meleset 2 centi dari titik tengah target.

Saat Ef mengganti senjata Lin dengan laras panjang, gadis itu makin memperlihatkan bakatnya. Semua kaleng yang menjadi target berjatuhan, tidak ada satu peluru pun yang terbuang sia-sia.

“Tembakanmu akan makin sempurna jika kita bisa mendapatkan senapan runduk,” Puji Ef. Saat ini hanya sebuah senyuman yang bisa menjadi hadiah kemajuan anak didiknya itu.

“Dengan logistik kita saat ini, kita harus membaginya dengan baik. Aku akan memakai senapan dan pistol. Hamish shot gun dan pistol. Kalian berdua hanya pistol. Jika nanti kita bisa mendapatkan senjata lain. Itu akan lebih bagus.”

“Apakah kemampuan kita sudah cukup untuk bertahan?” tanya Hamish.

“Jika kita melawan tentara, sudah pasti kita kalah. Beruntung para peserta lain tidak lebih baik dari kalian.”

“Apakah tidak ada cara lain untuk bisa bebas selain kita harus saling bunuh? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup ke depan jika sudah pernah membunuh orang lain?” Lin masih berusaha menepis pikiran mereka harus saling menghabisi antar tim.

“Aku punya caranya!”

Hamish, Lin dan Maya menoleh ke arah Ef. Menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.

“Caranya begini!”

Terpopuler

Comments

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

next

2021-12-14

0

ria rif'ah restiani

ria rif'ah restiani

seruu

2021-10-10

0

🇴​🇫​🇫​

🇴​🇫​🇫​

Serem juga mimpinya Ef, bacanya sambil tahan nafas..😂😂😂

2021-09-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!