Alva mematut dirinya didepan cermin, berkali-kali mencoba menyunggingkan senyumnya untuk hari ini. Namun, nihil.
Hatinya tidak bisa dibohongi kalau sebenarnya ia muak dengan semua ini.
Pahatan wajah yang sempurna di kaca, nyatanya tak sesempurna hidupnya.
Ia mendesah pasrah, akhirnya hanya itulah yang mampu dilakukannya.
Berusaha menjalankan pertunangan ini lancar tanpa kendala. Melihat ayah dan ibunya senang, maka semuanya selesai.
Sedangkan diluar sana, orang-orang sudah nampak berdatangan di ballroom hotel milik salah satu anak cabang Antarakna group.
Mereka semua berdandan seapik mungkin demi mengikuti pesta pertunangan antara pewaris Antarakna, dengan putri sulung pemilik brand tas ternama.
Dan salah satu yang menjadi tamu disana adalah gadis manis bernama Chilla.
Gadis itu datang dengan menggunakan dress tanpa lengan dan berdada cukup rendah, hingga daging tanpa tulang itu sedikit menyembul menghiasi area depannya.
Rambut tergerai setengah terikat, dan sepatu heels cukup tinggi merubahnya menjadi gadis yang cantik jelita.
Ini bukanlah pilihan Chilla, tetapi sang Mama yang menyiapkannya, pakaian warna senada dengan Pram dan juga Sarah.
Ia melirik ke kanan dan ke kiri, bahkan ke seluruh penjuru arah mencari sosok tampan yang akan menjadi bintangnya acara.
Namun, bukannya menemukan Alva ia malah bertemu Bryan, teman sekelasnya.
Ia tak salah mengenali, karena ternyata Bryan juga melihat dirinya.
"Chilla." Sapa Bryan dengan senyum mengembang dikedua sudut bibirnya.
Tak menyangka, akan bertemu gadis incarannya di pesta seperti ini. Bahkan dengan dandanan yang menurutnya luar biasa, luar biasa cantiknya.
"Oh Bryan, sedang apa disini? Apa kamu juga di undang?" Balas Chilla cukup heran. Kalau Alva yang mengundang rasanya tidak mungkin, karena yang ia tahu mereka tidak saling mengenal.
"Tidak, Mama dan papaku yang diundang. Tapi Papa masih ada urusan, jadi aku menggantikannya." Balas Bryan apa adanya, dirinya memang datang dengan sang Mama, karena kedua orangtuanya teman akrab kedua orang tua Yolanda.
"Bagaimana denganmu? Kamu datang dengan siapa Chilla?" Sambung Bryan dengan pertanyaan, berharap gadis didepannya ini datang sendirian.
Dengan begitu, malam ini ia bisa berlama-lama bersama dengan gadis itu.
"Chilla datang sama Mama dan Papa. Aku tetangganya kak Alva, makanya diundang." Balas Chilla kembali celingukan, namun lagi-lagi bukan Alva yang ditemukan oleh indera penglihatannya.
Malah sang papa yang kini sedang membalas tatapannya.
Chilla tersenyum sambil melambai, "Yan, itu Papaku." Ucap Chilla sambil menunjuk memperkenalkan.
Bryan mengikuti arah gerak tangan Chilla, begitu ia melihat sosok lelaki paruh baya yang ia yakini adalah Papa Chilla, Bryan langsung menggerakan kepalanya sopan.
Namun bukannya tersenyum, Pram malah menunjukkan wajah garang.
Sehingga Bryan langsung memasang wajah tegang dan menelan ludah, takut.
Chilla yang melihat itu langsung cemberut, Pram selalu saja begitu, tidak bisa bersikap baik ketika ada lelaki yang mendekatinya.
Akhirnya Chilla meminta maaf pada Bryan atas sikap ayahnya. Tak ingin Chilla merasa tak enakan, Bryan langsung saja mengatakan iya.
Di sela ia mengobrol dengan Bryan, tiba-tiba Mona datang menghampirinya.
"Chilla sayang, Mama Mona sedang butuh bantuan, Chilla mau bantu tidak?" Pinta Mona dengan mimik wajah yang serius.
Merasa dirinya pun sedari tadi tidak melakukan apa-apa. Chilla menganggukkan kepala.
"Mama Mona butuh bantuan apa?" Tanya Chilla antusias.
Begitu ditanya, Mona langsung menjelaskan pada Chilla. Bahwa ia butuh gadis itu untuk menjadi pembawa cincin di acara pertunangan Alva malam ini.
Karena tiba-tiba sepupu Yolanda dikabarkan tidak akan datang. Ada hal mendesak yang terjadi sehingga mau tidak mau, ia harus mencari orang lain untuk menggantikannya.
Ragu, namun Chilla tak memiliki alasan apapun untuk menolak. Meski ia tahu, hal itu akan menyakitkan baginya.
Ini konsekuensinya Chilla. Batinnya terus mengingatkan.
Perlahan Chilla tersenyum dan mengangguk mengiyakan perkataan Mona.
Mona pun membalas senyuman Chilla, lalu meminta Chilla untuk ikut dengannya, karena acara akan segera dimulai.
Alva berjalan dengan gagah menuju panggung saat sang MC mengumumkan bahwa acara tukar cincin akan segera di laksanakan.
Ia melirik sekilas ke arah Chilla yang sedang menunduk, entah apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
Akhirnya karena tak mau membuang waktu, Alva terus saja berjalan, hingga ia sampai dihadapan Yolanda.
Yolanda tersenyum sumringah begitu Alva sudah berdiri disana. Senyum yang seakan tak ingin menyurut dari kedua bibirnya.
Meski ia menyadari Alva tidak menyukainya, tapi ia juga tahu bahwa Alva tidak mungkin membuat kedua orang tuanya kecewa.
MC kembali membuka suara, kini ia mempersilakan sang pembawa cincin untuk naik ke atas panggung dan melakukan tugasnya.
Dengan perasaan yang tak menentu, Chilla berjalan dengan perlahan. Sesekali memandangi dua bulatan kecil yang ia tahu, desainnya dibuat sendiri oleh sang ayah.
Melihat Chilla yang akan naik ke atas panggung Alva menatap tak percaya, bukankah kemarin bukan gadis itu yang akan membawanya. Tapi kenapa?
Gelenyar rasa aneh tiba-tiba menelusup ke hati Alva, kala melihat wajah Chilla tak ceria seperti biasanya.
Bahkan ia menyadari mata Chilla mulai berkaca-kaca, saat gadis itu sudah berdiri antara dirinya dan juga Yolanda.
Dengan perasaan penuh rasa bersalah Alva mengambil satu cincin untuk dipasangkan di jari manis Yolanda.
Tak ada apa itu namanya bahagia, yang ada hanya sesuatu yang menyesakkan dada.
Begitu pun dengan Chilla, kakinya terasa lunglai, sekuat apapun ia bertahan dengan rasa sakit itu, akhirnya tak dipungkiri. Ia cemburu, ia ingin menangis sekarang juga.
Lain dengan keduanya. Yolanda terlihat begitu bersemangat, kini gilirannya untuk memasangkan cincin di jari sang tunangan.
Melihat itu Chilla membuang mukanya, mencoba sekali lagi untuk tidak menumpahkan air matanya.
Prok prok prok
Riuh suara tepuk tangan seketika menggema saat kedua cincin yang Chilla bawa sudah tersemat di jari masing-masing pemiliknya.
Puk!
Alva menepuk bahu kiri Chilla, begitu gadis itu malah terlihat melamun, Chilla menoleh hingga kedua matanya bersitatap dengan mata milik Alva.
Alva menatap dalam netra gadis itu, dan disana ia bisa melihat ada ribuan rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan.
"Terimakasih." Ucap Alva lalu menyuruh Chilla turun dari atas panggung dengan ekor matanya.
Begitu tersadar, Chilla buru-buru menetralkan kembali mimik wajahnya. Berusaha setenang mungkin untuk memberi selamat kepada Alva dan juga Yolanda.
Setelah turun, entah kenapa kakinya ingin berlari menjauh dari pesta ini. Ia ingin sendiri, menumpahkan rasa sesak yang tiba-tiba saja datang, dan baru pernah ia rasakan.
****
Tring!
Ada pesan masuk. Chilla melirik ponselnya yang ia genggam di tangan kanan.
Message from My Sugar Daddy.
Bacanya dalam hati, apa Alva mencarinya yah? Ia mulai bertanya-tanya kira-kira apa isi pesan dari lelaki itu.
Kini ia sedang di toilet, menumpahkan kesedihannya disana, karena tak ingin ada yang melihatnya selemah ini.
Ragu, Chilla mulai membuka isi pesan Alva.
Dimana kau? Cepatlah kemari, aku tunggu di dekat tangga darurat.
Ia mulai menimang, ingin menemui lelaki itu atau tidak. Namun hatinya tak bisa dibohongi, ia ingin ketenangan, dan hanya dalam pelukan lelaki itu, ia bisa merasakan ketenangan yang sesungguhnya.
Tanpa pikir panjang Chilla buru-buru menghapus sisa jejak basahnya, keluar dan mulai mencari dimana tangga darurat berada.
Ia berjalan pelan-pelan, sambil kepalanya celingukan, berharap tidak ada yang melihatnya.
Senyumnya langsung terbit begitu ia melihat dimana tangga darurat, ia berjalan ke arah sana mencari sesosok yang ia cari.
Namun rasanya ia seperti dibodohi, nyatanya ia tidak melihat Alva disana.
Ia mendesah kesal, Hingga tubuhnya tiba-tiba terseret dengan mulut yang dibekap, masuk ke dalam ruangan yang minim dengan pencahayaan.
"Ini aku." Ucap seseorang yang menyeret tubuh Chilla untuk bersembunyi, ia melepas tangannya dari mulut gadis itu.
"Kakak pacar." Gumam Chilla mulai riang.
Alva mengangguk sambil menatap dalam Chilla, hatinya terusik tak terima mengingat wajah gadis didepannya sendu tak ceria.
"Katakan apa yang kau rasakan?" Ucap Alva tiba-tiba ingin mendengar sebuah penjelasan.
Bukannya menjawab, Chilla malah memukul dada Alva. Tidak peka, pikirnya.
"Kenapa? Kau cemburu? Kau menangis?" Tanya Alva beruntun, bahkan berharap Chilla bisa menjawab dengan kata Ya. Meski ia tidak tahu, mengapa hatinya menginginkan itu.
"Sudah tahu kenapa tidak peka juga. Jelas aku cemburu." Balas Chilla memalingkan muka, tak ingin Alva melihat wajahnya.
Alva menarik dagu Chilla, ingin kembali bersitatap.
"Chilla, kau tahu ini konsekuensinya. Bahkan sebelum kau memutuskan untuk menjadi simpananku aku yakin kau sudah tahu itu." Jelas Alva cukup panjang, namun nyatanya bukan itu yang ingin Chilla dengar.
"Aku tahu, tapi bukan itu yang ingin aku dengar. Aku hanya butuh penenang, aku butuh penawar dari..."
Cup!
"Bisakah itu menjadi penawarnya?" Tanya Alva dengan sendu.
Entah rasa apa yang bersarang dihatinya, yang ia yakini itu hanyalah rasa bersalah, rasa gagal melindungi Chilla.
Dadanya sesak sedari tadi karena tak mampu untuk berbuat apa-apa.
Chilla tak menjawab, ia bergeming untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, mencium Alva adalah pilihannya.
Lelaki itu membalas apa yang Chilla lakukan padanya, ia membawa tubuh gadis itu hingga menempel pada tembok.
Kedua tangannya digunakan untuk menumpu, sedangkan tangan Chilla sudah bergelayut manja dilehernya.
Mereka berdua terus berpagut, mencecap rasa manis yang mengalirkan kebahagiaan.
Berharap setelahnya, ada rasa lega yang mengobati sesaknya dada.
Berawal dari sebuah ciuman, nyatanya cukup membuat hasrat Alva menggelora. Aroma tubuh Chilla benar-benar telah menjadi candunya.
Bahkan kini mulutnya mulai berputar kesana-kemari, menyesap tubuh Chilla hingga tanda merah itu tercetak ditempat yang tersembunyi.
Tak cukup sampai disana, Alva yang sudah benar-benar bergairah, dengan nalurinya menurunkan resleting dan membuka dress yang Chilla kenakan turun hingga ke pinggang.
Ia berkali-kali meneguk ludahnya, sebelum ia menghisap dua bukitan kenyal yang sudah terpampang nyata.
Diperlakukan seperti itu Chilla semakin melayang, ia meremas rambut Alva yang kini sedang membenamkan wajah didadanya.
Seketika ruang sunyi itu berubah ramai dengan suara lenguhan dari bibir mungil Chilla.
Bagaimana tidak, kini pucuk dadanya dimainkan begitu manja oleh lidah Alva.
"Aku tidak yakin bisa menahannya." Ucap Alva dengan terengah-engah.
Menatap Chilla dengan tatapan memohon. Chilla hanya mengangguk patuh, ketika tangan Alva menuntun satu tangannya turun kebawah sana. Tempat benda pusaka berada.
Dapat Chilla rasakan sesuatu yang ia pegang menggeliat, dan ia yakin kini Alva sedang merasakan sesak.
Alva mengangguk, mengerti akan tatapan mata Chilla. Pelan tapi pasti, Chilla menurunkan resleting yang menempel pada celana Alva.
Ia menggigit bibir bawahnya saat sesuatu itu dapat ia jangkau, terasa penuh dalam genggaman.
"Ku mohon, bantu aku menuntaskannya." Ucap Alva benar-benar dengan suara yang tak berdaya.
Bagai terhipnotis, Chilla mengangguk menyetujui, Alva mengukir senyum sebelum ia menyingkap dress yang Chilla kenakan.
Membawa senjata laras panjangnya menempel pada pangkal paha Chilla. Menggerakkannya naik turun membuat Chilla kembali melenguh.
Dan lenguhan itu semakin membuat panas api asmaranya membara, Alva kembali menguasai tubuh gadisnya, semuanya berhenti begitu cairan hangat itu berhasil mengaliri paha mulus Chilla.
Disusul suara desahan Alva yang tertahan, tak ingin sampai menggema.
Dan setelahnya tubuh Alva ambruk dalam posisi memeluk Chilla, karena kini tubuhnya seakan lemas tak bertenaga.
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
Ini kakak Alva imajinasi Dede😂😂😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 196 Episodes
Comments
Avril
🤣🤣
2025-03-13
0
Ita rahmawati
kalo visualnya si tae aku jd gagal fokus 🤣🤣
2024-07-23
0
sukapilus
cintaku masih wamil torrrrr
2023-12-16
4