TUMBAL KETUJUH
Aku berkeliling melihat-lihat ke setiap penjuru rumah yang masih tampak asing bagiku. Rumah baru kami di desa, bangunannya model kuno, bertingkat dua, temboknya dari bata merah. Kental akan gaya Belanda. Lampu hiasnya, furniture, perabotnya, semua model kuno. Antik.
“Rania, buka pintunya, Nak!” pekik Ayah dari lantai atas.
“Iya, Yah.”
Aku lantas bergegas membuka pintu. Sesosok wanita paruh baya berdiri di depan pintu, menggunakan bawahan kain kebat batik bernuansa hitam serta baju kebaya warna hitam juga. Rambutnya digelung, khas wanita desa.
Sorot matanya tajam, tak berani aku menatapnya lama. Sementara di bibirnya ada noda merah, tapi aku yakin itu bukan noda lipstik. Entah noda apa?
“I-ibu siapa? Cari siapa?” tanyaku tergagap.
“Matini. Cari Pak Devandra,” jawabnya dengan ekspresi datar.
“Yah, Ayah! Ada yang nyariin, nih!” pekikku. Masih sambil berdiri di ambang pintu. Entahlah, kaki ini seolah tak mampu kugerakkan. Kaku.
“Siapa, Nak?” sahut Ayah, seraya menuruni anak tangga.
“Oh, Mbok Tini,” ucap Ayah, saat sampai di dekatku. “Mari masuk, Mbok!” ajak Ayah kemudian. Lantas memperkenalkan kepadaku siapa Mbok Tini ini. Pembantu di rumah kami.
“Nanti, kalau ayah sibuk mengawasi pembangunan pabrik, Mbok Tini ini yang akan menemani serta menyiapkan segala keperluan kalian,” terang Ayah. Sementara Mbok Tini hanya diam tanpa ekspresi.
“Ayah, Kakak, ada kecoa!” pekik Tania, seraya berlari menuruni anak tangga.
“Eh, pelan-pelan, Sayang! Nanti jatuh,” sahut Ayah.
Setelah sampai di lantai bawah, Tania langsung bergelayut di lengan kekar Ayah.
“Ada kecoa, Yah. Tania takut.” Tania merengek manja.
“Tenang ya, nanti biar dibersihkan sama Mbok Tini.” Ayah berjongkok di hadapan Tania seraya memegang kedua sisi bahu adikku itu. Sementara Mbok Tini, ia menatap adikku sedemikian rupa. Entah apa yang ada di dalam benaknya.
Tania beringsut, bersembunyi di samping Ayah. Menunduk tak berani menatap Mbok Tini. Sorot mata Mbok Tini memang sangat aneh. Laksana tempat angker. Mengerikan.
“Tania takut, Yah,” bisiknya pada Ayah, tapi terdengar jelas di telingaku. Mungkin Mbok Tini juga mendengarnya.
“Tenanglah, ini Mbok Tini. Orang yang nanti akan menyiapkan segala keperluan Tania, saat ayah sibuk.” Tania menggeleng. Masih ketakutan.
Ayah kemudian berdiri berhadapan dengan Mbok Tini. Meminta maaf atas sikap adikku padanya. Mbok Tini hanya mengangguk pelan tanpa ekspresi.
Lantas berlalu meninggalkan kami, Mbok Tini mulai bekerja. Beberes rumah.
“Yah,” panggilku, seraya mencekal lengan Ayah. Ayah pun urung mengayunkan langkahnya ke lantai atas.
“Iya, kenapa?” sahutnya seraya menoleh ke arahku.
“Yah ..., Ayah nggak merasa aneh dengan sikap Mbok Tini?”
“Aneh kenapa? Dia memang orangnya begitu, tapi Insya Allah dia baik kok. Ayah sudah berkali-kali bertemu beliau. Saat datang ke sini meninjau lokasi pembangunan pabrik.” Ayah mengusap bahuku. Meyakinkan sekaligus menyalurkan ketenangan. Aku mengangguk saja.
Tak lama kemudian datang lagi seorang pria paruh baya mengenakan pakaian serba hitam, pun dengan udeng yang melingkar di kepalanya. Sikapnya sama anehnya dengan Mbok Tini. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Menurut penjelasan Ayah, Beliau adalah tukang kebun, yang akan membantu beberes rumah kami.
Aku tidak mengerti kenapa Ayah mempekerjakan orang-orang aneh seperti mereka.
***
Capek, setelah hampir seharian turut membantu beberes rumah. Kuputuskan untuk duduk di teras depan bersama Tania.
Tak lama lewat seorang cowok perkiraan seumuran denganku. Menggunakan sepeda BMX, dan berhenti tepat di depan gerbang rumah kami. Melihat ke arahku dan Tania yang sedang duduk santai.
Aku saling beradu pandang dengan Tania. Merasa aneh dengan cowok di depan sana.
“Kak Rania kenal dengan Kakak di depan sana itu?” Aku menjawab tanya Tania dengan gelengan. Karena aku memang tak mengenal cowok di depan sana itu.
“Sebentar ya, Dek. Kakak coba mastiin ke sana dulu, dia mau apa?” Tania mengangguk. Aku pun mengayunkan langkah mendekati cowok yang masih terdiam duduk di atas sepedanya dengan dua kaki menapak ke tanah, dan dua tangan masih menempel pada stang sepeda. Kepalanya menoleh ke arah rumahku, mata menyelidik ke setiap punjuru. Sungguh aneh gelagatnya.
“A-ada yang bisa saya bantu?” tanyaku dari balik gerbang. Kini mata cowok asing itu menyelidik menatapku dari ujung kepala hingga kaki.
“Sebaiknya kamu dan keluargamu segera pergi dari sini!” Ucapannya membuat dahiku berkerut, bingung. Bagaimana mungkin pergi dari sini? Sementara kami baru saja sampai di sini.
“Memangnya ....” Belum juga aku menyelesaikan tanya, cowok itu sudah kembali mengayuh sepedanya. Pergi.
Aneh.
“Aaak!” Aku terpekik. Kaget. Saat balik badan dan mendapati Mbok Tini sudah berdiri tepat di hadapanku.
“Mbok Tini, ngagetin saja,” dumelku, seraya mengusap dada dimana di dalamnya jantung berdetak kencang.
“Sebaiknya kau hati-hati dengan bocah lelaki tadi,” ujar Mbok Tini, seraya berlalu dari hadapanku. Sejurus kemudian membuka gerbang lalu pergi. Seperti biasa, tanpa ekspresi.
Aku terpaku, bingung, mencoba mencerna ucapan Mbok Tini juga ucapan cowok tadi.
➡
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Shinta Teja
aku baru mampir,Thor... btw ibunya mereka kemana Thor?!
2023-12-15
0
Asphia fia
mampir thor
2023-03-15
1
VLav
episode awal sudah mencekam
salam dari keluarga besar arsgaf 🙏
2023-02-21
0