***
Sesampainya di kantin, aku segera memesan bakso. Lalu menambahkan sambal sebanyak 3 sendok makan setelah pesananku tersaji di meja depanku duduk.
“Kamu yakin menambahkan sambal sebanyak itu?” tanya Abdi, ia melongo. Keheranan.
“Yakin!” jawabku dengan nada ketus. Kuaduk dengan gusar supaya bumbunya cepat merata. Lalu melahapnya dengan brutal.
“Hei, pelan-pelan makannya!” ucap Abdi, ia tampak bingung melihat caraku makan seperti orang kesurupan.
“Nanti kes ....”
Aku sudah kesedak duluan sebelum Abdi menyelesaikan ucapannya.
“Tuh, kaaan. Ini minum dulu!” titah Abdi seraya menyodorkan segelas air putih ke hadapanku, dan langsung kutenggak hingga tandas.
Abdi dan teman-temannya saling pandang. Kurasa mereka heran melihat tingkahku. Entahlah, aku tidak tahu kenapa jadi begini. Mendadak sulit mengendalikan emosi.
Tidak bisa melampiaskan kekesalanku pada Tirta, bakso pun jadi sasaran pelampiasan emosiku.
“Are you okay?” tanya Abdi, seraya menatapku sedemikian rupa dan memegang sisi kanan bahuku dengan lembut.
“Iya, aku nggak apa-apa kok,” jawabku, sembari mangap-mangap, kepedesan.
“Pedes kan? Makanya jangan banyak-banyak sambalnya.” Abdi terus nyerocos saja dari tadi. Membuatku semakin terbakar emosi.
“Ini minum yang banyak biar nggak pedes ... atau mau aku pesenin susu?” Cepat aku menggeleng, masih sambil mangap-mangap. Pedas gila! Mulut seraya terbakar dan mata sudah kayak orang nangis mengeluarkan air mata. Penampilanku pasti kacau sekali hari ini.
“Bu, berapa baksonya?” tanyaku dengan nada memekik pada si ibu penjaga kantin. Lantas wanita paruh baya berbadan tambun itu pun mendekat ke arahku duduk.
“Sudah biar aku saja yang bayar,” ujar Abdi.
“Enggak usah, aku bisa bayar sendiri kok.”
“Jadi siapa yang mau bayar?” tanya ibu kantin.
“Aku saja, Bu!” Cepat Abdi menyahut.
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih. Aku duluan, ya.” Segera aku berlari meninggalkan kantin. Mengabaikan Abdi yang berulangkali meneriakkan namaku. Memanggil dan bertanya aku mau ke mana?
Sudah enggak tahan pengen cepat-cepat sampai di toilet. Mules.
Setiap baru sampai di depan pintu toilet, perut mules lagi. Sehingga aku terus bolak-balik ke dalam toilet. Hingga akhirnya badan terasa lemas tidak memiliki daya sama sekali. Saat sudah sampai di depan toilet mendadak pandangan mataku gelap.
***
“Hei, Sayang, kamu sudah sadar, Nak?”
Ayah, bukannya tadi aku di sekolah ya, kok bisa ada ayah di sini. Dapat dipastikan dahiku berkerut.
Aku mengamati sekitar tampak ruangan bernuansa putih dan terdapat tirai berwarna hijau yang menyekat tempatku tidur. Ruangan khas rumah sakit. Ya, ini pasti di rumah sakit kalau dilihat dari bentuk ruangan dan aroma obat-obatan yang menyengat menusuk hidung.
Juga terdapat tiang penyangga infus di sebelah ranjang tempatku terbaring kini. Segera kulihat punggung tanganku, jarum infus tertancap di sana. Separah itukah kondisi badanku sehingga diharuskan diinfus?
“Eumh, Yah, kok Ayah bisa ada di sini? Memangnya kita di mana?”
“Kita di rumah sakit. Tadi pagi, ayah mendapat telepon dari wali kelasmu. Kamu pingsan.”
“Hah, pingsan?”
Ayah mengangguk. Membenarkan.
“Berapa lama aku pingsan, Yah?”
“Sekitar tiga jam-an.”
Aku terkejut mendengar penjelasan dari ayah. Lama juga aku pingsan.
“Kamu kenapa bisa pingsan?” tanya ayah, seraya mengusap pucuk kepala ini dengan lembut. Kecemasan tercetak jelas di wajah tampannya. Aku menggeleng. Kalau mengaku habis makan bakso menggunakan sambal sebanyak 3 sendok makan, pasti ayah marah.
Gara-gara emosi, aku sampai lupa kalau sebenarnya aku tidak tahan pedas. Jadi begini kan? Ambruk.
***
“Jadi, apa penyebabnya sampai putri saya pingsan, Dok?” tanya ayah, saat dokter datang kembali untuk memeriksa kondisiku.
“Kalau dilihat dari hasil pemeriksaan. Sepertinya penyebabnya karena diare, Pak.” Dokter menerangkan sambil memeriksa diri ini.
“Apa benar apa yang dikatakan oleh Bu Dokter? Kamu tadi pagi diare?” cecar ayah, dan akhirnya aku tak bisa berdalih lagi. Mengangguk lemah.
“Memangnya habis makan apa? Kamu jajan sembarangan ya, di sekolah?”
Aku terdiam. Kalau mengaku pasti ayah murka. Duh, bagaimana ini?
“Pasti gara-gara habis makan bakso pake sambel sebanyak 3 sendok makan tadi pagi, Om,” ceplos seseorang yang baru saja masuk. Abdi.
Aku melotot ke arah Abdi memberi isyarat agar jangan membuka tabir, tapi ayah sudah terlanjur dengar.
“Benar, apa yang dikatakan temanmu itu?” cecar ayah. Aku tak bisa mengelak lagi. Dan ayah pun mengomel tanpa henti. Jiwa emak-emaknya seketika keluar.
Selang beberapa menit omelan ayah terhenti berkat teman sekelas juga guruku datang membesuk. Ah, banyak dewa penolong datang. Aku bernapas lega.
Mataku menyelidik mencari sosok yang kunantikan hadirnya di sini, tapi tidak ada. Apa dia tidak ikut menjengukku? Ah, pasti dia sedang asik dengan teman barunya itu. Huh, dasar menyebalkan!
Kucengkeram kuat-kuat sisi selimut garis-garis hitam putih yang menutupi setengah badanku. Kesal.
***
Hingga siang berlalu berganti sore, Tirta tidak kelihatan batang hidungnya. Sebentar-sebentar aku melihat ke arah pintu. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Kesal, tapi masih berharap dia datang. Kok aku jadi aneh begini ya?
“Yah,” panggilku, dan ayah menyahuti dengan gumaman. Ia duduk di samping ranjang tempatku terbaring, sibuk dengan laptopnya.
“Aku bosan di sini, kita pulang aja yuk, Yah!” rengekku. Lagipula aku kasihan dengan Tania, dia pasti ketakutan ditinggal di rumah bareng Mbok Tini.
“Ya nanti dulu, biar habis itu cairan infusnya.”
Lantas kulihat botol infus yang tergantung di tiangnya. Isinya masih hampir seperempat botol. Huf, masih lama.
“Yah,” Lagi, ayah merespon panggilanku dengan gumaman.
“Aku bosan,” rengekku.
Lantas, ayah menghentikan aktifitasnya. Lalu melihat ke arahku.
“Mau dengerin musik dari ponsel ayah?” tawarnya. Aku mengangguk. Namun, saat ayah sedang sibuk mencari headset di dalam tas kerjanya. Tiba-tiba sosok yang kuharapkan hadirnya datang.
Tapi, kenapa mesti sama cewek itu, sih? Suasana hatiku yang baru saja adem, kini kembali menghangat.
Memiringkan badan, membelakangi mereka. Aku nggak sudi melihat mereka berdua. Kudengar mereka berdua memperkenalkan diri pada ayah. Dan kini aku tahu siapa nama cewek yang dekat dengan Tirta itu. Dian namanya.
“Loh, ini temannya datang, kok malah dibelakangi gitu?” ucap ayah. Aku bergeming.
“Aku ngantuk, Yah. Pengen tidur,” jawabku dengan nada ketus.
“Aduh, ma’af ya, Nak Tirta dan Nak Dian. Sepertinya efek obat, makanya Rania ngantuk begitu.”
“Iya, Om. Enggak apa-apa, kami mengerti kok,” jawab Dian. Lantas mereka pamitan, dan kudengar Tirta menitipkan sesuatu untukku pada ayah.
“Nak, ini ada titipan dari temanmu,” ujar ayah. Aku diam, pura-pura tidur. Penasaran sih, Tirta menitipkan apa? Tapi, kesal lebih mendominasi.
N E X T
⬇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Keynan Milky
cemburu niye😂
2024-02-12
0
Astuty Nuraeni
lanjut baca kak
2022-08-04
0
👑Ria_rr🍁
semangat sudah rate 5🌟
2022-08-02
0