Dua hari berlalu...
Sore itu Alva kembali pulang ke rumah dengan diantar oleh sang asisten, Juna.
Karena rencananya, Mona dan Jonathan akan mengundang keluarga Yolanda untuk makan malam bersama.
Alva tidak mampu untuk menolak, sebagai gantinya ia hanya memasang wajah datar pada semua orang. Tak terkecuali pada kedua orang tua Yolanda.
Wanita itu sesekali mengajak Alva bicara saat makan malam telah selesai. Namun sayang, Alva hanya menanggapinya dengan kata "Tidak" atau hanya sekedar ber'hemmm' ria.
Mona dan Jonathan yang merasa tidak enakan, akhirnya meminta maaf pada Yolanda dan juga kedua orang tuanya. Dan berharap untuk memaklumi sikap putra semata wayang mereka.
Yolanda hanya mampu mengepalkan tangannya dibawah meja, sambil tersenyum terpaksa. Agar kesan baik kedua orang tua Alva selalu menghampirinya.
Meski ia tidak tahu, kelak sanggupkah ia satu atap dengan laki-laki sedingin dan seangkuh Alva.
Setelah makan malam berlalu, Jonathan memanggil sang putra untuk menemuinya di ruang belajar.
Sama seperti di meja makan, Alva menemui ayahnya dengan wajah tanpa ekspresi apapun. Seperti sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan lelaki tua itu.
Tok tok tok...
"Ini Alva." Ucapnya sebelum ia masuk kedalam ruang belajar.
Dan disinilah mereka sekarang, dua lelaki berbeda generasi, duduk berhadapan. Hanya ada meja kayu sebagai pembatas diantara keduanya.
Alva bergeming, tak ingin membuka suara lebih dulu. Biarlah si tua itu yang memulai, dan ia cukup mendengarkan.
Jonathan lebih dulu menatap putranya, wajah bak pinang dibelah dua. Alva adalah Jonathan muda.
"Al, langsung saja. Papa meminta kamu kemari hanya untuk bilang. Tolong, tolong dan tolong... Bersikaplah lebih baik pada Yolanda mulai sekarang. Karena kini, statusnya sudah menjadi tunanganmu. Dan itu artinya, dia adalah calon istri dari penerus Antarakna. Calon istrimu Al." Ucap Jonathan dengan memohon, bahkan diselingi penekanan disetiap kalimatnya.
Namun apa reaksi Alva?
Dia hanya mendesah pelan, lalu tersenyum miring, seakan apa yang ayahnya bicarakan bukanlah sesuatu yang penting.
"Apakah hanya itu yang ingin Papa bicarakan?" Alih-alih mengiyakan, Alva justru bertanya.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu? Asal kamu tahu, Papa melakukan ini semua, hanya karena ingin kamu memiliki kesan baik dihadapan Yolanda dan kedua orang tuanya. Jadi lakukanlah yang terbaik."
Alva mendengus.
"Tidak cukupkah untuk sekedar bertunangan saja? Apa aku harus bersikap baik padanya juga?"
"Alva!!!" Bentak Jonathan.
"Tidak Pa!"
"Alva!!!" Pekik Jonathan semakin meninggi.
"Alva rasa sudah cukup Papa memintaku untuk bertunangan dengannya. Dan kali ini Alva minta, jangan lagi memerintah ataupun menyuruh Alva mengikuti semua perintah Papa...."
"Sudah cukup selama 25 tahun, Alva menjadi manekin hidup yang terus diatur pergerakannya..."
"Mulai saat ini, Alva ingin bebas, sebebas-bebasnya. Melakukan hal yang menurut Alva baik ataupun tidak, bukan lagi menurut Papa. Jika sekali lagi Papa lakukan itu pada Alva, jangan salahkan Alva jika suatu saat Alva akan memberontak!"
Setelah mengucapkan apa yang selama ini ia pendam dalam hatinya, dengan sorot mata berapi-api, Alva meninggalkan ruang belajar.
Meninggalkan Jonathan yang terpaku ditempatnya. Dengan kemelut pertanyaan "Salahkah langkahnya selama ini mendidik Alva?"
Namun sekeras apapun ia mencari, ia tak mampu untuk menjawab pertanyaannya sendiri, hingga akhirnya hanya helaan nafas panjang yang mampu ia lakukan.
Mona melihat Alva keluar dari ruangan itu dengan raut wajah penuh kekesalan. Ia yakin, dua lelaki yang dicintainya itu telah bertengkar.
Dengan langkah cepat, ia mengekor dibelakang Alva, dan ikut masuk kedalam kamar lelaki itu.
Alva menghempaskan pantatnya diatas ranjang, menangkup kepalanya dengan dua tangan, lalu menarik nafas dan membuangnya beberapa kali, berusaha menghilangkan apa yang membuat dadanya sesak.
Sementara Mona, duduk disamping putranya tersebut. Ia mengusap sayang punggung lebar Alva.
"Sayang..." Panggil Mona lembut, mendengar itu Alva perlahan menoleh kesamping dimana Mona berada.
"Alva... Bukannya Mama membela Papa. Tapi kami berdua memang hanya ingin yang terbaik untukmu sayang." Ucap Mona hati-hati, takut kalau Alva tersinggung kembali.
Alva meneguk ludahnya yang terasa tercekat di tenggorokan. Kembali menatap Mona, dan akhirnya lelaki itu memilih untuk memeluk sang ibu.
Mona terus mengusap-usap punggung Alva, baginya berapapun usia lelaki itu, Alva tetaplah pangeran kecilnya.
"Mama mohon, jangan benci Papa ataupun Mama yah." Ucap Mona lagi, kali ini Alva mendongak, menatap netra yang kini mulai layu seiring bertambahnya usia.
"Alva tahu, Mama hanya mengikuti apapun rencana Papa. Jadi Alva tidak bisa untuk membenci Mama." Balas Alva dengan nada melunak.
"Al..."
Alva melerai pelukan itu, sebelum sang ibu melanjutkan kembali pembicaraannya.
"Sudah malam, sebaiknya Mama segera istirahat. Dan ingat, jangan pikirkan apapun."
Mona hanya bisa mendesah pasrah.
Akhirnya mau tidak mau Mona mengangguk menyetujui ajakan Alva untuknya beristirahat. Watak keras Jonathan benar-benar melekat pada diri Alva. Dan ia tidak membantahnya.
Setelah Mona keluar, Alva kembali menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, sejenak ia memandangi langit-langit kamarnya yang berwarna putih.
Hingga lamunannya buyar seketika, saat ada sebuah suara pesan masuk ke ponsel pribadinya.
Ia bangkit dan mencoba meraih benda pipih itu diatas nakas. Membuka layar yang diisi wallpaper Alva sedang menggendong Chilla kecil.
Message from Bochill :
Sayang apa sudah tidur?
Melihat itu Alva mengulum senyum tipis. Hingga dapat ia rasakan, kekesalannya pada sang ayah sejenak terlupakan.
Me :
Belum.
Bochill :
Lihatlah ke balkon. Chilla disana ❤️
Alva langsung melangkah ke arah pintu balkon berada, mengintip dari balik tirai yang ia singkap sedikit. Namun entah kenapa, gadis kecil itu menyadarinya.
Chilla melambai, karena kebetulan kamar mereka diatas lantai yang sama, dan balkon mereka berhadapan.
Bochill is calling...
Dan panggilan telepon itu, membuat Alva memutuskan untuk membuka tirai itu lebar-lebar, dan membuka satu pintu balkon.
Dapat dilihat Chilla tersenyum ke arahnya. Namun Alva hanya membalas senyum itu sangat tipis, hingga tidak disadari oleh Chilla.
"Untuk apa menelponku?" Tanya Alva begitu panggilan terhubung.
"Chilla pikir, Chilla tidak akan bisa tidur jika tidak mendengar suara kakak pacar." Balas Chilla dengan suara manja.
Dan itu sukses membuat Alva tekekeh pelan. Bisa saja gadis ini menggodanya.
"Kenapa tertawa? Chilla tidak berbohong." Rengek Chilla.
"Iya aku percaya, tapi ambillah selimut dulu untuk menutup tubuhmu yang mungil itu. Kalau tidak, kau bisa masuk angin nantinya." Titah Alva yang melihat Chilla hanya menggunakan kaos pendek dan celana sebatas paha.
Chilla menurut, ia segera mengambil selimut, lalu membungkus tubuhnya dengan kain itu. Namun tetap saja, kehangatan yang Alva berikan selalu menjadi yang pertama untuknya.
Setelah Chilla kembali, keduanya memutuskan untuk mengobrol, saling melempar candaan dan tersenyum satu sama lain.
Sejenak keduanya terlihat seperti pasangan pada umumnya, hingga saking terhanyutnya, mereka sampai lupa waktu, saat diliriknya layar di ponsel, kini sudah hampir jam 11 malam.
Itu artinya mereka sudah menghabiskan waktu untuk bercengkrama selama kurang lebih 1 setengah jam.
"Tidurlah, ini sudah larut." Titah Alva pada sang kekasih gelap.
"Padahal masih ingin mengobrol, kenapa waktunya cepat sekali." Rengek Chilla tak ingin memutus panggilan mereka.
Alva terkekeh kembali, "Sudahlah... Besok kita masih bisa bertemu. Karena aku akan mengantarmu sampai ke sekolah."
Mendengar itu Chilla berteriak kegirangan.
"Benarkah, baiklah kalo begitu. Selamat tidur sayangku. I love you."
"Hemmm."
Senyum dibibir Chilla sirna seketika mendengar jawaban Alva, "Sayang i love you."
"Iya," Balas Alva singkat.
"Ishhh.... I love you." Ungkap Chilla terus mengulang. Pokoknya sebelum dijawab ia tidak mau mematikan panggilannya.
"Sudah malam, aku tutup yah." Balas Alva masih ingin menjunjung tinggi harga dirinya.
"Sayang...... Sekali saja, i love you." Merengek manja.
Hah!
Akhirnya Alva hanya bisa mendesah pasrah dengan tingkah Chilla, ia melupakan sejenak kegengsiannya hanya untuk berkata, "Too."
Setelah mendengar jawaban Alva, Chilla kembali tersenyum-senyum dengan pipi yang merona. Nyatanya tak perlu lengkap, hanya dengan satu kata, maka ia jamin nyenyaklah tidurnya. Bahkan mungkin ia akan bermimpi indah.
...****************...
Pagi hari...
Alva keluar dengan wajah yang masih sama seperti semalam, karena suasana antara dirinya dan sang Papa masih memanas, belum juga padam.
Juna dengan sigap membukakan pintu untuk sang Tuan, dengan cepat Alva masuk kedalam mobil, namun meminta Juna untuk menunggu sebentar.
Setelah menunggu beberapa saat, Chilla datang dan langsung mendudukan diri disamping Alva.
Senyum gadis itu cerah sekali hari ini. Berbeda dengan sang kekasih.
"Jun, jalan." Ucap Alva, lalu bergeser ke tengah dan mulai memeluk Chilla.
Lelaki itu menyandarkan kepalanya dibahu Chilla, seraya menghirup dalam-dalam, aroma parfum yang gadis itu pakai, begitu menenangkan.
Menyadari perubahan sikap Alva, Chilla yakin terjadi sesuatu dengan lelaki tersebut. Ia mengecek suhu tubuh Alva dengan memegang kening, namun setelah beberapa saat dirasai, tidak ada yang aneh sama sekali.
"Aku tidak sakit." Ucap Alva sambil meraih telapak tangan Chilla untuk digenggamnya.
"Lalu Kakak pacar kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Chilla sendu, jujur melihat Alva yang seperti ini membuatnya sedih.
Alva menggeleng dalam dekapan Chilla, sontak gadis itu menggeliat merasa geli.
"Tidak apa-apa, aku hanya sedang ingin seperti ini. Sebentar saja." Balas Alva tak ingin membuat gadis itu berpikir macam-macam, karena hanya dengan ditanya kenapa? Itu sudah cukup membuat ia merasa berharga.
"Oh ya bagaimana sekolahmu?" Sambungnya.
Chilla berpikir sejenak, "Tidak ada masalah, sebentar lagi juga ujian kelulusan,"
"Benarkah?"
Chilla mengangguk-anggukkan kepala.
"Memangnya kenapa? Apa sayang ingin segera mengajakku untuk menikah?" Tanya Chilla menggoda, bahkan dibubuhi kedipan matanya yang manja.
Mendengar itu Alva reflek menyentil dahi Chilla.
Cletak!
"Belajar dulu yang benar." Cetus Alva, membuat Chilla mengerucutkan bibirnya sambil memegangi dahi yang telah menjadi korban kekerasan Alva.
Sementara Juna sudah cekikikan sendiri didalam hati.
Sejenak tidak ada yang bersuara kembali didalam mobil, Chilla tak bisa berkutik karena tubuhnya benar-benar terperangkap dalam dekapan Alva.
Sedangkan lelaki itu hanya menikmati perjalanan sambil terpejam.
"Oh ya sayang... Chilla lupa, happy anniversary yang ke seminggu yah." Ucap Chilla tiba-tiba.
Alva mengerutkan keningnya seraya membuka mata, "Memangnya ada anniversary satu Minggu? Lagi pula untuk apa?"
"Ada, ini buktinya. Lagi pula ini itu supaya kakak pacar tidak lupa. Kalau kakak pacar juga punya Chilla." Terangnya dengan tersenyum.
Mendengar itu Alva mulai menyeringai, ia manggut-manggut dengan senyum jenakanya. Apa saja topiknya, ternyata kini otaknya tidak bisa jauh-jauh dari sebuah kemesuman yang nyata.
"Benar juga. Kalau begitu, kemarikan tasmu." Pinta Alva seraya melirik Juna, tanpa curiga Chilla menyerahkan tasnya pada sang pacar.
Alva menerima tas itu, lalu meletakkannya didepan tubuh Chilla, sedangkan tangannya yang kelewat aktif, sudah merogoh masuk kedalam kemeja gadis kecilnya.
Mata Chilla membola dengan pipi yang memerah, mendadak tubuhnya juga menegang, saat dadanya berhasil Alva gapai dan perlahan pucuknya dimainkan.
"Ini juga punyaku kan?" Tanyanya dengan kedipan nackal.
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
Kakak tangannya aktif ya bund😌😌😌
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 196 Episodes
Comments
komalia komalia
kondisikan dong tangan nya alva
2024-10-24
0
Ita rahmawati
kasian juna nya kalo aku mah 🤣🤣
2024-07-23
0
emak gue
nasib Lo jun....jun...🤣🤣
2024-07-16
0