Pembangkang Nanggung

Raline terkejut mendengar ucapan Arsen yang menyatakan seolah ia mengetahui apa yang dilakukan Raline sampai menyebabkan kandasnya hubungan Naz dan Arfin. Rasa bersalah kembali menghantui dirinya yang membuatnya ingin memperbaiki hubungan mereka.

Namun apalah daya, Raline tak mengetahui keberadaan Arfin dimana. Meski ia sudah beberapa kali menghubungi Rezki dan juga kenalannya di Amerika, namun orang itu yakin jika Arfin tidak bersama kakak nya disana. Bahkan Arfin pun tak menghadiri pernikahan Dandy yang merupakan sahabatnya.

Saking terhanyut dalam lamunannya, ia tak menyadari bahwa Arsen sudah pergi meninggalkan rumah ibunya itu. Ia pun masuk ke kamar ibunya untuk berpamitan.

"Tumben, baru saja sampai setengah jam yang lalu sudah mau pulang lagi?” Mira yang sedang melipat pakaian, merasa heran.

Raline duduk berhadapan dengan ibunya di atas karpet dan membantu melipat pakaian yang tersisa.

“Em, aku ada urusan dulu, Bu. Maaf ya aku tinggal, sebentar lagi Elsa juga pulang kok.” Raline merasa tak enak hati meninggalkan ibunya sendirian, walau ia sudah sembuh.

“Raline ….”

“Iya, Bu?” sahut Raline.

“Bukankah pria yang tadi itu anaknya Anita?”

“Iya ….” Raline mengangguk.

“Apa dia mengganggu mu?”

“Enggak kok, Bu. Dia cuman minta tolong aja,” ucapnya tak berterus terang.

“Eh tunggu, Ibu kok tahu kalau Kak Arsen itu anaknya Bunda Anita?” tanya Raline baru menyadari.

“Ibu baru ingat … Dulu beberapa hari setelah pesta ulang tahun di kafe itu, Ibu memperhatikan kamu di sekolah yang sering berbuat tidak baik terhadap Naz. Ibu tidak tega melihatnya selalu di bully oleh teman- temannya. Jadi Ibu berniat menemui Anita dan Rizal untuk memberitahukan hal sebenarnya. Tapi … baru sampai depan gerbang saja, ibu tidak diperbolehkan masuk.”

“Lalu, apa hubungannya dengan Kak Arsen?” Raline nampak bingung.

“Saat itu dia baru pulang sekolah dan turun dari ojek. Akhirnya Ibu meminta tolong padanya dengan meminjam buku dan bolpoin nya. Ibu menulis surat untuk Rizal dan Anita yang isinya memberitahukan kebenaran tentang kamu dan Naz. Ibu menitipkannya pada pria tadi.”

“Apa?” Raline terkejut.

“Iya, Nak.” Mira mengangguk.

“Ibu yakin dia memberikannya pada Bunda dan Om Rizal?” ia kembali bertanya.

“Ibu tidak tahu dia sudah memberikan surat itu atau tidak. Tapi saat melihat Naz yang masih diperlakukan sama oleh kamu dan teman- teman sekolah mu, sepertinya dia tidak menyampaikan surat itu.”

“Apa? Jika Bunda tidak menerima surat itu, berarti dia menyimpannya sendiri dan pastinya sudah membacanya ... Kalau begitu, dia sudah tahu sejak lama tentang hal itu …."

“Tapi ... kenapa dia masih saja terobsesi dengan Naz, walau dia sudah tahu tentang kebenarannya? Tentunya jika mereka berhubungan, bukan hanya akan ditentang oleh Bunda, tapi juga oleh seluruh keluarga.”

“Jadi … selama ini dia mengancam ku, jika tidak mengikuti kemauannya maka dia akan memastikan aku dibuang oleh keluarga ku bisa dengan seyakin itu, karena dia sudah tahu kebenarannya.” Raline terus bergumam dalam hati.

“Raline … hei, kok malah melamun.” Mira menepuk pundak Raline.

“Eng enggak kok, Bu … Aku pulang dulu ya, Bu. Maaf gak bisa nemenin sampai Elsa pulang. Ibu istirahat saja di kamar ya. Aku pamit, Assalamu’alaikum," ucapnya kemudian mencium tangan Ibunya, lalu beranjak pergi.

Karena mobilnya sudah dibawa ke bengkel oleh sopir, terpaksa Raline berjalan kaki untuk sampai ke jalan raya yang berjarak sekitar 400 meter dari rumah Ibu nya.

Tin tin …

Terdengar bunyi nyaring dari suara klakson. Raline tak memperdulikannya, karena ia merasa sudah berjalan di jalur yang benar dan di pinggir jalan.

Tin tin …

Bunyi klakson kembali terdengar. Raline masih tak bergeming, ia berjalan sembari memikirkan hal yang baru ia ketahui dari ibunya hingga membuatnya sangat shock.

Tiiiiiiiiinnnnnn ….

Bunyi klakson pun dinyalakan dengan sangat kencang.

“Hei, apa kau tuli!” seru seseorang dari dalam mobil yang kaca jendela mobilnya diturunkan.

Raline yang mengenali suara orang itu langsung membalikkan tubuhnya. Ia menatap orang itu dengan penuh rasa kesal.

“Mau apa lagi sih?” tanya Raline sewot.

“Tadi kan aku sudah bilang, aku butuh tempat tinggal. Ayok masuk, bantu aku mencari tempat.”

“Aku gak mau … cari saja hotel, apartemen, atau rumah bordirr sekalian untuk kau tidur!”

“Ayok cepat masuk! Kalau tidak, aku akan menelpon Tante Rahmi dan bilang kaulah yang sudah menyebabkan Naz da si pincang itu putus.” Arsen selalu mengeluarkan jurus andalannya, ancam mengancam surancam.

Raline mendengus kesal dan menghentakkan kakinya, karena lagi- lagi ia harus tunduk pada ancaman Arsen. Ia membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya.

“Hei, apa- apaan kau ini. Memangnya aku sopir taksi online? Pindah ke depan!” hardik Arsen.

“Ish … dasar menyebalkan!” Raline menggerutu pelan.

“Aku dengar itu.”

“Bodo amat ….”

“Sudah diam, jangan menggerutu!” Arsen semakin kesal.

Raline mendelik tajam, ia benar- benar merasa jengah pada kelakuan Arsen.

“Kenapa aku bisa mencintai lelaki macam dia? Mulai sekarang aku akan mengubur dalam- dalam perasaan ku padanya, dasar manusia batu, gak punya hati, bisanya ngancam orang aja!” Ia menggerutu dalam hati, lalu memasang sabuk pengaman.

Arsen tak menghiraukan Raline, ia hanya fokus menyetir. Sementara Raline terus menggerutu dalam hatinya dengan menampakan raut wajah kesal, marah, keki pokonya semrawut.

Arsen menghentikan mobilnya dengan menginjak rem mendadak hingga membuat Raline hampir mencium dashboard depan.

“Apa- apaan sih pakai berhenti mendadak segala?” Raline langsung esmosi.

“Kita sudah sampai,” ucap Arsen tanpa menoleh.

“Apa?” tanya Raline heran, ia mengedarkan pandangannya ke depan dan samping.

“Loh, di depan sana setelah tikungan kan rumah ku?”

“Rumah Om Syarief.” Arsen meralat.

“Ck, iya sama saja….” Raline berdecik kesal. “Baiklah kalau begitu, terimakasih sudah mengantarkan ku pulang," ucapnya sembari melepaskan sabuk pengamannya.

“Enak saja pulang.” Arsen menatap tajam.

“Emang … ini kan tempat tinggal ku, berarti aku pulang, dahh.” Raline membuka pengunci pintu, lalu hendak menarik handel nya. Namun Arsen kembali menguncinya lagi.

“Ih, kenapa dikunci lagi sih, Kak?” Raline kembali kesal.

“Kau benar- benar pikun ya!” Arsen bicara semakin ketus.

“Tentu saja tidak … Jelas- jelas di depan sana rumah orang tua ku.” Raline menunjuk ke arah depan.

“Aku bilang aku butuh tempat tinggal!” Arsen kembali mempertegas.

“Hah? Apa? Jadi kau mau menginap di rumah orang tua ku? Dasar idiot, dalam sepuluh detik saja Bunda bisa tahu kalau kau sedang berada disini,”cerocos Raline.

“Kau yang idiot! Tentu saja aku tidak akan ke rumah itu.” Arsen tak mau kalah nyolot.

“Lalu, untuk apa kau membawa ku ke sini, hah?” Raline semakin geram.

“Kau ambil kunci rumah lama mu, aku akan tinggal disana!”

“Apa? Itu lebih idiot, sangat super bego namanya. Gak mau ketahuan Bunda, kok malah mau tinggal di sebelah rumah Bunda ….”

“Sudah cepat sana ambil kunci rumahnya!!”

“Enggak ….” Raline menolak.

“Baiklah, aku akan menelpon Tante Rahmi.” Arsen mengambil ponsel dari dalam saku jaketnya.

“Iya iya… Dasar monster pengancam!” Raline langsung turun dari mobil setelah Arsen membuka pengunci pintu otomatisnya.

“Ganti baju mu, pakai jaket dan topi!” Arsen kembali memberi perintah.

Jebred …

Raline menutup pintu dengan keras saking kesalnya. Ia berjalan menuju pintu gerbang rumahnya sembari menggerutuki dirinya sendiri.

”Dasar bodoh bodoh bodoh … Kenapa selama ini aku begitu tunduk pada monster gila super ambisius itu. Cinta memang membutakan segalanya … bodoh bodoh bodoh ….”

“Salah saya apa, Non? Sampai dikatai bodoh?” tanya satpam yang menjaga di depan pintu gerbang.

“Diam kau! aku tidak bicara pada mu. Cepat buka pintu gerbangnya!” Raline malah membentak satpam itu.

“Iy iya, Non.” Ia pun segera membukakan pintu gerbangnya.

Raline bergegas masuk ke dalam rumah dan mencari salah satu ART di rumah itu yang biasanya bertugas membersihkan rumah lamanya. Ia kemudian meminta kunci rumah dan menyuruh ART itu menutup mulutnya. Tentunya dengan ancaman akan dipecat kalau sampai hal itu bocor apalagi dilaporkan pada orang tuanya. Sepertinya Raline banyak belajar dari Arsen soal ancam mengancam.

Ia pergi ke kamarnya berganti pakaian. Tak lupa ia memakai jaket dan topi sesuai yang dikatakan Arsen. Ia pun keluar lagi dan kembali menemui Arsen yang memarkirkan mobilnya setelah tikungan jalan.

Tok tok tok …

Raline mengetuk jendela kaca pintu mobil Arsen.

Arsen menurunkan kaca tersebut. “Ayo masuk!”

“Apa? Bukannya hanya butuh kunci rumah saja.”

“Masuk!” titahnya dengan setengah berteriak.

Raline kembali mendengus kesal.

“Dasar bodoh, pantas saja dia menyuruhku berganti pakaian. Ternyata aku masih harus ikut bersamanya. Sial .…” Raline kembali menggerutu dalam hati.

Ia pun terpaksa mengikuti perintah Arsen, masuk lagi ke dalam mobilnya.

Setelah beberapa saat, mereka pun sampai di parkiran sebuah supermarket.

“Untuk apa kita ke sini?” tanya Raline merasa heran.

“Memangnya di rumah lama mu tersedia makanan?” bukannya menjawab, Arsen malah balik bertanya.

“Hufh …”

“Ayo turun!” titahnya, Raline pun turun mengikuti Arsen masuk ke dalam supermarket itu.

Ia mendorong sebuah troli lalu mengisinya dengan beberapa jenis makanan siap saji, sayuran, buah, roti, selai, saus, makanan ringan dan minuman kaleng serta kemasan botol.

“Cih, punya banyak uang dan bisa belanja sebanyak ini gak mau menginap di hotel. Malah cari tempat gratisan.” Raline menggerutu kesal saat kembali masuk ke dalam mobil.

“Aku dengar itu!” ucap Arsen tanpa melirik sedikit pun pada Raline.

“Kalau dengar kenapa masih mau tinggal di rumah lama ku?” Raline mencebikan bibirnya.

“Tentu saja untuk bisa melihat Naz dari jarak dekat.”

“Apa?” Raline kembali terkejut saat mengetahui niat Arsen di balik ingin tinggal di rumah lamanya. “Cih, melihat mobil mu parkir di sana saja, pasti Bunda tahu itu adalah kau.”

“Kau pikir aku sebodoh itu?”

“Emang.”

“Aku bertukar mobil dengan teman ku.”

“Oh, pantas saja. Jadi semua ini sudah direncanakan. Dasar licik!”

“Cerewet!” Arsen kembali melajukan mobilnya.

Tak lama, mereka pun sampai di komplek perumahan tempat tinggal lama Raline yang bersebelahan dengan rumah Anita.

Saat sampai di depan pintu gerbang, Raline membukakan pintu gerbang lalu membuka pintu garasi. Arsen pun segera memasukan mobilnya kesana.

Arsen dan Raline membawa barang belanjaannya ke dapur. Mereka menyimpan semuanya ke dalam lemari pendingin, kecuali roti dan makanan ringan.

Kini keduanya tengah duduk di kursi ruang tengah dan Raline menyalakan televisi. Dan meletakan kantong kresek makanan ringan di atas meja.

“Aku lapar,” ucap Arsen.

“Ya makan lah.” Raline tak memperdulikannya.

“Buatkan aku makanan!” Arsen kembali mengeluarkan perintah.

“Oh astaga, itu di dalam kantong kresek banyak makanan ringan. Tinggal makan apa susahnya, ribet amat!” Raline menunjuk ke arah kantong kresek yang disimpan diatas meja.

“Masak sana!”

“Tidak ada gas!” Raline beralasan.

“Di dapur ada kompor listrik!” Arsen rupanya sudah memeriksa saat di dapur tadi.

“Masak saja sendiri, aku tidak bisa masak!” Raline terus menolak perintah Arsen.

“Tinggal masak ramen instan saja pakai sayuran, masa tidak bisa?”

“Yasudah sana masak sendiri. Aku mau pulang, nanti mama mencari ku.” Raline mematikan televisinya.

“Siapa yang menyuruh mu pulang?” Arsen menahan Raline.

“Maksudnya? Aku harus tinggal disini menemani mu? Jangan gila!” Raline mendelik kesal.

“Masak dulu baru pulang!”

Raline yang sudah merasa sangat muak, bangkit dari duduknya. Dengan perasaan kesal yang memuncak ia melangkahkan kaki nya ke arah dapur.

“Kalau masakannya tidak enak, jangan harap kau bisa pulang!” teriak Arsen sembari duduk santai dengan mengangkat kakinya ke atas meja.

“Argh, sial … menyesal tadi aku tidak membeli racun tikus sekalian.”

Raline pun memasak apa yang diinginkan Arsen. ia menyajikannya lengkap dengan minuman kaleng yang diambilnya dari lemari pendingin.

“Nih, sudah selesai. Aku mau pulang, sebentar lagi magrib.”

“Hmmm ….” Arsen tak menghiraukannya dan lebih memilih menyantap makanannya.

“Terimakasih kek, hmmm doank. Dasar tempurung kura- kura.” Raline menggerutu kesal dalam hatinya. Ia pun beranjak pergi.

“Hei, tunggu!” Arsen menghentikan langkah Raline.

“Apalagi ?!” Raline menghentakkan kakinya.

“Besok pagi kau harus sudah ke sini untuk mengantarkan sarapan untukku.”

“Besok aku harus sekolah.”

“Sebelum ke sekolah bisa kan ke sini dulu.”

“Tapi ____” Raline terus mencari alasan.

“Aku tidak mau tahu!”

Raline sudah berada di puncak kekesalannya. Ia pergi dengan kembali mengenakan topi dengan menggulung rambutnya kedalam topi tersebut. Lalu ia memasangkan kerpus dari jaketnya dan keluar dari rumah itu.

“Heh … sepertinya sekarang kau sudah menjadi pembangkang ya, Raline. Tapi sayang, masih takut dengan ancaman ku. Ckckck, pembangkang nanggung … dasar bodoh!” Arsen berdialog sendiri dengan tersenyum kecut.

------------------TBC------------------

*****************************

Happy Reading ....

Terpopuler

Comments

Murif Lestari

Murif Lestari

mantap

2021-07-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!