"B-bagaimana bisa?"
Kei menutup mulut. Membelalakkan netra sebagai tanda keterkejutan yang dirasanya. Ia tidak percaya. Hamil? Bukankah...
"Karena kamu wanita dewasa Kei. Segalanya bisa terjadi jika sudah melakukannya," Celica menjawab seadanya.
Wanita beranak tiga itu sejujurnya kasihan dengan Kei. Tapi yang bisa dibuat? Lelaki yang sudah melakukan hal itu pada Kei saja tidak kelihatan batang hidungnya.
Mengingat menurut cerita bibi Gin dari narasumbernya yaitu Kei, Kei dan pria itu melakukan percintaan satu malam.
Setelah melalui malam yang panjang, sama sama tak dikenal menjelang paginya. Namun di situ Celi tidak menganggap Kei wanita murahan.
Karena sahabat baiknya, anak bibi Gin juga mengalami kejadian sial sama seperti nasip Kei.
"Sabar ya, Kei," Celi mengelus bahu Kei.
"Apa yang sabar, bunda Hyan?"
Pandangan Kei dan Celi mengarah ke sumber suara.Ada bi Gin di samping kulkas. Menatap penasaran akan perbincangan kedua perempuan ini.
Bunda Hyan adalah sebutan untuk Celi karena anak pertamanya bernama Hyan. Kei tidak menyebut Celi dengan bunda Hyan, karena Celi tidak mengizinkan. Mengingat usia Celi dan Kei tidak terlampau jauh.
"Kei hamil, bi," ungkap Celi jujur.
Bi Gin menghampiri Kei. Setelah ia menutup mulut, ada naluri jika ia harus menenangkan perasaan Kei, si perempuan yang kini berwajah pucat bagai mayat.
"Sabar ya nak. Berpikirlah positif. Jangan depresi hingga pikiran iblis menguasaimu," pesan bibi Gin. Air mata membasahi pipi bibi Gin dan tak lupa ada Celi.
Kedua perempuan itu, sudah pernah kehilangan satu orang yang paling mereka sayangi. Anak bibi Gin, teman Celi sejak kecil. Malah mati muda… Dengan janin tak berdosa hasil perbuatan bejat lelaki yang sudah mati seminggu setelah anak bibi Gin meninggal.
Sedang Kei menatap terharu. Ia masih tidak percaya, ternyata masih ada orang baik yang mau menerima keberadaannya walau seperti ini.
****
Enam setengah tahun kemudian.
Sinar matahari hangat terbit, perlahan menggeser cahayanya memasuki setiap celah yang mampu dimasukinya.
Sebuah rumah rapi dengan jendela transparan sebagai dinding di beberapa ruangan tertutup gorden dua lapis.
Susunan cat, palet, kanvas. Kertas demi kertas, membentuk buku tebal terbuka di atas meja. Tulisan sangat rapi, sepertinya membentuk suatu cerita panjang di dalamnya.
Tiga ranjang berukuran mini ditempati tiga orang anak sedang tidur, tentunya. Dua perempuan, satu laki-laki. Mereka sangat nyenyak dalam alam mimpi.
Tok, tok, tok. Pintu dalam ruangan menyatu kamar dan ruang permainan, diketuk lembut oleh seorang wanita cantik berpakaian sederhana tampak memegang nampan berisi tiga piring.
"Anna, Alice, Andre. Bangun nak," wanita itu menyerukan nama anak-anaknya.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Ceklek.
"Bunda!"
"Bunda!"
"Bunda!"
Tiga anak balita itu seperti biasanya selalu mengagetkan Kei, nama panggilan wanita itu. Ketiga anak, memeluk di berbagai sisi, bagian kaki panjang berbalut celana hitam karet milik Kei.
"Haha, tunggu sayang. Jangan terburu-buru," Kei segera meletak nampan di atas meja dekat posisinya. Di sana terdapat susunan buku cukup tebal tampak sudah dicetak rapi.
Kei berjongkok, menunjukkan senyuman manis, keibuannya. Menatap tiga anaknya. Ya, tiga anak. Anak yang dikandung, dan dilahirkannya secara cesar lima setengah tahun yang lalu.
Anna, Alice, dan Andre, nama ketiga anak-anaknya. Sangat cantik dan tampan. Mata biru, dan rambut pirang menjadi dominasi permukaan wajah mereka.
Nampaknya tiada dari raut wajahnya ditiru oleh anak-anaknya kecuali kenyataan yang tidak pernah bisa terbantahkan, yaitu Kei adalah wanita yang melahirkan ketiga jagoan cilik ini!
"Selamat pagi sayang-sayang bunda!" sambut Kei melebarkan telapak tangan.
Dan anak-anaknya segera mendekatkan tubuh mereka ke dalam pelukan hangat ibu mereka.
"Pagi bunda!"
"Pagi sayangnya Alice."
"Pagi bundaku yang jelek!"
Dan begitulah Kei disebut oleh ketiga anak-anak kembarnya. Anna, si kakak besaran, biasa menyebut mamanya.
Sedang Alice, gadis cilik itu sangat sayang dengan mamanya. Uh, terlihat sekali jika Alice anak mami, sayang keluarga!
Serta Andre, dengan segala keusilan yang membentuk dirinya, entah dapat dari mana sifat itu, mengejek Kei, mamanya adalah kebiasaan usilnya tiap hari.
Karena menurutnya, tiada orang yang lebih luar biasa dari padanya.
***
Hari biasa yang terasa spesial di setiap detik-detik waktu berjalan.
Kei sangat menikmati harinya dengan secara terkadang memperhatikan ketiga anaknya dari sofa di ujung ruangan berkaca di mana udara dan cahaya bisa masuk dengan bebas.
Anna, dan Alice, sedang melakukan pekerjaan luar biasa yang jujur tidak pernah mampu dibayangkannya dari awal.
Anna duduk di atas bantal khusus tempat duduk, menghadap canvas dan mulai menyolek sedikit demi sedikit canvas berbidang putih itu dan memulai imajinasi dengan tangan gembul nan kecilnya.
Alice, menulis dengan pensil di atas meja. Mengoret kata demi kata dari pikirannya hingga membentuk suatu cerita hari-harinya.
Kedua anak perempuan yang sungguh berbakat. Tidak ada unsur paksaan dilakukan Kei agar anaknya tampak baik dalam pandangan orang.
Anak-anaknya melakukan segala sesuatu dengan suka hati, dan Kei hanya perlu memberi ruang untuk bakat luar biasa ketiga anaknya walau pekerjaan sebagai penulis online seperti kebiasaan selama dua tahun sejak ia mulai merasa bosan dan tiada kerjaan.
Keadaan sunyi.
Sedang Andre, dia lelaki cilik yang juga berbakat. Tapi seperti kebiasaannya, dia akan pergi keluar. Tentu, melakukan pekerjaan sehari-hari.
Andre berbuat usil!
"Bunda Anna!"
Seorang wanita bertubuh gendut dan dengan raut wajah marah berada di depan pintu.
Kei tersenyum samar, berdiri dari sofa tempat semula ia duduk, "Ada apa Bunda Wage?" tanyanya ramah.
"Ini masalah Andre! Liat, anakmu buat masalah lagi dengan keluargaku!" tangan wanita yang sedari tadi menyimpan di belakang menunjuk taukan seorang anak kecil yang menunduk setelah dipersilahkan berada di samping wanita itu.
"Andre?" tangan Kei segera menarik Andre, pria kecilnya dan menggendong tubuh anak itu dari pada nantinya akan dipukuli oleh wanita yang tampaknya geram seperti tetangga-tetangga lainnya di tempat Kei berada ini.
"Dia pasti usil lagi ya, bunda Wage?" sudah menjadi kebiasaan Kei bertanya pada orang yang datang jika menyangkut masalah Andre.
"Ya! Anak licik itu udah habisin uang jajan anakku!" adu wanita itu.
Kei tidak mengernyit bingung lagi jika masalah Andre. Pastinya Andre tipu anak bunda Wage ini supaya memberinya uang.
"B-baiklah, aku mengerti bunda. Berapa uang jajan yang di ambil Andre dari anak bunda?"
"Sepuluh ribu!" tegas wanita itu.
Segera Kei merogoh koceknya dan mengambil uang dari sana. Tapi terhenti karena Andre berkata padanya.
"Jangan mau bund! Bunda Wage berbohong!"
"Etts, kamu jangan suka bilang gitu nak. Tidak baik."
"Tapi bund, Andre tidak berbohong! Tadi hanya dua ribu!"
Andre berseri keras. Tapi Kei menghiraukannya.
"I-ini bun uangnya. Maafkan anakku ya bun."
"Ya, ya, ya! Aku maafkan! Tapi memang udah jadi hukum alamnya, ya! Anak haram, ya tetap anak haram! Kelakuan sama aja haramnya!"
Wanita itu pergi.
Kei merasa terluka dengan lontaran perkataan itu. Seluruh warga di sini sudah tau kalau ketiga anak-anaknya lahir tanpa ayah.
Tapi ia tidak bisa bantah kenyataan itu. Anaknya memang hadir karena dia diperkosa. Namun jiwanya sudah kuat. Dan dia terus menguatkan iman pada Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari bisikan iblis yang penuh siasat dan tipu muslihat.
"Bunda kenapa kasih bunda Wage uang yang besar sekali jumlahnya? Bukannya Andre hanya mengambil dua ribu?" nada suara Andre terdengar takut.
Kei tau perasaan putra bungsunya ini. Dia menyisir rambut pendek putranya ke belakang dengan kelima jemarinya, sangat lembut.
"Kamu sudah mencuri nak. Dan harga sepuluh ribu tidak ada bandingnya jika dihitung perbuatanmu. Jangan lakukan itu, atau bunda hanya akan marah padamu," ancam Kei lembut. Masuk kembali ke rumah setelah wanita itu menghilang dari jarak pandangnya.
Bukan Kei tidak pernah melanggar kelakuan anak itu.
Tapi Andre punya banyak cara agar keluar dari ruangan yang sering dikatanya sangat membosankan!
Lagi pula Andre masih kecil. Kei yakin Andre tidak sengaja walau tau ini sudah kesalahan ketiga selama minggu ini.
Andre anak bijak. Dan Kei juga yakin jika Andre hanya lelah dengan warga yang terus menjauhi mereka seakan keluarga kecil tanpa kepala keluarga ini adalah kumpulan sampah masyarakat.
****
"Bunda Anna. Oh, bunda Anna. Dimanakah dirimu?" panggilan dari balik pintu kamar, suara sederhana dan menggema.
Pukul dua belas kurang, Kei baru saja menidurkan ketiga anak-anaknya. Segera bangkit dari sudut ranjang putra bungsu yang tengah tertidur pulas.
"Tidur nyenyak-nyenyak ya, sayang-sayang bunda," ia menutup pintu.
Kei menghampiri orang yang masih saja berteriak di ruang tengah, "Bi Gin? Tumben datang kemari. Duduk, duduk. Silahkan duduk bi."
"Makasih."
Kei dan wanita tua itu duduk di sofa.
"Gimana Kei, kau tinggal di rumah ini? Nyaman kah?"
Kei mengangguk-angguk, "Lumayan bi."
"Loh, kok, lumayan, sih?" bibi Gin mengeryit.
"Jadi harusnya Kei bilang apa, bi?"
"Nyaman lah. Harus nyaman! Kau ini. Padahal bulan lalu bibi udah cape cari rumah buat kau dan ketiga cucu bibi. Oh ya, Kei. Maaf ya. Bibi baru sekarang."
Kei tersenyum kecil, "Tidak masalah Bi. Lagi pula bibi udah sangat baik pada kami. Bibi orang berjasa dalam hidup Kei. Kalau tidak ada bibi, bisa bisa Kei sudah…"
"Sstttt," bibi menutup mulut Kei dengan telunjuknya. "Jangan pikir macam-macam. Bibi udah pernah gagal jaga anak kandung bibi. Dan bibi gak mau gagal untuk kedua kali walau kau bukan anak kandung bibi."
Bibi memeluk Kei, wanita tanpa suami itu sudah dianggapnya sebagai anaknya. Tidak peduli jika Kei bukan lah anak yang lahir dari rahimnya.
Dan Kei, wanita itu selalu terharu dengan semua kebaikan bibi Gin. Bibi Gin sudah bagaikan guru kehidupan baginya.
Wanita tua yang dengan relanya ikut menanggung malu dan melindunginya saat dunia mengetahui Kei hamil di luar nikah. Tanpa suami, dan kemungkinan tidak akan pernah bertemu pria brengsek nan bajingan itu.
"Sudah, sudah. Jangan terlalu terharu. Bibi sudah senang dengan kau sejak awal kita bertemu. Apalagi sewaktu liat kau mirip sama anakku… Memori itu rasa kembali muncul," menghayal sejenak.
Kei mengamati bibi Gin dengan wajah menerka, "Bibi…"
"Ekhm!" bibi mulai sadar. "Oh ya, kemana tiga cucuku itu, Kei?" bibi sesegera mungkin berdiri
"Tidur bi," jawab simple nan jujur Kei. Padahal Kei juga tau, bibi mau cari topik baru agar menyembunyikan kesalahan super mininya itu.
Bibi menoleh dan menghentikan langkah yang masih berjalan setengah meter itu, "Di mana kamar mereka?"
Kei berdiri, "Di situ bi," tunjukknya.
"Di mana?"
"Lurus, belok, teruuuus maju. Di situ kamar mereka, bibiku."
"Tunjukkan lah, Kei!"
"Iya-iya," ungkap sanggup Kei.
Kei menuntun bibi Gin ke kamar putri dan putranya.
Rumah ini, baru sebulan Kei dan ketiga anaknya tempati. Dari hasil jerih payah sekitar dua tahun ia menulis karya-karyanya, mendapat pengasilan dari sana, sedikit dibantu bibi dan sahabat baiknya Celica, yang sering datang kemari, ia akhirnya mampu tempati rumah bergaya minimalis dan modren itu.
"Ini bi, kamar mereka."
Bibi tersenyum lega. Berjalan mengitari beberapa bagian ruangan yang dipenuhi peralatan kesukaan Anna dan Alice.
"Cantik," pujinya. "Bibi suka dengan semua ini," kemudian berbalik. "Kau yang desain semua ini, Kei?"
Segera Kei mengeryit, "Desain? Apanya yang didesain, Bi? Kei buat rumah Kei masih utuh seperti pemberian bibi masa itu."
"Bukan itu yang bibi maksud Kei," tampak bibi sama sekali tidak puas dengan jawaban Kei.
"Lalu?" Kei semakin tidak mengerti maksud bibinya.
"Ini. Lukisan ini, Kei," tunjuknya pada lukisan kanvas yang amburadul, sekedar coretan. Tapi jika semakin dilihat, semakin tampak, sebuah bunga di gambar di sana. "Cantik sekali, Kei! Siapa yang membuatnya?"
"Anna, bi," jawab seadanya Kei.
"Anna!?" ungkap terkejud bibi.
"Sssttt," desit Kei menginstruksikan agar mengecilkan suara.
Kepala bibi menoleh kepada anak yang sedang tertidur sedikit menggerakkan tubuhnya bolak balik di ranjang yang dipisah itu. Tampaknya ketiga batita ini mulai tak nyaman dengan suara bibi Gin.
"Baik. Bibi keluar," final bibi Gin berbisik. Kakinya melangkah maju menjauhi kamar. Diikuti Kei yang memundur.
"Tidur yang nyenyak cucu-cucu nenek yang baik!" masih berbisik sebelum akhirnya menjauh dari sana.
Kembali duduk di sofa.
"Ini bi, tehnya," Kei menaruh teh manis itu di atas meja. Tadi, ia sempat menyempatkan diri menyajikan segelas teh manis di dapur.
"Iya. Sama-sama, Kei."
Kei duduk.
Bibi mendekatkan diri dengan raut wajah tak percaya, "Jadi benar itu lukisan Anna, Kei!?"
"Yaaa, benar bi."
"Kapan Anna belajar!? Hmm, umurnya aja masih lima setengah tahun loh Kei."
"Bibi tidak percaya?"
"Bu-bukan tak percaya, Kei. Hanya saja, bibi rasa luar biasa kalau anak balita seperti Anna… Pandai melukis sebagus itu!"
"Ya, itu buktinya bi. Kei juga sebenarnya tidak percaya awalnya. Tapi setelah mencoba pahami putri sulung Kei, Kei akhirnya turuti saja setiap keperluan dan keinginannya."
"Kapan di mulai, Kei. M-maksudnya kapan kau tau Anna secerdas itu?"
"Lima hari setelah Kei baru tinggal di sini. Kei tidak terlalu memperhatikan anak-anak Kei. Mereka aktif seperti biasanya, bi. Maka Kei kelelahan."
"Maafkan bibi ya Kei. Bibi banyak kerjaan juga pada saat itu. Maka kurang perhatikan kau dan anak-anakmu, bahkan tidak mampir sekedar bantu-bantu," ungkap menyesal bibi Gin.
"Sudah berlalu bi. Lagi pula bukannya bibi yang minta petugas angkat barang supaya susun barang, prabotan Kei."
"Iya-ya. Hmm, lanjutkan ceritamu, Kei."
Kei mulai, "Waktu itu ada tetangga yang mengecat dinding rumahnya. Dan Anna ambil cat serta kuas buat coretan di dinding. Tetangga marah, dan begitulah seterusnya. Sampai Kei lelah, lebih baik membeli buat anak Kei semua peralatan melukis. Ternyata semakin lama semakin bagus."
"Ada yang ajarin Kei?"
"Ada, bi. Namanya Tessa. Dia gadis baik, tinggal di samping rumah Kei. Tapi sejak dua hari lalu tidak datang ke rumah katanya tidak diizinkan lagi oleh bundanya."
"Warga sini tahu pasal aib kau ya, Kei?"
"Mungkin," Kei menghela napas. "Tapi dari mana bibi tahu?"
"Tadi. Bibi dengar ada warga yang bisik kalau perempuan yang tinggal rumah ini adalah perempuan penghibur."
Degh!
Kei menutup mata. Dia menggenggam tangannya. Sabar Kei, sabar. Begitulah suara hatinya berucap.
Tangan bibi mengelus bahu Kei, "Bibi yakin kalau kau tidak seperti itu, nak. Bukannya kau terus tinggal di rumah? Tidak ada kan laki-laki hidung belang yang datang dan menggodamu?"
Kei menggeleng lemah. Suaranya menyerak, sejujurnya wanita muda itu menangis. "Tidak Bi. Hanya saja ada bapak-bapak yang sering lirik Kei sewaktu jalan keluar beli bahan dapur. Maka kemungkinan terbesar mereka pikir Kei yang menggoda bapak-bapak genit itu."
Tangan bibi naik ke atas kepala Kei. Bibi menyentuh dan mengelusnya secara lembut, "Jangan bersedih, sayang. Apa kau tau? Mereka itu hanya cemburu melihat kecantikanmu. Dilain sisi mereka juga takut kalau kau merebut suami mereka seperti wanita pelakor. Maka mereka menimbulkan asumsi itu. Apalagi dengan statusmu sebagai single mom, tentu saja mereka pikir kau kupu-kupu malam. Tidak ada suami yang terlihat hingga detik ini."
"Tapi Kei sudah katakan kalau suami Kei sudah meninggal, biii!" Kei berucap tersedu-sedu.
Bibi segera membawa tubuh wanita muda yang dianggapnya sebagai putrinya itu ke dalam pelukannya. "Bibi tau kesedihanmu. Tapi mau gimana pun, kau tidak tahu lelaki yang pernah memperkosamu itu masih hidup atau tidak. Tapi–" ucapan bibi terhenti.
"Lebih baik dia meninggal, bi! Mati, lalu lebih mudah diadili malaikat maut! Biar dia terbakar sampai ke tulang-tulangnya terus begitu siklusnya sampai dia meminta maaf dengan Kei!"
Bibi mendengarnya merasa ngeri sendiri. "Kalau dia sudah mati, gimana caranya dia minta maaf padamu, sayang? Walau dia jahat padamu, kau tak boleh mencacinya seperti itu. Kalau tak ada dia dan spermanya, tidak ada Anna, Alice dan Andre yang begitu kau sayangi. Ingatlah, semuanya indah pada waktunya. Kita sebagai manusia, sepatutnya mengikuti jalur. Tak ada sesuatu yang baik kalau tak melalui sebuah alur sulit dan mencekam. Tidak ada kebahagiaan, kalau belum melewati kesusahan dan penderitaan. Dengan melewatinya, kita akan belajar gimana menghargai apa yang kita punya sekarang," jelas bibi panjang lebar.
Kei mengangguk mengerti. Bibi menyeka air mata Kei. "Bibi dengar mereka juga mencaci kelakuan anak-anakmu?" tebak bibi.
Kei mengangguk. "Iya, bi."
"Hm, gini. Tetangga, adalah orang yang paling memantau sekitar. Mereka bagaikan CCTV paling aktif dan paling kritis. Anak-anakmu dikritik seperti itu, bukan karena mereka benci. Namun mereka justru sayang padamu dan ingin kau memperbaiki sifat dan kelakuan anak-anakmu dengan menasehatinya. Justru jika mereka berdiam diri, di sana mereka justru membencimu," jelas Bibi panjang-lebar.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Maria Mariana
maap Thor, 5,5 tahun bukan balita LG itu udh kanak-kanak, Krn balita itu bawah lima tahun 🙃
2023-04-11
2
evvylamora
knp Maksa sih Thor, dipanggil bunda sm yg lbh tua, pd hal mah panggil aja namanya, aneh aja gitu 😓😓😓
2023-01-16
0
evvylamora
maaf thor, menunjuk taukan itu apa yaa?? 😥😥😥
2023-01-16
0