Vodka satu ….” Arsen yang duduk di depan meja bartender memesan minuman. Nampaknya kebiasaan buruknya telah kembali.
“Siap ….”
Arsen meminum segelas Vodka dengan sekali teguk. Ia mengerjapkan mata, seolah meresapi rasa minuman yang telah ditelannya.
“Berikan aku rokok ...." pintanya lagi.
Tak lama ia mendapatkan rokok pesanannya, ia pun kembali merokok. Dan memesan lagi minumannya.
Perasaan gelisah itu tak kunjung hilang. Ternyata ia benar- benar belum bisa melupakan Naz. bagaimana tidak, sejak masih kecil ia sudah mencintai adiknya itu, dalam satu setengah bulan tak mungkin bisa melupakan perasaan itu begitu saja.
Ia pun terus minum, hingga dirinya mabuk berat dan terus bicara merancau tidak jelas. Salah satu pelayan club' malam menggeledah pakaiannya untuk menghubungi kerabat atau teman Arsen yang sudah terkapar di meja.
“Pak, orang ini tidak membawa ponsel.”
“Coba buka dompetnya, cari tanda pengenalnya.”
“Dilihat dari KTP nya, tempat tinggalnya cukup jauh dari sini Pak. Tapi, di saku jaketnya ada kartu akses kamar hotel bintang lima yang tak jauh dari sini.”
Orang itu menghubungi manager hotel yang kebetulan adalah temannya, ia memberitahukan keberadaan Arsen yang mabuk berat.
Tak lama ada salah satu petugas hotel menjemput Arsen kesana. Hal itu terjadi karena manager hotel tahu, jika Arsen adalah cucu dari pemilik hotel tempatnya bekerja.
“Oh, Naz sayang … ternyata kau menjemput ku kemari ya ….” Arsen membelai pipi orang yang memboyongnya berjalan.
“Maaf Pak, saya pelayan hotel bukan orang yang anda maksud," ucap pria itu.
“Jangan pura- pura sayangku … aku sangat merindukan mu.” Arsen yang kleyengan berusaha mencium pelayan tersebut, namun ia segera melepaskan tangan yang sejak tadi merangkul Arsen, hingga membuat Arsen terjatuh.
“Oh, sayang … kau kejam sekali. Bantu aku bangun ….” Arsen yang duduk di lantai mengulurkan kedua tangannya, layaknya anak kecil yang minta digendong.
Pelayan itu menggelengkan kepala dan meminta bantuan temannya untuk membawa Arsen ke kamarnya.
“Eh, mau kemana ini … mau kemana ini? Apa ini gempa bumi?” Arsen kembali bicara aneh saat di dalam lift.
“Kita akan ke kamar anda, Pak.”
“Aku mau ke lantai 22.” pinta Arsen.
“Maaf Pak, tapi kamar anda di lantai 24.”
“Aku bilang ke lantai 22, sayang … kenapa kau jadi tuli ih. Kamar mu kan nomor 224, sayang.”
“Tapi, Pak______”
Arsen mencengkram leher salah satu pelayan itu. ”Aku bilang kamar 224.”
Pelayan itu nampak ketakutan dan menganggukkan kepalanya. “Iy iya, Pak.”
Kedua pelayan itu saling bermain mata, lalu salah satu pelayan itu menekan angka 22 dengan mengakses kartu pegawainya.
Mereka pun mengantarkan Arsen ke depan pintu kamar tersebut dan meninggalkannya di sana.
Tok tok tok …
Arsen mengetuk kamar tersebut berkali- kali karena tak ada yang membukakan pintu.
Ceklek …
“Kenapa? apa masih belum____ “ Ia tak melanjutkan ucapannya saat melihat orang di hadapannya, “Kak Arsen?” Raline terkejut melihat Arsen yang tersenyum dengan sempoyongan. Matanya terlihat merah dan wajahnya kusut.
“Hai sayang … kau ternyata sudah menantikan ku?” Arsen menerobos masuk hingga membuat tubuh Raline terdorong. Ia menutup kembali pintunya. Ia menempelkan tubuhnya pada tubuh Raline yang punggungnya sudah mentok ke dinding tembok.
“Kak … kamu mabuk ya?”
“Sssssstttt, bangan berisik … “ Arsen menempelkan jari telunjuk pada bibirnya.
Raline yang hanya mengenakan dress selutut tanpa lengan itu nampak takut.
“Jangan bilang- bilang, sayangku … Nanti Bunda akan marah kalau tahu aku mabuk … Lebih baik kita bersenang- senang. ahahaha,” Arsen tertawa layaknya orang gila.
“Kak tolong pergi dari sini …” Raline mulai ketakutan.
“Sayang, jangan mengusirku lagi dari kehidupan mu… Kau tak akan sanggup jauh dari ku … Dan malam ini kita akan bersenang- senang sayang.” Arsen terus merancau tidak jelas.
Arsen terus bicara seolah orang yang bersamanya adalah Naz. Raline ketakutan saat kedua tangan Arsen menguncinya dan membuat ya tak berkutik
“Kak, tolong jangan seperti ini …”
“Tidak tidak tidak, sayang … Aku tidak akan melepaskan mu untuk si pincang itu …” Arsen membelai lembut wajah Raline, ia kemudian berbisik di telinga Raline.
“Apa kau tahu sayang? Dia itu kakinya saja pincang, apalagi miliknya … aku yakin tidak akan jauh beda, hahahaha.” Arsen tertawa namun seperti hendak menangis.
Raline yang semakin ketakutan terus berontak ingin melepaskan diri dari Arsen, namun Arsen semakin kuat mencengkram nya. Bahkan Arsen terus mendekatkan wajahnya ada wajah Raline.
“Kak tolong lepaskan ak____ emhh.” Raline belum menyelesaikan ucapannya, Arsen langsung membungkam bibir Raline dengan bibirnya.
Arsen mel*mat bibir ranum Raline dengan menggebu- gebu. Tangannya tak berhenti menggerayangi tubuh Raline. Ia yang ingin berteriak pun tak mampu, karena saat ia mengeluarkan suara seolah hanya suara desahan yang terdengar. “Emh .. emh …”
Tangan Raline terus berontak berusaha mendorong Arsen dengan sekuat tenaga. Namun Arsen malah semakin bernafsu mencium dan mel*mat bibirnya tanpa henti.
Arsen akhirnya melepaskan pagutan bibirnya. “Oh, sayang … bibir mu manis sekali,” ucapnya tersenyum dengan mengusap bibir Raline dengan lembut.
Raline yang hampir kehabisan nafas, nampak terengah- engah berburu oksigen. Ciuman pertama yang biasanya dilakukan oleh pasangan saling mencintai dan dilakukan semesra mungkin untuk mendapatkan kesan indah, Raline justru mendapatkan ciuman itu secara paksa ditambah dengan bau alkohol yang menyengat seolah membuatnya ingin muntah saat itu juga.
Tangan Raline berusaha mendorong tubuh Arsen sekuat tenaga, dan itu berhasil. Namun Arsen kembali mendekat dan malah menggendong Raline seperti ia memikul karung beras di pundaknya.
Bruk …
Arsen melempar tubuh Raline ke atas tempat tidur. Ia membuka jaketnya dan dengan segera merangkak lalu mengunci tubuh Raline agar ia tak bisa bergerak atau kabur.
“Ka kakak mau apa?” Raline semakin ketakutan.
“Ssssttttt, sayang malam ini kau akan menjadi milikku. Dan milikku tak akan bisa dimiliki oleh siapa pun, termasuk si pincang itu.”
“Ja jangan Kak … aku mohon jangan lakukan ini. Aku mohon jangan... jangaaaaaannn ...."
*#@#@$#??#
Raline sudah tak sanggup berbuat apa- apa lagi. Ia hanya bisa menangis pasrah dan menahan rasa sakit yang dirasakannya berlipat ganda. Hatinya seolah hancur berkeping- keping.
Kehormatan yang selama ini dijaganya, kini telah direnggut oleh orang yang dicintainya. Namun, orang itu sama sekali tak memiliki rasa cinta padanya.
Hal yang lebih menyakitkan lagi, Arsen menodainya dengan menganggap Raline itu adalah Naz.
Raline merasa hancur sehancur hancurnya. Air mata terus mengalir deras. Ia tak menyangka malam ini adalah malam yang sangat tragis baginya. Ia kehilangan kesuciannya justru menjelang hari bahagia saudarinya sendiri.
“KaChen … kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Hiks hiks… aku memang mencintai mu, tapi bukan seperti ini caranya, hiks hiks.” lirih ya dalam hati.
Raline yang merasakan sakit dan perih di bagian inti nya berusaha bangun. Rasa lengket membuatnya tidak nyaman.
“Dasar breng*sek … bajingan …” Raline memukul dada Arsen berkali- kali yang berbaring di sampingnya.
“Hei sayang, kau jangan memukul ku … Aku sudah memberi kenikmatan pada mu … berterimakasih lah dengan benar, sayangku … Peluklah diriku, jangan malu- malu … pelangi- pelangi … ahahahaha” Arsen bicaranya semakin melantur, sampai ia menyanyi seperti anak kecil.
“Pergi kau dari sini!!” Raline mendorong tubuh Arsen hingga ia jatuh terguling ke lantai.
Gedebuk …
“Aduh, ya ampun … gempa bumi lagi …” Arsen mengeluh lalu berusaha bangun dengan menyokong pada ranjang hingga ia berhasil berdiri.
“Aduh kenapa celana ku melorot begini, apa aku semakin kurus? Ahahahaha,” Arsen pun menarik celana nya dengan susah payah dan mengenakannya lagi sembari sempoyongan.
Raline yang melihat Arsen masih bisa tertawa, merasa sangat kesal dan marah. Ia bangkit dan berdiri, lalu melangkah dengan susah payah karena ia masih merasa sakit hingga membuatnya kesulitan berjalan.
Ia mendekati Arsen lalu menarik tangannya dan mendorongnya agar ia keluar dari kamar.
Gedebuk …
Arsen terjatuh ke lantai di samping pintu kamar dan Raline pun tak memperdulikannya. Ia menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam.
Raline memerosotkan tubuhnya dengan menyandarkan punggung pada pintu. Ia kembali menangisi nasib buruknya, sembari mengusap kasar rambutnya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya ia berlari dan mengadukan hal yang telah Arsen lakukan, kepada orang tuanya.
Apalagi saat ia mendengar ada suara kakaknya, Hardi. Raline menghapus air matanya lalu berusaha untuk berdiri. Namun ia teringat jika esok adalah hari bahagia Naz, dan ia tak ingin menghancurkannya. Jika dia mengadu pada Hardi, maka akan terjadi bencana besar di keluarganya.
Akhirnya ia mengurungkan niatnya dan hanya bisa menangis meratapi kemalangan nya. Hingga ia tertidur di balik pintu.
Raline terbangun saat ia merasakan sakit di bagian tubuhnya, mungkin itu karena ia tidur di lantai. Raline membuka matanya perlahan dan berusaha untuk bangun.
Area sensitifnya masih terasa sakit, hingga ia kesulitan berjalan. Raline berjalan dan mengambil CD nya yang tergeletak di lantai dekat tempat tidur. Raline mengedarkan pandangannya mencari sweater miliknya. Dan ternyata ia meletakkannya di sandaran kursi meja rias.
Raline pun berjalan dengan perlahan. Betapa terkejutnya saat ia melihat dirinya pada pantulan cermin. Selain matanya sembab dan rambutnya yang berantakan, ternyata di leher dan dadanya terdapat beberapa tanda merah.
Ia langsung membereskan rambutnya dan menguraikannya ke dadanya. Raline segera memakai sweater nya, namun hanya dililitkan saja pada leher agar menutupi dadanya saja. Ia pun berjalan keluar kamar Naz itu.
Ia ingat jika Naz akan dirias sejak subuh, dan ia pun meninggalkan kamar Naz dengan pintu yang sedikit terbuka, karena Naz tak membawa kartu akses untuk masuk.
Raline berjalan perlahan dengan meraba- raba dinding hingga ia sampai di depan pintu kamar tempat dirinya dan Elsa.
Tok tok tok ….
“Elsa … ini kakak … tolong buka pintunya!” Raline berkali- kali mengetuk, barulah Elsa membukakan.
Ceklek …
“Hooam … Kakak kemana saja?”
“Semalam aku menemani Naz di kamar nya.” Raline menjawab dengan menundukkan kepalanya. Ia segera masuk diikuti adiknya yang sepertinya masih sangat mengantuk.
Raline segera pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka nya, karena ia tak mau adiknya melihat wajahnya berantakan karena menangis semalaman.
Adiknya kembali masuk ke dalam selimut dan melanjutkan tidurnya lagi, karena saat ia melihat jam baru menunjukkan pukul tiga dini hari.
Raline membuka kopernya dan ia mengganti pakaiannya dengan baju yang bisa menutupi leher jenjangnya. Ia pun ikut tidur bersama adiknya, ia pun bersikap seolah tak terjadi apa- apa dengannya.
Setelah shalat subuh, Elsa yang sudah mandi dan bersiap tinggal pergi ke kamar yang disediakan untuk merias para Bridesmaids.
“Kak, ayok bangun … kita kan mau di rias nih, nanti kesiangan.” Elsa menggoyangkan tubuh Raline yang dibalut selimut.
“Elsa, kamu duluan aja … Kakak kayaknya masuk angina, semalam capek habis mendekor kamar pengantin.” ucapnya menyembunyikan wajah dibalik selimut.
“Hah, kakak sakit … Kalau gitu aku panggil Kak Dandy kesini ya .”
“Gak usah Elsa, kakak istirahat saja di sini, nanti kalau sudah segar kakak nyamperin ke pesta ya.”
”Tapi Kak ….”
“Sudah sana … kan bridesmaid harus segera bersiap.”
“Beneran Kakak gak apa-apa? Atau akau kasih tau Tante Rahmi ya.”
“Jangan Elsa, kamu gak usah lebay deh … Jangan sampai gara- gara kakak masuk angin bisa membuat masalah di hari bahagia Naz.”
“Terus, kalau orang- orang pada nanyain kakak gimana?”
“Bilang saja semalam kakak masuk angina dan kurang tidur. Jadi mau istirahat dulu biar segar badannya saat menyaksikan akad nikah nanti.”
“Yasudah kalau gitu aku duluan ya. Kakak kalau ada apa- apa langsung telpon aku.”
“Iya ….”
Elsa yang sudah mengenakan gaun kebaya pun segera beranjak pergi meninggalkan Raline seorang diri.
“Maaf Elsa … Kakak tak bisa mengatakan masalah yang sedang Kakak hadapi.” Lirihnya sedih, ia kembali menangis.
Saat Raline melihat status adiknya yang memperlihatkan pengantin pria sedang diberi kalung melati oleh Rahmi, ia bersiap untuk pergi meninggalkan kamar nya. Ia menggunakan kaca mata hitam dan jaket berhodie pergi keluar dari hotel itu setelah ia memesan taksi online.
Raline kini tengah menangis di depan pusara mendiang ibunya. Ia menangis sejadi- jadinya dengan memeluk batu nisan. Rasa sakit dan penyesalan dirasakannya begitu dalam, karena ia kini bisa merasakan apa yang dialami ibunya di masa lalu.
“Kenapa aku harus mengalami hal yang sama seperti ibu, huuhuhuhu … Maafkan aku Bu …. Allah sudah menghukum ku dengan begitu beratnya, Maafkan aku, Bu …. Huhuhuhuhu.” Raline tak hentinya menangis.
Setelah lama berkeluh kesah mengadukan kemalangan nya pada pusara sang Ibu, Raline pun pergi meninggalkan area TPU tersebut. Ia berjalan tak tentu arah dibawah terik matahari seolah hendak membakar kulit, dengan ekspresi wajah nampak linglung.
Raline tak menyadari jika ia telah berjalan begitu jauh meski dengan langkah gontai menyusuri jalanan trotoar di keramaian kota. Hingga ia sampai di suatu jembatan dengan pagar besi beberapa tahapan.
Kesedihan yang begitu mendalam membuatnya putus asa, hingga ia menaiki pagar tersebut dengan berlinang air mata.
“Mbak … jangan mbak!!” teriak seseorang yang melihat Raline telah menapakkan kakinya di besi tahapan kedua. Namun Raline tak menghiraukannya.
Beberapa orang yang melihat itu pun berlari untuk mencegah Raline.
Pandangan Raline tertuju ke bawah yang merupakan sungai. Hanya satu yang ada di pikirannya kini, yakni mengakhiri hidupnya.
Grep …
Bruk …
Seseorang memeluk Raline dari belakang hingga membawa tubuhnya jatuh ke trotoar. Raline terperanjat, ia berontak melepaskan dirinya dari orang itu dan kembali berdiri lalu menaiki pagar besi itu, namun orang itu kembali memeluk Raline.
“Lepaskan aku, biarkan aku mati … lepaskan!!!” Raline berontak dengan berteriak- teriak.
“Jangan melakukan hal bodoh seperti ini!” ucap orang tersebut.
“Iya Mbak, kalau mau bunuh diri jangan di sini!” ucap seorang bapak-bapak.
“Ayo telpon polisi …” temannya memberi usul.
“Lepas! Lepaskan aku! aku ingin mati … huaaaaaa….” Raline terus berteriak lalu menangis histeris dengan terus berontak.
Orang itu pun melepaskan Raline.“Yasudah … mati saja sana!! jangan pedulikan keluarga mu dan jangan pedulikan adik mu … Sana mati saja!! Pikirkan apa yang akan kau katakan pada orang tua mu di alam kubur sana!!” orang itu membentak Raline dengan lantangnya.
Bruk …
Raline menjatuhkan dirinya ke tembok trotoar. Ia menangis sejadi- jadinya sekencang yang ia bisa dengan mengusap kasar kepalanya hingga rambutnya nampak berantakan.
“Huaaaaaaa …. Huaaaaaaa ….”
Selama beberapa saat Raline menjadi bahan tontonan orang, hingga orang yang menolongnya tadi tak tega melihat Raline seperti itu.
“Bapa- bapa, ibu- ibu … mohon maaf ini teman saya sedang banyak pikiran, saya akan membawanya pulang … maaf sudah membuat keributan,” ucapnya lalu berjongkok dan membantu Raline bangun.
“Ayok kita pergi dari sini,” ajaknya memboyong Raline yang terus menangis dan tampilannya sudah terlihat seperti orang gila. Ia membawanya menaiki taksi yang sebelumnya dinaiki olehnya dan diberhentikan disana saat ia melihat Raline.
“Kau mau ku antar kemana?” tanya orang tersebut.
“Aku mau mati … aku mau mati … hhuhuhuhu.” Raline terus mengatakan hal itu disela tangisannya.
Orang itu pun mendengus kesal. “Kita kembali ke hotel saja.”
“Aku mau mati saja … aku sudah kotor … huhuuhu.”
“Apa?” orang itu sangat terkejut mendengar ucapan Raline.
------------------- TBC ----------------
*****************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Murip Lestari
lanjut teteh
2021-08-04
0