Ting …
Terdengar bunyi lift yang menandakan si penumpang telah tiba di tempat tujuannya. Pintunya terbuka secara otomatis dan keluarlah seorang laki- laki yang berjalan diiringi seorang perempuan di belakangnya. Keduanya berjalan ke arah yang sama dengan tujuan tempat ruangan yang berbeda.
“Maaf, Pak Al … ada tamu yang sedang menunggu di ruangan Bapak,” ucap seorang wanita yang menyambut kedatangannya di depan meja sekertaris.
Lelaki itu menoleh ke arah wanita yang tadi datang bersamanya. “Wi, bukannya aku tidak ada janji dengan siapa pun sore ini?”
“Enggak ada, Pak.” jawabnya dengan yakin, pandangannya mengarah pada wanita yang merupakan bawahannya.
“Fina, kenapa kamu tidak konfirmasi dulu pada saya? Jangan main masukin orang sembarangan ke ruangan Pak Al.”
“Maaf, Bu … Saya sudah memintanya menunggu di ruang tamu. Tapi nona itu bilang, dia anaknya Pak Razan Syarief Harfi sahabatnya Pak Ahmad. Jadi saya gak berani melarangnya masuk,” ucapnya memberi penjelasan dengan raut wajah ketakutan.
“Anaknya Pak Syarief?” tanyanya lalu menoleh pada bos nya. Dewi kemudian saling memandang dengan Arfin.
“Naz ….” ucap keduanya bersamaan. Arfin pun segera beranjak pergi ke ruangannya.
“Fina, lain kali kalau ada anaknya Pak Razan jangan dicegah masuk. Dia itu pacarnya bos.” Dewi memberitahukan.
“Bukannya pacar Pak Al yang datang tadi pagi, Bu?” tanya Fina heran.
“Iya … Memangnya yang di dalam bukan yang tadi pagi?” Dewi malah balik bertanya.
“Bukan, Bu. Yang di dalam lain lagi. Eng … apa Pak Al punya pacar simpanan, Bu.” Fina menebak- nebak.
“Hus … jangan sembarangan bicara kamu! Kalau kedengaran sama orangnya bahaya. Sudah ayok kembali bekerja, masih ada satu jam sebelum pulang.” Dewi memutus pembicaraan mereka, sebelum Fina semakin kepo dengan urusan bos nya.
Ceklek …
“Sayang … kamu kok balik lagi ada ap ____” Arfin tak melanjutkan ucapannya saat melihat orang yang berada di dalam ruangannya.
“Raline ?” tanyanya pada wanita yang tengah duduk di kursi kebanggan Arfin.
“Woah, ternyata pacarnya si anak pungut suka memanggil sayang pada setiap wanita ya,” ucapnya kemudian berdiri dan melangkah untuk menghampiri Arfin yang berdiri di depan meja kerjanya.
“Jaga bicara mu, Raline!” ucapnya dengan tatapan tidak suka.
“Uhh, calon iparku ini galak banget sih … “ Raline tersenyum manis pada Arfin yang menatapnya dengan tajam.
“Mau apa kau datang kemari?” Arfin langsung to the poin.
“Em … Aku hanya ingin mengucapkan selamat padamu yang sebentar lagi akan menikah dengan anak haram Papaku itu,” ucap Raline dengan santainya.
“Sekali lagi kau memanggil Naz dengan sebutan yang tidak sopan, aku akan merobek mulut mu dan melempar mu keluar ….” Arfin mulai jengah dengan Raline.
“Uhh, takut … kalau itu terjadi, Papa ku tidak akan membiarkan mu bertunangan dengan Naz, apalagi menikahinya.” Raline seolah mengancam Arfin.
“Apa maksud mu?”
“Hmm, jadi calon ipar ku ini belum tahu ya kalau Papa dan Om Latief sudah membicarakan tentang pertunangan kalian … Setelah bertunangan berarti akan segera menikah kan … selamat ya …” Raline mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, namun Arfin enggan membalas uluran tangannya.
“Bertunangan … Menikah??” tanya Arfin terkejut.
“Iya .. Tapi, kenapa kelihatannya terkejut gitu? Kau serius kan berpacaran dengan Naz? atau hanya berniat mempermainkannya saja?” Raline melangkah memutari Arfin dengan perlahan.
Arfin menarik lengan Raline dengan kasar. “Diam kau!! Keluar sekarang juga dari ruangan ku!” Arfin menoleh ke arah pintu.
Raline melepsakannya dengan kasar pula. “Hei, kau belum menjawab ku … Dari ekspresi mu sepertinya kau tidak berniat serius dengan Naz, apalagi menikahinya … Eh, lupa … Pak Al Arifin yang terhormat ini kan tidak berniat menikah dengan siapa pun, karena ______“
“Kau ….” Arfin menunjuk wajah Raline dengan tatapan marah dan kesal.
“Aku apa? Oops … Jangan bilang jika Naz tidak tahu soal hal itu …” Raline membekap mulutnya sendiri dengan jemari tangannya dengan ekspresi terkejut yang dibuat- buat.
Sementara Arfin benar- benar terkejut mendengar ucapan Raline yang seolah mengetahui hal yang selama ini dirahasiakannya dari semua orang.
“Apa maksud mu, Raline?” Arfin semakin kesal dibuatnya.
“Ckckckck … Bukankah dalam suatu hubungan, sepasang kekasih yang saling mencintai itu tidak boleh ada rahasia? Gak kebayang kalau Naz tahu jika kekasih yang sangat dicintainya tidak berniat serius apalagi menikahinya karena setelah mengalami kecelakaan tujuh tahun yang lalu kau mengalami ______ “
“Tutup mulut mu, Raline ….” bentak Arfin dengan tatapan tajam sembari menunjuk wajah Raline.
“Ops … baiklah aku akan tutup mulut. Pesan ku hanya satu, jangan mempermainkan perasaan Naz sebelum ia terlalu dalam mencintaimu. Jika kau meninggalkannya saat itu, bisa saja Naz putus asa dan mengakhiri hidupnya.” Raline seolah menakuti Arfin.
Arfin mengepalkan kedua tangannya dengan menahan marah yang sudah memuncak. Ocehan Raline membuatnya marah. Entah itu marah pada dirinya sendiri atau kah marah pada ucapan Raline yang memang ada benarnya.
Ia menghela nafas panjang beberapa kali untuk merendam kemarahannya yang bisa saja meledak saat itu juga. Beruntung Raline adalah seorang wanita, jika ia sorang pria maka habislah saat itu juga dihajar oleh Arfin.
“Tidak usah mencampuri urusan hubungan ku dengan Naz. Urus saja urusan mu sendiri … Heh, sepertinya Tante Rahmi belum memberitahukan mu tentang siapa dirimu yang sebenarnya.”
“Maksud mu apa?” Raline kini yang merasa heran dengan ucapan Arfin.
“Sebaiknya kau pulang sekarang juga dan tanyakan sendiri pada orang tua mu yang sebentar lagi akan membawa pulang Naz ke rumah mereka.” Arfin kini memberikan serangan balik pada Raline.
“Apa? Untuk apa mereka membawa Naz ke rumah ku?” tanya Raline kesal.
“Heh, cari tahu saja sendiri … Aku yakin setelah kau mengetahuinya, kau tidak akan mengganggu atau menyakiti Naz lagi. Karena jika itu terjadi, maka Tante Rahmi sendiri yang akan melempar mu keluar dari rumahnya. Bahkan mencoret mu dari daftar kartu keluarga, mungkin.” Arfin tersenyum kecut melihat ekpresi wajah Raline yang tak sepercaya diri sebelumnya.
“Pintu keluar di sebelah sana, Nona ….” Arfin menunjuk ke arah pintu sembari melempar senyuman manis. Raline yang merasa kesal dan penuh tanda tanya pun segera beranjak pergi.
“Apa mungkin ia mengetahui tentang penyakit ku?” Arfin bergumam dalam hati.
“Ah, tidak mungkin … ia pasti hanya ingin mengganggu hubungan ku dengan Naz saja,” ucapnya kembali berdialog dalam hati.
“Lebih baik aku pulang dan menanyakan benar atau tidaknya soal Papi yang sudah membahas pertunangak ku dengan Naz,” ucapnya lagi.
Ia pun mengambil berkasnya yang tertinggal dan memasukannya ke dalam tas nya, kemudian beranjak pergi untuk pulang. Ia turun dengan menggunakan lift dan langsung menuju perkiran.
Saat hendak memasuki mobil, ada seseorang yang memanggilnya, dan ternyata adalah sopir kantor yang sebelumnya ia beri tugas untuk mengantarkan Naz pulang.
Sementara Raline yang sudah dalam perjalanan pulang terus memikirkan ucapan Arfin.
“Sial, niat ku untuk mengganggunya tapi malah sekarang aku yang terganggu … Argh, rencana ku bisa gagal jika ia tak termakan hasutan ku agar ia putus dengan si anak pungut itu. Aku harus bilang apa pada KaChen ….” Raline yang merasa kesal berdialog sendiri.
Sepanjang perjalanan ucapan Arfin tentang Naz yang akan tinggal di rumahnya dan soal dirinya yang sebenarnya, terus terngiang- ngiang di telinga nya. Ia tak bisa berhenti memikirkan hal itu.
Sesampainya di rumah, ia langsung pergi ke lantai dua menuju kamar Rahmi yang sedang beristirahat karena masih dalam masa pemulihan pasca kecelakaan yang dialaminya tempo hari.
Raline yang sudah mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu, tiba- tiba mengurungkan niatnya karena mendengar Rahmi tengah berbicara dengan seseorang di telpon.
“Iya, Nita … aku mohon tolong izinkan Naz menginap disini ya, aku sangat merindukannya. Dan kemarin dia sudah setuju kok.”
“Terimakasih banyak ya, Nita. Em, rencananya besok aku dan Mas Syarief akan mengajak anak- anak pergi ke puncak. Mas Syarief ada urusan pekerjaan disana dan sekalian kami pergi berlibur, sebentar lagi kan libur sekolah anak- anak selesai.”
“Iya, Nita … Gak akan lama kok, paling dua hari saja. Oh, iya kenapa nomor Naz tidak aktif ya?”
“Oh gitu … yasudah nanti setelah makan malam aku akan meminta Pak Udin unuk menjemput Naz.”
Ceklek ….
Raline membuka pintu dan langsung masuk tanpa menutup kembali pintunya.
“Raline ….” ucap Rahmi dengan raut wajah terkejut.
“Nita udah dulu ya, nanti disambung lagi … Makasih ya, assalamu’alaikum,” ucapnya mengakhiri sambungan telpon. Ia melihat ke arah Raline yang berdiri di hadapannya dengan tatapan kesal.
“Maksud Mama apa mengajak anak haram Papa itu menginap disini?” Raline bekecak pinggang dihadapan Mama nya yang sedang duduk di tempat tidur.
“Namanya Rheanazwa, Raline. Jangan memangilnya seperti itu ….” Rahmi mengoreksi Raline.
“Loh, memangnya kenapa? Itu kan memang identitasnya, lagi pula selama ini aku memangilnya seperti itu. Mama pun tidak pernah protes.”
“Mulai sekarang panggil dia dengan namanya.” Titah beliau.
“Mama kenapa sih? Apa karena kecelakaan kemarin Mama jadi geger otak?” tanyanya merasa semakin heran.
Rahmi menghela nefas sejenak. “Tidak ada yang salah dengan Mama.”
“Terus kenapa tadi aku dengar Mama bicara pada Tante Anita meminta Naz menginap disini dan bahkan akan ikut bersama kita besok ke puncak?” Raline mempertanyakan apa yang disengarnya tadi.
“Iya, memang apa salahnya?” Rahmi mulai merasa kesal dengan sikap Raline yang bicara tanpa rasa hormat pada dirinya.
“Salah besar … aku gak sudi harus tinggal satu atap dengan anak haram walau cuma satu hari.”
“Ini sudah menjadi keputusan Mama. Naz akan menginap disini dan akan ikut bersama kita besok ke puncak, titik.” Rahmi bicara dengan nada tegas.
“Pokoknya aku gak mau anak haram itu ada di rumah ini titik.” Raline tak mau kalah tegas.
“Cukup Raline !! Jangan menghinanya lagi, hati Mama sakit mendengar kamu memnggilnya seperti itu.” Rahmi mulai terisak.
“Mama kenapa sih jadi membela anak haram itu? Apa mama lupa siapa dia, hah?” Raline mulai geram.
“Cukup Raline ….” Pintanya dengan berderai air mata.
“Baik … Aku ingatkan lagi, dia itu anak haram hasil penghianatan Papa dengan wanita murahan itu dan bahkan Papa sendiri tidak menginginkan kehadirannya di dunia ini!” ucap Raline setengah berteriak.
“Diam !!!” bentak Rahmi yang terus menangis. “Huhuhuhu. Hiks hiks … cukup Raline, jangan menghina putriku lagi. Mama sudah sangat bersalah padanya selama ini, huhuhuhu.” Rahmi tak kuasa menahan tangisnya yang pecah begitu saja.
Raline terkejut dengan sikap Mama nya yang tiba- tiba berubah drastis.” Mama membentak ku? Mama membentakku demi dia? Bahkan Mama menangis karena aku menghina anak haram itu?” lirihnya sedih.
“Cukup Raline … hiks hiks, jangan menghinanya lagi, jangan menghina putriku ….”
“Apa? Putri Mama itu aku, bukan anak haram itu!” Raline kembali membentak.
“Dia bukan anak haram … dia purtiku … Rheanazwa putri kandungku… huhuhuhuhu ….” lirihnya sembari menempelkan telapak tangan di dadanya.
“Apa? Sesayang itukah Mama padanya hingga menganggap anak haram itu putri kandung Mama?”
Rahmi pun bangkit dan berdiri. “Dia bukan anak haram … Naz memang putri kandung ku. Dan kamu … kamu lah yang anaknya Mira, dia menukarkan mu dengan Nnaz saat kalian baru lahir …. Huhuhuhuhu.”
Rahmi yang sudah dikuasai emosi tanpa sadar mengatakan kebenarannya pada Raline. Ia membekap mulutnya sendiri, karena baru menyadari hal itu.
Raline kembali terkejut, seakan tersambar petir di siang bolong. Ia membekap mulutnya sendiri, tatapnnya terlihat kosong. Rasa sakit tiba- tiba menusuk ke dalam dadanya yang menimbukan sesak yang teramat sesak. Bibirnya bergetar, tubuhnya terasa lemas hingga kedua kakiknya tak mampu menopang lagi.
Bruk …
Raline dan Rahmi menjatuhkan dirinya ke lantai. Keduanya duduk saling berhadapan dengan satu tangan menahan ke lantai sedangkan satu lagi masih membekap mulut masing- masing. Ingin rasanya mulutnya berucap, namun kalah cepat dengan air mata yang tiba- tiba tumpah begitu saja.
Raline menggelengkan kepalanya beberapa kali secara perlahan. Tak percaya dan berharap ia salah dengar… itulah yang dirasakn Raline. Sementara Rahmi yang berlinang air mata hanya bisa menundukkan kepala dan menempelkan tangan di dadanya.
Hening …
Tiba- tiba ruangan menjadi hening. Keduanya tak mampu berucap apa pun, yang ada hanya suara isak tangis dari keduanya…
“Gak, itu gak mungkin ….” Raline bersuara sembali menggelengkap kepalanya. Ia menempelkan kedua telapak tangannya di lantai dan menundukkan kepalanya.
“Huaaaaaaaaaaa … Huaaaaaaaa ….” Raline menangis sekencang yang ia bisa.
“Raline ….” Syarief yang baru saja datang langsung menghampiri Raine yang menangis histeris. Ia memeluk putrinya, namun Raline berontak dan menangis semakin kencang.
Rahmi yang tak kuasa melihat putrinya seperti itu pun, mendekat pada Raline dan ikut menenangkannya.
“Raline, tenangkan dirimu ….” ucap Syarief yang kewalahan menahan Raline yang terus berontak.
“Huaaaaaaa … Huaaaaaaa …. Mama pasti bohong … aku bukan anak wanita murahan itu, huaaaaaaa ….” Raline terus berteriak dan menangis histeris.
Syarief mentap istrinya. “Ami, kamu sudah mengatakan padanya?” tanyanya panik.
“Maafkan Mama sayang, Mama tidak bermaksud menyakityi mu … maafkan Mama, Nak .…” Rahmi merasa bersalah.
“Huaaaaaaa …. Huaaaaaaaa ….” Raline tak hentinya menangis histeris.
Sayrief terus berusaha menenangkannya, ia mengusap- usap kepala Raline, hingga beberapa saat Raline pun pingsan. Ia dibaringkan di tempat tidur, sementara Rahmi segera menghubungi dokter.
Setelah beberapa saat Raline pun sadar setelah disuntikan obat oleh dokter. Ia disarankan untuk beristirahat dan jangan banyak pikiran.
Syarief pun mengantarkan dokter keluar, sedangkan Rahmi terus menemani Raline yang duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Tatapannya terlihat kosong, namun air mata terus bercucuran.
Terlalu berat baginya untuk menerima kenyataan pahit yang baru diketahuinya. Bagaimana tidak, wanita yang selama ini sangat dibenci dan tidak pernah diperlakukan baik olehnya, ternyata adalah ibu kandungnya sendiri.
“Jadi aku bukan anak Mama?” ucapnya terisak dengan tatapan kosong.
“Kamu tetap anak Mama, sayang … sampai kapan pun tetap anak Mama.” ucapnya lirih.
“Ini pasti hanya mimpi kan, Ma? Bangunkan aku, Ma … Aku gak suka berada dalam mimpi buruk ini … hiks hiks.” Raline masih belum bisa mempercayai keyantaan ini.
“Enggak, sayang … Kamu sedang tidak bermimpi, ini memang kenyataan … Tapi semua itu tak akan merubah kasih sayang Mama sama kamu, Nak … Kamu tetap anak Papa dan Mama, Raline.” Rahmi membelai lembut rmbut panjang Raline.
“Kenapa hidupku selalu dibayang- bayangi oleh Naz? Kenapa dia mengambil semua orang yang ku sayangi?” ucapnya yang terus terisak.
“Dia tidak mengambil apa- apa dari mu, Raline. Justru dia sangat menyayangi mu sama seperti dulu saat kalian masih selalu bersama.”
“Aku selalu berbuat jahat padanya. Dia pasti sangat membenci ku.” Raline tak hentinya berlinang air mata.
“Tidak, sayang … Dia tak pernah membenci mu. Dialah yang berhasil membujuk Mira untuk mendonorkan jantung mendiang suaminya pada mu, dan sebagai gantinya dia bersedia kembali menjadi anaknya Mira dan tinggal bersama nya….”
“Saat itu Mira mengatakan yang sebenarnya pada Naz, tapi dia malah melarang Mira untuk membongkar semuanya pada kita, karena ia memikirkan kesehatan mu. Bahkan, ia sampai rela menerima kebencian Mama demi kebaikan mu, hiks hiks ….” Rahmi menjelaskan panjang lebar.
“Kenapa hidup ini tidak adil untuk ku, Ma? Huuhuhuhu.” Raline masih tak terima.
“Jangan bicara seperti itu sayang … Kamu akan tetap menjadi anak Papa dan Mama, ini semua tak akan merubah apa pun.”
Tok tok tok …
“Siapa?” tanya Rahmi sembali menhapus jejak air matanya.
“Saya Surti, Bu.”
“Masuk Bi Surti….” Ia pun masuk ke dalam kamar majikannya dan menghampiri Rahmi yang sedang duduk diatas tempat tidur menemani Raline.
“Maaf, Bu … di depan sudah ada Pak Udin, katanya diminta Ibu untuk menjemput Non Nanaz.”
Rahmi mengarahkan padangannya pada sang putri. “Jika kamu merasa terganggu dengan kehadiran Naz disni, Mama tidak akan mengajaknya ke rumah ini sekarang.”
“Gak apa- apa Ma, pasti Mama sangat merindukannya kan? Tapi aku belum siap untuk menemuinya. Aku merasa sangat malu karena sudah banyak berbuat salah padanya. Aku butuh waktu untuk menyendiri. Aku ingin pergi ke kamar ku saja, Ma.”
“Enggak, sayang … Mama akan terus menemani kamu.”
“Please, Ma … Biarkan aku sendiri, aku janji tidak akan berbuat hal bodoh. Aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.” Raline memohon pada Mama nya, dan beliau pun tak punya pilihan lain. Akhirnya Raline diantarkan ke kamarnya yang beraada di lantai bawah.
Setelah Rahmi mengantarkan makan malam ke kamar Raline, ia mengunci dan mengurung diri semalaman di dalam kamar. Sementara Rahmi menemani Naz tidur di kamar yang telah disiapkan untuknya.
Bayangan masa lalu terus menari- nari di kepala Raline, saat ia menyakiti Naz untuk memenuhi keinginan Arsen dan karena ketakutan serta keserakahannya. Ia menyakiti dan sering menghina Mira yang ternyata adalah ibu kandungnya. Bahkan bayangan masa kecil saat kebersamaan Naz pun masih melekat di kepalanya.
Rasa bersalah, takut,malu,marah beradik menjadi satu. Membuatnya tak henti meneteskan air mata. ia hanya bisa meratapi nasibnya seorang diri.
Drtt drtt drttt ...
Ia mendengar suara deringan serta getaran dari ponsel yang disimpan di dalam tas nya. Awalnya ia mengacuhkannya, namun ponselnya tak berhenti berdering.
ia pun mengambil ponselnya. Ia terkejut melihat nama si pemanggil ...
"Kak Chen ...." lirihnya menatap layar ponselnya.
-------- TBC --------
****************
Happy Reading .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments