Pagi ini hawanya begitu dingin, serasa menusuk ke pori- pori. Hembusan nafas yang keluar dari kedua lubang hidung yang bulat mini, serta dari mulut pun terlihat jelas bagaikan asap mejikom yang ngebul saat menanak nasi.
Lambat laun sang surya mulai menampakkan diri dan sinarnya mampu menghempaskan kabut yang menyelimuti sedari subuh. Panasnya mulai menghangatkan bumi pertiwi.
Raline yang sudah selesai bersiap untuk berangkat ke sekolah baru keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju ruang makan untuk sarapan bersama keluarganya.
“Pagi Ma, pagi Pa, pagi Mas Hardi …” sapa nya kemudian ia duduk bergabung bersama mereka.
“Pagi …” jawab Hardi dan Syarief serentak.
“Pagi sayang, tuh Mama udah siapin sandwich buat kamu.”
“Makasih, Mama ….”
Baru juga Raline mengigit sandwich nya, ponselnya berbunyi disertai getaran yang menandakan ada pesan masuk. Ia segera mengambil ponsel dari dalam saku bajunya dan membuka pesan tersebut yang membuatnya senyam senyum sendiri saat membaca pesan itu. ia pun dengan segera membalas pesannya.
“Senang sekali kelihatannya anak Mama ini, dapat pesan dari siapa?” Rahmi menggoda sang anak.
“Ada deh, Mama kepo deh.” Raline kembali memasukan ponselnya ke dalam saku bajunya.
“Oh, iya nanti kamu pulang naik taksi aja ya. Soalnya sopir mau nganterin Mama ke Bekasi.”
“Ah, Mama gak mau ah. Raline nanti siang mau jalan. Mama suruh Pak Udin aja deh, biarin si anak pungut yang naik taksi.”
“Raline, jaga bicara kamu!” Syarief langsung menyambar, karena ia tahu siapa yang Raline maksud.
“Iya iya Pa, aku berangkat dulu ya.” Raline bangkit dari duduknya dengan membawa sandwich di tangannya. “Dah Mama dah Papa.”
“Raline ….” Rahmi memberi isyarat dengan matanya.
“Iya iya Ma,” Raline pun mencium tangan kedua orang tuanya secara bergantian. Ia beranjak pergi untuk berangkat ke sekolah.
Selama di perjalanan ia terus memandangi layar ponselnya yang menggunakan wallpaper foto orang yang sangat dicintainya. Ia kembali membuka pesan di aplikasi WhatsApp-nya, seolah tak bosan membacanya berulang- ulang. Padahal orang itu tak membalas pesannya lagi.
**
Saat jam istirahat, Raline pergi ke UKS diantar oleh temannya.
“Apa yang kamu rasakan?” tanya petugas UKS saat memeriksa keadaan Raline.
“Kepala saya rasanya pusing, Bu.” Raline mengatakan keluhan yang dirasakannya.
“Yasudah, kamu istirahat saja disini.”
“Kalau bisa, saya mau pergi ke dokter pribadi saya saja ya, Bu. Dua tahun yang lalu kan saya sudah melakukan operasi transplatasi jantung. Saya harus checkup rutin ke dokter. Harusnya nanti sore sih Bu, tapi karena saya merasa pusing, sepertinya harus sekarang.”
“Baiklah, saya akan meminta wali kelas mu untuk menghubungi orang tua kamu.”
“Ja jangan, Bu.”
“Loh kenapa?”
“Mama saya sedang ke Bekasi karena ada saudara yang sakit. Biar saya pergi dengan sopir saya saja, nanti saya akan menghubungi tante saya di perjalanan agar bertemu di rumah sakit saja.”
“Sebentar, saya beritahukan dulu wali kelas kamu.”
“Iya, Bu …” ucapnya sembari memijat kepala yang terasa pusing.
Setelah mendapat persetujuan, Raline pun diantar ke parkiran oleh petugas UKS dan wali kelasnya. Sang sopir pun melajukan mobilnya.
“Non, kita ke rumah sakit mana?” tanya sang sopir.
“Ke Museum Galery Nasional, Pak.” Raline menyebutkan arah tujuan lain.
“Maaf, Non … tadi kata ibu gurunya non sakit dan harus diantar ke rumah sakit. Kok jadi ke museum?” sang sopir kembali bertanya.
“Gak usah banyak tanya, kalau saya bilang ke museum ya ke museum,” bentak Raline
“Ba baik, Non.”
Raline mengambil ponsel dari dalam saku bajunya. Ia kembali membaca pesan tadi pagi.
KaChen
06.21
“Temui aku jam 11 di museum galery nasional. Aku ada acara dengan rombongan kampus.”
Raline
06.22
“Siap”
Raline
10.15
“KaChen, aku udah on the way museum.”
Setelah setengah jam perjalanan, ia pun sampai di museum tersebut. Raline melangkah dengan senyum berseri- seri, karena akan bertemu dengan tambatan hati yang selalu dinanti.
“KaChen ….” Raline memanggil Arsen yang sedang berdiri di bawah tangga depan pintu museum tersebut. Ia berlari kecil dengan hati yang berbunga- bunga hingga sampai di hadapan Arsen.
Grep …
Raline langsung memeluk pria yang amat dirindukannya itu. Rasa bahagia begitu membuncah dihatinya. Rindu yang menggebu pun seolah terobati saat itu juga. Wajahnya merona berseri- seri, bak wanita yang tengah dimabuk cinta. Namun Arsen hanya diam mematung dengan wajah datar tanpa ekspresi. Tentunya dia tak membalas perlukan Raline.
“Sampai kapan akan terus memeluk ku?” ucapnya seolah menyindir.
Seketika senyuman di bibir Raline lenyap, dengan berat hati ia melepaskan pelukannya.
“Maaf, Kak … abisnya kita kan udah lama gak bertemu. Aku kangen sama KaChen.” Raline menunjukkan senyum termanisnya pada Arsen.
Arsen mendengus kesal. Ia kemudian duduk pada salahbsatu anak tangga. Raline pun duduk di sebelahnya.
“Apa kau masih melaksanakan tugas mu?” tanya Arsen dengan tatapan lurus ke depan.
“Tentu saja … Di sekolahnya yang sekarang pun semua orang sudah mengetahui identitas aslinya. KaChen tenang saja, menurut mata- mata ku, tak ada laki- laki yang mau mendekati Naz lagi. Ya kecuali sahabatnya yang bencong itu, si Andes.” Raline melapor.
“Heh, anak itu tidak perlu dihiraukan, dia tidak membahayakan.” Arsen tersenyum kecut.
“Tapi … sekarang Opa sudah menyayanginya lagi.” Raline mengeluh.
Arsen melirik sekilas pada Raline yang menekuk wajahnya.” Aku bisa jamin, jika Opa akan tetap menyayangi mu dan akan tetap menjadikan mu cucu kesayangannya. Meski mereka sudah berbaikan, tak akan memberi pengaruh besar,” ucapnya dengan meyakinkan.
Raline pun bernafas lega, karena ketakutannya tak akan terjadi.
“Saat liburan sekolah kemarin, Naz datang ke Bandung dan dia terlihat dekat dengan temannya kak Dandy.”
“Siapa?” tanya Raline heran.
“Namanya Arfin, yang jalannya pincang.” Arsen menyebutkan orang yang dimaksudnya.
“Aduh, kenapa KaChen tahu soal kedekatan Naz dengan si pincang itu … Bisa gawat nih, pasti KaChen akan menyuruh ku untuk menjauhkan mereka … Argh, mendekati Bang Evan saja sudah membuat ku muak, apalagi jika aku harus mendekati si pincang itu untuk menjauhkannya dari Naz.” Raline menggerutu dalam hati.
“Hei … kenapa malah melamun?” Arsen menyikut Raline karena tak mendengar ia bicara lagi, dan itu mampu membuat Raline membuyarkan lamunannya.
“Eh, iya iya kenapa? Maaf KaChen, aku lagi mengingat- ingat orangnya.” Raline menjawab gelagapan.
“Lalu? Apa kau tahu orangnya?” Arsen kembali bertanya tanpa melihat Raline.
“O iya iya aku ingat … dia kan teman Mas Hardi juga. KaChen tenan saja, aku udah cari tahu kok ke Mas Hardi, dan katanya dari dulu dia gak pernah dekat dengan perempuan mana pun,” ucapnya memberi info.
“Apa kau yakin? Kenapa Naz terlihat akrab dengannya? Sampai makan saja disuapi orang itu.” Arsen meragukan jawaban Raline.
“Eng … a aku aku yakin kok. Mas Hardi juga bilang, ada teman perempuannya yang sejak sekolah terus mengejar pria bernama Arfin itu, tapi gak pernah direspon gitu. Eng, kayaknya dia gak suka perempuan deh.” Raline mengira- ngira.
“Maksud mu dia homo?” Arsen kali ini menoleh ke arah Raline.
“Em, kayaknya sih gitu …” ucap Raline lalau tersenyum kaku.
“Gak apa- apalah KaChen nganggap si pincang itu homo, untuk sementara itu lebih baik. Lagi pula Naz memang lebih pantas dengan si pincang itu, daripada dengan KaChen- ku.” Raline kembali bergumam dalam hati.
“Heh, pantas saja dia nempel banget sama Kak Dandy. Ternyata dia jeruk makan jeruk.” Arsen tersenyum kecut.
“Bi bisa jadi sih ….” Raline solah terus meyakinkan pemikiran Arsen tentang Arfin.
Arsen melihat jam tangannya. “Baiklah, aku harus masuk … yang lainnya sudah menunggu ku.” Arsen bediri pun bangkit.
“Iya, Kak ….” ucapnya mengangguk.
Mata Raline tak hentinya memandangi Arsen, seolah berharap sang pujaan hati akan menoleh ke arah nya. Namun ia pergi begitu saja tanpa melihat bahkan menoleh ke arah Raline. Arsen yang selalu bersikap dingin, terus saja melangkahkan kakinya hingga ia memasuki pintu utama museum dan tak terlihat lagi oleh Raline.
“Hufh … kapan kau akan melihat ku, Ka Chen? Tak bisakah aku menggantikan posisi Naz di hati mu?” lirihnya sembari menatap pintu dengan perasaan penuh kecewa.
“Argh … “ Raline memukul tembok tanggayang didudukinya dengan kepalan tangannya.
“Naz Naz Naz Naz… kenapa dia selalu merebut semua hal dari ku? Perhatian orang tua ku, kasih sayang Opa, bahkan cinta KaChen- ku ….”
“Aku bersumpah tidak akan membiarkan mu hidup tenang dan bahagia, Rheanazwa ….” Ucapnya dengan deru nafas yang menggebu sembari mengepalkan kedua tangannya, hatinya dipenuhi rasa benci terhadap Naz.
Drrrt drrttt drrtt …
Raline merasakan getaran dari ponselnya, seketika amarahnya pun mulai mereda. Diambilah gawai miliknya dari saku baju seragamnya.
“Kak Sherly ?” ia menatap heran pada layar ponselnya. “Oh My Lord, hari ini aku ada janji pergi ke salon bersama nya.”
“Hallo ….”
**
Srekkkk ….
Syarief menarik bedcover yang menyelimuti tubuh Raline yang sedang tidur nyenyak dengan sekaligus, hingga selimut itu berserakan di lantai.
“Emhh ….” Raline mengerjapkan mata karena hal itu mampu mengusik tidurnya. “Papa ….”
ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.
“Bangun !!” ucapnya dengan nada tegas.
“Emh, apa ini sudah pagi, Pa?” Raline nampaknya masih sangat mengantuk.
“Ini baru jam sembilan malam…”
“Papa, nanti saja bangunkan aku kalau sudah pagi …” Raline kembali memejamkan matanya.
“Masih bisa tidur nyenyak kamu, hah … setelah hampir membuat Naz mati kedinginan!” bentaknya pada Raline.
Seketika Raline langsung membuka matanya.
"Sialan … si pincang itu rupanya sudah memberitahu Papa … Argh, bodoh banget sih gue, kenapa percaya begitu saja kalau dia tidak akan membocorkan hal itu pada orang lain, apalagi pada Papa.” Raline menggerutu dalam hati.
“Kenapa kamu diam? Kamu kan yang sudah menyebabkan Naz masuk rumah sakit?” Syarief masih menahan marahnya.
Raline pun bangun, ia duduk di atas tempat tidunya. “Papa ngomong apa sih? Aku gak tahu apa- apa?” Raline pura- pura polos.
“Gak usah pura- pura kamu!”
“Pa, gimana bisa aku mengurung Naz di ruang musik yang dingin dengan pakaian basah, sedangkan aku beda sekolah dengannya?” ucap Raline membela diri.
“Heh, jadi benar kamu dalangnya.” Syarief tersenyum kecut.
“Ma maksud Papa?” Raline merasa ada yang salah dengan ucapannya sendiri.
“Bagaimana kamu tahu sedetail itu saat Naz dikurung di ruang musik?” tanya Syarief dengan tatapan tajam.
“Mampus … kenapa gue bisa keceplosan,” gumam Raline dalam hati.
“Jawab, Raline!” Syarief kembalai membentak Raline agar dia mengakui kesalahannya.
“Kak Arfin bilang apa ke Papa?” Raline seolah mengalihkan pembicaraan.
“Arfin?” tanya Syarief heran.
“Iy iya, dia ... dia kemarin menuduhku mencelakai Naz," ucapnya gelagapan.
“Heh, rupanya Arfin juga sudah tahu tentang hal ini? jadi memang kamu yang mencelakai Naz?” Syarief semakin yakin.
“What? Jadi Papa bukan tahu dari si pincang itu. Argh … bego bego bego … Papa kan punya banyak anak buah, pasti mudah baginya untuk mengetahui hal ini.” Raline mengerutuki kebodohannya dalam hati.
“Jawab Raline!” Syarief merasa geram karena Raline tak kunjung mengakui kesalahannya.
“A a aku, it itu … eng …. “ Raline gelapagapan, ia terlihat gugup dan bingung menjawab pertanyaan Syarief. Ia menampakkan raut wajah ketakutan.
Syarief membuang nafas kasar melihat Raline yang ketakutan. Ia pun tak tega jika harus memarahinya, walau bagaimana pun Raline juga anaknya.
Ia duduk di tepi tempat tidur Raline. “Cukup … cukup Raline, jangan menyakiti Naz lagi. Dia sudah terlalu banyak menderita,” ucapnya dengan nada sendu. Hatinya terasa sakit, mengetahui anak yang satu menyakiti anak yang lainya.
Raline melihat Papa nya yang lebih perduli dengan Naz, membuatnya rasa takutnya berubah seketika. “Mederita … menderita Papa bilang?” Raline menghela nafas sejenak.
“Papa pikir aku tidak menderita? Apa Papa pikir selama ini aku bahagia hidup dalam bayang- banyang Naz?”
Syarief terdiam mendengar ucapan Raline. Hatinya merasa terenyuh, ia sadar betul selama dua tahun ini ia hanya memperhatikan Naz, karena selama hampir 5 tahun ia telah menyia- nyiakan Naz dan tak mau mengakuinya sebagai putri kandungnya.
Selain itu, rasa bersalahnya yang begitu besar karena menyebabkan Naz selalu dibully dan dijauhi teman- teman serta keluarganya, membuatnya ingin menebus semua kesalahannya. Namun, ia lupa jika ia juga memiliki putri yang lain yang harus dijaga perasaannya.
“Apa Papa pernah membayangkan bagaimana perasaan ku saat harus berbagi kasih sayang dan perhatian dengan Naz? Apa Papa tahu bagaimana perasaan ku saat melihat orang tua ku begitu menyayangi Naz, selalau memuji- mujinya. Apa Papa tahu bagimana perasaan ku saat Opa lebih menyayangi Naz dan menjadikannya sebagai cucu kesayangan?” Raline mulai terisak seolah ingin mengungkapkan rasa sakit yang selama ini dirasakannya.
“Sejak lahir, aku harus berbagi orang tua dengan Naz, aku harus berbagi kasih sayang Opa dengan Naz. Setelah sekolah, aku harus mendengar kalian terus memuji Naz pintar, cerdas, aktif dan berprestasi. Sedangkan aku, aku hanya anak penyakitan yang menjadi beban untuk kalian, bahkan aku anak yang tidak bis apa- apa dan anak bodoh yang bergantung pada bantuan Naz. hiks hiks … dan orang yang kucintai pun, hanya mencintai Naz, hiks hiks … itu sangat menyakitkan Pa.” Raline tak kuasa menahan air matanya.
“Raline ….” Lirinya menatap sendu pada purtinya.
“Kenapa Papa gak pernah peduli sama aku? Naz Naz Naz saja yang Papa perdulikan … Aku juga anak Papa, hiks hiks hiks.”
Syarief mendekat pada Raline, dengan segera ia memeluk putrinya yang tengah menangis itu.
“Papa minta maaf. Papa tidak bermaksud membeda- bedakan kasih sayang Papa pada kalian. Papa hanya ingin semua anak- anak Papa hidup rukun dan saling menyayangi, bukan saling menyakiti,” ucapnya mengusap lembut kepala Raline yang berambut panjang itu.
Perlahan Syarief melepaskan pelukannya. Ia memegang kedua bahu Raline dan menatapnya. Namun sang anak tak sanggup menatap mata Papa nya dan lebih memilih menundukkan kepalanya dengan berderai air mata. Seolah ia telah meluapkan apa yang selama ini menyesakkan dadanya.
“Papa sangat menyayangi kalian … berjanjilah kamu tidak akan mengulangi hal itu lagi, Raline. Papa tidak mau kamu menjadi seorang penjahat yang mencelakai saudara mu sendiri. Berjanjilah, Raline,” ucapnya dengan penuh harap, lalu ia kembali memeluk putrinya yang terus menangis.
Semenjak itu, dalam beberapa waktu Raline tak pernah menggangu Naz lagi. Walau ia masih mengawasi lewat sopirnya Naz, Pak Udin. Namun ia tak pernah mengatakan pada Arsen jika Naz dan Arfin sudah berpacaran.
Hingga pada suatu hari di pesta ulang tahun Naz sekaligus reuni keluarga, Raline kembali berulah karena merasa marah dengan kehadiran Mira di lobi hotel tempat pesta itu digelar. Sampai Arfin menjebloskannya ke dalam penjara walau hanya dua hari saja.
Hal itu membuatnya sangat terpukul karena selain merasakan nikmatnya menginap di hotel prodeo, ia juga mengetahui pendonor jantungnya yang tidaklain adalah mendiang suaminya Mira.
**
Pagi ini di kediaman Raline nampak sepi, ia yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mendapatkan kejutan yang tak disangka.
Tiba- tiba seseorang menghampirinya dan mendorongnya hingga menempelkan tubuhnya ke dinding. Oang itu mencengkram rahang Raline dengan kasar, hingga membuatnya ketakutan.
“Dasar pembohong! Beraninya kau menipu ku, Raline!”
“A ada apa ini? lepaskan aku, kak ….” Raline yang terkejut merasa ketakutan.
“Aku sudah mempercayai mu, tapi kau malah menghianati kepercayaan ku!”
“Aku melakukan apa? Tolong lepaskan, sakit kak ….” Ia meringis kesakitan.
“Argh ….” Orang itu melepaskan cengkramannya dengan kasar hingga membuat Raline jatuh ke lantai. Ia menatap orang yang dipenuhi amarah itu dengan ketakutan.
“KaChen kenapa berbuat kasar seperti ini? Salahku apa? Hiks hiks.”
Arsen berjongkok di depan Raline yang duduk di lantai. Tangannya membelai rambut panjang Raline, kemudian ia menjambak rambut indah itu.
“Aaaaakkk …” Raline menjerit kesakitan.
“Kau bertanya salah mu apa, hah? Kau bilang Naz tidak ada hubungan dengan si pincang itu … tapi nyatanya mereka sudah berpacaran, dan dekat sejak lama. Dasar penghianat!” Arsen begitu marah.
“Lepaskan aku, lepaskan aku …sakit kak, aku mohon …” Raline memohon.
“Ini belum seberapa dibanding penghianantan mu!”
“Aku minta maaf, aku sudah berusaha memisahkan mereka. Tapi semua orang mendukung hubungan mereka, hiks hiks.” Raline membela diri.
“Lalu kenapa kau tak pernah memberitahukannya padaku, hah?”
“A aku minta maaf, kak. Lepaskan aku… sakit, hiks hiks ….”
“Jangan pernah memperlihatkan batang hidung mu lagi di hadapan ku, dan jangan pernah menghubungiku lagi!” Arsen melepaskan tangannya dari rambut Raline. Deru nafasnya terdengar gusar seolah membendung amarah yang begitu besar.
Bagaimana tidak, ia telah sepenuhnya mempercayai Raline untuk menjauhkan setiap lelaki yang mendekati Naz, namun ia malah menghianatinya. Ia berdiri dan hendak melangkah. Namun Raline dengan segera memeluk kaki kanan Arsen.
“KaChen, aku mohon maafkan aku. Aku mohon huhuhuhu …” Raline memohon dengan berderai air mata.
“Lepaskan kaki ku penghianat!” Arsen berusaha melepaskan kakinya dari Raline.
“Gak … aku gak akan melepaskan sebelum KaChen memaafkan ku, huhuhuhu ….”
“Lepaskan Raline!”
“Enggak … sebelum kau memaafkan ku.”Raline semakin mengeratkan pelukannya.
Arsen menghela nafas kasar lalu memejamkan matanya. Tiba- tiba tersirat begitu saja di dalam pikirannya.
"Baiklah … Jika kau bisa menghancurkan hubungan mereka, bahkan membuat Naz membenci lelaki pincang itu, aku akan memaafkan mu.”
“Benarkah? KaChen akan memaafkan ku?” Raline berhenti menangis.
Raline menanggalkan wajahnya dan menatap wajah Arsen. Nampak raut wajah berbinar saat ia mendapatkan secercah harapan, agar sang pujaan hati bisa memaafkannya. Ia segera menghapus air matanya.
“Iya,” ucapnya tersenyum sinis. Ia merasa dirinya menang dan bisa menguasai Raline yang selalu dimanfaatkannya.
Raline melepaskan pelukannya dari kaki Arsen. “Tapi … bagaimana caranya aku membuat hal itu terjadi?” ucapnya nampak bingung.
“Pikirkan sendiri caranya … Bukan kah kau selalu punya seribu cara untuk mengerjai Naz … Dan satu hal lagi, jangan pernah menghubungiku jika kau belum berhasil melakukannya!” ucapnya lalu pergi begitu saja.
Sepeninggal Arsen, Raline terus memikirkan cara untuk melakukan apa yang diperintahkan Arsen. Ia tahu betul jika pasangan kekasih itu sulit untuk dipisahkan.
“Bagaimana bisa aku memisahkan mereka, saat ku adukan pada Om Rizal saja mereka gagal dipisahkan,” gumamnya lalu mendengus kesal.
**
Sorenya, saat Raline akan masuk ke kamar orang tuanya untuk menemui Mamanya yang setelah makan siang beristirahat di kamar, Raline tanpa sengaja mendengar Papa nya sedang berbicara dengan seseorang di telpon.
“Baiklah nanti Mas akan membicarakannya pada Latief soal usulan mu agar Naz dan Afin segera bertunangan. Tapi, ada baiknya tanyakan dulu pendapat mereka, tidak mungkin kan kita memaksaka juga. Apalagi Naz yang masih sekolah ….”
“Apa? Jadi Naz akan bertunangan?” Raline berdialog dalam hatinya, dan mengurungkan niatnya untuk masuk.
Tiba- tiba ia teringat sesuatu yang membuatnya mendapatkan ide untuk memisahkan Naz dan Arfin.
"Demi Maaf dari KaChen, aku harus memisahkan mereka," gumamnya dalam hati.
-------------- TBC -------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments