Apa maksudnya, sebulan? eh Erfina ngomong apa sih. Nadya bingung, ia hanya tersenyum tipis saja. Tidak enak juga kalau membahas hal serius di pelaminan. Ia pun pamit pada Mini karena ia pulang bersama Alan, ingat.. karena dipaksa dan ia tidak mau menimbulkan perdebatan lebih panjang dengan Alan.
"Mbak Erfina cuti sampai kapan, Pak?" tanya Nadya saat keduanya sudah di mobil.
"Sebulan!"
"Loh kok, tambah lama!" protes Nadya tak suka.
"Kenapa?"
"Katanya dulu cuma tiga minggu."
"Tambah satu Minggu gak lama juga kok."
Nadya mencibir, menoleh ke arah jalan raya agar tidak terlihat wajah kesalnya. Kalau keadaan bosnya menjadi senewen gini, Nadya enggan berlama-lama menjadi sekertaris.
"PDKT sebulan cukup kali, ya?" Alan menoleh ke arah Nadya. "Gimana?"
"Mungkin cukup!" Nadya hanya menjawab asal saja, tak tahu maksud Alan. Padahal Alan bermaksud dia menyetujui Erfina untuk cuti selama sebulan itu agar PDKT dengan Nadya lancar, sedangkan Nadya berpikir Alan meminta pendapat kalau seandainya laki-laki itu sedang dekat dengan seorang wanita dan berniat menjalin kasih setelah PDKT selama sebulan. Hufhh...gak nyambung!
"Deal, ya! Kamu gak boleh putar haluan!"
"Eh maksudnya? kok jadi saya? apa hubungannya?" Nadya menatap Alan dengan kesal, maksudnya apa coba pakai putar haluan segala.
"Kita coba PDKT selama sebulan, ya selama kamu jadi sekertaris saya. Gimana?" tanya Alan santai dengan sesekali menatap Nadya.
"Pak, saya tuh belum bisa mikir kenapa bapak begitu ngebet mau dekat sama saya, bahkan maksa banget jadi pacar saya? Coba kasih alasan yang masuk akal!"
Alan hanya tersenyum tipis, "Kalau saja hati bisa bicara, mungkin hati aku aja yang jelasin."
Nadya melengos, gombal banget.
"Saya tuh penasaran sama kamu, Nad. Jadi cewek sederhana banget, mengusap air mata di spion mobil orang!" Alan bercerita pertemuan pertamanya dengan Nadya kala itu, sontak saja Nadya mengerjapkan mata, jadi saat di mengusap air mata di mobil mewah itu ada Alan di dalam, ya Allah....malunya. Nadya tak berani menatap Alan lagi, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Yassalam. Memalukan sekali.
"Dari kejadian itu saya mulai penasaran sama kamu, entahlah saya juga bingung kenapa saya tertarik sama kamu. Begitu Rilo rekom kamu jadi sekertaris saya, setuju aja deh!"
"Apa yang membuat bapak penasaran sama saya?"
"Kamu nangis kenapa, saya ingin sekali setiap dekat dengan kamu tanya hal itu, cuma saya mikir saya hanya bos kamu, urusan pribadi tidak berhak tahu."
"Kalau saya jawab, bapak gak penasaran lagi kan?"
"Hem mungkin."
"Saya gak nangis, Pak. Saya hanya kelilipan."
"Bisa banget kamu, Nad, cari alasan."
Nadya hanya meringis, alasan klise memang. Namun Nadya enggan untuk bercerita. Urusan pribadi tak perlu ia ceritakan pada bosnya, terlebih mereka belum terlalu dekat.
Keduanya pun diam, suasana dalam mobil hening, Alan menyadari Nadya begitu sulit untuk ditaklukkan bahkan hanya sekedar dekat dengannya. Dirinya begitu teguh membangun tembok di antara dirinya dengan Alan. Tapi jangan salah, otak bisnis Alan begitu cerdas untuk mencari cara agar bisa mendapatkan apa yang ia mau. Mulai dari sekarang ia akan menyusun strategi jitu.
"Terimakasih, Pak. Hati-hati dan selamat malam!" ucap Nadya tulus ketika mobil Alan sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Alan hanya menghembuskan nafas pelan, usahanya malam ini tak terbalaskan. Okelah, Alan tak mau menuntut berlebihan, sepertinya Nadya juga butuh waktu agar bisa membuka diri atau menerima keberadaan Alan.
Memang salah satu kesalahan Alan juga terlalu cepat untuk memaksa dekat dengan Nadya, dan dia menyadari hal itu. Setidaknya ia perlu belajar dari Rilo, si sahabat playboynya.
Setelah malam itu, Alan pun bersikap biasa pada Nadya----ralat, kalau tidak ketahuan, kekke. Aksi curi pandang masih ia lakukan, stalker Instagram Nadya jangan tanya, hampir tiap menit dicek, padahal Nadya bukan tipe cewek yang aktif bersosmed. Meeting di luar dan makan siang di restoran sebagai tameng untuk PDKT bagi Alan, karena dia bisa berduaan, semobil dan bicara dengan Nadya. Modus terselubung.
Bagaimana dengan Nadya? masih tetap sama, terlihat sekali dia karyawan yang profesional, tak pernah sekalipun membahas hal di luar kerja. Ia mengaggap menemani Alan meeting dan makan siang di restoran bersama klien adalah hal wajar, dan diapun sudah terbiasa dengan hal itu. Dalam benak Nadya, sikap Alan dalam batas wajar, hanya bicara masalah kerjaan. Pemikiran akan Alan yang naksir dirinya hilang sudah.
Saat audit eksternal perusahaan pun berjalan lancar tanpa ada drama hal pribadi. Alan benar-benar fokus pada audit itu meskipun Nadya diminta selalu di sampingnya. Modus yang cukup mencurigakan dalam pengawasan Rilo.
"Modus aja, Lo!" cetus Rilo saat mereka bertiga berjalan menuju mobil. Malam itu setelah audit eksternal usai, hanya Nadya, Rilo dan Alan yang masih berada di kantor, sedangkan para manajer dan staf perwakilannya sudah pulang. Tepat pukul 9 malam ketiganya menuju lobi.
"Ngomong sama siapa, Pak? tanya Nadya curiga. Perasaan Rilo tidak mengajaknya bicara, tapi saat ngomong ketus itu menghadap wajah Nadya.
"Bos Lo!"
Nadya mengerutkan dahi, perasaan Alan bersikap seperti biasanya, dan kini melangkah lebih dulu ketimbang dirinya dan Rilo. "Emang Pak Bos kenapa?"
"Senewen, akibat cewek yang ia taksir kayak kanebo kering. Gak peka." Ujar Rilo sambil menatap Nadya.
"Ouh...kasihan ya, udah banyak kerjaan di kantor, eh masalah percintaan juga menjadi beban pikiran beliau."
Rilo menghentikan langkahnya, menghembuskan nafas berat lalu menatap Nadya yang juga ikut berhenti. "Ck....gak sadar juga, hissshhhh....doakan aja dia gak sakit jiwa." Gemas sudah Rilo pada tingkah Nadya. Sebegitu gak sadarkah dirinya disukai bos.
"Astaghfirullah!" pekik Nadya setelah mendengar ocehan Rilo.
"Udah cepetan gue antar pulang. Lama- lama dekat sama kalian berdua gue juga yang sakit jiwa."
"Jelek banget doanya!" gerutu Nadya dengan mengekori langkah Rilo hingga ke mobil Alan. Mungkin karena lelah, Alan dan Nadya kompak tidur, membiarkan Rilo menyetir sendiri, untung saja jalanan menuju rumah Nadya mulai lengang. Sehingga tidak menambah dongkol hatinya.
********
Rutinitas menjadi pimpinan perusahaan besar tak pernah ada kata libur, kalau para karyawan sabtu- Minggu bisa menikmati weekend dengan tenang, beda halnya dengan Alan, dia juga harus merelakan weekendnya dengan mengunjungi swalayan miliknya di Bogor, bersama Rilo tepatnya, karena untuk bisnis swalayan ini Rilo turut serta menanamkan modal juga.
Suasana dingin Bogor tak menghambat keduanya untuk mengecek perkembangan bisnis mereka. Toh bagi Rilo, kencan dengan sang kekasih tak harus weekend. Pacar Rilo yang seorang dokter pun juga memiliki jadwal tak tentu, sehingga kencan ala Rilo bisa berlangsung di hari aktif kerja. Suka-suka dia pokoknya, yang penting titah sang bos masih bisa dihandle.
Sedangkan Alan, yang jomblo akut, bebas banget. Mau kapan pun kerja oke aja, yang penting bisa menambah pundi-pundi dolarnya. Si bos gila kerja ini bahkan menghindari weekend karena kalau ia ada waktu longgar, perintah Kanjeng mamih ke rumah utama tak bisa ia hindari. Harus bin wajib ke sana, dan pasti membuat hatinya dongkol setengah mati dengan pembahasan mama jodohkan ya, ayolah, Alanku sayang, mau ya mama jodohkan. Rengekan wanita paruh baya itulah yang ia hindari.
Namun, kerja kerasnya dan loyalitas terhadap pekerjaan tak sejalan dengan kondisi tubuhnya yang memang butuh istirahat. Senin pagi, setelah mandi, Alan bersin-bersin. Ia juga merasa badannya agak demam, namun hari ini dia ada tiga pertemuan penting, diantaranya kerja sama dengan Trisya. Kepalanya pun cukup berat, beberapa kali Alan mengerjapkan mata demi menahan kepala yang pusing.
"Bapak sehat?" begitu Nadya menangkap wajah tak bersahabat atasannya, tak biasanya mata Alan sayu, karena bos ganteng itu selalu tampil bugar.
"Gak pa-pa, Nad. Oh ya bisa buatkan saya teh hangat ya, agak panas juga boleh."
Nadya mengangguk saja, meskipun dalam otaknya lagi berpikir kenapa si bos. Belum lagi suara bersin Alan terdengar berkali-kali. "Mau flu kali," batin Nadya yang sudah bertengger di pantry, bersiap membuat teh sesuai perintah bos.
Teh beres, Nadya kembali dipusingkan dengan ocehan Rilo yang agak terpaksa menggantikan Alan dalam meeting di luar kantor. Niatnya ingin kencan di ruangan, karena Vika, sang kekasih sedang tak ada jadwal jaga.
"Urus bos Lo, yang manja itu!" gerutunya saat ke luar ruangan Alan, dan Nadya hanya cekikikan. Nadya kembali ke ruangan Alan dengan membawa setumpuk dokumen dari berbagai devisi. Kasihan juga bosnya itu, tidur terlentang di sofa, matanya ditutup dengan lengan, terdengar suaranya seperti orang mengigau. Sakit beneran sepertinya.
Nadya pun mendekat, mengamati wajah beliau yang tak tertutup lengan, "Pak, baik-baik saja?"
"Ehem...baik, Nad!"
Lah gak tidur ternyata, "Kok gak tidur?" tanya Nadya penasaran.
"Gimana mau tidur anteng, Nad. Kamu bolak balik masuk ruangan juga." Ucap Alan yang berusaha bangun. Nadya dibuat kaget karena wajah Alan memerah.
"Bapak, panas banget!" terpaksa Nadya mengecek kening Alan dengan punggung tangannya. Terlihat sekali gadis itu khawatir. "Kita ke dokter ya, Pak?" tawar Nadya.
Alan tersenyum miring, "Sepertinya saya sakit aja deh, Nad. Kalau hal ini bisa membuat kamu perhatian."
Nadya terdiam, mulai deh membahas hal pribadi. "Ya udah, bapak tidur lagi, saya tidak menggangu bapak lagi." Ujarnya yang siap beranjak, namun pergelangan tangan Nadya ditarik Alan. Nadya sontak saja menatap Alan tajam.
"Kita ke rumah sakit!" Ujar Nadya tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Iyusnia Muhtadin
Biasanya cowok yang suka ngga peka..ini malah cewek..bukti selama ini Nadya tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. yang ada di pikiran hanya Ibu..dan adiknya saja..hmmm..luccuu🤭
2022-11-03
2