3 orang dari klub seni bela diri berjalan menuju ke pondok Leonardo di hutan bernama Thân Thiệ, yang tidak jauh dari kota Seranjana.
"Hei, berapa lama lagi kita sampai ke sana? Aku haus," ujar Britta, yang kelelahan menatap Gilbert.
Jiyan, yang sedang fokus melihat peta di ponselnya, menjawab, "Tenang, santai saja, sepertinya pondoknya akan terlihat setelah belokan terakhir ini."
Mereka bertiga terus berjalan hingga ketemu dengan belokan dan melihat ke kanan atas. "Jalur ini menyusahkan, sudah melewati sungai, bebatuan bertanjak, dan lain-lain. Di saat pondoknya sudah terlihat, kenapa harus menanjak lagi?" keluh Gilbert dengan kesal. Tanpa basa-basi, mereka bertiga lanjut berjalan ke pondok yang sudah terlihat.
Di dalam pondok, Raka, Fauzan, dan Steven sedang bermalas-malasan di sofa, sementara para perempuan, Amelia, Laras, dan Hana, berada di belakang pondok, sedang duduk sambil bergosip. Leonardo dan Radit sedang memotong kayu.
Jiyan, Gilbert, dan Britta sudah sampai di depan pondok dan berdiri di depannya. Mereka menengok ke kiri dan ke kanan pondok, yang tampak tak ada orang, namun pintu pondok terbuka.
Raka tak sengaja melihat ke arah jendela dan melihat ada 3 orang berdiri. "Hei bro, di luar ada orang tuh, periksa gih sana," Raka menatap Steven.
"Aduh, ganggu aja," keluh Steven.
Fauzan pun penasaran dan mengintip juga ke jendela. "Steven, buruan, cepet," desak Raka.
Steven akhirnya berdiri dengan muka sedikit kesal dan menuju ke pintu keluar depan pondok.
Melihat mereka, Steven sedikit terkejut, "Eh, hm... bukankah kalian dari klub seni bela diri?" tanya Steven.
"Ah, iya... kami dari klub seni bela diri, kami di sini ingin ketemu Leonardo," jawab Gilbert.
Dalam pikiran Steven, 'Gila, cuman ingin ketemu Leo doang sampai sampai ke hutan.'
"Ayo masuk dulu," ajak Steven.
Lalu Steven memandu mereka bertiga masuk ke ruang tamu atau santai. Setiba di ruangan, Fauzan dan Raka sedikit kaget. Lalu Raka menyuruh mereka untuk duduk di sofa.
Fauzan menaruh minuman di meja. "Jadi, kalian ada urusan apa?" tanya Raka tanpa bertele-tele.
"Ah, ini kami ingin ketemu Leonardo," jawab Gilbert.
"Hanya ketemu dia?" tanya Raka sekali lagi. "Iya," jawab Gilbert.
Dalam pikiran Raka dan Fauzan, 'NIAT BANGET.'
Dan suasana hening sesaat.
Saat itu juga, Jiyan dan Britta saling berbisik. "Tuh kan, pada diam, lagian niat amat kesini buat ketemu dia doang," ujar Britta. "Yah, demi tujuan kita, saya rasa ini wajar aja," ujar Jiyan.
Para wanita di belakang pondok penasaran dengan suara-suara yang terdengar tidak asing di dalam. Mereka lalu pergi ke dalam.
Setelah masuk ke dalam, para perempuan kaget. "Eh Britta, sedang apa kau di sini!" tanya Amelia.
"Ada Amelia, Hana, dan Laras ternyata di sini," ujar Britta.
Lalu mereka para perempuan pindah lokasi ke kamar perempuan untuk saling berbincang.
Di ruang tamu atau santai, Raka meneruskan pembicaraan. "Jadi, Gilbert, sebenarnya ada urusan penting apa kamu mau ketemu Leo?" tanya Raka.
"Hah... itu, kami ingin menjadi murid bela dirinya Leonardo!" ujar Gilbert dengan muka sedikit malu namun sedikit memaksa semangatnya. Raka, Fauzan, dan Steven terdiam mendengar hal itu.
“Hanya ingin menjadi muridnya?” ulang Raka. “Iya,” jawab Gilbert.
Dalam pikiran Raka dan Fauzan, ‘NIAT BANGET’.
Dan suasana hening sesaat.
Disaat itu juga Jiyan dan Britta saling berbisik. “Tuh kan, pada diam lagian niat amat kesini buat ketemu dia doang,” ujar Britta. “Yah demi tujuan kita, saya rasa ini wajar aja,” ujar Jiyan.
Para wanita dibelakang pondok penasaran dengan suara-suara yang terdengar tidak asing di dalam. Mereka lalu pergi ke dalam.
Setelah masuk kedalam para perempuan kaget. “Eh Britta sedang apa kau disini!” Ujar Amelia.
"Ada Amelia, Hana dan Laras ternyata disini,” ujar Britta.
Lalu mereka para perempuan pindah lokasi ke kamar perempuan untuk saling berbincang.
Diruang tamu atau santai Raka meneruskan pembicaraan. “Jadi Gilbert sebenarnya ada urusan penting apa kamu mau ketemu Leo?” Ujar Raka.
“Hah...itu kami ingin menjadi murid bela dirinya Leonardo!” ujar Gilbert dengan muka sedikit malu namun sedikit memaksa semangatnya. Raka, Fauzan dan Steven terdiam mendengar hal itu.
“Tunggu-tunggu kesini cuman minta itu? dan kenapa kalian ingin menjadi muridnya?” ujar Steven penasaran.
“Karena dia itu hebat! Benarkan Jiyan?” ujar Gilbert.
Jiyan langsung menggangguk setelah Gilbert berkata seperti itu. “Apakah dia sehebat itu?” ujar Raka.
“Kau tidak tau bang?” ujar Fauzan. Raka dan Steven langsung melihat kearah Fauzan.
“Dia itu sudah menjadi pemenang bela diri 5 kali berturut-turut untuk sekelas remaja." Ujar Fauzan.
Steven terkejut setelah mendengar itu. Jiyan dan Gilbert menatap Steven dan memperlihatkan muka seperti menyeringai.
“Huh...5 kali berturut-turut ya. Aku tak percaya nantangnya setiap waktu.” Ujar Steven menghela nafas karna sedikit tak percaya.
Setelah percakapan itu Raka menggajak mereka berdua untuk mengikuti dia ke halaman belakang pondok. Steven keluar duluan untuk memanggil para perempuan.
Setibanya dibelakang halaman, Leonardo dan Radit masih memotong kayu sedikit kaget ketika melihat kearah pintu belakang pondok.
“Ohoh....lihat Radit ketika kedatangan tamu dari luar hutan.” Ujar Leonardo.
“Leo kau bilang begitu kita tampak seperti orang yang tinggal di hutan.” Ujar Radit dengan muka datar.
Amelia, Fauzan, Laras, Hana, Steven dan Raka mencari tempat duduk, sedangkan Gilbert, Jiyan dan Britta menghadap ke Leonardo. Lalu mereka mengatakan kalimat secara serentak.
“Bang Leonardo ...tolong jadikan kami muridmu.” Mereka berteriak dan membungkukkan badan. Muka Leonardo tampak tak senang.
“Huah....pasti ditolak ini mah.” Ujar Raka yang duduk dekat para perempuan.
“TIDAK!” Ujar Leonardo tampak tak senang.
"Gila...langsung ditolak sadis" ujar Steven lalu Raka langsung menyambung perkataan Steven "Serangan kritikal ... mental langsung hancur!" ujarnya.
Gilbert, Jiyan & Britta yang mendengar itu sangat terkejut mendengarnya. Mereka sangat tidak menyangkanya, kalau dia langsung menolaknya.
Leonardo yang sempat membuang muka lalu menatap kembali wajah Gilbert, Jiyan dan Britta yang lesu.
“Apa - apaan kalian ini, jadi murid? hah....! jadi kalian ingin memgambil ilmu dariku terus jika sudah merasa kuat kalian memamerkannya dan melawan yang lemah?“ Ujar Leonardo dengan sini.
“Hei...hei jangan terlalu beranggapan begitu ke mereka lihat dia, sudah memohon gitu setidak kasih jawaban, ya saja," ujar Steven sedikit kesal dengan sikap Leonardo.
Leonardo dan Steven saling menatap dengan muka saling kesal, lalu Leonardo menatap kembali mereka bertiga.
“Jawabannya tetap tidak!” tegas Leonardo kepada Gilbert, Jiyan, dan Britta.
“Kenapa? Kami tidak akan melakukan itu, kami berjanji,” ujar Gilbert.
“Tidak,” ulang Leonardo.
Radit kemudian memegang pundak Leonardo dan memintanya untuk menghadap ke arah Radit. “Leo, tenanglah. Kita bisa bicara dengan santai. Ayo ke atas dulu, yuk. Ikuti aku,” ujar Radit.
Leonardo menurut dan mengikuti Radit. Setelah Radit dan Leonardo pergi, suasana di halaman belakang menjadi canggung.
Saat Radit dan Leonardo masuk ke dalam, Raka menatap Leonardo, berpikir dalam hati, 'Masih saja mengingat yang sudah berlalu,' ujarnya.
Radit dan Leonardo berada di salah satu kamar di atas. “Leo, kenapa? Ada apa denganmu? Marah-marah mendadak seperti tadi tak seperti dirimu yang biasanya,” tanya Radit.
“Dit, kau sudah tahu yang terjadi pada diriku yang dulu, kan? Jadi, buat apa mengajari mereka?” ujar Leonardo.
“Ya, aku tahu, tapi itu kan dulu, bukan sekarang. Coba kau pikir-pikir lagi,” ujar Radit.
“Kau ini dan Raka, dari dulu sampai sekarang selalu menyebalkan ya,” ujar Leonardo dengan sedikit senyuman.
“Itulah diriku, dan jangan samakan aku dengan Raka,” ujar Radit dengan balas senyuman dan juga sedikit kesal. Amelia yang melihat Leonardo seperti itu sedikit khawatir.
“Ok, bilang saja kepada mereka nanti malam aku beri tahu. Biarkan mereka menginap di sini,” ujar Leonardo sedikit tersenyum.
“Nah, gitu dong. Santai begini kan enak, berpikir dengan tenang itu karaktermu yang seperti biasanya. Ok, aku ke bawah untuk kasih tahu ke mereka,” ujar Radit.
Radit kembali lagi ke halaman belakang dan menceritakan apa yang dikatakan Leonardo kepada Gilbert, Jiyan, dan Britta. Setelah Radit menceritakannya, suasana mulai kembali normal. Di malam hari, mereka semua, kecuali Leonardo, sedang berada di belakang halaman pondok, membakar dan menyantap makanan.
Hari telah berlalu, malam hari pun telah tiba. Bulan yang terang menyelimuti hutan yang sunyi dan damai itu. Kecuali Leonardo, mereka semua sedang makan makanan yang dibuat oleh para perempuan dan juga Steven.
Belum lama memulai santap makanan, Amelia masuk ke dalam untuk mencari Leonardo. Ketika dia sudah menemukan Leonardo di kamar yang sedang berbaring melihat smartphonenya, Amelia berkata, "Sudah selesai dengan drama-dramanya?" ujarnya.
Leonardo menatap Amelia yang memakai pakaian santai dan berkata, "Oh... kau... jadi kau datang ke kamar ini sudah siap melayani-ku?" ujar Leonardo dengan muka datar yang berhenti melihat layar smartphonenya.
"Hah... dasar cabul!" ujar Amelia dengan nada kesal.
"Terus kenapa kamu ke sini, kangen denganku? Atau khawatir denganku? Hah.. mana mungkin ya?" ujar Leonardo yang berdiri dan menuju Amelia.
Leonardo yang mendekati Amelia lalu menyudutkan Amelia ke dinding lalu menatapnya dan melihat sedikit keanehan pada mukanya.
Leonardo menyadarinya bahwa itu adalah wajah malu. Amelia yang biasanya sering menggoda Leonardo sekarang merasa malu-malu kepadanya dan perlahan menatap Leonardo.
Leonardo yang menatapnya Amelia seperti itu, dia juga malu-malu sendiri.
Tak lama, Amelia mendorong Leonardo dan menjauh darinya dan berkata, "Bodoh, siapa yang kangen dan khawatir denganmu! Aku datang ke sini untuk menyuruhmu makan ke bawah, jika kau tidak ikut banyak makanan yang terbuang. Hana sudah membuat banyak makanan! Dasar cabul!" ujar Amelia yang malu-malu kesal dan pergi meninggalkan Leonardo.
Leonardo yang melihat kejadian itu langsung terdiam. "Eh???.... hahaha...." Leonardo tertawa kecil dan juga bingung.
"Yah, sepertinya aku harus ke bawah sekarang, dan harus kasih tahu itu," ujar Leonardo sambil menatap jendela menghadap ke halaman belakang lalu ia berjalan menuju ke halaman belakang.
Amelia yang tiba duluan di bawah langsung duduk di meja kayu makan dengan kesal.
Laras yang berada di samping melihatnya dan berkata, "Kau kenapa, habis dari dalam tiba-tiba kesal gitu?" ujar Laras.
"Tidak ada apa-apa," ujar Amelia yang menyembunyikan hal yang ada di dalam pondok.
Laras yang melihat tingkahnya menjadi bingung. Beberapa saat kemudian, Leonardo menampakan dirinya dan ikut duduk di batangan pohon kayu besar yang telah diukir seperti tempat duduk.
Radit yang berada di sampingnya berkata, "Sudah mendingan?" ujarnya.
"Ya sudah," ujar Leonardo.
Radit pun berdiri dan mengambil makanan dan memberinya ke Leonardo. "Nih, makan, ini sangat enak loh!" ujar Radit. Leonardo yang melihatnya lalu mengambilnya dan langsung mencobanya.
"Hmm...apaan nih, enak banget," ujar Leonardo dengan suara lantang, seketika lainnya langsung menatap Leonardo dan tersenyum.
"Bagaimana, masakan spesialnya enak, bukan?" ujar Steven.
"Gila, enak banget. Kelembutan daging ini, cita rasa yang kuat dari kuah sate dan kari ini. Ini mantap sekali!" ujar Leonardo yang berbicara sambil menikmati makanannya.
"Hehe...siapa dulu dong yang masak, aku chef terbaik di kota ini!" ujar Steven dengan bangga.
Leonardo yang mendengar Steven berbicara berkata, "Omong kosong apa yang kau bicarakan. Yang masakan se-enak ini pastinya Hana, bukan?" Leonardo menatap Hana yang sedang makan.
Hana mendengar itu langsung menatap Leonardo dan langsung menggelengkan kepalanya dengan muka sedikit kecewa.
Leonardo lalu menatap Amelia, dia langsung spontan berkata, "Tidak, bukan aku," ujarnya.
Leonardo selanjutnya menatap Laras dan dalam sekejap langsung menoleh ke Raka dan mengabaikan pandangannya ke Laras.
Laras yang dianggap tidak ada oleh Leonardo langsung marah dan berkata, "Apa-apaan itu, setidaknya bertanya dulu kek!" ujarnya. Hana langsung menenangkan Laras yang marah.
"Jadi benar dia yang buat," ujar Leonardo menunjuk Steven.
Para perempuan yang memasak merespon dengan mengangguk dengan muka datar. Steven di saat itu langsung membusungkan dada dan terlihat sangat bangga.
"Sial, kenapa aku merasa kesal," ujar Hana yang kecewa karena makanannya kalah enak dengan Steven yang seorang laki-laki.
Radit pun langsung menghampiri Hana dan berkata, "Makananmu tetap yang terbaik nomor 2 kok di sini," ujarnya.
"Nomor 2?" Hana yang bicara begitu langsung terkena mentalnya.
"Eh kamu jahat sekali, dasar tidak tahu perasaan wanita!" ujar Laras di sampingnya.
"Eh, kenapa aku yang salah jadinya? Padahal aku memujinya," ujar Radit.
Mereka semua berbincang sembari makan sampai makanan yang tersedia di sana habis semua. Setelah itu, Leonardo mulai membicarakan masalah tentang Gilbert, Jiyan, dan Britta yang ingin menjadi muridnya.
"Jadi kalian, kenapa ingin menjadi muridku?" ujar Leonardo yang mendadak berbicara dengan muka seriusnya. Gilbert, Jiyan, dan Britta yang mendengar itu langsung menatap Leonardo.
"Pertama Gilbert, kenapa kau ingin berlatih denganku?" tanya Leonardo.
"Aku ingin menjadi kuat untuk bisa melindungi adikku!" jawab Gilbert.
"Kenapa?" tanya Leonardo dengan spontan.
"Itu karena keluargaku yang tersisa hanya tinggal adik perempuanku yang masih SMP. Kami seorang yatim piatu, kami memang punya kerabat tapi mereka tidak peduli dengan kami. Dulu adikku pernah hampir dijodohkan oleh kenalan kerabatku dan setelah aku cari tahu ternyata dia hanya om-om yang mesum. Aku yang tahu hal itu langsung menghajar dan mengancam kerabatku, dan aku sempat memukul om-om itu karena mencoba membawa kabur adikku. Maka dari itu aku harus kuat untuk bisa melindungi adikku! Kau tahu adikku itu sangat-sangat imut sekali! Dia bagaikan malaikat kecil yang harus dilindungi!" ujar Gilbert.
Lainnya yang mendengar itu merasa simpati dan merasa aneh terhadapnya karena kasih sayang terhadap adiknya berlebihan.
Leonardo yang mendengar itu langsung tersenyum kecil dan berkata, "Dasar siscon," ujarnya.
Selanjutnya, Leonardo menanyakan kepada Jiyan.
"Lalu Jiyan, bagaimana denganmu?" tanya Leonardo.
"Aku ingin jadi juara!" jawab Jiyan dengan lantang.
"Hah? Maksudmu?" tanya Leonardo.
"Ya, aku ingin jadi juara 1 di setiap perlombaan karena dengan itu aku bisa membanggakan itu ke orang tuaku," jawab Jiyan.
"Hanya untuk itu?" tanya Leonardo.
"Ya, itu karena semua anggota keluargaku jago dalam bela diri, abangku dan adikku jago dalam bela diri, namun hanya aku yang tidak punya bakat bela diri. Oleh karena itu, aku ingin buktikan bahwa aku juga ahli dalam bela diri," jawab Jiyan.
"Heh, untuk membuktikan bahwa kau juga berbakat ya... menarik," ujar Leonardo.
Leonardo lalu bertanya kepada Britta.
"Kamu terakhir, apa alasanmu ingin menjadi muridku?" tanya Leonardo.
"Hm, entahlah, aku juga tidak terlalu tahu," jawab Britta.
Leonardo dan lainnya mendengar hal itu langsung terkejut, "Ehhhhhh!?" ujar semuanya.
"Setelah mendengar kisah Gilbert dan Jiyan, aku cukup terkesan, tapi kamu bilang tidak tahu kenapa ingin menjadi guru latihku, itu membuat kisah Gilbert dan Jiyan tidak berguna," ujar Leonardo yang heran.
"Ya, habisnya aku bingung. Aku hanya masuk klub ini karena ikutan yang lainnya, karena sewaktu masuk ke sekolah ini aku bingung harus masuk ke klub mana karena itu diwajibkan. Padahal aku tidak berbakat di bidang apapun. Namun, ketika aku melihat latihan klub seni bela diri, aku sedikit terpukau dengan para senior yang menggerakkan badan dengan lentur untuk mempertahankan diri, karena itu aku tertarik dan masuk ke klub ini. Aku juga berpikir, aku yang tidak punya bakat apapun, tapi siapa tahu aku punya bakat di sini. Tapi aku malah yang terlemah di klub ini. Aku tidak bisa disandingkan dengan Gilbert dan Jiyan. Mereka berdua terlalu hebat bagiku," ujar Britta.
Leonardo yang mendengar itu berkata, "Yah, itu bisa dijadikan alasan... jadi intinya orang yang terlemah ingin menjadi yang terkuat ya," ujar Leonardo.
Leonardo yang mendengar 3 alasan mereka mulai berfikir apakah mereka boleh menjadi muridnya atau tidak. Setelah beberapa waktu, Leonardo tidak bisa memutuskannya dan akhirnya membuat satu syarat.
"Hah... seperti aku masih bimbang. Baiklah, aku akan buat persyaratan," ujar Leonardo.
Gilbert, Jiyan, dan Britta mulai mendengarnya dengan seksama, lainnya juga ikut mendengarnya dengan seksama.
"Syarat cuma satu, yaitu bertarung melawan Steven 1 lawan 1. Menang kalah aku tidak peduli, aku hanya liat niat dan kemampuan kalian," ujar Leonardo yang sempat menunjuk Steven.
Steven yang mendengar hal itu langsung terkejut. "Hah, apa-apaan itu, seenaknya buat keputusan sepihak, kau dendam denganku ya," ujar Steven yang kesal.
"Kau ini sering berkelahi denganku, walau kalah terus sih," ujar Leonardo sambil beranjak berdiri dan mendekati Steven.
"Meledekku?" ujar Steven yang kesal.
"Tidak, itu pujian dariku," ujar Leonardo yang tersenyum dan berjalan menuju ke dalam pondok.
Gilbert seketika langsung berteriak, "Tunggu, Leo," ujarnya. Gilbert, Jiyan, dan Britta berkata bersamaan, "Kami setuju syarat itu," ujarnya. Leonardo menoleh ke belakang dan tersenyum.
"Heh, bagaimana pendapatku? Kenapa aku diabaikan?" ujar Steven.
"Hahaha, kasihan sekali," ujar Laras.
"Ah, bagaimana jika syarat pertarungan tersebut dilakukan di gedung latihan Leo pada saat puncak fenomena batu besar melewati planet Terra ini? Itu berarti hari Minggu," ujar Raka.
"Ah, benar, aku setuju. Sekalian kita juga akan adakan tonton bersama fenomena itu," ujar Fauzan, lainnya juga ikut mengangguk.
"Kalian mau ikutkan?" tanya Radit. Gilbert, Jiyan, dan Britta berkata bersama, "Ya, dengan senang hati!"
"Hei, bagaimana pendapatku? Aku belum bilang iya, boleh. Kalian semua dendam dengan aku ya!" ujar Steven marah-marah karena diabaikan.
Mereka semua akhirnya menghabiskan hari libur mereka dengan bersantai-santai di pondok hingga esok hari. Mereka semua kembali pulang ke rumah masing-masing pada sore hari.
Saat mereka akan pergi tidur, Steven berkata, "Hei, kalian melupakan sesuatu," keluar dari dalam pondok membawa makanan. "Apa itu?" tanya Radit.
"Sudah, tidak usah banyak tanya, makan saja ini, ini makanan spesial buatan Laras yang sengaja disiapkan untuk terakhir. Ya kan, Laras!" ujar Steven.
Laras mendengar itu nampak senang.
Mereka semua mengambil daging yang berkuah kuah sate itu ke piring masing-masing, kecuali Amelia, Hana, dan Steven yang sudah tahu dan pura-pura ikut mengambil makanan. Setelah itu, lainnya mulai menyantap makanan yang penampilannya terlihat menarik itu.
Lalu tak lama dari itu, mereka semua mulai memuntahkan makanan tersebut dan beberapa dari mereka tampak ingin pingsan setelah memakan masakan dari Laras.
"Hehe, rasakan pembalasan-ku karena aku diabaikan," ujar Steven. Laras melihat mereka kebingungan apakah makanannya enak atau tidak karena yang lainnya tidak merespon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments