Si Raja Ancam

Malam begitu gelap, sinar rembulan pun meredup seolah bersembunyi di hamparan awan hitam. Begitu menggambarkan perasaan Raline yang dirundung kesedihan.

Jangankan untuk bicara, untuk bertemu orang tuanya pun ia tak mau dan malah mengurung diri di dalam kamar. Bahkan tak biasanya ia tak menerima panggilan dari Arsen, yang justru ia malah mengabaikannya.

“Enggak, KaChen gak boleh tahu siapa aku sebenarnya. Dia pasti akan semakin tidak menyukai ku jika tahu kalau akulah yang anaknya Papa dari perempuan itu,” gumamnya dalam hati.

Terlalu berat baginya menerima kenyataan ini. Bahkan ia tak punya keberanian untuk bertemu dengan Naz yang malam ini menginap di rumahnya.

Setelah semalaman merenung, pagi- pagi sekali ia memberanikan diri menemui Naz untuk meminta maaf. Gayung pun bersambut, Naz menerimanya dengan tangan terbuka. Di luar ekpektasi Raline, Naz memaafkan semua kesalahan Raline dan meminta agar keduanya menjadi saudara yang saling menyayangi seperti dulu.

Mereka pun saling berpelukan yang menandakan hubungan mereka telah membaik. Rahmi dan Syarief pun merasa sangat senang melihat kedua putrinya akur lagi.

Dan acara liburan ke puncak pun semakin mendekatkan keduanya kembali. Namun, Raline belum siap untuk bertemu dengan ibu kandungnya. Mereka pun bisa memahami dan tidak memaksakan.

**

Selang beberapa hari, Naz yang mengalami putus cinta terus- terusan menangis dan bersedih. Raline pun selalu menemaninya setiap saat, bersama ketiga sahabat Naz.

Raline yang merasa bersalah atas kandasnya hubungan Naz dan Arfin, berinisiatif mendatangi Arfin di rumah orang tuanya. Namun sayang, mereka bilang Arfin sudah kembali ke Amerika.

Hilang sudah harapannya untuk memperbaiki hubungan mereka. Namun ia berpikir lagi jika hubungan Naz dan Arfin berlanjut ke pelaminan, justru akan semakin membuat Naz menderita.

Di sisi lain, timbul perasaan khawatir jika Arsen akan mendekati Naz lagi, karena ia tahu betul sifat Arsen seperti apa. Ia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Raline yang sudah tahu betul sifat Arsen seperti apa, tak tega jika membiarkan Naz bersama pria seperti Arsen. Bukan karena ia mencintai Arsen, tapi tak mungkin ia menyatukan Naz dengan pria yang selama ini justru menjadi dalang dibalik penderitaan yang Naz alami.

Raline memberanikan diri menemui Anita dan menceritakan semua yang dilakukannya bersama Arsen pada Naz. Awalnya Anita sangat marah pada Raline, hingga menamparnya. Namun beliau akhirnya meminta Raline bekerja sama untuk menjauhkan Arsen dari Naz sebagai penebus kesalahannya. Anita beranggapan itu bukan sepenuhnya salah Raline, karena ia hanya diperalat oleh Arsen.

Mereka pun sepakat tidak memberitahukan Arsen soal kandasnya hubungan Naz dengan Arfin yang baru diketahui oleh orang tua kedua belah pihak, ketiga sahabat Naz dan Raline saja. Anita pun memberitahu suami dan anak- anaknya yang lain agar bungkam pula pada Arsen.

Arsen yang sering menghubungi Raline pun selalu diabaikan. Bahkan Raline sampai memblokir nomornya, agar ia beranggapan jika tugas yang diberikan pada Raline sudah gagal. Sehingga Arsen tidak menggangu Naz lagi.

Masalah Arsen dalam tiga bulan ini aman, namun kabar kurang baik kembali datang. Mira jatuh sakit dan Elsa menghubungi Naz untuk meminta pertolongan. Keduanya membawa Mira ke rumah sakit.

Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Mira dinyatakan mengalami Empiema, yakni terdapat tumpukan nanah di ruang antara paru- paru dan permukaan bagian dalam dinding dada. Dokter mengharuskan Mira dirawat dan menyarankan segera dilakukan tindakan operasi.

Naz pun memberitahukan berita itu pada Raline. Ia yang sudah bisa menerima kenyataan akan dirinya, mendengar kabar itu merasa sangat sedih dan ingin segera menemui ibu kandungnya yang terbaring sakit. Sepulang sekolah, Naz menjemput Raline ke sekolahnya dan mereka pergi ke rumah sakit diantarkan oleh Pak Udin.

“Naz, apakah ini saat yang tepat untuk bertemu dengannya?” tanya Raline yang merasa gugup karena akan bertemu Mira untuk pertama kali sebagai ibu kandungnya.

“Tentu Raline, Ibu sedang sakit dan besok dijadwalkan untuk dioperasi. Ibu pasti sangat membutuhkan kita di sisinya. Ibu hanya punya kita dan kakak perempuannya saja, beliau pun sudah dihubungi dan akan segera datang katanya.”

“Tapi, apakah dia akan memaafkan ku? Apakah dia akan menerima ku sebagai anaknya?” Rasa takut kini mulai dirasakannya.

“Raline, ibu itu orang yang sangat baik. Meskipun di masa lalu pernah melakukan kesalahan, itu pun demi kebaikan mu. Ibu juga sangat menyayangi mu, Raline.” Naz mengusap- usap bahu Raline, lalu melempar senyum padanya.

Keduanya pun telah tiba di depan pintu kamar rawat inap Mira. Mereka masuk, walau masih nampak keragu- raguan pada diri Raline. Ia sangat gugup hingga tangannya pun gemetaran. Naz menggenggam tangan Raline untuk menguatkannya.

“Ibu, gimana keadaanya sekarang?” tanya Naz yang kini berdiri di samping tempat tidur Mira, sedangkan Raline berdiri dibalik tirai.

“Alhamdulillah sudah mendingan, sebaiknya ibu pulang saja. Ibu berobat jalan saja, Naz,” ucapnya lalu ia duduk bersandar pada tempa tidur yang bagian atasnya telah dinaikan dengan dibantu Naz.

“Enggak, Bu … Dokter bilang ibu besok akan dioperasi biar cepat sembuh.” Naz menolak permintaan ibunya.

“Ibu sangat malu karena terus merepotkan mu dan keluarga mu, Naz. Ibu sudah banyak salah pada kalian, tapi kalian masih saja baik pada Ibu.”

“Ibu gak usah khawatir, insya Allah tabungan ku cukup untuk membiayai pengobatan Ibu. Lagi pula kan Ibu juga pakai asuransi kesehatan, jadi biaya tambahannya tidak terlalu besar. Ibu tidak merepotkan siapa pun.” Naz memberi pengertian pada Mira.

“Enggak Naz, Ibu mau pulang saja.” Mira tetap kekeuh ingin pulang.

“Oh iya, aku membawa seseorang kesini. Ibu pasti senang bertemu dengannya.”

“Siapa?” tanya Mira heran.

Naz menggeser tirai lalu menarik tangan Raline dengan pelan. Ia pun melangkah sembari menundukkan kepalanya.

“Raline ….” Mira terkejut dengan kehadiran Raline disana.

Raline perlahan menegakkan pandangnnya, matanya tertuju pada wajah wanita yang sudah mengandung dan melahirkannya 17 tahun yang lalu. Hatinya merasa terenyuh melihat kondisi Mira yang begitu pucat dengan selang oksigen yang terpasang pada hidungnya.

“Ibu ….” Lirihnya diringi jatuhnya air mata yang membasahi pipinya.

Mira terkejut menengar Raline memanggilnya dengan sebutan Ibu. Ia menoleh ke arah Naz seolah ingin mempertanyakan kebenaran pendengarannya tadi. Naz pun paham maksud dari tatapan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu.

Naz mengangguk, “Raline sudah tahu semuanya, Bu,” ucap Naz lalu tersenyum.

“Iya, Bu ….” Raline kini berada di samping tempat tidur Mira.

“Raline … anakku ….” Ucapnya dengan perasaan tak percaya bahwa putri yang selama ini berikan pada orang lain, kini memanggilnya dengan sebutan Ibu.

“Ibu ….”

Raline langsung memeluk Mira, dan keduanya pun saling berpelukan dengan tangisan yang pecah begitu saja. Haru bahagia kini tengah menyelimuti keduanya, terutama Mira. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu dengan Raline sebagai putri kandungnya, memeluknya dengan erat serta menciumnya dengan penuh kasih sayang.

“Maafkan aku, Bu … aku banyak salah sama Ibu. Maafkan aku, Bu … huhuhuhu.” Raline menangis penuh sesal.

“Ibu juga minta maaf, karena sudah sangat tega memberikan mu pada orang lain. Maafkan Ibu, nak … hiks hiks.”

Naz pun ikut menangis terharu melihatnya. Ia beranjak pergi keluar memberi keduanya ruang untuk menghabiskan waktu bersama dan saling melepas rindu.

**

Semenjak itu, Raline tak pernah jauh dari Ibu nya. Ia izin tak masuk sekolah selama ibunya dirawat di rumah sakit pasca operasi. Ia ingin selalu dekat dengan ibunya dan juga adik kandungnya, Elsa.

Walaupun awalnya Rahmi tak mengizinkannya, namun Naz berhasil membujuk mama- nya dengan menggantikan Raline tinggal di rumah Rahmi selama Mira di rumah sakit.

Setelah Mira pulang dari rumah sakit, Raline hanya bisa menemani ibunya sepulang sekolah sampai sore saja di rumah beliau, karena Rahmi masih merasa berat untuk mengizinkannya tinggal bersama Mira.

**

Hari ini Raline belajar di sekolah hanya setengah hari, karena guru- gurunya ada rapat dadakan. Ia merasa senang karena bisa menghbiskan waktu bersama ibunya lebih lama, meskipun beliau sudah sembuh. Ia pun pulang menuju rumah ibunya, yang hanya rumah kecil dan sederhana. Mungkin hanya sebesar kamarnya yang berada di rumah megah milik orang tuanya.

Belum juga sampai, mobil yang ditumpangi Raline tiba- tiba mogok. Akhirnya ia turun dan berjalan kaki menuju tempat tinggal ibunya yang hanya berjarak sekitar 200 meteran dari tempat mobilnya berhenti. Ia merasa ada yang menikutinya dari arah belakang. Namun saat ia menoleh ke belakang, ia tak menemukan siapa pun.

Saat ia hendak belok dari tikungan sebuah masjid, tiba- tiba ada yang menarik tangannya, hingga tubuhnya beradu dengan tubuh orang tersebut yang merangkul pinggangnya. Betapa terkejutnya ia saat melihat wajah orang itu.

“KaChen ….” ucpnya terkejut dan membuka matanya kebar- lebar.

“Hmmm ….” Arsen memberi tatapan tajam.

“Ke kenapa KaChen ada disini?” tanyanya gelagapan.

“Kau pikir apa? Tentu saja mencari mu?”

“Ap apa? Mencari ku?” raut wajahnya berubah menjadi ketakutan.

“Iya, apa kau sudah tuli?” Arsen terus menatapnya dengan tajam.

“Ta tapi untuk apa Ka Chen mencari ku? Bu bukannya kita sudah tidak ada urusan lagi?”

“Apa kau bilang? Tentu saja untuk menagih janji mu.”

“Ja janji apa?” Raline semakin takut.

“Tidak usah pura- pura amnesia.”

“Hei, kalian … kalau mau pacaran jangan di depan masjid seperti ini!” seru seseorang.

Arsen dan Raline terejut mendengar suara seorang wanita dari arah belakang Raline. Ia pun secara refleks melepaskan Raline dan mendorongnya menjauh dari tubuhnya.

Gedebuk …

“Aww , bokong ku ….” Raline meringis kesakitan setelah dirinya terjatuh ke tanah.

“Ya ampun Raline, jadi ini kamu? kamu gak apa- apa, nak ….” Wanita itu berjongkok dan menanyakan keadaan Raline yang jatuh ke tanah. Pandangannya lalu tertuju pada Arsen yang berdiri tegak dengan ekspresi datar.

“Siapa kamu? Kenapa kamu mendorong anak saya sampai jatuh begini?” tanya Mira.

“Salah siapa mengagetkan orang.” Arsen menjawab dengan santainya.

Mira tercengang dengan sikap dan ucapan Arsen. Ia hendak berdiri untuk memarahinya, namun Raline memegang tangannya. “Bu, bokong ku sakit. Tolong bantu aku bangun.”

“Iy iya, ayok ibu bantu.” Mira perlahan membantu Raline bangun, ia mengusap- usap bokongnya yang masih terasa sakit.

Mira menatap tajam pada Arsen. “Hei, kamu harus bertanggung jawab. Ini anak saya jadi gak gak bisa jalan. Ayok bantu ia jalan.”

“Kenapa jadi saya yang harus tanggung jawab? Ibu kan yang mengagetkan kami tadi.” Arsen tak terima disalahkan.

“Kamu juga tidak sopan main peluk- peluk anak saya.” Mira terus mencari kesalahan Arsen.

“Apa? Anak ibu?” tanya Arsen heran.

“Iya …” jawab Mira ketus.

“Sudah, Bu … aku gak apa- apa kok, ayok kita ke rumah saja. Jangan hiraukan dia.” Raline mengajak ibunya pergi.

“Hei, urusan kita belum selesai. Jangan pergi begitu saja!” seru Arsen pada Raline.

“Kalau gitu, kamu bantu memapah anak saya sampai ke rumah,” ucap Mira.

Arsen mendengus kesal, lalu mendekat pada Raline. Ia membungkukan tubuhnya lalu mengendongnya ala bridal style.

“KaChen lepaskan aku, jangan menggendongku seperti ini.” Raline berontak dan minta diturunkan.

“Sudah diam … tunjukan dimana rumahnya.” Arsen tak menghiraukan permintaan Raline, ia mengikuti langkah Mira yang berjalan menuju sebuah rumah.

Mira membukakan pintu, lalu mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya.

“Silahkan masuk .…” Mira mempersilahkan.

Baru saja Arsen melangkahkan kakinya ke depan pintu yang sudah dibuka, Raline kembali bergerak.

“Jangan masuk ….” Raline melarang.

“Ayok masuk, antarkan Raline sampai ke dalam.” Mira kembali meminya keduanya masuk.

“Ih, jangan masuk.” Raline pun mencegahnya lagi.

“Apa- apaan kalian ini?” Arsen merasa kesal.

“Jangan masuk sebelum membuka sepatu mu!” ucap Raline.

“Kau pikir apa yang membungkus kaki mu itu, hah?” Arsen melirikk pada kaki Raline.

“Aku juga akan membukanya sebelum masuk.”

“Bagaimana bisa aku melepas sepatu ku sambil menggendong mu, bodoh!”

“Kalau begitu turunkan aku, kepala batu!” Raline pun tak mau kalah mencaci.

Arsen kembali mendengus kesal, ia pun menurunkan Raline dengan kasar, beruntung ia tak sampai jatuh untuk yang keda kalinya. Lalu keduanya masuk setelah melepaskan sepatu masing- masing.

“Kalian duduk dulu, biar ibu ambilkan minum.” Mira hendak pergi ke dapur.

“Gak usah, Bu … Dia tidak akan lama di sini. Ibu masuk ke kamar saja, istirahat ya,” ucap Raline.

“Walau bagaimana pun kita harus berterimakasih padanya. Pasti dia capek menggendong mu dari tikungan sana. Ya meskipun orangnya sepertinya tidak begitu ramah.” Mira tahu bagaimana menghargai tamu, walau dia tamu tak diundang.

“Gak usah, Bu. Orang dia gak kelihatan kecapekan kok.” Raline nampaknya masih kesal pada Arsen.

“Kau pikir tubuhmu itu seringan kapas!” Arsen menyindir Raline dengan ketus.

Raline hanya mendelik kesal tanpa menjawab ucapan Arsen yang terus saja bicara ketus tanpa rasa malu di depan ibunya.

Mira menghela nafas panjang melihat putrinya terus beradu mulut dengan Arsen. Beliau menggelengkan kepalanya, lalu berjalan dan masuk ke kamarnya.

Keduanya yang duduk di atas karpet terdiam sejenak dengan memperlihatkan raut wajah kesal.

“Oh, jadi sekarang kau tinggal dengan ibu kandung mu?” Arsen kembali membuka topik pembicaraan.

“Hmm .…” Raline nampaknya masih merasa kesal.

“Heh, lucu sekali. Kau sering menghina Naz dengan menyebutnya sebagai anak dari wanita mu____”

“Sebenarnya apa tujuan mu mengikuti ku sampai disini?” Raline segera memotong ucapan Arsen dan mengalihkan pembicaraan.

“Tadi kan aku sudah bilang.”

“Heh, mustahil kau datang untuk bertemu dengan ku.” Raline tersenyum sinis.

“Ck … ya ya ya baiklah. Aku datang ke sini untuk mencari tempat magang.”

“Maksudnya, Kakak mau magang di Jakarta?” tanyanya heran.

“Bukan ….” jawabnya singkat.

“Tadi bilangnya mau cari tempat magang.” Raline memastikan.

“Emang.”

“Terus dimana.” tanya Raline lagi.

“Apanya?” Arsen malah balik bertanya.

“Magangnya?”

“Di Bandung.”

“Apa? Mau magang di Bandung? Tadi bilang mau mencari tempat magang di sini, gimana sih?” Raline semakin kesal.

“Iya, temanku yang cari tempat magang.”

“Di sini magangnya?” Raline merasa pusing.

“Astaga, dari tadi bilang di Bandung juga. Dasar tuli!” Arsen pun sama kesalnya.

Raline mendengus kesal. “Kalau aku tuli lalu kau apa, hah? Mau magang di Bandung kok nyari tempat magang di sini. Dasar stress!”

“Carikan aku tempat tinggal!” Arsen malah mengalihkan pembicaraan.

“Apa?” Raline kembali terkejut.

“Kau benar- benar tuli?”

“Untuk apa ak mencarikan mu tempat tinggal?” tanya Raline geram.

“Tentu saja untuk ditinggali.”

“Heh, kau tinggal pergi ke rumah orang tua mu.”

“Bunda melarang ku.”

“Kenapa?” Raline merasa heran.

“Kau benar- benar amnesia.”

“Astaga, bicara itu yang jelas! Dari tadi ngomong sepotong- sepotong!” Raline benar- benar geram.

“Bunda hanya mengizinkan ku pulang jika aku libur semester dan saat hari raya.”

“Memangnya kenapa?” Raline semakin bingung.

“Astaga, kau benar- benar membuat ku kesal. Tentu saja itu sudah perjanjian saat aku dibuang ke Bandung.”

“Cih, aku pikir itu sudah tidak berlaku.” Raline berdecih kesal.

“Tentu saja masih, jadi setelah aku lulus kuliah bisa kembali dan menikahi Naz.” ternyata Arsen masih terobsesi dengan Naz.

“Apa?” Raline terkejut untuk kesekian kalinya.

“Sampai kapan kau akan menyembunyikan jika Naz sudah putus dengan si pincang itu, hah?” Arsen kini merasa geram.

“Ap apa? Da darimana kakak dapat gossip seperti itu?” Raline gelagapan.

“Tentu saja dari Naz sendiri.”

“Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa untuk mencegah Naz memberitahukan soal itu pada Kak Arsen … Bisa gawat ini, aku harus segera memberitahukan Bunda.” Raline bergumam dalam hati.

“Heh, malah melamun … cepat carikan aku kos- kosan atau kontrakan.”

“Kenapa tidak menginap saja di hotel atau di rumah teman- teman mu.”

“Disini aku lebih banyak musuh daripada teman.”

“Tentu saja, siapa yang akan tahan berteman dengan orang kepala batu,” ucapya menggerutu pelan.

“Apa?”

“Enggak, aku gak bilang apa- apa.” Raline berdalih.

“Yasudah sana carikan tempat tinggal untuk satu minggu.” titah nya lagi.

“Cari saja sendiri, aku ini bukan kacung mu.” Raline kini sudah bisa bersikap tegas menolak permintaan Arsen.

“Baiklah ….” Arsen kemudian berdiri. “Jangan kau pikir aku tidak tahu siapa yang mempengaruhi si pincang untuk menjauhi Naz,” ucapnya tersenyum kecut. Ia lalu beranjak pergi begitu saja keluar dari rumah itu, tanpa menoleh sedikit pun pada Raline.

“Apa? Bagaimana dia bisa tahu soal itu?” gumam Raline dalam hati dengan raut wajah terkejut. "Dasar si raja ancam!" ucapnya menggerutu kesal.

---------------- TBC-------------

*********************

Happy Reading....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!