Muhammad Abidzar Albirru saat ini sudah berada di dalam ruangan kamar perawatan kelas satu yang baru saja ia pesan. Awalnya ia memilih ruangan perawatan kelas tiga, namun karena tidak mempunyai biaya yang lebih untuk perawatan sang ayah, sehingga dirinya memilih ruangan kamar yang paling murah agar tidak membengkak tagihan rumah sakitnya itu.
Namun, setelah dirinya saat ini sedang memegang cek sebesar 200 juta, tentu saja ini bisa dimanfaatkan olehnya untuk memberikan yang terbaik pada sang ayah yang saat ini baru sadar dari efek obat bius itu.
"Ayah sudah sadar? bagaimana perasaan ayah saat ini?" ujarnya Abidzar kepada ayahnya itu.
Pria paruh baya yang bernama Arya Saputra itu mencoba memulihkan kesadarannya dan mulai menatap ke sekelilingnya.
"Apa saat ini kita sedang berada di rumah sakit, Abi?"
Abi pun mengangguk.
"Lalu kamar ini? bukankah kamar ini adalah kamar perawatan untuk orang-orang kaya? seharusnya kan ayah berada di ruangan kelas 3? Lalu bagaimana caranya agar kita bisa membayar biaya rumah sakit ini?" Ayahnya mencoba untuk membangunkan badannya. "Ayah sudah tidak apa-apa, lebih baik sekarang kamu bawa ayah pulang! Ayah tidak ingin semakin menyusahkanmu. Ayo, kita pulang sekarang!"
Namun Abidzar menahannya sambil menggelengkan kepalanya. "Tunggu dulu, ayah. Jangan pernah berfikir untuk pulang sebelum keadaan ayah benar-benar sudah membaik, dan lagi pula dokter juga tidak mengijinkan ayah untuk pulang. Ingat itu baik-baik yah! ayah tidak perlu memikirkan tentang masalah biaya, karena aku sudah mengurusnya sampai selesai. Alhamdulillah, aku mendapatkan pekerjaan tambahan dengan gaji yang sangat besar ayah. Jadi, aku bisa membayar biaya operasi ayah sampai sembuh."
Arya mengerutkan keningnya saat mendengar perkataan dari putranya itu. "Pekerjaan tambahan? memangnya pekerjaan tambahan apa yang memberi gaji besar padamu, putraku? ayah juga tidak ingin kamu menanggung semua biaya pengobatan dari ayahmu ini."
"Dulu ibumu yang masuk rumah sakit, dan kamu juga yang harus melunasi tunggakan biaya rumah sakit sampai dia meninggal karena penyakitnya itu. Belum setahun, sekarang gantian ayah yang malah menyusahkanmu. Bahkan gaji kamu selalu habis untuk membayar cicilan hutang-hutang ayah. Maaf ayah ya nak, karena ayahmu ini selalu menyusahkanmu." sambungnya.
Abidzar buru-buru menggelengkan kepalanya karena tidak ingin membuat pria yang sangat dihormati dan disayangi itu merasa bersalah.
"Jangan seperti itu yah, ini adalah sebuah kewajiban dan tanggung jawab dari seorang anak kepada orang tuanya. Bahkan, ibu dan ayah dulu bersusah payah untuk membesarkan aku mulai dari bayi hingga dewasa seperti sekarang ini. Jadi, sekarang adalah kewajibanku untuk membalas budi pada ayah." ujarnya Abidzar.
"Oh ya, aku saat ini bekerja pada keluarga konglomerat yah. Karena mereka sangat kaya, makanya mereka memberiku gaji yang sangat besar. Dan besok pagi adalah hari pertama aku bekerja. Karena ini adalah pekerjaan sampingan, jadi aku hanya datang disaat aku dipanggil saja. Sehingga aku masih tetap bisa bekerja di perusahaan. Dan besok pagi, aku akan meminta bibi untuk datang kesini menemani ayah." sambungnya.
"Baiklah nak, syukur alhamdulilah kalau kamu sudah mendapatkan pekerjaan tambahan dengan gaji yang lumayan. Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan ayah, karena ayah baik-baik saja saat ini. Lebih baik kamu konsentrasi saja bekerjanya, agar bosmi menyukai pekerjaanmu."
"Tentu saja yah, sepertinya bosku itu sangat menyukaiku. Karena itu dia memberiku gaji yang lumayan. Lebih baik ayah istirahat saja dulu, aku mau sholat Isya' dulu, karena tadi aku belum sempat shalat."
"Tunggu dulu, lebih baik kita shalat berjamaah saja nak. Ayah juga ingin shalat, karena tidak ingin meninggalkan kewajiban meski sekarang sedang sakit. Karena ayah pun masih bisa shalat meski dengan posisi berbaring seperti ini."
"Ayah memang benar. Karena pada prinsipnya, orang yang sakit dan tidak dicabut kewajiban shalatnya. Namun, mendapatkan beberapa keringanan dengan melakukan gerakan dan posisi-posisi shalat semampunya yang bisa dilakukan. Seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits." ujarnya Abidzar.
"Q.S At-taghabun:16 yang artinya 'Dan bertakwalah kamu kepada Allah semampu yang kamu bisa.' dan juga dalam sebuah H.R Bukhari yang artinya 'Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakan semampu yang kamu bisa lakukan.'" sambungnya.
"Alhamdulillah nak, ayah mengingat hal itu dan selalu mengerjakan kewajiban kita sebagai umat muslim. Baiklah, kalau begitu aku berwudhu dulu sebentar, ayah tayamum saja." sambungnya lagi.
"Iya nak, ini semua juga tak lepas dari saranmu. Jadi, ayah bisa seperti ini karena kamu selalu mengingatkan ayah untuk selalu melakukan perintah-Nya." sahut ayahnya itu.
"Karena memang kewajiban seorang anak adalah mengingatkan orang tua yang sedang lupa, dan aku akan berdosa jika membiarkan orang tua dalam kesalahan dan dan itu hukumnya wajib." setelah mengungkapkan hal itu kepada sang ayah, Abi bangkit berdiri dari kursi duduk dan segera pergi ke kamar mandi untuk berwudhu.
Beberapa saat kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan mulai mengimami shalat. Kewajiban yang selalu dilaksanakan di manapun dirinya berada dan bagaimana pun keadaannya. Dan saat sakit pun tidak menjadi sebuah alasan dalam memenuhi kewajibannya kepada Tuhan.
Setelah selesai melakukan kewajibannya, keduanya pun memutuskan untuk merehatkan tubuhnya masing-masing karena hari pun memang sudah larut malam.
.
Disisi lain.
Di Mansion Wijaya.
Pagi-pagi sekali Livia sudah bangun dari tidurnya itu. Semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena ia tengah memikirkan tentang mengenalkan pria yang baru saja dikenalnya kepada tuanya sebagai kekasih palsu. Saat ini, ia meraih ponselnya yang berada di atas nakas, ia ingin mengecek apakah pria yang dibayarnya kemarin itu tidak lupa dengan tugasnya hari ini.
"Pria miskin nan bodoh itu lupa nggak ya tentang tugasnya hari ini? atau jangan-jangan dia masih tidur lagi jam segini." ujarnya Livia yang kemudian menghela nafasnya. "Lebih baik aku hubungi saja dia."
Bunyi sambungan telepon tersambung, Livia menunggunya beberapa saat. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu.
"Sepertinya benar dugaanku, dia pasti masih tidur. Aku harus bersusah payah untuk membangunkannya."
Saat Livia berniat untuk menghubungi lagi nomor ponsel Abi, yang terjadi malah ponsel miliknya yang saat ini berbunyi. Dilihat ternyata nama pria miskin nan bodoh yang tengah menghubungi balik.
"Halo, pria bodoh. Apa kamu tadi masih tidur? sehingga tidak mengangkat teleponku? apa kamu lupa dengan tugasmu hari ini? bukankah kamu harus bersiap-siap untuk tampil semenarik mungkin agar membuat orang tuaku percaya dan menyukaimu."
"Hallo, assalamualaikum. Saya bantu jawab nona, waalaikumsalam. Maaf tadi saya tidak bisa langsung menjawabnya telepon dari nona, karena saya baru saja selesai shalat subuh. Dan ketika saya sudah, saya langsung menghubungi nona. Anda tidak perlu khawatir, karena saya bukan orang yang pelupa. Rencananya setelah selesai shalat, memang saya mau pulang ke rumah untuk bersiap-siap. Karena saya sedang menunggu bibi yang akan menggunakan saya menjaga ayah di rumah sakit." jawabnya Abi.
"Ohh, aku kira kamu masih tidur. Kalau untuk masalah ayahmu, tidak usah kamu pikirkan! aku akan mengirim orang untuk menjaganya. Jadi, kamu tidak perlu memikirkan tentang masalah siapa yang akan menjaganya. Lebih baik kamu siapkan mentalmu dan menguatkan dirimu, karena papaku adalah orang yang sangat luar biasa. Jangan sampai kamu ketakutan saat berbicara di depan papa."
"InsyaAllah saya tidak akan pernah merasa takut pada orang tua anda, karena saya hanya takut pada Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Bukankah orang tua anda juga makan nasi sama seperti saya? jadi buat apa saya merasa takut?"
"Astaga, kamu terlalu percaya diri sekali ya. Baiklah, aku akan melihatnya nanti, jangan sampai kamu kencing di celana saat melihat papa, karena jika sampai itu terjadi maka aku yang akan menghabisi mu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments