Elden keluar dari mobil BMW 740li silver miliknya. Sekilas tatapan matanya begitu mengerikan. Ia berlajan ke dalam rumahnya diikuti oleh Mario. Tak lama kemudian, mobil jeep di belakang mobil Elden ikut berhenti. Pintu belakang mobil itu terbuka. Terlihat dua orang pengawal keluar sambil menyeret seseorang dengan kasar. Mereka membawa orang itu ke sebelah rumah. Dua penjaga yang mengikuti mereka menggeser sebuah pot bunga besar. Lalu, membuka sebuah pintu di atas tanah dan mereka masuk bersama-sama. Setelah itu, dengan cepat kedua penjaga itu kembali menutup pintu dan menempatkan kembali pot bunga di atasnya.
Elden masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ia melepaskan jasnya dan menaruhnya di gantungan yang berada di dekat pintu. Mario mendekati Elden. Ia menyerahkan sebuah amplop kepada majikannya.
"Di mana kau menemukan ini?" tanya Elden sembari menerima amplop berwarna merah itu.
"Di dalam saku dari orang itu, Tuan," kata Mario merujuk pada pria yang baru saja mereka tangkap karena berani mengancam Elden dengan menggunakan pistol di area parkir perusahaan.
Elden membuka amplop dan menemukan secarik surat di sana. Isinya adalah sebuah tulisan 'hell' dengan huruf L sebagai inisial dibawahnya. Lagi-lagi tulisan itu ditulis dengan menggunakan darah.
"Brengsek!" umpat Elden.
Mario menegang. Ia bertanya-tanya apa yang menyebabkan Tuannya mengumpat. "Ada apa, Tuan?"
Elden mengangkat kertas itu dan menunjukkannya kepada Mario. Laki-laki yang sudah bertahun-tahun sudah melayani Elden itu terkejut.
"Coba periksa apakah darah yang ada di kertas ini juga merupakan darah dari tikus yang kita tangkap tadi," ujar Elden kepada Mario.
"Baik Tuan."
Beberapa saat kemudian, ponsel Mario berdering. Setelah meminta izin kepada Elden, ia menjawab panggilan itu. Tak lama kemudian, ia kembali berbicara kepada Elden.
"Tuan, saya mendapatkan laporan dari petugas keamanan di perusahaan bahwa CCTV di basement parking tidak menampilkan kejadian tadi."
"Sepertinya tidak beres. Mungkin saja CCTV itu sudah diretas. Bagaimana dengan kamera pengawas yang lain?"
"Dari kamera di dekat pembuangan sampah, terlihat orang itu masuk ke dalam area parkir. Namun, wajahnya tidak tertangkap sama sekali. Begitu juga dengan CCTV yang lain tidak bisa melacak keberadaannya."
"Hmm... Ternyata ia sudah menabuhkan gendering perang kepada kita. Mario, perintahkan semua orang di dalam organisasi untuk menemukan otak dari kasus ini. Lakukan investigasi secara besar-besaran."
"Baik, Tuan."
XXXX
Keesokkan harinya Erie dengan jantung berdegup tengah berdiri di depan meja kerja Elden. Ia memandangnya. Meskipun hari ini pria itu tidak pergi ke kantor, tapi penampilan Elden tetap terlihat seperti sedang berada di kantornya.
Segala hal di sisi Elden begitu teratur dan rapi. Pakaiannya pun sama. Selama tinggal di rumah itu, Erie tidak pernah melihat Elden memakai pakaian santai seperti t-shirt, selalu dengan kemejanya. Ada kalanya Erie ingin melihat sedikit cacat dari penampilan sempurna pria itu.
"Bolehkah aku pergi?" ucap Erie gugup. Ia belum pernah keluar dari rumah itu setelah pernikahan mereka.
Elden yang terfokus dengan dokumennya menjawab Erie. "Ke mana?" katanya yang walaupun tidak menghiraukan Erie, tetapi tetap menjawab pertanyaan perempuan itu.
"Ke pa---" Erie menutup mulutnya. Hampir saja perempuan itu keceplosan, jangan sampai Elden tahu kemana ia pergi atau ia akan melarangnya pergi. Ia buru-buru meralat ucapannya. "Aku ingin jalan-jalan ke kota."
"Hanya ke kota?"
Erie mengangguk cepat. "Iya."
"Baiklah, kau boleh pergi," kata Elden singkat. Ia membuka-buka dokumen yang ada di atas meja kerjanya.
"Benarkah?" tanya Erie tak percaya. Memang benar ia ingin keluar dari rumah itu, tapi itu bukan ide yang begitu saja terlintas di benaknya. Ia sudah terbiasa di dalam rumah. Jadi ia sama sekali tak keberatan jika tidak melihat dunia luar. Hanya saja ia ingin membuktikan pertaruhannya dengan Dicken. Erie juga penasaran dengan dunia luar dan rasa penasarannya itulah yang mendorongnya untuk meminta izin kepada Elden.
"Kau sangat penurut dan tidak membantahku. Jadi kau boleh pergi," tutur Elden membenarkan perkataannya.
"Ke mana pun?"
Elden mengangkat wajahnya dari dokumennya dan menatap Erie. "Bukankah kau ingin ke kota?"
Erie menggigit bibirnya untuk menghentikan mulutnya yang selalu saja berbicara sembarangan tanpa pemikiran. "Iya, maksudku ke mana saja di kota. Apakah boleh?"
"Tentu. Tapi tak jauh dari pengawasanku." Elden menurunkan lagi kepalanya untuk membaca salah satu dokumen laporan keuangan perusahaannya.
"Maksudmu?"
"Kau boleh pergi tapi harus bersama Dicken dan beberapa pengawal lainnya."
"Ayolah Elden. Aku bukan tahananmu. Aku ingin pergi sendiri!"
"Ikuti persyaratanku atau kau akan tetap di rumah ini."
"Tak bisakah Dicken saja yang menemaniku?"
Elden kembali mengalihkan pandangannya kepada Erie. Ia menatap wajah perempuan itu. "Kau tahu aku tak suka dibantah!"
Erie menghembuskan napasnya. Meskipun kesal tapi itu lebih baik daripada ia terus menerus di dalam rumah. "Baiklah! Aku setuju dengan persyaratanmu," kata perempuan itu sambil beranjak dari depan meja Elden dan meninggalkan ruangan itu.
Erie kembali ke kamarnya. Di dalam sana ia memilih pakaian yang nyaman dan mengenakan make up sekenannya. Ia telah bersiap-siap untuk pergi karena Erie juga menantikan hal ini. Hal di mana ia bisa pergi dari rumah itu. Sesuai dengan janji Elden kepadanya, perempuan itu diperbolehkan pergi ke kota yang ia katakan tadi, jika perempuan itu patuh dengan setiap perkataan suaminya tersebut. Dan sekarang pria itu membuktikannya dengan menyiapkan beberapa pengawal.
"Dicken!" panggil Erie saat berada di ruang keluarga. Ia melihat enam orang berpakaian jas hitam, kemeja putih dan celana hitam berjejer di depan pintu.
"Ya Nyonya," jawab pria yang telah menjadi pengawal pribadi Erie itu.
"Siapa mereka?"
"Mereka adalah pengawal yang akan menemani Anda hari ini."
Huh! Keluh Erie dalam hati. Meskipun terlihat sangat tidak nyaman, tapi mau tidak mau ia harus menerima ini. "Apakah kau sudah menyiapkan mobil?"
"Anda ingin menaiki mobil yang mana, Nyonya?"
"Ha?"
"Maksud saya, Anda ingin mobil tipe apa?"
"Astaga Dicken! Siapkan saja mobil yang menurutmu cocok."
"Baik Nyonya."
Tak lama setelahnya mobil yang diminta Erie pun siap. Tadi saat Erie menyerahkan Dicken untuk memilih mobil, Erie tidak menyangka pria itu akan memilih mobil nyentrik dengan warna merah seperti ini. Tapi ya sudahlah. Mungkin memang selera Dicken seperti itu.
Dengan hormat Dicken membuka pintu mobil dan membiarkan Erie masuk ke dalamnya. Selanjutnya ia mengikuti masuk tapi di kursi depan, di samping supir. Mobil itu berjalan untuk membawa mereka ke suatu tempat.
"Kau tahu Dicken?" kata Erie menghapus keheningan di mobil itu.
"Ya Nyonya," jawab Dicken sedikit melirik ke samping untuk mendengarkan suara Erie.
"Aku tidak percaya Elden mengizinkanku keluar dari rumah itu."
"Bukankah itu sesuatu yang bagus, Nyonya?"
"Iya, tapi aku masih penasaran, kenapa kau sangat yakin Elden akan memperbolehkanku?"
"Saya juga tidak tahu, Nyonya. Saya hanya mengatakannya untuk menghibur Anda. Sebenarnya saat itu saya juga tidak yakin, Nyonya."
"Apa kau melakukan sesuatu kepada Elden?" tanya Erie dengan mata menelisik.
"Nyonya! Saya mana berani melakukan sesuatu kepada Tuan!" ujar Dicken panik. Cepat-cepat ia menggerakkan tubuhnya menghadap Erie untuk membantah tuduhan Erie.
Keduanya bersipandang sebentar kemudian Erie tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha!!! Astaga! Aku hanya bercanda! Kenapa kau begitu panik?" kata Erie sambil mencondongkan tubuhnya mendekati Dicken. Kedua matanya menatap mata pria itu.
"Cantik," ujar Dicken spontan.
"Apa?"
"Maksud saya, Anda cantik jika tersenyum, Nyonya."
Erie mengerutkan keningnya. "Hey, apa kau mencoba merayu istri dari tuanmu?"
"Tidak! Tidak, Nyonya. Saya minta maaf. Saya sungguh lancang."
"Hahaha, sudahlah. Jika melihat ekspresimu yang seperti itu, perutku bisa sakit karena tertawa."
Erie memalingkan wajahnya keluar jendela mobil. Ia menetralkan lagi rasa tawanya dan kembali membayangkan kejadian kemarin. Kejadian yang berisi percakapannya dengan Dicken.
Flashback On
Kemarin, di taman depan, Erie dan Dicken sedang menikmati sinar senja matahari. Sejak siang Erie hanya menghabiskan waktu di sana. Bahkan makan siang dan cemilannya pun di antar ke taman.
"Bagaimana menurutmu, Dicken?" ucap Erie sambil menaburkan makanan ikan ke dalam kolam. Satu-satunya jenis hewan peliharaan yang ada di rumah itu.
"Maaf, Nyonya?"
"Menurutmu aku seperti apa?"
*Anda adalah orang yang baik, Nyonya."
Erie tersenyum mendengarnya. Perkataan itu persis seperti apa yang sering ia dengar dari Ibu Tere dulu. Seketika ia merindukan panti asuhannya.
"Sebenarnya aku ingin pergi ke suatu tempat. Tempat yang sangat aku rindukan."
"Lantas, mengapa Anda tidak ke sana, Nyonya?"
"Aku tidak bisa, Dicken."
"Mengapa tidak bisa, Nyonya?"
"Kau tahukan, Elden tidak akan mengizinkanku pergi."
"Apakah Anda telah mengatakannya kepada Tuan, Nyonya?"
"Belum."
"Mengapa Anda yakin beliau tidak mengizinkannya?"
"Entahlah Dicken. Melihat sikapnya padaku, aku ragu ia mau mengizinkanku keluar dari rumah ini."
"Tapi menurut saya, Tuan akan mengizinkan anda, Nyonya."
"Tidak mungkin, Dicken."
"Tapi Anda kan belum mencobanya, Nyonya."
"Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang sudah pasti, Dicken."
"Bagaimana jika kita bertaruh, Nyonya?"
"Apa?* ucap Erie terkejut. Ia yang sedang memandangi ikan, tiba-tiba menoleh ke Dicken. Sejak awal Erie memang merasakan bahwa Dicken adalah orang yang berbeda dari semua orang yang ditempatkan Elden di sisinya. Tapi ia tidak percaya jika Dicken akan menantangnya. Sepertinya ajakan pertemanan yang ditawarkan Erie berbuah baik.
Dicken yang sedari tadi hanya memandang punggung Erie, kaget ketika wanita itu menoleh kepadanya. "Maafkan kelancangan saya, Nyonya."
"Tidak. Tidak. Maksudku apa taruhannya?"
"Jika Tuan tidak mengizinkannya, Anda boleh meminta saya melalukan apa pun. Tetapi jika Tuan mengizinkan Anda, bolehkah saya meminta satu permintaan dari Anda?"
"Tentu. Aku yakin akulah pemenangnya."
"Semoga Anda benar, Nyonya."
"Tapi tawaranmu sungguh licik, Dicken."
"Maaf, mengapa Anda berkata begitu, Nyonya?"
"Aku kalah atau pun menang, bukankah kau harus melakukan semua permintaanku?"
"Maafkan saya, Nyonya. Saya sama sekali tidak bisa memberikan apa pun kepada Anda, Nyonya," kata pria itu sambil menundukkan kepalanya.
"Hahahaha... Baiklah, baiklah.. Aku terima tawaranmu," kata wanita itu.
Flashback Off
Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, akhirnya mereka tiba di tempat yang Erie inginkan. Panti asuhan tua yang sudah tutup. Erie keluar dari mobil itu dan menatap rindu tempat itu. Ia menghabiskan beberapa waktu sambil berkeliling mengingat kenangan masa kecilnya di tempat itu.
Erie duduk di tempat di mana ia dulu sering duduk. Ia menarik napasnya untuk merasakan pepohonan yang mengeluarkan angin segar kepadanya. Erie menutup matanya sejenak. Sekelibat bayangan muncul di kepalanya. Mulai dari kenangan menyenangkannya hingga kenangan memilukan yang ingin sekali Erie hapus dari ingatannya.
Erie berdiri. Ia memetik setangkai bunga yang masih tumbuh di sana. Ia membawa bunga itu ke belakang bangunan utama. Dulunya itu adalah sebuah gudang. Tapi sekarang sudah rata dengan tanah. Erie merendahkan tubuhnya dan meletakkan bunga dari tangannya ke atas tanah itu. Ia menyatukan kedua tangannya dan memejamkan matanya sebentar lalu membukanya.
Setelah hari mulai malam, ia pergi dan meninggalkan tempat itu. Ia menghampiri Dicken yang setia menunggunya di dekat mobil. Kemudian, Erie masuk ke dalam mobil dan meminta supir untuk membawa mereka menuju restoran yang tak jauh dari panti asuhan itu.
Dicken memerintahkan para penjaga yang mengikuti mereka dengan menggunakan mobil lain untuk tetap berjaga di luar restoran. Ia membuka pintu restoran dan membawa Erie menuju ke meja paling baik menurutnya. Ia juga menarik kursi dan membiarkan Erie duduk di sana.
"Mengapa kita ke tempat itu, Nyonya?" tanya Dicken saat ia berdiri di depan Erie.
"Aku ingin melihat rumahku, Dicken," jawab Erie sambil memilih-milih makanan di buku menu.
Dicken tersentak. "Rumah?"
"Iya.. Rumahku Emm.. Duduk dan pesanlah makanan yang kau inginkan Dicken."
"Tapi Nyonya---"
"Tenanglah! Ini tidak termasuk dalam taruhan kita. Aku hanya ingin berterima kasih karena sudah menemaniku." Erie menarik tangan Dicken dan menyuruhnya duduk di depannya. Dengan terpaksa pria itu mengikuti keinginan Erie.
"Panti asuhan itu adalah rumahku Dicken. Sejak kecil, aku telah tinggal dan menetap di tempat itu," ucap Erie melanjutkan perkataannya.
"Uugghhuukk!" Dicken yang mendengar perkataan Erie tiba-tiba terbatuk. Padahal ia belum minum dan makan saat itu, tapi rasanya tenggorokannya seperti terdesak sesuatu.
"Kau kenapa Dicken? Minumlah." Erie yang melihat hal itu langsung memberikan segelas air mineral yang ada di atas meja kepada Dicken.
"Terima kasih, Nyonya," kata Dicken seraya mengambil gelas minuman itu dan kemudian meminumnya.
"Banyak kenangan yang aku habiskan di panti itu. Di sana, aku bisa bertemu dengan teman-teman yang mempunyai nasib sama denganku dan kami membentuk keluarga."
Dicken meletakkan gelasnya ke atas meja. "Berapa lama Anda berada di tempat itu, Nyonya?"
"Aku tidak terlalu ingat, Dicken."
"Apakah Anda ingat sejak usia berapa Anda berada di tempat itu, Nyonya?"
"Tidak. Aku tidak terlalu yakin, tapi menurut Ibu panti, aku sudah berada di tempat itu sejak lama."
Dicken semakin tertarik masuk ke dalam cerita Erie. Rasa ingin tahunya tiba-tiba muncul begitu saja.
"Apakah Anda tahu siapa orang tua kandung Anda, Nyonya?" tanyanya. Cara pria itu bertanya dan gayanya bak reporter yang sedang mewawancarai seorang narasumber.
"Tidak Dicken. Aku tidak tahu siapa mereka."
Erie menatap wajah Dicken. Erie bertanya-tanya, mengapa Dicken sangat penasaran dengan kehidupannya di panti asuhan? Mengapa juga Erie bisa bercerita tentang kehidupannya dengan nyaman pada pria itu? Apakah itu karena matanya? Atau wajahnya? Erie masih bingung dari mana rasa familiar ini muncul?
Mungkinkah dia adalah...
Tidak. Itu tidak mungkin!
Erie melanjutkan aktivitasnya. Ia memberikan daftar pesanan makanannya kepada pelayan restoran dan menyantapnya ketika pesanannya datang. Sebelum kembali ke rumah Elden, Erie menghabiskan sisa harinya berkeliling kota. Menikmati gemerlap lampu gedung-gedung pencakar langit yang indah.
**XXXXX
Yukkss tetap #dirumahaja sambil baca novel aku Jangan lupa dukungan like dan commentnya ya Jaga kesehatan, sering cuci tangan dan jauhi tempat ramai
Danke!!! ♥️
By: Mei Shin Manalu**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Nurma sari Sari
banyak teka teki, sampai bab sekian aku blm tau kemana cerita ini
2022-11-20
0
Ita Widya ᵇᵃˢᵉ
Dicken abangnya si Erie kali ya🤔🤔
2022-03-20
0
Ҽɳσ8
Dicken itu pangeran kecilnya Erie bukan sih
2022-03-19
0