Tidak ada perbedaan yang berarti yang dialami Erie sepanjang hari itu. Namun, hal berbeda justru terjadi pada keesokan harinya. Ia dan Elden sempat berpapasan beberapa kali, tapi mereka enggan berbicara satu sama lain. Berulangkali Erie mencoba untuk menerka pikiran pria itu. Namun, semua usahanya gagal. Pertengkarannya dengan Elden kemarin, memberikan tanda tanya besar. Erie kesal dengan perlakuan Elden.
Mengapa pria itu selalu marah dan emosi ketika melihatnya? Apakah ada yang salah dalam diri Erie? Huh! Perempuan itu menjadi bingung. Rasa penasaran mendominasinya ketika ia menatap punggung Elden yang menjauh. Baru kali ini Erie dibentak oleh laki-laki tanpa alasan yang jelas. Harusnya perempuan itulah yang marah, tetapi justru Elden yang terkesan lebih marah hingga menjauhinya.
Erie melakukan aktivitasnya seperti biasa setiap siang. Ia menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan. Sekarang memang Erie bisa melakukan apapun yang ia ingin lakukan seperti menonton TV misalnya, tapi Erie tidak suka itu. Ia mencobanya tadi pagi, nyatanya beberapa saat kemudian, Erie sudah merasa jengah. Waktu lima tahun untuk melakukan rutinitas yang sama, membuat Erie lebih nyaman membaca buku. Lagi pula, buku-buku yang ada di sini jauh lebih lengkap dari yang Erie bisa bayangkan.
Setelah hari menjelang sore, Erie menengok ke luar jendela perpustakaan. Suasana di taman depan rumah terlihat sangat indah dan menyenangkan. Burung-burung berterbangan di atas langit. Udara berembus mengadunkan dedaunan yang ada di sana. Itu sangat nyaman hingga membuatnya tergoda untuk berada di sana.
Erie memutuskan pergi ke taman dengan membawa beberapa buku yang disukainya. Ia duduk bersandar di sebuah bangku taman di depan rumah itu sambil menatap ikan-ikan yang sedang berenang di dalam kolam. Di pangkuannya, ada sebuah buku tebal yang kusam, dan di sampingnya ada buku lain yang tadi ia ambil dari perpustakaan. Dengan santai, Erie menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tidak menggunakan alas.
"Selamat sore, Nyonya," seru seorang pria kepada Erie.
"Selamat sore, Mario," jawab Erie membalasnya.
"Maafkan saya telah mengganggu Anda, tetapi saya diperintahkan Tuan untuk memanggil Anda, Nyonya."
"Elden memanggilku?"
"Iya, Nyonya. Tuan telah menunggu Anda di ruang kerjanya."
"Elden ada di sini?" tanya Erie heran.
Seingatnya, tadi pagi Elden sudah berangkat ke kantor dan ia juga tidak melihat Elden masuk ke dalam rumah melalui pintu utama, padahal Erie duduk di taman di dekat pintu masuk rumah itu. Tadi juga ia tidak melihat Elden melalui jendela perpustakaan.
"Tuan sudah pulang satu jam yang lalu, Nyonya. Mari saya bawakan buku-buku Anda."
"Baiklah," ucap perempuan itu.
Erie mengambil buku-buku dari pangkuannya dan di sampingnya untuk diserahkan kepada Mario. Lalu, ia memakai alas kakinya, beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke ruang kerja Elden.
Sepanjang jalan, Erie berpikir. Elden memanggilnya? Ini pertama kali terjadi selama beberapa hari ia berada di rumah itu. Perempuan itu masih ingat betul bagaimana Elden membentaknya ketika ia masuk ke dalam ruangan miliknya. Belum lagi mereka masih tidak bicara sejak kejadian kemarin. Lantas apa gerangan pria itu memanggilnya?
TOK TOK TOK!
Erie mengetuk pintu ruang kerja Elden pelan. "Masuk!" suara pria itu dari dalam. Suara yang terdengar seperti perintah bagi semua orang, termasuk dirinya.
Erie membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan pribadi milik pria itu. Di sana, ia melihat Elden sedang membaca dan menandatangi beberapa dokumen.
"Kau memanggilku?" tanya Erie padanya.
"Duduklah," kata pria itu lagi tanpa menoleh ke arah Erie. Nada bicaranya masih sama. Dingin dan dalam. Hanya saja kali ini sedikit lebih pelan.
Erie berjalan menuju sofa yang berada di dekat jendela. Sebab, hanya itulah satu-satunya tempat duduk yang ada selain di depan meja Elden. Dengan duduk santai, Erie melihat sekeliling ruangan itu. Sangat rapi dan bersih. Semua barang tersusun dengan teratur. Rak-rak dan lemari-lemari yang ada di sana dipenuhi oleh beberapa piala, piagam, sertifikat dan buku-buku. Uniknya, semua perabot itu didominasi warna hitam, putih dan abu-abu. Sepertinya ketiga warna tersebut adalah warna kesukaan Elden.
Sebelumnya Erie tidak pernah masuk ke ruangan itu karena merupakan salah satu dari beberapa ruangan pribadi Elden yang disebut Marline, tidak sembarangan orang boleh masuk ke dalamnya. Dan sekarang Erie diminta oleh Elden untuk berada di sana, di dalam ruangannya. Erie bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
"Panggil dia ke sini!" Perkataan Elden kepada seseorang di telepon itu mengalihkan perhatian Erie dari tumpukan majalah yang ada di bawah meja. Erie melihat pria itu meletakkan semua dokumen di atas meja kerjanya dan berjalan ke arah sofa yang ada di depan Erie.
"Kenapa kau memanggilku? Apa aku melakukan kesalahan lagi?" kata Erie kepada pria itu.
"Hhmm." Pria itu bergumam sambil melonggarkan ikatan dasi yang ada di kerah kemeja putihnya. "Aku tidak mendapatkan laporan tentang perilaku burukmu hari ini," sambungnya lagi.
Erie mengernyitkan kening. "Lalu, kenapa kau memanggilku?"
"Tunggulah sebentar lagi. Nanti kau pasti akan mengetahuinya," jawab Elden dengan tetap memasang wajah datar. Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel hitamnya dan memainkannya.
Apa ini? Apakah Elden memanggilnya hanya untuk melihat bagaimana pria itu bermain dengan ponselnya? Huh! Erie tidak tinggal diam. Ia tidak mau mati kutu hanya dengan memandangi pria itu. Tangan Erie mulai merendah dan menyentuh beberapa majalah di bawah meja serta mengambil salah satu dari mereka.
Halaman demi halaman majalah itu telah dilihat oleh Erie. Tepat pada halaman ke 20, Erie tersentak. Di sana terdapat gambar Nyonya Eduard, ibu angkatnya. Dari tulisan itu, Erie dapat mengetahui dengan jelas alasan mengapa seorang desainer wanita yang terkenal seperti ibunya berhenti untuk berkarir. Semuanya dilakukan oleh wanita itu hanya untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan sang suami. Alasan yang sangat menarik, pikir Erie.
Tidak lama kemudian, kesunyian yang tercipta antara Elden dan Erie, tiba-tiba terpecahkan oleh sebuah suara ketukan yang terdengar dari arah pintu.
"Tuan, saya Mario," ujar orang yang mengetuk itu.
"Masuk!" perintah Elden.
Erie meletakkan majalahnya dan melihat Mario membuka pintu ruangan. Dari arah pintu itu, Mario berkata, "Tuan, sesuai perintah, saya telah membawa orang itu."
Elden menanggapinya dengan mengangguk. "Bagus. Suruh dia masuk."
"Baik, Tuan."
Mario melangkah masuk, tetapi tidak sendirian. Ia membawa seorang laki-laki masuk ke dalam ruang kerja Elden. Lelaki yang dibawa Mario itu memakai jas hitam, kemeja putih panjang dengan celana yang berwarna hitam. Ia memiliki tubuh yang tegap dan atletis yang membuatnya terlihat berwibawa walaupun tingginya kalah beberapa senti dari Mario. Kulitnya putih kecokelatan. Rambutnya bergelombang dan agak kasar dengan menggunakan potongan tipis di kiri dan kanan. Mata hitamnya memandang Erie sekilas lalu ia menundukkan kepalanya.
"Namanya Dicken Clovis. Dia salah satu pengawal pribadiku di perusahaan. Dan sekarang dia adalah pengawal pribadimu," kata Elden memberikan penjelasan.
"Pengawal pribadi?" tanya Erie bingung.
"Iya," tukas Elden singkat.
"Untuk apa?"
"Kau masih belum mengerti posisimu?"
"Tapi aku memiliki banyak pengawal di sini. Aku tak membutuhkan pengawal yang lain."
"Mereka memang pengawalmu di rumah ini. Tapi Dicken akan menjadi pengawal pribadimu yang akan mengawal ke mana pun kau pergi."
Erie kesal mendengar ucapan Elden. Di posisi itu, Erie justru terlihat seperti tawanan yang ingin kabur daripada seorang Nyonya di keluarga Alvaro. "Jadi kau mau dia mengikutiku ke mana pun aku pergi?" kata Erie mengulang kalimat Elden.
"Begitulah." Elden menjawab tanpa melihat ke arah Erie. Ia tengah mengetik beberapa pesan melalui ponselnya.
"Apa kau menempatkan bodyguard karena kau pikir aku akan kabur?"
"Berpikirlah sesuai kemauanmu."
"Tapi kau memperlakukanku seperti tawanan. Aku butuh kebebasanku."
Elden berhenti mengetik. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya. Pria itu memandang Erie. "Terserah apa yang ingin kau katakan. Tapi ini adalah perintahku dan aku tak ingin dibantah!" tegasnya dengan ekspresi dingin. Nada bicaranya juga kembali meninggi seperti kemarin.
"Baiklah jika itu maumu." Erie beranjak dari sofa dan berjalan menuju pengawal itu. "Namamu Dicken, bukan? Aku adalah Erie, majikan barumu," kata Erie sambil mengulurkan tangan kepada laki-laki yang bernama Dicken itu.
Laki-laki itu terkejut melihat perlakuan Erie. Dengan ragu ia membalas uluran tangan perempuan itu. Wajahnya masih tetap menunduk, entah karena menghormati Erie atau karena ketakutan melihat Elden. Tapi melihat tangannya menjabat tangannya dengan gelagat seperti itu, justru membuat Erie tersenyum. Lucu sekali. Seperti seorang anak yang merasa segan melihat ibunya yang pemarah.
Saat hendak melepaskan tangannya, tiba-tiba sesuatu mengusik Erie. Ia melihat sebuah gelang berwarna hitam di tangan Dicken. Gelang yang sepertinya tidak asing baginya. Perempuan itu berusaha untuk melihat wajah laki-laki itu dengan baik, mungkin saja ia mengenali laki-laki itu.
"Apa kau sudah selesai? Kau boleh pergi dari sini," suara Elden membuat Erie tersentak. Ia menghentikan kegiatannya menelisik wajah Dicken dan sontak melepaskan tangan laki-laki di depannya itu. Erie berbalik memandang Elden. Apa tadi pria itu mengusirnya?
Erie mencoba memastikan pendengarannya. Ketika ia melihat wajah Elden yang benar-benar tampak tidak suka, barulah Erie sadar bahwa pendengarannya baik-baik saja dan benar bahwa pria itu mengusirnya. Menyebalkan sekali!
"Baiklah, aku akan pergi. Ayo, Dicken! Kau memiliki banyak tugas sebagai pengawalku!" katanya dengan menunjukkan wajah kesal. Ia melirik Dicken lalu meninggalkan Elden dan Mario di ruangan itu.
Sementara itu, Elden yang sudah melihat Erie dan Dicken keluar dari kamarnya, berdiri dari sofa dan beranjak ke arah meja kerjanya. Ia memanggil Mario untuk mendekat dan mempersilakan laki-laki itu untuk duduk di depannya.
"Duduklah Mario," ucap Elden yang kini duduk di kursi kebesarannya.
"Terima kasih, Tuan," kata Mario sembari duduk di kursi depan, berhadapan dengan Elden.
"Bagaimana hasil penyelidikan yang aku perintahkan, Mario?"
Mario mengeluarkan ponsel dari jasnya. Ia membuka galeri ponselnya dan menunjukkan beberapa gambar kepada Elden. "Kami menemukan sebuah peluru di dalam kepalanya. Sepertinya mereka menggunakan pistol revolver untuk menewaskan kurir itu."
Elden memperhatikan gambar-gambar yang ditunjukkan oleh Mario. "Bukankah ini colt peacemaker?" tanyanya saat melihat sebuah senjata api revolver jenis lama dengan sistem pengisian peluru satu per satu.
"Benar, Tuan. Dari peluru itu, kami menyimpulkan bahwa pelakunya menggunakan colt peacemaker. Dan beberapa saat yang lalu, kami juga menemukan senjata itu di tepian sungai yang tidak jauh dari tempat tewasnya kurir itu. Tapi sayangnya, kami tidak berhasil menemukan sidik jari di sana."
"Tidak apa-apa. Colt peacemaker sudah langka digunakan di negara ini. Hanya beberapa pembunuh bayaran saja yang menggunakannya."
"Benar, Tuan. Saat ini, kami sedang menyelidikinya di pasar gelap."
"Bagus." Elden menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Lalu, ia menatap Mario lagi. "Bagaimana dengan isi kotak dua hari yang lalu?"
"Masalah tentang itu---" Mario menghentikan perkataannya. Ia menyentuh layar ponselnya dan menggesernya untuk menunjukkan sebuah gambar kepada Elden. "Ini isinya, Tuan," ujarnya sembari menujukkan sebuah gambar lukisan yang ada di sebuah sapu tangan. Lukisan bunga berwarna merah di atas sapu tangan berwarna putih.
"Apa ini gambar bunga tulip?" tanya Elden sambil mengamati. Ia tahu dengan jelas bentuk bunga itu.
"Iya, Tuan. Sepertinya orang itulah yang melukisnya. Karena dari gaya penulisannya persis sama dengan tulisan 'go' yang dikirimkan sebelumnya. Dan lukisan ini pun menggunakan darah."
"Darah..." kata Elden mengulangi perkataan Mario. Sedangkan pengawal pribadinya itu menggeser layar ponselnya lagi dan memberikan gambar yang lain.
"Darah itu berasal dari kurir yang tewas itu. Kami sudah mencocokan sampel darah orang ini dengan darah yang ada di lukisan. Kami juga menemukan beberapa luka tusukan di jemarinya."
Elden menelisik lagi gambar-gambar hasil penyelidikan dari Mario. Beberapa detik kemudian ia tersenyum menyeringai. "Ini sangat menarik," katanya. Elden membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil bersegel dari sana. "Aku menemukannya lagi."
Mario tersentak. Ia benar-benar tak menyangka kiriman-kiriman misterius itu terus berdatangan. Ia berpikir itu akan berakhir karena mereka menemukan banyak sekali jejak untuk menangkap pelaku. Namun, sepertinya ini akan terus berlanjut.
"Apakah Anda menemukannya di dalam kantor, Tuan?" tanya Mario memastikan. Ia harus mengumpulkan banyak informasi untuk mengetahui cara kerja dan motif si pelaku.
Elden menggeleng. "Tidak. Aku menemukannya di atas mobilku."
"Saya benar-benar penasaran siapa pelaku dari semua teror ini."
"Yang pasti Mario, orang itu sepertinya merasa telah terusik kehidupannya olehku."
Mario mengiyakan perkataan Elden. Ia juga sempat berpikiran seperti itu. "Apakah pengawalan Anda perlu diperketat, Tuan?"
"Tidak, tidak perlu. Aku memiliki orang terhebat sepertimu di sampingku. Aku tidak perlu pengawal lainnya."
"Terima kasih, Tuan."
"Lagipula, aku sudah lama tidak berburu, Mario. Sepertinya ini akan sangat menyenangkan," ucap Elden dengan mimik wajah yang tampak senang, seolah mendapatkan sesuatu yang memacu adrenalinnya. Sedangkan Mario hanya menatap wajah majikannya dengan ekspresi yang datar seakan-akan hal itu sudah biasa terjadi.
Elden mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Ia mulai berpikir siapa gerangan orang yang berani mengirimkan teror seperti itu kepadanya. Memang Elden dan perusahaannya adalah musuh semua pengusaha, tapi pengusaha-pengusahan itu sangat lemah. Mereka tidak akan berani melawan Elden dan organisasinya. Sepertinya orang itu punya nyali besar atau setidaknya ia punya kekuasaan yang besar yang sangat hebat.
"Mario, coba periksa siapa saja pengusaha yang terkemuka di negara ini. Bila perlu lebarkan cakupannya ke seluruh pengusaha di dunia ini. Aku ingin kau menyelidiki sumber aliran dana dan apa kaitannya dengan perusahaan milik keluargaku."
"Baik Tuan, akan saya laksanakan."
"Jangan sampai ada yang lolos Mario, bahkan seekor semut pun tidak boleh. Aku ingin tahu siapa yang telah bermain-main dengan keluarga Alvaro."
"Baik Tuan, saya mengerti."
Seusai melakukan percakapan dengan Elden, Mario keluar dari ruangan itu. Ia langsung memanggil beberapa orang untuk melakukan penyelidikan. Ia sangat sibuk. Tak ada waktu berleha untuk orang seperti Mario. Hidupnya seperti sudah terprogram hanya untuk melayani dan melakukan semua perintah Elden. Kepintarannya, kekuatan dan tenaganya didedikasikannya untuk Elden. Karena baginya dan semua pelayan dan penjaga, tidak ada yang lebih penting dari perintah Elden. Begitulah cara organisasi yang dibentuk oleh Tuan Besar Alvaro, ayah Elden, orang yang mendidik mereka semua.
**XXXXX
Terima kasih masih setia membaca novel ini Jangan lupa berikan dukungan untuk penulis dengan memberikan like dan comment
Oh ya, ayo bantu pemerintah melawan virus corona (COVID-19) dengan rajin mencuci tangan, menjaga kesehatan, tetap #dirumahaja dan jauhi keramaian
Danke!!! ♥️
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Nurma sari Sari
apa tujuan Elden menikahi Erie, tidur sekamar gak, melayani untuk memasak aja gak boleh juga, bingung DECH..🤦🤔
2022-11-20
0
Ita Widya ᵇᵃˢᵉ
aku masih penasaran sama seluk beluknya si el
2022-03-20
1
Ҽɳσ8
lanjut baca
2022-03-19
0