Hufh
Nadya menghela nafasnya lega, tangan yang sedari tadi menghalangi penglihatan Alan segera ia turunkan, "Maaf Pak Alan!" cicitnya dengan menunduk, takut kalau Alan marah karena tak bisa melihat pemandangan yang menggiurkan.
"Kenapa minta maaf?" tanya Alan yang kembali ke singgasananya, mungkin akan meneruskan pekerjaannya.
"Bapak tidak marah karena saya sudah menutup mata Bapak?" tanyanya pelan.
Alan hanya tersenyum saja, "Saya sudah sering melihat pemandangan seperti itu, Nad. Udah bosen!"
Nadya meringis, mengangguk saja. Toh Alan seorang pebisnis, ganteng, uangnya banyak. Tentu dengan kelebihan yang ia miliki itu, banyak perempuan yang rela menyodorkan pemandangan seperti itu, makanya udah bosen.
"Hem kalau begitu saya keluar dulu, maaf juga kerjasama dengan Nona Trisya harus batal karena saya."
"Gak pa-pa, Nad. Saya juga gak rugi kok!" ucap Alan enteng tanpa melihat Nadya.
"Permisi!" Nadya pun membalikkan badan, hendak keluar, namun baru saja melangkah, suara Alan menghentikan langkahnya.
"Kamu gak minta maaf karena kamu bilang kamu pacar saya?"
Deg
Mampus
Nadya kembali menatap bosnya yang duduk anteng, berkutat dengan berkas, bolpoin pun masih ia pegang. Namun jantung Nadya berdegup kencang, takut dimarahi karena telah lancang mengakui pacar bosnya. Duh....bodohnya.
"Maaf juga, Pak! Saya keceplosan."
"Kamu ingin jadi pacara saya? keceplosan itu tandanya dalam alam bawah sadar kamu menginginkan itu."
"Bu-bu bukan itu maksud saya?"
"Jadi?" kini Alan menopang dagu, melihat kegugupan Nadya.
"Saya hanya menyelamatkan bapak saja, tanpa punya niatan tertentu."
Alan tersenyum, senyum meremehkan lebih tepatnya. Wajar sih marah, Nadya hanya sekertaris mana level juga Pak Alan pacaran sama sekertaris.
"Punya niatan tertentu juga gak pa-pa, Nad! Gimana?"
"Maksudnya?" Nadya selalu merasa gagal paham dengan ucapan Alan, bos nya itu gak pernah ngomong yang langsung bisa ditangkap oleh otak Nadya.
"Berteman!" Lah malah Alan menyodorkan tangannya, berlagak akan bersalaman. Semakin bingung saja Nadya dengan tingkah bosnya ini.
"Hufh...jadi sekertaris saya kamu kok Lola banget sih, Nad!" gerutu Alan, duh julid juga nih laki.
"Bingung, Pak! Lah kan saya sekertaris bapak, kenapa juga harus berteman?" keluar juga sisi cerewet Nadya, memang saat dengan Alan berniat sekali menjadi pribadi yang jaim, agar tidak melakukan hal aneh yang merusak citra bosnya.
"Nah, itu yang saya mau. Kamu gak usah jaim di depan saya. Berlagak biasa saja sesuai dengan kepribadian kamu."
"Baik."
"Saya tahu kamu orangnya cerewet, dan bisa asyik juga kalau mengobrol dengan Erick ataupun Rilo, maka saya juga ingin kamu bersikap seperti itu sama saya. Bisa?"
"Saya minder sama bapak kalau terlalu dekat."
"Kenapa minder? Karena saya bos?"
Nadya mengangguk, memang status bos makanya Nadya memberikan gap agar tidak terlalu dekat dengan Alan.
"Biasa saja, kalau kamu bekerja menjadi orang lain capek juga. Jadi diri kamu sendiri, toh saya yakin kamu di tim Erick nyaman karena kamu bisa bersikap layaknya diri kamu sendiri."
"Iya!" Nadya mengakuinya.
"Kamu gak perlu mencitrakan dirimu baik, anggun, dan elegan agar menjaga citra saya. Ingat, Nad. Citra saya sudah bagus."
Cih...Nadya spontan menoleh, lubang hidungnya mendadak melebar mendengar kenarsisan si bos. Menyebalkan.
Alan terkekeh, "Gak usah ilfeel gitu, Nad. Emang kenyataannya saya punya nilai plus banyak."
"Apa kata bapak deh."
"Oke....nanti setelah makan siang, kamu dan Rilo bantu saya untuk mengecek dokumen persiapan surveilans IS*."
"Baik, Pak!"
"Besok jangan lupa bawa baju ganti karena saya ajak lembur, kemungkinan pulang jam 10 malam."
"Baik!"
Alan mengangguk ketika Nadya pamit undur diri, ia pun kembali melanjutkan menekuni berkas yang sempat tertunda. Namun senyum tipisnya tak pudar, terlihat bahagia sekali. Entah apa yang membuat dirinya begitu bahagia, dekat dengan Nadya? mungkin.
Nadya kembali ke tim keuangan, mengambil dokumen yang sudah ia cetak tadi, duduk sebentar karena Ersa tiba-tiba duduk di depan meja kerjanya.
"Nih ...300ribu!" masih ingat rupanya barter ala mereka, nomor ponsel si bos vs 300 ribu.
Nadya hanya mengangkat alis, menahan tawa pula, "Mbak, emang kalau mbak punya nomor Pak Alan mau apa?"
"PDKT lah, Nad!" sembur Imel.
"Cih....jangan deh kalau gitu."
"Enak aja kamu udah janji sama aku, Nadya!"
"Bentar deh, Mbak. Aku tuh trauma tau sama perempuan yang naksir gak jelas sama Pak Alan!"
"Kenapa?" kali ini tidak hanya Ersa yang penasaran bahkan Erick yang sedari tadi khusyuk dengan laptop terpaksa ikutan nimbrung dengan anak buahnya. Ck... Gak elit sekali.
"Ih...Pak Erick janji ya gak bilang ke Pak Alan, kalau aku lagi ghibah tentang beliau."
"Beres, cepatan cerita!"
Nadya pun menceritakan kehadiran Trisya dan kejadian yang bikin mata melotot, sampai segitunya menarik perhatian Pak Alan, bahkan Nadya tak habis pikir, apa serendah itu sih kalau mau kerja sama. Harus pamer dada dan paha serta baju yang kurang bahan dan benang itu. Astaghfirullah.
"Tahan juga si Alan!" Sindir Erick dengan seringai kemesuman.
"Gimana gak tahan, orang aku nutup mata Pak Alan." Jelas Nadya dengan memanyunkan bibir, bodoh juga sih dia melakukan itu.
"Eh gimana-gimana?" Imel ingin Nadya memperjelas adegan menutup mata Pak Alan itu. Skinship sudah muncul rupanya di antara sekertaris dan bos, bahaya.
"Ya elah tinggal tutup kayak gini!" kesal juga Nadya dengan Imel itu. Ia pun reka ulang adegan penutupan mata Alan, emang ada cara lain nutup mata selain tanpa tangan. Heran.
"Wajarlah Alan bertemu dengan jenis klien dengan bentuk apapun. Apalagi dia ganteng, tender kalau dia mau nakal, beuh makin besar untung yang dia dapat di perusahaan ini." Terang Erick.
"Jadi Pak Alan gak nakal?" tanya Nadya memastikan, "Tapi nakal dalam artian to be cassanova gitu dan suap kan?" lanjutnya.
Erick mengangguk membenarkan ocehan Nadya. Memang Erick termasuk pebisnis yang lempeng-lempeng aja, sekuat tenaga melakukan bisnis dengan halal. Bahkan tim produksi kalau ada ide tentang varian baru pun sedetail mungkin Alan meminta penjelasan tentang kandungan gizinya. Produk yang ia produksi berdampak terhadap kecerdasan anak bangsa, begitu ia selalu mengingatkan tim produksi. Mulia sekali rupanya.
Prok
Prok
Prok
Ersa bertepuk tangan ceria, "Jadi bos gue masih perjaka ting-ting dong. Cihuy....nah, Nad. Bagi nomor! Calon mantu idaman bapak gue ini mah."
"Gak sudi!" cibir Erick berlagak menjadi Alan.
Nadya pun tertawa keras, mendengar ledekan menyakitkan Erick, kemudian ia beranjak membawa berkas untuk diletakkan di meja Erick, tanggungannya sebagai tim keuangan beres, tanpa menghiraukan rengekan dan kibasan uang merah tiga lembar dari Ersa, Nadya pamit kembali ke lantai 8.
"Nadya!" pekik Ersa kesal.
"Kapan-kapan deh!" balas Nadya yang langsung keluar dari ruang itu diiringi dengan lambaian tangan, seolah mengatakan pada Ersa, Say good bye for Alan ya Mbak Ersa. Ngeselin emang si Nadya ini. Tukang PHP akut.
"Awas ya Lo, Nad. Gue cincang kalau elo balik ke bilik ini." Teriak Ersa sambil menghentakkan kakinya, kesal.
Sesuai permintaan Alan, setelah makan siang Rilo dan Nadya sudah standby di ruangan Alan. Masing-masing diberikan jobdesk yang harus dilakukan siang ini.
"Usahakan jam 3 sudah ada hasil, agar kita bisa hubungi masing-masing devisi untuk revisi ataupun menambah data. Sesuaikan segala target mutu tiap devisi dengan format laporan."
"Beres!" jawab Rilo yang sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini, sedangkan Nadya hanya melongo, sampai jam 3, sebanyak ini yang harus diteliti, yakin selesai?
"Ntar gue bantu bagian Lo, Nad!" lanjut Rilo ramah.
"Ikhlaskan?" goda Nadya memancing emosi pak asisten..
"Bayar pakai kencan Minggu depan!"
"Ehem."
Kincep dah Rilo dan Nadya. Bisa-bisanya bercanda di depan bos gantengnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Kustriana Handayani
manteb thor... kocak bahasanya... santai... serius di kerjaan... kompak..
2022-11-03
1
Kustriana Handayani
bagus thor suka bacanya... akur gitu..pake bahasa sewajarnya... santai di kerjaan.. serius.. kocak jg...
2022-11-03
1
Anonymous
hhmmmm...siapa yg jd saingan...
2021-12-13
2