Di sekolah aku jadi tidak fokus dalam mengikuti pelajaran, kepikiran kejadian semalam. Tentang sesajen di kolong ranjang Tania. Siapa pelakunya, dan apa tujuannya?
Sesekali mengurut kening yang terasa pening, setelah otaknya kupaksa berpikir keras.
“Ya Tuhan!” pekikku, saat tersadar dari lamunan, dan melihat ke papan tulis. Namun, tulisannya sudah dihapus oleh Bu Guru. Sementara aku belum menyelesaikan mencatat, baru dapat satu paragraf.
Menepuk jidat, mengusap wajah layaknya habis berdo’a. Mengurut kening yang kurasa semakin pusing tak terkira.
“Kenapa, Ran?” tanya Bu Guru. Aku terdiam menatap lurus ke arah Bu Guru berada, melirik ke kiri dan kanan, mengatupkan bibir, lalu menggeleng pelan.
“Eng-enggak apa-apa, Bu.” Tergagap. Kemudian menunduk, malu, karena jadi pusat perhatian teman sekelas.
“Yakin?” Lagi, Bu Guru bertanya dengan nada penuh penekanan. Aku mengangguk sambil nyengir.
Tampaknya Bu Guru tidak yakin dengan jawabanku. Lantas beliau berjalan ke arah tempatku duduk. Aku menutupi wajah dengan telapak tangan. “Mati aku,” gumamku.
Dalam hati yakin bakal terciduk belum nulis pelajaran yang dipaparkan oleh beliau. Fix, bakal terima hukuman hari ini. Keliling lapangan, bersihkan toilet atau ....
“Bu, bagian yang ini maksudnya gimana, ya?”
Aku mengembuskan napas, sedikit lega saat salah satu siswi bertanya dan menghentikan langkah Bu Guru. Sehingga beliau urung ke tempatku. Aku kebingungan, memutar otak mencari alasan yang tepat. Setelah berusaha meminjam pada teman di bangku depan dan samping, tapi tak ada yang mau meinjami. Pelit.
Melirik ke arah Tirta berada, tapi aku tak punya cukup keberanian untuk meminjam padanya. Lagipula aku tidak yakin dia mau meminjami. Toh, tidak mungkin aku bisa menyelesaikan mencatat kalaupun dia mau meminjamkan buku catatannya.
Sekarang cuma punya satu pilihan. Pasrah. Kemudian terima hukuman.
Dengan cepat Tirta menarik bukuku yang catatannya belum dapat separuh itu, dan ditaruh di depannya. Lalu bukunya yang catatannya sudah selesai ditaruh di depanku. Aku terdiam, mengerutkan kening. Bingung.
Belum sempat menanyakan kenapa dia melakukan ini, Bu Guru sudah sampai di samping tempat dudukku.
“Kenapa Ran? Apa ada yang tidak kamu mengerti?” tanya Bu Guru. Aku gelagapan, bingung mau jawab apa.
Melirik ke arah Tirta berada, dia duduk bergeming matanya melihat pulpen yang ia mainkan di tangannya. Seolah tidak terjadi sesuatu. Ekspresinya datar.
Perhatian Bu Guru pun tertuju pada buku yang ada di hadapan Tirta. Tangannya mengulur melintas di depan wajahku, diambilnya buku yang sebenarnya milikku itu.
Aku tertunduk memejamkan mata, jantung berdetak tak menentu.
“Tirta, apa-apaan ini? Kenapa kamu belum menyelesaikan catatanmu? Padahal yang di papan tulis sudah ibu hapus loh!”
Aku menggigit bibir sebelah bawah. Perlahan melirik ke arah Tirta berada. Dia tampak santai, duduk bergeming masih sambil memainkan pulpen. Bu Guru mendengkus kesal. Menaruh bukunya kembali di hadapan Tirta dengan sedikit dibanting.
“Eum, sebenarnya ....”
“Saya siap menerima hukumannya,” sela Tirta dengan cepat saat aku hendak mengaku bahwa itu sebenarnya bukuku. Aku menatapnya tak percaya. Merasa sangat aneh dengan sikapnya.
Aku tak mengerti kenapa dia melakukan itu? Entah bagaimana cara berpikirnya?
Bu Guru kembali ke depan kelas.
Kucekal lengannya, lalu menatapnya tajam. Tirta hanya melirikku sekilas.
“Kenapa kamu lakukan ini?” bisikku. Dia bergeming. Bukannya menjawab, malah melihat lengannya yang tanpa sadar kugenggam dengan erat.
“Ma’af,” ucapku, saat akhirnya aku menyadari sudah mencengkeram lengannya. Cepat kulepaskan, dan dia pun melangkah keluar kelas. Menjalani hukuman yang Bu Guru berikan. Aku terdiam, merasa bersalah. Melihat punggungnya yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu kelas ini.
Setelah bel tanda istirahat berbunyi segera aku cari keberadaan Tirta. Kudengar tadi Bu Guru memberinya hukuman membersihkan toilet. Namun, saat sampai di toilet, dia sudah tidak ada. Sepertinya dia sudah menyelesaikan hukuman. Terlihat dari kondisi toilet yang sudah kinclong dan wangi.
Lalu ke mana dia?
“Lihat Tirta, nggak?” tanyaku pada salah satu siswi yang hendak masuk ke toilet. Bukannya segera menjawab, siswi di depanku malah menatapku dengan tatapan aneh.
Sepersekian detik kemudian dia mengulurkan tangan lalu menjabat tanganku dengan erat. Aku mengerutkan dahi. Bingung.
“Selamat!”
“Selamat untuk apa?” tanyaku sebelum dia menyelesaikan ucapannya.
“Selamat, kamu orang pertama di sekolah ini yang mencari keberadaan Tirta,” imbuhnya, masih sambil menjabat tanganku.
“Hah!” Aku melongo.
“Sorry, aku enggak tahu di mana dia berada. Tapi biasanya dia kalau enggak di perpustakaan, suka nangkring di pohon yang ada di halaman belakang sekolah,” jelasnya, sambil melepaskan jabatan tangannya. Kemudian masuk ke dalam toilet.
Menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Kemudian bergegas ke perpustakaan. Masih sambil berpikir keras. Kenapa semua orang di desa ini terlihat aneh?
Sesampainya di perpustakaan segera kuperiksa setiap penjurunya. Tapi Tirta tak kutemukan.
Sesuai petunjuk siswi tadi, aku pun ke halaman belakang. Saat sampai di belakang sekolah, mataku langsung tertuju pada pohon besar yang terletak sekitar 15 meter dari teras belakang sekolah.
Mengayunkan langkah mendekati pohon besar. Mendongak ke atas, tapi Tirta juga tak di sana. Lantas berjalan mengitari pohon, barangkali Tirta ada di baliknya.
Namun, bukan Tirta yang kutemui, melainkan sebuah sesajen yang diletakkan tepat di atas akar pohon yang menyembul keluar dari tanah. Serta tiga batang dupa yang disulut, dan asapnya masih mengepul. Aroma wangi dupa pun menyeruak menusuk hidung.
Siapa yang pasang sesajen di sini? Dan apa tujuannya?
Apa mungkin Tirta yang memasang sesajen di sini?
B E R S A M B U N G
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
🦊⃫⃟⃤Haryani_hiatGC𝕸y💞🎯™
aku suka kak, nanti lanjut baca lagi, sukses ya
2022-07-17
0
Astuty Nuraeni
tirta sebenarnya baik y
2022-07-15
0
Nawan Damanik
Tirta Lihou, Tirta Nadi, Tirta Bulian
2021-04-20
0