Karena tidak ingin Alana mengetahui tujuannya ke rumah sakit, dia menyuruhnya menunggu di mobil.
Sementara dirinya berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ruangan seorang dokter yang menelfonnya tadi saat di sekolah.
Ceklek
Dia membuka pintu kemudian menghampiri sang dokter yang tengah sibuk dengan sebuah berkas di mejanya, Dokter itu mendongak saat menyadari kehadirannya di sana.
Dokter itupun meletakkan pulpennya di atas meja kemudian memperbaiki kaca matanya yang melorot. "Ini bukan Alvi yang saya kenal." ujarnya.
Alvi mengendikan bahu acuh ikut duduk di seberang meja kerja dokter Angga. "Saya ada urusan tadi." jawabnya.
Tentu saja dokter Angga mengatakan itu padanya. pasalnya dia tidak pernah telambat barang semenit pun, tapi ini semua terjadi karena muridnya.
"Gimana?"
Dokter Angga menyodorkan berkas padannya. "Kita harus segera mengadakan operasi, kankernya sudah masuk stadium 3." jelas dokter Angga membuatnya tertegung.
Dia memijat pangkal hidungnya yang terasa pusing, operasi? di belum siap untuk itu. Dia tidak menyangka kanker otak yang selama ini dia sembunyikan dari kakeknya bukannya sembuh malah bertambah parah.
Sudah banyak dokter yang dia temui, tapi hasilnya sama saja, jalan satu-satunya adalah operasi.
"Peluang untuk selamat?" tanyanya.
"Berbeda dengan dua tahap sebelumnya kanker stadium 3 ini lebih ganas. Lihat." Dokter Angga menunjuk monitor yang menampilkan bagian isi kepala manusia. "Kankernya sudah menyebar ke jaringan terdekat, yang artinya peluang keselamatan pasien 50:50."
"Apa tidak ada perbandingan mutlak yang menyatakan dia bisa bertahan?"
Angga tersenyum menanggapi perkataan temannya itu. Angga tahu betul di balik wajah datar pria di depannya ada gurat ke khawatiran mendalam tersimpan di sana.
"Kamu yang lebih tahu itu dari saya Vi, kamu ahli dalam bidang matematika dan kimia."
Dia menghela nafas sekali lagi. "Apa tidak ada harapan lagi?"
"Tergantung pasien mau menjadi apa, Penyebut atau pembilang. Kalau pesian menjadi penyebut kecil kemungkian, akan tetapi jika pesien menjadi pembilang besar kemungkinan."
"Maksudmu jika Dia menjadi pembilang, besar kemungkinan dia akan selamat? seberapa besar itu?" terpancar jelas harapan di wajah datar Alvi mendengar perjelasan dokter Angga.
"90% persen mungkin, tergantung kemauan pasien untuk bertahan. Saran saya, turuti apa keinginannya, agar dia ingin bertahan saat operasi nanti."
"Itu pasti. Kapan operasi akan di lakukan?"
"Besok."
Setelah berbicang-bincang dengan dokter Angga dan mendapat sedikit harapan, Dia mengunjungi sebuah ruangan sebelum pulang.
Di pandanginya lekat-lekat wajah pucat yang sedang terlelap di dalam ruangan itu lewat jendela. Tak ingin mengganggu, dia memutuskan untuk menemui Alana yang mungkin saja sudah jenuh menunggunya.
Sesampainya di parkiran, bukan wajah jenuh yang di dapatinya melainkan kan seorang gadis tengah berjongkol di samping mobilnya. Entah melakukan apa, dia tidak tahu.
Dia terus berjalan mendekat sembari memperhatikan apa sebenarnya yang di lakukan gadis itu pada mobilnya.
"Apa yang kamu lakukan?" tegurnya.
Alana terperanjat, kemudian langsung berdiri dengan gaya khasnya tak lupa menampilkan sederetan gigi putihnya. "Udah?"tanyanya.
Alvi merespon dengan anggukan kemudian masuk ke dalam mobil di susul Alana. Sebelum menstater mobilnya dia menyempatkan melirik muridnya itu. "Sabuknya di pasang."
"Pak Alvi ngapain kerumah sakit? ada yang sakit?" kepo Alana sembari melakukan perintah Alvi.
Alvi tak menjawab dan malah melirik kaca spionnya yang terlihat Aneh. "Kamu apain spion saya?"selidiknya.
Alana ikut melirik spion pak Alvi, kemudian tersenyum. "Oh itu, Saya tadi nggak sengaja liat sales plaster obat lewat, cantik banget gila!" seru Alana memegang kedua pipinya melirik palaster obat bergambar hello kitty yang menempel sempurna di spion pak Alvi.
Dia bahkan tidak memperhatikan bagaimana ekspresi pak Alvi sekarang, yang penting senang.
"Terus?" Alvi menaikkan alisnya sembari menjalankan mobil keluar dari halaman rumah sakit.
"Karena ke ingat spion bapak yang ke gores akibat ulah saya. Yaudah saya beli paster cantik itu trus di tempelin deh di spion bapak. Tenang aja pak, setelah ayah saya pulang bakal di ganti janji." Alana menunjukan jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V dengan cengiran khasnya tanpa dosa.
Dia memiringkan kepalanya memperhatikan pak Alvi yang fokus menyetir. Munafik jika dia mengatakan pak Alvi jelek dan biasa-biasa saja. Pria di sampingnya ini sangat tampan dan mempesona tapi sifatnya yang dingin dan menyebalkan membuat siapa saja tidak sanggup berada lama-lama di dekatnya.
Sakin seriusnya memperhatikan wajah tampan gurunya, dia tak menyadari bahwa mobil yang di kendarainya memasuki kawasan kantor polisi.
"Turun!"
Suara bariton itu berhasil membuatnya gelagapan sendiri, semoga saja pak Avi tidak menyadari bahwa sedari tadi dia sedang menatapnya.
Alana mengganguk, mengikuti perintah pak Alvi kemudian mengekori kulkas berjalan itu masuk ke dalam kantor polisi. Dia memutuskan berdiri di samping pak Alvi yang sudah duduk nyaman di depan pak polisi yang masih terlihat muda.
"Ada yang bisa kami bantu pak?" tanya pak polisi.
"Saya mau melaporkan kasus penipuan pak."
Alana memperhatikan polisi itu mengambil sebuah buku dan pulpen, mungkin itu buku khusus untuk kasus yang akan polisi pecahkan. Kemudian mulai mencatat apa-apa yang di katakan pak Alvi.
"Maaf pak, kalau boleh tahu hukumannya berapa lama?" tanya Alana hati-hati setelah pak Alvi menjelaskan semuanya.
Pak polisi menoleh ke arah temannya. "Kasus seperti ini hukumannya berapa lama?"
"Sekitar 3-5 tahun."
Mendegar jawaban dari pak polisi itu, membuat hati Alana goyah untuk melaporkan orang yang telah mencuri motornya, dia tidak ingin orang itu di hukum terlalu lama. Bagaimana jika ibunya beneran sakit? siapa yang akan merawat ibunya.
Tanpa sepegetahuan pak Alvi, dia berjalan keluar dari kantor polisi memutuskan duduk di samping mobil sport biru milik guru kilernya itu. Tak berselang lama manusia es itu menghampirinya.
"Kenapa pergi?" tanya pak Alvi, membuatnya mendongak.
Alana mengeleng. "Saya nggak jadi melapor pak."
Pak Alvi menaikkan alisnya, mana semangat gadis yang memaksanya tadi, kenapa tiba-tiba berubah.
"Kenapa?"
"Biarin aja motor saya hilang pak, motor bisa di beli, tapi jika orang itu di penjara dia akan berpisah dengan ibunya, lagi pula dia masih muda waktunya akan terbuang sia-sia jika mendekam di penjara selama bertahun-tahun."
Walau jiwa Alana bar-bar dan suka seenaknya, namun rasa iba dan kasihan sudah mendara daging dalam dirinya. Mungkin karena didikan bundanya sewaktu kecil.
Berbeda dengan Alana, pak Alvi justru tidak terima dengan alasan yang di berikan Alana. Itu sama saja mendukung seseorang untuk melakukan kejahatan lagi dan malah merugikan orang lain.
Baik jika orang itu mampu seperti Alana, tapi jika orang susah bagaimana?
"Cita-cita kamu jadi pengacara kan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 241 Episodes
Comments
Fenty Izzi
siapa??
2022-08-22
0
FDK
ttyp
2022-04-07
1
Susan Handayani
alana ada"aja kaca spion d plester 😁😁😁
2022-01-11
0