Elden.
Erie sungguh kelu mengucapkan kata itu. Tadi ia mendengar semua orang memanggil pria itu dengan embel-embel kata tuan. Memang Eldenlah yang meminta Erie, tapi apakah benar-benar tidak masalah jika ia memanggilnya hanya dengan Elden saja?
Erie melirik pria di sampingnya. Pria yang sejak tadi ada di dalam benaknya. Elden. Pria itu tengah sibuk memainkan ponselnya. Sesekali kening pria itu berkerut. Sesekali ia menyapu anak rambut yang jatuh wajahnya dengan tangannya. Ia juga sesekali menghembuskan napas panjang. Namun, selebihnya pria itu hanya menampilkan mimik wajah yang datar.
Aneh. Ini aneh sekali. Elden adalah pria yang tampan dan kaya raya. Erie yakin akan banyak wanita cantik di luar sana berbondong-bondong ingin menjadi istri Elden. Tapi mengapa harus Erie? Mengapa ia menikahi gadis udik yang terkurung dan bahkan tidak pernah keluar rumah?
"Berhenti memandangiku jika kau tidak ingin bicara!" Pria yang tengah dipandangi Erie itu berbicara. Pria itu mengalihkan padangannya dari ponsel dan memberikan tatapan dingin kepada Erie.
"Ah!" ucap Erie terkejut. Ia kegelagapan dengan tatapan dari mata hazel itu. Apalagi ini kedua kalinya Erie ketahuan secara terang-terangan menatap Elden. Ini sungguh memalukan. Tapi, bukankah tadi pria itu begitu serius dengan ponselnya? Lalu, kapan pria itu menyadari bahwa Erie memandangnya?
Elden mengerutkan keningnya ketika mendengar respon terkejut dari Erie. "Hm?" gumamnya.
Erie meneguk salivanya. "Tidak, aku tidak memandangmu," kata perempuan itu sambil mengalihkan wajahnya ke arah jendela mobil. Ia tidak tahu mengapa ia begitu tertarik untuk memperhatikan Elden. Padahal pria itu tadi telah sangat tega meninggalkan Erie di dalam ruangan resepsi begitu saja. Bayangkan, Erie dengan menggunakan gaun sekompleks itu berlari mengejar Elden. Namun, pria itu mengabaikan Erie dan dengan santainya berjalan menuju mobil. Ketika Erie meneriakkan nama Elden, barulah pria itu berhenti dan menunggu Erie meskipun ia tidak membantu Erie yang sibuk dengan gaunnya.
Erie mengerucutkan bibirnya kesal. Ia tak mau lagi membayangkannya. Kenangan itu sangat gelap, segelap langit yang menghiasi malam tak berbintang itu.
Selama di dalam mobil, Erie hanya melihat pepohonan gelap di luar. Entah sudah berapa kali mereka keluar masuk jalan bebas hambatan. Gadis itu tak menyangka perjalanan mereka untuk datang ke rumah Elden akan sejauh ini.
Suasana di dalam mobil itu juga begitu sunyi. Sang supir hanya fokus mengendarai mobil tanpa berucap sepatah katapun. Erie merasa sangat bosan. Tidak ada yang ia kerjakan dan itu justru membuatnya mulai mengantuk. Lama kelamaan, gadis itu tak sanggup lagi menahan kantuknya. Ia menguap. Kelelahan yang ia rasakan sejak pagi membuatnya tertidur dengan pulas.
"Nyonya, nyonya," suara seorang gadis ditambah guncangan pelan di tubuhnya, membuat Erie terbangun. Erie mengerjap-ngerjapkan mata untuk menyesuaikan diri. Sambil menutup mulutnya, Erie menguap lagi. Ia menyibak jas hitam yang entah sejak kapan menutupi tubuhnya.
"Mari, Nyonya." Gadis tadi kembali berucap. Ia dan beberapa pelayan lain membantu Erie untuk keluar dari mobil. Mereka mengangkat bawahan gaun Erie untuk memudahkannya berjalan.
Betapa terkejut Erie saat ia menginjakkan kakinya di sebuah perkarangan rumah sangat besar yang ada di sana. Bangunan itu lebih tepat dikatakan sebagai istana dibandingkan dengan rumah. Bagaimana tidak? Perkarangannya saja sudah sangat besar dan dilengkapi dengan taman bunga, kolam ikan dan beberapa patung. Belum lagi bangunan utama bercat putih yang berdiri di tengah-tengah itu juga terlihat begitu megah. Semua yang ada di sana seolah-olah ingin menunjukkan seberapa banyak kekayaan yang dimiliki oleh pemiliknya.
Tiga detik kemudian, para penjaga menyambut Elden dan Erie dengan berseru. "Selamat datang Tuan dan Nyonya," kata mereka bersama-sama sambil menunduk hormat. Satu, dua, sepuluh, dua puluh. Ah, Erie tidak bisa menghitung jumlah mereka. Yang ia yakini mereka semua sangat banyak. Dari penglihatan Erie, mereka bukanlah orang sembarangan. Bentuk tubuh mereka sangat proposional dan terlihat begitu terlatih.
Bicara soal bentuk badan, Elden juga memiliki tubuh atletis yang bagus dengan tinggi yang ideal. Sekitar 178 cm. Sangat berbanding terbalik dengan tubuh Erie yang kecil dan hanya memiliki tinggi 158 cm. Jika saja tadi Erie tidak menggunakan sepatu heels yang tinggi, mungkin ia akan terus mendongak sangat keras hanya untuk melihat wajah Elden.
"Selamat malam dan selamat datang Tuan. Selamat datang Nyonya," sapa seorang pria yang berada di baris paling depan dari para penjaga. Ia berjalan dengan sangat percaya diri kehadapan Elden dan Erie. Bila ditebak, umurnya mungkin tidak jauh berbeda dengan Elden.
"Kenalkan, dia adalah sekretaris pribadiku sekaligus kepala keamanan di sini," kata Elden menerangkan pria di depannya kepada Erie.
"Salam kenal Nyonya. Nama saya Mario Sicher. Anda bisa memanggil saya Mario," ucap pria itu sambil menundukkan kepalanya.
Erie tersenyum kikuk. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Ia menunggu, namun pria yang baru saja memperkenalkan diri itu masih saja menundukkan kepalanya. Erie melirik ke arah Elden. Dalam benaknya ada sebuah pertanyaan besar yang ingin ia sampaikan kepada Elden. Apa yang harus ia lakukan?
Namun, percuma saja. Erie bisa menduga bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban dari pria yang hanya berdiri di sampingnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya. Pria yang melihat pemandangan itu dengan diam.
"Ah, hallo!" ucap Erie kemudian. Ia mencoba membuka suara meskipun tidak tahu apakah caranya benar atau tidak. Tapi tidak terlalu buruk karena pria bernama Mario itu akhirnya mengangkat kepalanya dan memandang wajah Erie sambil tersenyum.
Elden melangkahkan kakinya. Erie dengan cepat mengikuti langkah suaminya. Begitu pula dengan Mario yang dengan setia mengekor di belakang Erie, dan juga empat pelayan yang membantu Erie yang kesusahan melangkah dengan gaunnya.
Ketika Erie masuk ke dalam rumah milik Elden itu, ia berdecak kagum. Saat berada di luar, rumah itu memang terlihat besar tapi Erie tak percaya bahwa dalamnya akan begitu mewah seperti ini. Rumah itu memiliki desain interiornya khas Victorian yang sangat elegan. Gaya ala kerajaan dapat terlihat dari ukuran pintunya yang tinggi serta ornamen-ornamen dalam ruangan yang berukuran besar. Dengan pola, motif, ukiran, furniture dan lampu gantung besar yang ada di sana, memberikan kesan mewah dan berkelas. Nuansa glamor muncul dari dominasi warna putih, hitam, cokelat dan emas, yang didukung dengan penggunaan lantai marmer. Koleksi barang-barang antik yang berjejer rapi juga menghadirkan suasana klasik dan tradisional.
Mata Erie tak habis-habisnya mengagumi rumah itu. Gadis itu baru mengalihkan pandangannya ketika melihat puluhan pelayan dengan menggunakan pakaian yang sama dengan empat pelayan yang membantunya, yakni kemeja putih dan rok hitam, berjalan menghadapnya dan Elden.
"Selamat datang kembali Tuan dan selamat datang Nyonya. Perkenalkan Nyonya, nama saya Marline, kepala pelayan di rumah ini," kata salah seorang wanita kepada mereka. Wanita yang telihat jauh lebih tua dibandingkan para pelayan lain itu, menundukkan kepalanya tanda penghormatan.
Huh! Lagi-lagi mereka menundukkan kepala. Erie kembali melirik Elden. Ia ingin bertanya kepada Elden apakah ia juga harus mengucapkan sesuatu seperti kejadian bersama Mario tadi? Tapi sepertinya Erie sedang beruntung saat ini karena ia melihat gelagat Elden yang hendak membuka suara.
"Marline, antarkan dia ke kamarnya," seru Elden kepada Marline. Wanita paruh baya itu mengangkat kepalanya.
"Baik Tuan. Mari Nyonya saya antarkan," katanya sambil menuntun Erie menuju kamarnya yang ternyata ada di lantai atas.
Erie melangkah dengan masih dibantu oleh para pelayan. Saat menaiki anak-anak tangga, Erie masih merasa takjub dengan pemandangan sekelilingnya. Tapi ketika melihat ukiran pegangan tangan rumah itu, ia berpikir sejenak. Aneh. Sepertinya Erie pernah melihatnya di suatu tempat. Mungkin ia melihatnya di majalah mommynya atau di buku miliki daddynya.
"Nyonya, ini kamar Anda. Barang-barang Nyonya akan diantarkan oleh pelayan. Apakah Nyonya membutuhkan hal yang lain?" ucap Marline setelah mengantarkan Erie ke sebuah kamar besar. Keempat pelayan lain menurunkan gaun Erie dan meletakkan jas yang tadi Erie gunakan di mobil ke atas ranjang.
"Tidak ada. Terima kasih Ibu Marline," kata Erie tersenyum.
"Nyonya, Anda tidak perlu memakai bahasa formal kepada para pelayan dan penjaga di rumah ini. Kami semua adalah orang-orang yang akan selalu melayani dan melindungi Anda. Cukup panggil kami dengan nama kami saja, Nyonya."
"Ah, baiklah. Kau boleh pergi Marline," ujar Erie kaku. Ia merasa sesuatu tidak pantas ketika memanggil orang yang lebih tua seperti Marline dengan namanya saja.
Marline tersenyum. "Baik Nyonya. Jika Nyonya membutuhkan sesuatu segera panggil saya atau pelayan lain. Selamat Malam, Nyonya. Selamat beristirahat," katanya menutup pintu kamar itu. Ia bersama dengan empat pelayan lain pergi meninggalkan Erie.
Erie menelisik seluruh isi kamar itu. Ruangan itu sangat luas. Bahkan lebih luas dari kamar utama di rumah daddynya dulu. Jika ruangan yang berada di bawah terlihat sangat klasik, hal berbeda ia temui di ruangan di sini. Kamar itu terlihat lebih modern meskipun masih menggunakan arsitektur gaya Victorian. Hanya saja, kamar itu terlihat lebih gelap dengan warna abu-abu dan putih yang mencolok.
Pandangan Erie kini jatuh ke sebuah benda di depannya. Sebuah tempat tidur yang berlapis kain berwarna putih itu sangat besar. Erie merasa ranjang itu terlihat empuk dan membuat Erie tiba-tiba merasa mengantuk. Ia mulai merebahkan tubuhnya ke ranjang. Lama-lama rasa kantuk semakin menyerangnya dan tanpa terasa matanya yang berat mulai tertutup.
Nyaman sekali. Dalam tidurnya Erie merasa tubuhnya sangat ringan dan bagaikan melayang di udara. Mungkin itu karena aktivitasnya yang sangat padat sepanjang hari. Ia memang sempat tidur di dalam mobil, tapi itu belumlah cukup.
Tidak lama kemudian, rasa yang awalnya nyaman tiba-tiba berubah sesak. Erie yang tengah tertidur berusaha membuka matanya dengan cepat. Ah! Ia lupa membuka gaunnya, itulah sebabnya ia tidak bisa tidur dengan nyaman. Gadis itu beranjak dari ranjang. Ia nyaris membuka gaunnya saat sebuah suara menyentaknya.
"Ehhemm!!!" tiba-tiba suara baritone Elden berada di belakang Erie. Gadis itu menoleh ke belakang dan terkejut. Ia memperbaiki gaunnya yang hampir terbuka.
"Kenapa kau ada di sini?" kata suara itu lagi.
Erie mengerutkan keningnya bingung. "Marline ini tadi mengantarkanku ke sini. Aku pikir ini adalah kamarku," ucap Erie pelan.
Elden menatap Erie sebentar. Kemudian ia berjalan menuju nakas yang ada di samping Erie. Ia menggangkat gagang telpon yang ada di sana sambil menekan beberapa nomor.
"Marline, segera ke kamarku sekarang," perintahnya kepada seseorang di ujung telepon. Ia meletakkan gagang itu kembali. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu.
"Masuk," seru Elden.
"Tuan memanggil saya?" kata Marline sambil membuka pintu.
"Marline, bukankah aku menyuruhmu untuk mengantarkannya ke kamarnya? Kenapa kau mengantarkannya ke kamarku?"
Marline menunduk. "Maaf Tuan. Saya kira---"
"Sudahlah. Sekarang antarkan dia ke kamarnya."
"Baik Tuan. Mari, Nyonya."
Marline berjalan keluar kamar. Wanita tua itu di ikuti oleh Erie, namun saat melewati Elden, pria itu berkata. "Tunggu!" cegatnya.
Suara Elden yang tiba-tiba itu membuat langkah Erie terhenti.
"Apa kau tidak mengenaliku?" sambung pria itu.
"Ha?" jawab Erie seketika.
Elden kembali menatap Erie dengan dalam lalu menghela napasnya. "Tidak! Lupakan! Pergilah ke kamarmu! katanya lagi."
Walau sedikit bingung, Erie hanya mengangguk sambil terus mengikuti Marline.
Ternyata kamar Erie tak berada jauh dari kamar Elden. Hanya terpisah dua ruangan saja. Menurut Marline, kamar Erie adalah kamar kedua terbesar setelah kamar Elden. Tapi kamar itu jauh lebih berbeda nuansanya. Warna biru muda yang digunakan sebagai cat tembok di tambah perabotan dengan warna pastel, memberikan suasana yang lebih hidup dan menyenangkan.
Erie langsung masuk ke dalamnya. Ternyata beberapa barang berharga miliknya juga sudah ada di kamar itu. Erie berjalan dan duduk di atas ranjang. Matanya masih terasa berat.
"Nyonya, apakah tidak sebaiknya Anda membersihkan tubuh Anda sebelum tidur?" kata Marline memberikan saran setelah melihat Erie seperti tidak nyaman dengan gaunnya itu.
Erie mengangguk. "Kau benar. Aku harus segera mandi."
"Apakah Anda butuh bantuan Nyonya?
Bisakah kau membantuku membuka gaun ini?"
"Tentu saja Nyonya."
Marline membantu Erie melepaskan gaun mewah itu. Wanita itu juga menyiapkan air mandian untuk Erie. Setelah semuanya selesai, Marline berkata lagi. "Apakah Anda ingin saya bantu untuk membersihkan tubuh Anda, Nyonya?"
"Ah tidak!" jawab Erie cepat. "Terima kasih Marline, pergilah."
"Baik Nyonya, permisi," kata Marline seraya keluar dari kamar.
Erie segera menutup kamarnya. Gila! Sudah cukup dengan persiapan pernikahannya yang membuat risih itu. Ia tidak ingin lagi orang lain menyentuh tubuhnya. Ia sungguh merasa trauma dengan itu semua.
Erie melangkah menuju kamar mandi. Butuh waktu satu jam baginya untuk membersihkan seluruh tubuhnya, terutama membersihkan wajahnya yang dilapisi oleh make up. Kini ia sudah memakai baju tidur yang biasa ia gunakan. Selanjutnya, Erie membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.
Apa kau tidak mengenaliku?
Erie masih memikirkan kalimat yang Elden ucapkan tadi. Erie tidak mengerti apa maksud dari kalimatnya itu. Bagaimana bisa Erie bisa mengenalinya jika ia saja baru bertemu dengan pria itu hari ini? Apakah pria itu mengatakannya karena Erie melakukan suatu kesalahan? Ah entahlah! Memikirkan hal itu membuat Erie merasa lelah dan lama kelamaan matanya mulai terpejam. Gadis itu terlelap dalam tidurnya.
*XXXXX
Jangan lupa tinggalkan jejak dukungan dengan memberi like dan comment ya..
Dan jangan lupa selalu jaga kesehatan dan kebersihan, selalu cuci tangan dan jauhi tempat ramai... Danke ♥️
By: Mei Shin Manalu*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Nurma sari Sari
aku suka cerita, seru...👍
2022-11-20
1
momazcha
fix pasti ini pangeran nya wkt kecil..😁.
2022-04-08
1
💕febhy ajah💕
apakah elden adalah pangerang masa kecil valeria??? klau iya kenapa erie tdk mengenal pangerang nya yak. kasihan dgn hidup valeria, semoga kedepan valeria bahagia.
2022-04-04
1