Setelah mempelajari arahan dari Erfina, Nadya sekarang fokus dalam menyusun jadwal Pak Alan untuk Minggu kedua, agar bisa dikoreksi juga oleh Erfina, anggap saja latihan.
"Aku ke ruangan Pak Alan dulu, ya Nad!" pamit Erfina dengan membawa berbagai berkas di tangannya, dan dijawab anggukan oleh Nadya.
Tok ...tok...tok....
"Masuk!" ujar Alan.
Erfina dengan ramahnya memberikan dokumen dari berbagai devisi serta proposal kerjasama.
"Pak Alan pinter banget cari sekertaris sementara, aku khawatir digeser nih!" sindir Erfina sambil membuka dokumen, menunjukkan bagian yang perlu ditandatangani Alan.
Si bos minim senyum hanya mengangkat sudut bibirnya saja, tak perlu kata-kata dalam menanggapi ocehan sekertarisnya.
"Dia polos abis loh, Pak. Lucunya gak naksir Pak Alan coba."
Masih mingkem tuh bos.
"Padahal karyawan di sini sebagian besar naksir Pak Alan, tapi Nadya gak tertarik tuh sama bapak."
"Bagus dong, bisa profesional."
"Gak yakin saya."
"Kenapa?"
"Pak Alan nanti yang gak bisa profesional."
"Kok saya?"
"Bapak gak penasaran sama Nadya, cantik loh pak, Sholehah lagi, Pak Erick dan Pak Rilo sering loh bahas Nadya ini, masa' Pak Alan juga gak tertarik." Entah apa maksud Erfina mempromosikan Nadya, memang Erfina pernah bertemu dengan Nadya sebelumnya, banyak mendengar juga obrolan Rilo dan Erick tentang Nadya. Setuju sekali kalau dijadikan sekertaris sementara, cekatan dan termasuk pegawai yang rajin juga.
"Gak penting juga, Fin!" sangkal Akan, padahal sejak kejadian spion itu, dirinya penasaran dengan Nadya.
"Berarti senin saya boleh gak masuk ya, Pak. Kan hari ini Nadya sudah belajar juga sama saya."
"Hemmm."
"Pak, besok berarti saya juga gak ikut ya, saya yakin Nadya bisa kok, orang nungguin bapak meeting doang."
Alan menatap Erfina datar, lalu menghembuskan nafas pelan, "Terserah."
"Yess. Saya bantu deh buat persiapan besok."
"Kasih tahu juga Nadya, besok ikut saya meeting. Suruh datang jam 8 ke rumah saya."
"Wihhh gercep juga si bapak, langsung ajak ke rumah."
"Gak usah mikir aneh-aneh, Fin. Malas saya weekend harus ke kantor. Kamu juga gak bisa batalain meeting ini."
"Yah si bapak, kayak gak tau Pak Dul aja, meeting saat weekend itu artinya jatah ketemu istri keduanya di Jakarta."
Alan tersenyum, mengangguk juga alasan Erfina. Sudah beberapa kali kerja sama dengan Pak Dul, pengusaha sukses asal Jawa Timur, dan meeting saat weekend selalu tak bisa dibatalkan.
"Beres!"
Erfina pun keluar, langsung menghampiri Nadya, memberikan beberapa berkas untuk meeting besok.
"Nanti malam dipelajari ya, Nad. Langsung ke rumah Pak Alan saja besok, jadi berkasnya ini kamu bawa pulang."
Nadya mengerjapkan mata dua kali, mencerna informasi yang diberikan Erfina. "Jadi besok saya masuk, Mbak!"
Senyum merekah bagi Erfina, karena terbebas dari tugas di hari libur. Rencana ke salon mendadak terlintas. Perawatan pengantin wajib terlaksana di Sabtu besok.
"Tugas pertama di luar kantor bersama Pak Alan, selamat menikmati Nadya." .
Hishhhhhh
*******
Weekend kelabu. Biasanya hari Sabtu-Minggu, setelah shubuh Nadya akan hibernasi hingga makan siang tiba, tapi kali ini, setengah 7 teng, dia sudah berpakaian rapi, menggunakan celana jeans, kemeja lengan 7/8 warna biru muda dengan motif bunga kecil-kecil , jilbab segi empat warna Navy tak lupa bros kupu-kupu kecil menyempurnakan penampilan cantiknya. Tak lupa sepatu kets warna putih, plus ransel cantik.
"Loh, mau kemana?" tanya Ibu saat menyajikan sarapan. Memang setiap weekend beliau agak siang menyiapkan sarapan untuk kedua putrinya.
"Kantor, Bu!" jawab Nadya kesal, ia menyendokkan nasi goreng, mengambil sebutir telor mata sapi, dan menyeruput teh hangat terlebih dulu.
"Lembur?" tanya beliau lagi.
Nadya mengangguk saja, tangan kanan menyendokkan makanan, tangan kiri sibuk membuka ponselnya.
Ada pesan dari nomor baru, ia buka saja dan ternyata berisi alamat rumah Pak Alan. Ia pun menyimpan nomor baru itu dengan nama kontak Erfina Sekertaris Bos.
"Mbak tumben bisa bangun?" ujar Naila heran.
"Lembur gue."
"Oooo." Gadis itu hanya ber oh ria saja, toh memang Kakaknya itu tipe pekerja keras.
"Mbak, apa aku berhenti kuliah saja ya?" tanya Naila dengan kunyahannya.
Pikiran dan tangan Nadya pada ponsel berhenti seketika, menatap adik semata wayangnya, "Kenapa?"
"Otakku gak nutut tau kak, tiap hari ada aja tugas, presentasi, belum lagi quiz. Puyeng!" cerocos Naila dengan kesal. Memang dibandingkan Nadya kecerdasannya jauh di bawah.
Dari dulu ia ngotot ingin sekolah di SMK hanya saja Nadya menolaknya. Saat itu kondisi keuangan keluarganya sudah susah, sekolah di kejuruan juga tidak murah. Ada PKL juga, biaya praktik juga mahal, lebih baik masuk SMA Negeri lebih murah. Oke Naila patuh, saat kuliah pun Naila diberikan kebebasan untuk memilih jurusan sesuai keinginannya.
Ekonomi pembangunan dipilih Naila sebagai program pendidikan selanjutnya, ia pikir ekonomi gampang gak banyak tugas seperti saat Nadya kuliah di jurusan akuntansi bisnis. Ternyata dugaannya salah besar, karakter mata kuliah yang diampunya hampir sama dengan Nadya dulu. Menyesal, itulah yang dirasakan Naila. Sungguh ia sudah tak sanggup untuk melanjutkan hingga semester 8 nanti.
"Trus kalau kamu gak mau kuliah, kamu mau apa?" bukan Nadya yang menyalak, tapi ibu Mia, orang tua tunggal mereka.
"Aku ingin kerja saja!" sahut Naila.
Nadya menghembuskan nafas berat, nafsu makannya hilang. Ia tatap adik semata wayangnya dengan lekat, "Dek, pikirkan lagi, Mbak masih bisa membiayai kamu kuliah. Di kampus negeri biaya pendidikan masih terjangkau, Dek."
"Aku kasihan sama Lo, Mbak! Banting tulang buat biaya hidup kita tanpa memikirkan kepentingan kakak."
Tes
Air mata Ibu menetes, inilah salah satu resiko menjadi ibu rumah tangga dulu. Ketika suami meninggal dan tumpuhan nafkah hanya pada sang suami, hilang sudah sumber keuangan keluarga. Dalam hati yakin saja pasti ada rizeki dari Allah, hanya saja kalau berdiam diri tanpa melakukan apapun, uang tidak akan datang dengan sendirinya. Rizeki harus dijemput dengan usaha dan kerja keras.
"Udah, gak usah bikin mewek pagi-pagi. Aku kerja buat kebahagiaan ibu dan Lo, Dek. Gak usah mikir macem-macem. Kalau Lo kasihan sama gue, Lo harus menyelesaikan kuliah, bayar kerja keras gue dengan masa depan Lo yang cerah. Menjadi seseorang yang lebih baik dari gue."
Naila pun juga menangis, ada perasaan iba ketika kakaknya begitu gigih menjadi tulang punggung keluarganya. "Gue sayang sama Lo, Kak!"
"Gue tahu."
Nadya beranjak dari kursi, mendekat ke arah ibunya, memeluk dan mencium pipi tembem nya lalu salim, waktunya berangkat kerja di hari Sabtu ini.
"Nadya pergi dulu, Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!" jawab Ibu dan Naila kompak.
Beginilah suasana pagi tiap hari di keluarga itu. Mengandung bawang, tak ayal Nadya selalu menangis saat berangkat kerja. Meluapkan sesak dalam dada di tengah keramaian jalanan ibu kota. Setidaknya air mata rapuhnya tidak terlihat oleh ibu dan Naila.
Dengan menghembuskan nafas berat, ia menyudahi acara meweknya. Segera menghilangkan isakan tangis, karena ia tak mungkin bermata sembap di hari pertama bertugas menjadi sekertaris Pak Alan.
Tak sampai setengah jam, motor matic Nadya sudah tiba di depan rumah mewah berpagar tinggi, ia menekan bel dan muncul lah pak satpam di balik kotak kecil.
"Cari siapa, Mbak?"
"Saya sekertaris baru Pak Alan, Pak."
"Oh!"
Pria paruh baya itu segera membuka gerbang dan mempersilahkan Nadya memarkirkan motornya di dekat pos satpam, agar tidak menghalangi jalan. Nadya diantar hingga ke ruang tamu.
Sambil menunggu Pak Alan, Nadya menyempatkan membuka ponselnya. Ada pesan paling atas dari Erfina.
/Sudah sampai rumah Pak Alan? jangan terlambat, semoga lancar/
/Iya, Mbak. Baru sampai, ini menunggu beliau di ruang tamu/
"Sudah siap?" tanya Alan yang ternyata sudah berdiri di depan Nadya.
"Oh ..sudah, Pak!" jawab Nadya tergagap, kaget juga dengan kehadiran bos yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya. Beliau pun berjalan lebih dulu setelah memberikan ponselnya pada Nadya.
"Kata sandinya 1207." Ucap Alan saat di dalam mobil, "Selama kamu menjadi sekertaris saya, kamu yang pegang ponsel saya saat jam kerja."
"Baik." Hanya itu yang bisa diucapkan Nadya, karena memang Erfina sempat memberitahu akan hal ini.
Hening.
Nadya tidak secerewet Erfina saat di dalam mobil. Alan yang tak banyak bicara pun sudah biasa dengan keheningan seperti ini.
Sumpah, ni bos kayak kanebo kering kali ya. Gak banyak omong, merinding gue di dalam mobil senyap begini, batin Nadya nyinyir.
"Nanti kita kemungkinan sampai sore, kamu tadi naik apa ke rumah saya?"
Alhamdulillah, ngomong juga, cicit Nadya dalam hati.
"Motor, Pak. Kok sampai sore, ada berapa meeting memangnya?"
"Satu."
Yah...mulai lagi deh, mode pelit omong on, jawab cuma satu balasannya, tanpa penjelasan. Yassalam.
"Kenapa?" tanya Alan yang mendengar hembusan nafas berat Nadya.
"Gak pa-pa, Pak. Masih belum terbiasa saja kerja di hari Sabtu, sampai sore lagi." Okelah Nadya mengeluarkan karakter cerewetnya.
Alan hanya mendecih, "Gagal weekend bareng pacar."
"He'em." Yah kok he'em sih yang keluar, Nadya pun merutuki mulutnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
T.N
kaget ya Nad
2023-05-26
0
Anonymous
he-eh...
2021-12-13
2