Radit dan kawan-kawan mulai menuju parkiran gedung Leonardo. Waktu saat itu menunjukkan pukul 05.00 PM.
Setelah sampai di lantai dasar, Leonardo menghampiri pelayan yang sedang berdiri di dekat pintu keluar. Leonardo menyuruh yang lain untuk menunggu di luar, dan mereka menurut, lalu keluar.
Leonardo menyuruh pelayannya, Mart, mencari seseorang. "Kau tahu terakhir kali aku pergi ke pondok," ujar Leonardo.
"Ya, saya mengingatnya, Tuan pergi bersama teman Tuan," jawab Mart.
"Ya, saat itu aku bersama temanku. Aku membantu sekumpulan gadis yang mobilnya rusak. Di sana ada gadis berambut putih, atau mungkin silver; dia cukup mencolok. Cari tahu identitasnya," ujar Leonardo.
"Baik, Tuan. Saya akan cari tahu tentang dia," jawab Mart. Leonardo langsung meninggalkan dia dan menyusul Radit.
***
Setelah itu, mereka pergi menuju mini bus. Di sekitar parkiran yang dikelilingi gedung tinggi, pelayan wanita Leonardo telah menunggu di sana.
Pelayan tersebut merupakan pelayan pribadi Leonardo, seperti Mart. Pelayan wanita tersebut bernama Lucia. Mereka menghampiri pelayan wanita tersebut.
"Apakah semua sudah lengkap, Lucia?" tanya Leonardo.
"Sudah, Tuan, semua perlengkapan sudah ada," jawabnya.
"Ayo, semuanya naik," ajak Leonardo. Semuanya naik ke bagian belakang kendaraan, kecuali Leonardo di depan dan Lucia di depan untuk mengemudi.
Model mini bus bagian penumpang belakang memiliki bangku yang berada di samping. Ini muat hingga 4 orang per bangku, dan bila dipaksa, bisa 5 orang.
Perempuan ada pada sisi kanan kendaraan, dan laki-laki pada posisi kiri kendaraan. Steven yang naik paling terakhir melihat isi mobil telah penuh dan berkata, "Leon, bukankah mobil ini sudah penuh?" tanya Steven sambil mengintip-intip tempat duduk.
"Duduk saja di bawah dan bersandar dengan belakang mobil," sarankan Leonardo.
"Eh..." keluh Steven, merasa enggan.
"Atau, kau bisa duduk di bagian perempuan karena bangkunya lebih panjang," ujar Leonardo.
Steven melihat bangku perempuan. "Mau apa? Duduk di mana? Sudah penuh, tau. Eh, apa kamu mau dipangku?" tanya Laras.
Steven mendengar itu, malas menjawabnya dan meladeninya, lalu menatap bangku laki-laki. "Geser dikit dong," pintanya.
"Udah penuh banget ini, udah mempet, lihat nih," ujar Raka.
"Mau nyusul aja naik kendaraan umum?" tawar Leonardo.
Steven mendengar itu, pasrah karena tidak punya pilihan lain, dan dia duduk berdempetan dengan Laras.
"Kenapa setiap mau dan sudah sampai ke pondok, kenapa aku selalu direpotkan," keluh Steven yang cemberut.
"Ah, cuma perasaan kamu aja, kok," hibur Radit.
"Kalian sudah siap?" tanya Lucia. "Sudah," jawab semuanya di bangku belakang.
"Sebentar, tunggu, sepertinya aku tidak pernah melihatmu menyetir mobil," ujar Leonardo, menatap Lucia.
"Hmmm... memang tidak pernah, kan yang mengemudi selalu Mart," jawab Lucia.
"Lah, terus emang kamu bisa bawa mobil?" tanya Leonardo, mulai takut.
"Tentu bisa, sama seperti motor, apalagi era sekarang semua sudah otomatis, tinggal..." ujar Lucia sambil mulai menginjak gas mobil.
"Eh, tunggu, tentu tetap beda!" kelah Leonardo. Namun, Lucia tidak mendengarnya dan tetap menancapkan gas mobil.
Waktu berlalu, dan mereka sampai dengan selamat di parkiran Hutan Buatan Than Thie.
Penumpang belakang turun satu per satu dengan sempoyongan. Steven, yang duduk di lantai mobil, lebih parah; setelah keluar dari mini bus tersebut dengan sempoyongan, dia menundukkan kepalanya dan berlari ke semak-semak, lalu muntah.
Leonardo membuka pintu mobilnya, namun masih terus duduk. "Bagaimana, cepat sampai, bukan? Hanya perlu 30 menit ke sini," ujar Lucia.
Leonardo mulai turun dari mobil, tapi masih sempoyongan. "Lucia, kerja bagus. Nanti kamu akan dapat makanan spesial yang super enak dari Laras," ujar Leonardo dengan niat jahatnya.
"Hah, serius, Tuan! Terima kasih!" ujar Lucia. Semuanya memberikan respek jempol kepada Leonardo, kecuali Laras, yang bingung tidak tahu maksudnya.
******
Setelah semua itu, mereka beristirahat sebentar. Lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju pondok, dan waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 PM. Puncak dari fenomena itu terjadi pada pukul 09.00 PM.
Sebelum berjalan menuju dalam hutan, Radit memandangi langit dan menatap batu besar itu.
Batu besar sudah dapat dilihat dengan telanjang mata tanpa perlu bantuan alat. "Radit, ayo jalan," ujar Raka, dan Radit menurut perkataan Raka. Ia mulai jalan, mengikuti yang lain menuju pondok di dalam hutan.
****************
Setelah itu, semuanya telah sampai menuju pondok. Mereka semua bersantai-santai dan menyiapkan makanan untuk piknik tengah malam nanti di bagian paling tinggi di daerah hutan tersebut agar dapat melihat fenomena tersebut.
"Steven, bantu kami masak," ujar Hana.
"Hah? Kenapa aku? Kalian kan bisa," protes Steven.
"Ayolah, Steven. Makananmu sangat enak, tau. Kami mau merasakan makananmu lagi," ujar Raka.
"Ayo, bang. Masak lagi demi kami yang sudah lapar ini," ujar Fauzan.
Steven menatap para laki-laki. "Ayolah, masakan Hana juga enak. Kenapa perlu aku juga?" keluh Steven.
"Tapi masakanmu lebih enak ketimbang dia," ujar Leonardo.
"Maaf kalau makananku tidak enak," ujar Hana, merasa kesal.
Steven akhirnya tidak dapat mengelak permintaan mereka semua dan akhirnya ikut membuat masakan. "Padahal, aku hanya ingin bermain dengan laptop-ku. Kenapa malah jadi babu gini," keluh Steven. Kemudian, dia menatap Laras yang sedang meracik sesuatu.
Melihat itu, dia menjauhi dirinya agar tidak terkena racun yang kedua kalinya.
Waktu berlalu, masakan telah siap. Makanan untuk makan malam dan untuk menonton fenomena sudah selesai.
Mereka semua mulai menyantap masakan untuk makan malam mereka. Setelah selesai, mereka memulai makanan penutup.
"Lucia, ini dia makanan spesial yang aku janjikan padamu tadi," ujar Leonardo.
"Woah, mantap sekali. Terlihat sangat enak," ujar Lucia. Mendengar itu, Laras terlihat sangat senang.
"Huwa, tampilan makanan ini malah lebih bagus ketimbang terakhir kali aku lihat. Apakah rasanya juga akan normal-normal aja?" ujar Steven.
Semuanya mulai menatap Lucia, kemudian dia memakannya. Suapan pertamanya, ketika itu dia terdiam, dan sendok yang ada di tangannya terjatuh.
Lucia dalam alam sadarnya seperti sedang berada di taman yang sangat luas, dipenuhi bunga. Dia sedang terduduk di tengah-tengah hamparan bunga tersebut. Dia merasa sangat tenang dan damai, kemudian tiba-tiba muncul tangga dari langit, lalu cahaya muncul dan pintu mulai terlihat di balik awan tersebut.
Lucia, yang terdiam, tiba-tiba berkata, "Woah, ada tangga menuju langit. Sepertinya aku harus ke sana dan bertenang diri di sana." Mendengar itu, Amelia langsung berdiri dari meja makan dan mendekati Lucia, lalu menggoyang-goyangkan badannya. "Oi, sadar, oi! Jangan pergi ke sana! Nanti kau tidak akan kembali!" seru Amelia yang panik.
Hana dengan sigap mengambil sisa makanan buatan Steven dengan sendok, lalu memasukkan makanan itu dengan paksa ke dalam mulut Lucia dan mulai mengunyahnya.
Seketika itu, Lucia tersadar. "Ah, aku kembali," ujar Lucia, kembali mengunyah makanan buatan Steven yang dipaksa dimasukkan Hana.
"Ingat, pepatah sejak zaman dulu memang benar: 'Jangan menilai sesuatu hanya dari sampulnya'," ujar Steven.
Hana mengambil sisa makanan buatan Steven dan memberikannya kepada Lucia.
"Tuan, itu rasa tidak enak sekali! Masih lebih enak yang ini!" protes Lucia.
"Ini hukumanmu karena mengemudi seperti orang mabuk," ujar Leonardo.
"Tuan jahat sekali. Tapi ini tidak setimpal hukumannya dengan makan makanan aneh ini," ujar Lucia, menunjuk makanan beracun buatan Laras.
"Hei, kamu! Kalau tidak bisa masak, jangan masak, dong! Kamu tidak pernah mencoba masakanmu sendiri, apa!?" seru Lucia yang kesal karena baru saja melewati pengalaman hidup dan mati.
"Eh, tapi aku sudah mencobanya dan enak saja," ujar Laras yang bingung.
"Ini, makan masakanmu dan rasakan sendiri," ujar Lucia, sambil mengambil makanan beracun tersebut.
Laras, yang masih bingung, menerima perkataan Lucia dan memakannya. "Ehm... ini biasa saja. Malah enak menurutku," ujar Laras, yang makan dengan santainya.
Yang lainnya melihat Laras menyantap makanan dengan santai dan tidak terjadi apa-apa, kebingungan, dan malah menatap Lucia. "Eh, kenapa kalian menatapku? Aku tidak bohong, makanan ini beracun. Kalau tidak percaya, silakan coba saja," ujar Lucia.
Radit, yang penasaran, mengambil sendok, mencoba sedikit makanan tersebut, apakah benar enak atau tidak.
Setelah mencobanya sedikit, Radit termenung dan mulai bertingkah seperti Lucia. Gilbert, yang berada dekat dengan Radit, langsung mengambil sendok dan menyendok sisa makanan Steven, lalu menyuap paksa ke mulut Radit dan berkata, "Aman!" ujar Gilbert.
"Huwah... sekarang makanan aku jadi penawar racun dari makanan Laras," ujar Steven.
Setelah Radit tersadar, dia berkata, "Apa-apaan itu tadi? Aku seperti ada di ladang bunga yang luas dan ada tangga menuju langit. Itu seperti memanggilku." "Ya, kan benar!" seru Lucia.
Yang lainnya mulai menatap makanan Laras, dan kemudian menatap Laras yang masih menyantap makanan buatan dirinya sendiri. "Ini orang, lidahnya udah mati rasa kali, ya?" ujar Jiyan.
Amelia langsung mengambil makanan Laras dan mengambil paksa piring yang sedang disantap Laras, lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Eh, apa yang kamu lakukan, Mel!" protes Laras.
"Makanan ini tidak sehat dan beracun, tidak baik untuk tubuh," ujar Amelia, sambil membuang masakan Laras.
"Eh, tapi aku enak-enak saja. Kalian saja yang aneh," ujar Laras.
"Sebaiknya kamu ke dokter dan periksa indra perasamu," ujar Hana.
******
Setelah kejadian itu, waktu sudah berlalu, menunjukkan jam 08.15 PM. Mereka keluar dari pondok, membawa peralatan kemah dan lainnya.
Mereka menuju tempat tertinggi di daerah hutan tersebut, yang tidak jauh dari pondok. Mereka semua sudah sampai di tempat tertinggi di daerah tersebut, dapat melihat luasnya hutan dan juga melihat sekitar hutan yang dikelilingi padang rumput yang cukup luas.
Mereka mulai membuat tenda, menggelar karpet, dan mempersiapkan panggangan untuk memasak sate dan barbekyu.
Setelah selesai, mereka mulai duduk di karpet dan bangku-bangku kecil yang dibawa dari pondok. Mereka saling bercanda sambil menunggu puncak acara fenomena tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments