Pintu ruang klub terbuka, lalu terlihat sosok pria dan seseorang di belakangnya. Mereka muncul mengeluarkan aura misterius, dan seperti ada asap keluar dari sana.
"Bro..." ujar Leonardo kepada Raka. "Apa?" ujar Raka.
"Apa-apaan adegan ini? Ini bukan di film," ujar Leonardo. Lalu sosok di pintu melangkah ke depan.
"Hei, ada apa? Kenapa kalian tegang sekali?" ujar Steven dengan tampang muka datar.
Mereka, para anggota klub, masih melihat ke arah pintu tanpa mengedipkan mata, lalu Leonardo berbicara sambil memukul meja.
"Woi... sadar, kalian kenapa pada termenung? Itu cuma Steven," ujar Leonardo sambil teriak, dan yang berada di ruangan itu kaget karena kelakuan Leonardo.
"Ah... ya... kita tidak mengira saja, jika yang dimimpikan Radit itu adalah Steven," ujar Hana.
"Hahaha... sangat menegangkan sekali. Saya telah memikirkannya sejak tadi. Saya kira orangnya menarik, ternyata yang datang hanya Steven. Sedikit mengecewakan," ujar Raka sambil tertawa.
"Huh... kalian ini bicara apa? Omong kosong apa sih?" ujar Steven dengan bingung.
"Ada apa, Steven? Kau datang ke sini tidak seperti biasanya. Apakah kamu sudah mengurungkan niatmu untuk aktif kembali di klub?" ujar Amelia.
"Aku tidak berniat aktif di klub ini lagi, mungkin?" ujar Steven.
"Mungkin? Dasar beban!" ujar Amelia.
"Apa kau bilang!" Steven sedikit kesal, lalu dia berusaha menahan emosinya. "Setelah kau lah, Mel. Yang penting, ini ada seseorang yang sepertinya ingin masuk ke klub ini. Dia selalu mengikutiku beberapa hari ini. Itu sedikit menakutkan," ujar Steven. Anggota klub menoleh ke arah pintu, lalu muncullah seorang pria dari sana.
"Maafkan aku, Bang Steven. Aku bingung cara berbicara denganmu. Abang seperti orang sibuk sekali, aku jadi enggan berbicara dengan abang jadinya," ujar sosok pria itu.
"Hah... dia memang orang sibuk sekali. Dia suka sekali membuat benda-benda aneh," ujar Leonardo.
"Ya, setidaknya disapa kek... jangan cuma diikuti aja diam-diam begitu. Dan apa maksudmu aneh, Leo, huh? Itu yang aku buat namanya seni modern!" ujar Steven.
"Aneh?" ujar sosok pria itu.
"Seenak saja kau bicara. Itu benda-benda langka yang hanya ada di dunia ini dan yang bisa membuatnya hanya diriku saja," ujar Steven dengan sombong.
"Ya jelas, barang yang tidak berguna itu hanya kau saja yang bisa membuatnya," ujar Leonardo.
"Hah? Kau ini tidak pernah berubah. Kita gelud saja di belakang sekolah sekarang," ujar Steven.
"Ayo, siapa takut. Kita gelud sekarang," ujar Leonardo, lalu mereka berdua keluar dari ruangan itu.
"Abaikan mereka berdua. Mereka selalu begitu jika bertemu. Jadi, perkenalkan dirimu. Kau ingin masuk ke klub ini, bukan?" ucap Laras.
"Ah... maafkan saya belum memperkenalkan diri," sambil menundukkan kepala dan membungkuk, lalu dia berdiri tegap lagi dan melanjutkan perkataannya, "Namaku Fauzan Sabian Mayesa, kelas 1, mohon bimbingannya," ujar Fauzan dengan tegas dan mulai berjabat tangan dengan yang lainnya.
"Woah... ternyata kau kelas 1. Wah, sekarang di klub kita ada adik. Bahagianya hatiku ini," ujar Hana dengan senang.
"Kita langsung menerimanya?" ujar Leonardo.
"Tentu, kita kan selalu menerima anggota baru," ujar Hana.
Raka berbisik dengan Radit, "Hei Dit, katamu tadi yang datang laki-laki dan perempuan, tapi yang ada hanya dia saja, mimpimu itu tidak salah kan?" ujar Raka dengan suara sangat pelan.
"Tidak salah, aku benar-benar memimpikannya. Aku kan sudah bilang kalau mimpiku ini terasa seperti nyata," ujar Radit dengan suara pelan.
"Lalu kenapa yang datang hanya laki-laki?" ujar Raka dengan berbisik.
"Entahlah, mana saya tahu. Saya kan juga tidak tahu," ujar Radit dengan muka datar. Raka merespon muka datar Radit dengan muka datar juga.
"Sekali lagi semua, salam kenal mohon bantuannya," ujar Fauzan dengan hormat. "Hah, iya, salam kenal juga," ujar Raka.
"Hei kalian berdua, ada anggota baru, bukannya dijamu, kalian malah ngobrol berdua aja," ujar Amelia. Raka dan Radit hanya tersenyum saja.
"Ayo sini, duduk, jangan berdiri saja. Isi formulir bergabung ke klub kami," ujar Laras. Fauzan duduk di kursi lalu mengikuti arahan Laras.
Leonardo memandangi Radit & Raka, lalu dia mendekati mereka berdua. "Hei hei, kalian dari tadi berbisik berdua saja, apa ada hal yang seru?" ujar Leonardo.
"Hah, gini ini masalah mimpi itu," ujar Raka dengan nada pelan.
"Oh itu, memangnya ada apa?" ujar Leonardo.
"Itu, di mimpinya Radit, kan seharusnya hari ini yang datang bergabung ke klub itu satu laki-laki dan satu perempuan, tapi yang kita lihat hanya ada laki-lakinya saja," ujar Raka dengan heran.
"Oh itu, ayolah itu kan cuma mimpi. Mungkin saja itu kebetulan saja," ujar Leonardo.
"Hah, iya sih," ujar Raka.
"Huh, sudah, tidak usah terlalu dipikirkan. Benar kata Leo, itu cuma mimpi, tidak perlu dipikirkan," ujar Radit.
"Leo, sejak kapan kamu ada di sini? Bukankah kau sedang adu tinju dengan Steven?" ujar Raka.
"Hah, itu tadinya mau gitu, tapi tidak jadi. Guru penjaskes tiba-tiba lewat dan berbicara dengan muka sangar ke kami dan menyuruh kami mengangkat matras, jadi kami tidak jadi gelutnya," ujar Leonardo.
Radit lalu berdiri dan melihat ke arah Amelia, Laras, & Hana yang sedang membantu Fauzan yang sedang mengisi formulir bergabung ke anggotaan klub. Tiba-tiba pemandangan Radit berubah, dan dia tiba-tiba melihat pemandangan yang berbeda.
Di bangku kursi yang tadinya hanya terlihat Amelia, Hana, Laras, & Fauzan, sekarang bertambah 2 orang lagi. Radit melihat orang yang berdiri di belakang Fauzan, dan itu ternyata Steven. Lalu ia berusaha melihat orang yang di samping Fauzan karena terhalang kepala Fauzan. Ia tidak bisa melihatnya, lalu ia melangkah maju ke depan. Tiba-tiba keadaan seperti semula; yang ada di kursi sekarang hanya ada Amelia, Laras, Hana, & Fauzan. Kejadian itu berjalan begitu cepat. Radit bingung sesaat dan seperti telah mengalami kejadian yang sama namun sedikit berbeda.
Melihat Radit terdiam, Leonardo lalu memanggil Radit sambil menepuk punggungnya. "Hei Dit! Kau kenapa termenung saja?" ujar Leonardo.
"Hah, tidak apa-apa," ujar Radit, lalu berjalan menuju Fauzan. Leonardo memandang muka Radit yang seperti orang heran dan bingung.
"Hei Fauzan, apa yang membuatmu ingin masuk ke klub penolong ini?" ujar Radit. Amelia, Laras, & Hana ikut memandangi Fauzan karena juga ikut penasaran.
"Aku bergabung di klub ini karena alasan tertentu," ujar Fauzan.
"Alasan? Alasan apa?" ujar Hana.
"Mungkin kamu masuk ke sini karena kamu menyukaiku, yah wajar saja orang cantik sepertiku banyak yang melirikku," ujar Amelia dengan bangga.
"Yah, yang dibilang Kak Amel mungkin benar. Alasan aku masuk ke sini karena ingin melihat Kak Amel," ujar Fauzan dengan sedikit malu. Amelia yang mendengarnya langsung terdiam dan malu yang tadinya riang sekali.
"Cihuuw... Kode keras itu," ujar Leonardo meneriaki Amelia.
"Tapi bukan karena itu saja aku masuk ke sini. Ada alasan lainnya, itu karena kalian sangat senang sekali ketika sedang melakukan kegiatan. Kalian membantu orang-orang, bagiku itu terlihat menyenangkan. Mungkin jika aku masuk ke sini, aku juga akan mempunyai banyak kenalan," ujar Fauzan.
"Hahahaha... Kau mempunyai pandangan yang bagus," ujar Radit tertawa sambil menepuk pundak Fauzan.
"Hei Zan, membantu orang memang seru dan kau mungkin juga akan mendapat kenalan baru berkat menolong orang. Jika tujuanmu untuk mencari teman, maka kau tidak salah masuk ke klub ini," ujar Radit sambil mengacungkan jempol ke muka Fauzan.
"Hei Zan, apakah kau tahu yang lebih menarik jika kau bergabung ke klub ini?" ujar Leonardo.
"Apa itu, Kak?" ujar Fauzan dengan bingung.
"Hm... biar kuberitahu, kita ini klub penolong, jadi kita akan membantu klub mana saja yang sedang kesusahan atau butuh bantuan. Jadi, ketika klub renang perempuan sedang membutuhkan bantuan, kamu juga bisa melihat..." Leonardo yang belum sempat menyelesaikan perkataannya.
Dengan refleks alami si Laras, ia melempar buku tebal yang ada di atas meja ke arah Leonardo, dan buku itu mengenai kepalanya dengan sempurna. Leonardo yang duduk di kursi langsung terpental ke belakang hingga terjatuh dari tempat duduknya.
"Akh... Sial, kenapa kau melempar buku tebal ke arah mukaku, kutu buku," ujar Leonardo sambil berdiri.
"Dasar cowok mesum! Aku tahu apa yang ingin kau ucapkan," ujar Laras.
"Ayolah, setidaknya biarkan aku menyelesaikan kalimatku terlebih dahulu," ujar Leonardo. Laras memasang muka kesal.
Setelah Fauzan menyelesaikan formulirnya, tiba-tiba suara bel masuk kelas berbunyi. Mereka semua kembali ke kelas masing-masing. Pada jam istirahat kedua, mereka berkumpul kembali, seperti biasa mereka masih belum mempunyai kegiatan. Mereka terus bermalas-malasan di ruang klub, hingga 1 jam kemudian bel masuk kelas kembali berbunyi. Lalu setelah jam sekolah selesai, mereka kembali berkumpul di ruang klub kecuali Raka.
"Kak Amel, apakah minggu ini kita tidak mempunyai kegiatan?" ujar Fauzan.
"Tidak, Fauzan, minggu ini kita tidak mempunyai permintaan," ujar Amelia.
Dalam kesunyian ruang klub, tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Raka. "Raka, abis kemana saja kau?" ujar Radit.
"Aku abis ke ruang klub seni bela diri," ujar Raka.
"Ngapain kamu ke sana, mau belajar gelut?" ujar Leonardo.
"Tentu saja bukan, tapi klub mereka sedang membutuhkan bantuan. Tempat ruang latihan bela diri mereka sedang direnovasi dan pelatih mereka sedang sakit. Jadi, Leo, kau kan punya tempat ruangan besar tempat latihan bela diri di gedungmu, yakan? Bagaimana jika kita menyetujui dan mereka semua ke tempatmu selama 1 minggu ini," ujar Raka.
"Hei... hei... kau datang-datang tiba lalu menyuruhku untuk memberikan mereka ruangan bagus ke mereka secara gratis? Yang benar saja," ujar Leonardo.
"Oh ayolah, ini kan untuk kegiatan klub. Kau perhitungan sekali," ujar Raka dengan suara negosiasi.
"Ya, tentulah perhitungan. Mana mungkin aku memberikan fasilitas lengkap bela diri secara gratis kepada mereka," ujar Leonardo.
"Ayolah, sekali ini saja. Ini sekalian juga kau mengajariku bela diri lagi," ujar Raka memohon.
"Tak akan," ujar Leonardo langsung membalasnya.
"Ayolah, Leo, jangan begitu, buat sekali ini saja," ujar Radit.
"TIDAK MAU!" ujar Leonardo dengan cepat membalasnya.
"Hm... bagaimana kalau begini. Mereka setidaknya membayar 25% dari harga biasa ke ruang bela diri kamu, lalu mumpung kamu belum temukan murid lagi buat diajak gelut, bagaimana buat 1 minggu sekalian juga kau menjadi pelatih mereka? Dan terakhir, aku akan membawa Steven, ditambah lagi kau bisa melihat keringat-keringat membara para perempuan, hehehe..." ujar Radit dengan nada berbisnis.
Leonardo tampak berpikir keras. "Hm... ide-mu menarik juga," dengan senyum bisnisnya. "Tapi ya benar juga, sudah lama aku tidak melatih orang lagi," ujar Leonardo dengan muka jahat. Radit tampak senang karena negosiasinya berhasil.
Para anggota perempuan tampak bingung, kenapa dengan tawaran itu seperti merencanakan niat jahat.
"Hei, Radit, kau jago sekali bernegosiasi. Bagaimana caranya?" ujar Raka dengan penasaran.
"Ah... aku tidak begitu tahu, namun aku seperti sudah mengalami hal yang serupa seperti ini," ujar Radit.
"Hal serupa?" ujar Raka dengan bingung.
"Ya, jika kata orang mungkin ini namanya déjà vu, namun ini aneh. Sebelum déjà vu, aku mengalami hal aneh terlebih dahulu," ujar Radit.
"Hal aneh?" ujar Raka dengan penasaran.
"Dunia tiba-tiba melamban saat aku terdiam, lalu setelah aku memulai melangkahkan kakiku, tiba-tiba beberapa gambaran saat ini dan beberapa menit ke depan muncul di ingatanku. Setelah aku selesai melangkahkan kakiku, tiba-tiba keadaan kembali normal. Karena aku penasaran dengan itu, aku mencobanya ke Leonardo, apakah gambaran itu benar atau tidak," ujar Radit.
"Lalu benar atau tidak?" ujar Raka dengan penasaran.
"Ya, benar. Gambaran ingatan itu benar. Aku juga kaget," ujar Radit.
"Woah, keren dong. Kamu bisa melihat kejadian masa depan, walaupun sebentar, dan itu sedikit membuktikan bahwa mimpimu sepertinya bukan kebetulan," ujar Raka dengan mata bercahaya.
"Tapi ada sedikit hal aneh dari penglihatannya," ujar Radit.
"Hal aneh? Apa itu?" ujar Raka kembali bingung.
"Di gambaran itu dan saat dunia melamban, aku melihat wanita!" ujar Radit.
"Wanita? Amel? Hana? Laras?" ujar Raka dengan bingung.
"Dia bukan anggota klub kita," ujar Radit dengan serius.
"Maksudmu? Jadi dia siapa, dari klub lain? Kelas lain?" ujar Raka.
"Tidak, bukan. Dia lebih mirip seperti mimpi yang kuceritakan tadi pagi," ujar Radit.
"Hm... aneh. Di mimpimu ada 2 orang yang datang ke klub kita untuk bergabung. Itu perempuan dan laki-laki. Namun yang kita lihat hanya 2 laki-laki itu, Fauzan dan Steven. Oh iya, apakah di mimpimu itu ada Steven juga yang datang mengantar mereka?" ujar Raka.
"Tidak, hanya mereka berdua saja. Namun ketika aku mengalami kejadian seperti ini, dunia seperti melamban sesaat, di ruang klub ada Steven yang sepertinya sedang membantu dua anak baru itu untuk mengisi formulir," ujar Radit.
"Hm... aneh. Kejadian yang kau ceritakan di kasusmu dan apa yang terjadi saat ini sedikit berbeda, tapi seperti aku percaya ucapanmu karena kamu tadi berhasil bernegosiasi dengan Leo, padahal dia paling susah diajak jika kita masuk ke ruang bela diri dia secara gratis. Tapi aku penasaran dengan gadis itu, siapa dia?" ujar Raka.
"Aku tidak begitu tahu. Aku tidak melihat wajahnya saat di mimpi. Mukanya tertutup seperti tertutup kegelapan. Saat dunia serasa melamban sesaat, aku tidak bisa melihat mukanya karena tertutup kepala Fauzan. Lalu tadi, mukanya sedang tidak berhadapan denganku. Ini membuatku penasaran juga," ujar Radit.
"Aku sendiri juga penasaran. Ok, kita sudahi saja cerita ini. Jika kita terus berspekulasi, tidak akan ketemu kebenarannya. Kita tunggu saja, siapa tahu wanita itu nanti akan muncul di kemudian hari," ujar Raka mengakhiri cerita itu.
"Hah, benar juga. Kita tunggu aja, aku juga penasaran. Tapi, apa kau percaya dengan cerita-ceritaku tadi, Raka?" ujar Radit.
"Ya, tentulah percaya. Kejadianmu sangat menarik, dan dengan kamu menang bernegosiasi tadi membuatku tambah percaya. Tenang saja, kawan," ujar Raka dengan senyum.
"Terima kasih, Raka, sudah percaya dengan kejadian aneh seperti ini," ujar Radit dengan senyum.
"Santai saja, kita ini kan sudah menjadi teman sejak masih kecil," ujar Raka. Radit pun tersenyum karena ada sahabat sejatinya yang selalu hadir ketika dia kesusahan.
Hari pun tak terasa sudah sore. Mereka semua pergi pulang ke rumah masing-masing.
Dalam perjalanan pulang, Radit berusaha mengingat-ngingat wanita dalam ingatan itu.
"Siapa ya perempuan itu? Aku penasaran, bagaimana wajahnya nanti. Tapi, kenapa jika aku ingat-ingat, aku merasa seperti ingin bertemu dia, dan aku seperti telah bertemu dengan Dia dan ingin bertemu dia, seperti rasa perasaan rindu," ujar Radit yang berkata sendiri. Tiba-tiba, Radit meneteskan sedikit air mata.
Dia menjadi semakin penasaran dan berharap agar cepat-cepat bertemu dengan wanita itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments