"Psychopath cenderung melakukan kecerobohan ketika pertama kali melakukan pembunuhan!" kata Pak Senki.
"Dokter Abraham biasanya akan menculik korbanya terlebih dahulu, dia akan membedah tubuh dan kepala korbannya!
"Setelah tak berguna lagi dia akan menunjukkan mayat korbannya ke publik!" Jelas Aura.
Gadis tomboy itu terdiam sejenak saat mengingat perkataan roh ibu-ibu itu, saat bilang bahwa Mutia masih hidup ketika ditemukan oleh petugas pemadam kebakaran. "Tapi Mutia!"
"Awalnya pihak kepolisian tak ada yang menyangka jika Mutia adalah korban pertama Dokter Abraham, tapi iblis itu mengakui hal itu sendiri dengan senyuman yang bahagia!!!" Pak Senki hanya bersedekap di atas kursinya dengan wajah mirisnya.
"Tapi Dokter setan itu nggak mau ngaku, jika dia yang udah ngebunuh Ratih?" tanya Raga dengan ekspresi kesal.
Pak Senki hanya mengangguk pelan berkali-kali, dia terlihat juga masih berfikir tentang teori-teori apa yang mungkin bisa terlintas untuk dia konspirasi.
"Pembunuh Ratih bukanlah Dokter Abraham," kata Pak Senki sambil melihat ke arah Raga dengan ekspresi gemas.
Raga memang bukan pemuda tampan yang berotak encer dan tokcer, kedudukan sebagai siswa terbodoh di SMUnya bahkan belum digeser siapa pun meski dia telah lulus 3 tahun lalu.
Meski mempunyai otak yang lemot, tapi Raga mempunyai refleks tubuh yang bagus dan selalu mengikuti instingnya yang tanpa perhitungan tapi selalu saja benar. Raga adalah remaja bodoh yang beruntung, mungkin hanya julukan itu yang pantas dia sandang.
"Aku akan mencoba berkomunikasi dengan Mutia! Aku akan mencoba bertanya tentang kejadian malam itu!" kata Aura, dia segera berdiri dari kursinya.
Tapi Pak Senki menghentikan Aura dengan menggenggam pergelangan tangan Aura.
"Simpan nomor teleponku!" kata Pak Senki.
"Biar gue aja yang menyimpan nomer Bapak!" kata Raga. Tangannya segera dia ayunkan kearah genggaman Pak Senki di tangan Aura, hingga genggaman tangan Pak Senki terlepas.
Tapi Aura telah menyerahkan ponselnya pada Pak Senki agar Pak Senki bisa menulis nomornya di dalam ponsel Aura, hal itu membuat Raga semakin kesal sendiri. Raga kesal tapi dia tak bisa melakukan apa pun. Aura bukan lagi miliknya dan dia tak berhak melakukan hal semacam cemburu, seperti saat ini.
"Kabari aku jika kau punya sesuatu yang bagus!" kata Pak Senki, dia telah menulis nomor ponselnya di dalam ponsel Aura.
Kepala Detektif tim Kepolisian Kota bagian Kejahatan Kriminal itu segera berdiri dan dengan sengaja malah mengeluskan telapak tangan kanannya ke kepala Aura.
"Dan kamu harus hati-hati, 3 tahun cukup untuk membuat pria polos tumbuh menjadi buaya darat!" kata Pak Senki.
"Bapak nyindir saya?!" bentak Raga yang sudah berdiri di samping Aura.
"Siapa lagi? Masa saya nyindir ikan lele di dalam kolam itu!" kata Pak Senki.
Teras belakang bangunan kecil ini memang ada kolam di pingirannya. Kolam dengan air yang keruh, untuk menyimpan persedian ikan segar untuk warteg.
Raga segera naik pitam mendengar celotehan tak bermanfaat itu, tapi dia bukan cowok SMU yang mudah terprofokasi seperti dulu. Dia adalah pria yang sudah dewasa dan otaknya sudah lumayan sehat.
"Senki Battousai, b.a.n.g.s.a.t!" desah Raga. Meski dia bisa menahan diri sekarang, tapi hal itu tak menjamin bahwa dia bisa menahan mulutnya.
Tatapan Aura yang tajam segera membuat Raga melemah.
"Jangan nyuruh gue manggil tuh Battousai dengan sebutan, Sayang!" kata Raga, cowok itu malah tersenyum manis ke arah Aura yang sedang manyun karena kesal pada sikap Raga yang tak punya sopan santun.
"Karena hanya Aura Magisna yang pantas gue panggil sayang!" lanjut Raga, dia harus selalu melancarkan serangan rayuan mautnya agar Aura bisa kembali ke pelukannya.
"Elu bener-bener udah berevolusi jadi Buaya Kosan Putri!!!" kata Aura.
"Buaya Kosan Putri?!" tanya Raga binggung. Dia hanya melangkahkan kakinya di belakang Aura, sambil memikirkan kata-kata "kenapa ada Buaya di kosan putri."
Saat sampai di depan seorang pegawai warteg menghadang Raga, dengan wajah galaknya perempuan paruh baya berkulit sawo matang dan berpenampilan nyolot itu menatap tajam ke arah wajah tampan Raga.
"Bayar dulu, Mas!" kata pegawai warteg itu.
"Senki Battousai, kampret!!!" kata Raga semakin kesal.
Setelah menerima kembaliannya Raga segera pergi dari warteg itu, tapi sejauh matanya berpendar dia tak dapat menemukan Aura atau pun Pak Senki.
.
.
.
.
Di depan pintu apartemennya Aura menghentikan langkahnya karena dia melihat Si Hantu Tampan sudah berdiri di sana.
Pose yang lumayan membuat Aura menelan salivanya, tubuh kekar itu bersandar di tembok dengan wajah yang agak mendongak. Eskpresi sayu yang lembut hampir saja menusuk jantung Aura.
"Om, nggak masuk?" tanya Aura.
"Aku menunggumu!" katanya pelan.
"Om kenapa?" tanya Aura, wajah tegas yang tampan itu terlihat layu karena menahan sebuah kesedihan di dalam hatinya.
"Aku hanya mendengar cerita Laura yang sering dianiyaya ibu kandungnya sendiri!" jelas Si Hantu Tampan.
"Lalu di mana Laura?"
"Dia menemani ibunya di dalam penjara!"
.
.
.
.
Sinta duduk meringkuk di pojokan dinding dingin penjara, wajahnya yang awalnya cantik dan merona kini pucat pasi dan matanya hanya melotot ke arah roh Laura yang duduk tak jauh darinya.
"Berhenti!!! jangan dekati aku!" teriak Sinta.
"Mama, ini aku Laura!" kata arwah Laura dengan isakan yang tak mungkin didengar oleh orang lain.
"Ku bilang pergi!!! Kau sudah matiiiiiii, aku yang membunuhmu!" Sinta masih saja berteriak keras.
"Mbak! Bisa diam nggak!" bentak Polisi Wanita yang sedang berjaga di sel khusus wanita di kantor kepolisian.
"Buk! Tolong usir anak yang sudah mati ini, aku mohon!" Sinta malah terisak. Dia tak memandang ke arah Polisi Wanita itu, manik mata Sinta hanya tertuju pada arwah Laura yang telah berdiri dari duduknya dan mulai menghampirinya.
Dengan wajah yang ketakutan, wanita bernama Sinta itu mencoba menghindari kejaran roh Aura yang ingin didekap oleh ibu kandungnya.
"Pergi!!! Jangan dekati aku!!! Kamu sudah mati!!!" Sinta semakin histeris, dia berteriak sambil berlari-lari di dalam ruangan 3×3 meter dengan besi berjajar sejajar sebagai penghalang.
"Tolong!!!" pekik Sinta, yang kini telah tersungkur di lantai dingin tanpa alas di dalam sel.
"Mama, aku sangat mencintai Mama! Tolong jangan usir aku, Ma. Aku akan jadi anak yang baik! Aku janji, Ma!" tangis Laura yang kini telah bersimpuh di kaki Sinta yang masih tengkurap di lantai.
"Mama mohon Laura, pergilah! Jangan ganggu Mama lagi!" teriak Sinta dalam ketakutan.
"Mama boleh pukul aku sepuas Mama, Mama boleh memakiku, mama boleh melakukan apa saja padaku! Tapi Mama jangan menyuruhku pergi dari Mama, aku hanya punya Mama di dunia ini!" gadis kecil itu terus memohon dan bersimpuh di depan kaki ibu kandungnya.
Penjaga sel hanya terdiam ngeri melihat tingkah laku Sinta yang menjadi gila semenjak di bawa ke kantor untuk diperiksa di ruang introgasi.
"Hay! Kamu pura-pura gila kan, supaya nggak didakwa!" kata Polisi Wanita yang masih berdiri di luar jeruji besi yang mengurung Sinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Ray
Ibu kandung kok tega bunuh putri kandungnya sendiri?😣😭😭
Akhirnya jadi seperti orang gila, karena arwah anaknya terus mengikuti ibunya di penjara, terima karmamu, yg tega membunuh darah daging sendiri😣😭😭
2024-11-19
0
Phoenix
di kejar dosa & rasa bersalah ceritana diaa...
2021-09-22
2
Ndo Ndoe Lumut
totally cool
2021-09-12
2