Hujan deras mengguyur di penghujung sore ini. Setelah meeting keduanya akan pulang, tapi hujan deras memaksa mereka untuk duduk lebih lama lagi di restoran itu. Padahal Alan sudah menawarkan Nadya untuk pulang bersama, tapi gadis keras kepala itu tetap ngotot mau naik taksi online saja.
"Sudah belum, ck...lama loh Nad. Saya antar pulang sajalah." Gerutu Alan, dia memang sangat tidak suka menunggu yang tidak jelas seperti ini. Kalau dia cepat sampai di rumah ia akan mengistirahatkan badannya, terlebih persiapan lembur untuk besok.
"Bapak silahkan pulang terlebih dulu saja, Pak. Saya bisa pulang dengan taksi online." Nadya sudah beberapa kali meminta bosnya untuk pulang, ia juga tidak ingin merepotkan Alan. Toh ada taksi online yang siap sedia mengantar, hanya saja keadaan hujan yang membuat pesanan Nadya ditolak beberapa kali.
"Trus kamu saya tinggal di sini sendiri? Berani?"
Nadya mengangguk, "Iya, Pak. Saya berani, toh di restoran ini masih ramai pengunjung juga."
"Baiklah kalau begitu. Saya pulang dulu."
"Hati-hati, Pak."
Alan hanya mengetes saja apakah Nadya termasuk perempuan tipe tarik ulur. Bilangnya silahkan tapi mengharap juga untuk dibujuk. Baru dua langkah, Alan menoleh ke arah Nadya yang malah fokus ke ponselnya dan tersenyum, tak ada raut menyesal ditinggal sang bos sendiri.
"Kamu ketawa sama siapa?" Alan memutuskan balik kucing. Menghampiri Nadya.
"Loh, Bapak kok balik?" Nadya kaget, senyum ceria saat menatap ponsel tadi pudar sudah. Kaget, karena bosnya tak jadi pulang malah berdiri di depannya.
"Kamu kira saya tega meninggalkan kamu sendiri, lagian orderan kamu pasti dibatalkan" Tebak Alan yang diangguki Nadya. "Ya udah, ayo pulang saya antar kamu sampai depan rumah, anggap saya sopir ojol deh."
"Wah saya bayar berapa, Pak. Kayaknya gak sanggup saya."
"Ck....gratis. Ayo!" Alan melangkah terlebih dahulu, disusul Nadya masih menggerutu.
"Maaf ya pak sudah merepotkan bapak." Ucap Nadya saat di dalam mobil setelah menunjukkan ancer-ancer rumahnya.
"Biasa aja kali, Nad."
"Saya minder, Pak. Masa' bos mengantarkan sekertarisnya, berasa sopir loh."
Alan terkekeh, "Ini kamu niat terimakasih atau ngejek saya sih."
"Dih....Pak Alan, saya tulus kok minta maaf."
"Gak usah minder sama saya, gak usah takut juga dengan fans saya di kantor. Mau gimana pun kamu menang daripada mereka, tiap hari kamu lebih dekat dengan saya daripada mereka."
"Ya kan sekarang, Pak. Saya aman sampai tiga minggu ke depan, selebihnya?"
"Cuekin aja lah, toh kamu kan niat bekerja saja, gak berniat yang lain."
"Iya, Pak."
"Kamu lebih suka mana kerja sama saya atau dengan Erick?"
Nadya menoleh, menatap si bos. Ini pertanyaan pancingan pasti. "Saya lebih nyaman bekerja sesuai background saya pak, akuntansi bisnis." Cari aman sajalah Nadya menjawab asal.
"Sudah pernah kontek dengan Erfina?"
"Belum, Pak. Saya gak berani WA lagian beliau juga sibuk, apalagi rabu besok hari H nya!"
"Iya, kerjaan sekertaris mah gak terlalu susah dibanding kerjaan di keuangan."
"Iya sih, Pak. Memang lebih gampang."
Alan mengangguk juga, fokus pada mengemudi saja, Nadya belum nyaman untuk lebih cerewet dengannya. Menikmati derasnya hujan dengan pemikiran masing-masing, itu lebih baik.
"Terimakasih, Pak!" ujar Nadya sebelum keluar dari mobil.
"Nad!" panggil Alan tiba-tiba.
"Iya?" Nadya mode curiga.
"Ke resepsi Erfina bareng siapa?" tanya Alan dengan maksud tertentu, alias mau mengajak datang bersama tapi gengsi kalau terlalu to the point.
"Anak keuangan mungkin, Pak."
"Oh...."
Hanya Oh. Ck.. minder kali lidah si bos kalau mau mengajak sekertaris jalan. Eh...bener rasa sekertaris, bukan rasa gebetan?kekeke. Sedangkan Nadya kemudian membuka pintu mobil dan sekali lagi mengucapkan terimakasih pada bosnya yang hanya dijawab sebuah anggukan.
"Siapa, Nduk?" tanya Ibu setelah menjawab salam dari sang putri. Beliau melihat secara langsung mobil mewah mampir di depan rumahnya yang sederhana.
"Bos, Nadya, Bu!" jawab Nadya sambil meletakkan gelas yang telah kosong di meja makan. Ibunya tampak ingin tahu siapa yang mengantar Putrinya saat menjelang maghrib, mana hujan pula.
"Udah punya pacar atau istri?" tanya ibu menyelidik. Tatapan beliau tajam, Nadya pun menggeleng.
"Wah.....bisa jadi kandidat dong yah?"
Nadya mengerutkan dahi, "Kandidat apa, Bu?"
"Mantu ibu lah. Laki-laki, kan? mana kaya lagi, terus ganteng, tinggi lagi. Mantuable banget deh Nad!"
Nadya terbengong, yang benar sajalah. Jadi sekertaris cuma tiga minggu, gak terlalu dekat juga, mana datar kadang banyak omong juga kok bisa jadi kandidat suami Nadya, ajaib pemikiran si ibu. Lagian ibunya ini sungguh mengejutkan, bisa mengetahui kalau Alan ganteng, kaya, laki-laki lagi, padahal bosnya itu tidak turun dari mobil. Nadya pun yakin kaca mobil Alan terpasang satu arah saja.
"Buat Nadya?"
"Iyalah, wong nganter kamu juga!"
"Ini nih yang salah pada pemikiran warga +62," Nadya mulai protes.
"Warga apa?"
"Warga kewarganegaraan Indonesia, Bu. Orang hanya semobil dengan bos udah langsung dicap mantu. Enak di bos dong yah dicap mantu sama siapapun."
"Ya, ibu cuma mendoakan, Neng. Mantu anak-anak Ibu orang baik, tanggung jawab, plus kaya."
"Dan seiman!" lanjut Nadya.
"Eh itu mah syarat utama. Lagian, Nad. Benar kata adikmu, sudah saatnya kamu cari pasangan."
Nadya menghela nafas berat, bahkan bahunya saja sampai turun karena pembahasan pasangan. Usia 24 tahun masih belum ada rencana untuk menikah, nantilah dua atau tiga tahun lagi. Nadya ingin punya karier bagus dulu, menjamin kehidupan ibu dan adiknya lebih baik lagi.
"Nadya belum kepikiran, Bu. Di otak Nadya hanya kerja dan uang. Belum ada tuh nyelimpit pacar gitu."
Ibu langsung menampol lengan anak sulungnya itu, "Kamu gak niat! Goda-goda dikitlah bos kamu kalau masih brondong."
"Eh kok brondong sih."
"Eh apa tuh yang gak punya pacar istilahnya."
"Jomblo emakku sayang." Ralat Nadya dengan memeluk dan mencium pipi sang ibu.
"Nah itu, jomblo. Jodoh itu dikejar Nad, bukan didiemin."
"Capek Bu, kalau dikejar. Emang lomba maraton."
"Nih anak dibilangin orang tua juga. Umur kamu sebagai perempuan itu udah pantes nikah."
"Kenapa sih hidup di Indonesia tuh ribet banget, nikah itu kalau sudah ketemu jodoh yang klik, bukan semata-mata karena umur sudah cukup, Bu!"
"Kamu tuh sebenarnya banyak yang nanyain, Nad. Cuma ibu gak berani buka omongan."
"Nanyain apa?"
"Ya nanyain mau melamar kamu. Masa' nanyain biodata kamu."
"Eh jangan salah, siapa tahu tanya tanggal lahir Nadya, Bu. Trus dihitung pakai primbon, Nadya diwus wus gimana hayo." Mulai deh aksi negosiasi antara anak dan ibu dimulai. Nadya sudah sering sekali menakuti ibunya untuk tidak membuka informasi tentang dirinya dengan calon pelamar, dan itu berhasil.
"Ngomong apa sih kamu, Nad. Ibu tuh selalu kamu akal-akalin, yang inilah yang itulah, trus ibu ketakutan, makanya yang mau melamar kamu mundur."
Nadya terkekeh, ketahuan deh akal bulusnya sekarang. "Udah deh, Bu. Nanti kalau Nadya sudah menemukan belahan hati dan jiwa, Nadya bakal nikah, tenang saja. Sekarang Nadya menikmati masa jomblo dulu."
"Ibu takut anak ibu gak laku." Tampak sekali gurat kesedihan wanita paruh baya itu memikirkan nasib si sulung. Nadya memeluk kembali sang ibu, memberikan pendapatnya agar ibunya percaya bahwa suatu saat Nadya akan menemukan pangeran hatinya, dan sesuai kriteria mantuable sang ibu.
"Dijalani sambil berusaha, nanti bakal bertemu juga. Jangan terlalu buru-buru karena alasan umur sudah cukup atau gunjingan tetangga malah gak baik jadinya. Yang penting ibu selalu mendoakan kita, Nadya dan Naila mendapatkan jodoh yang baik dan bisa membahagiakan keluarga kita.
"Aamiin."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
T.N
wajarlah Nad nama jg ortu menginginkan yg terbaik utk anaknya
2023-05-27
0
Anonymous
novel yg ringan dibaca...
2021-12-13
2