Pukul setengah enam pagi, tak biasanya Raline sudah berangkat ke sekolah. Ia beralasan belum mengerjakan tugas dan ia pun membawa bekal makanan untuk sarapannya. Lebih tepat untuk sarapan Arsen. Sebenci dan sekesal apa pun ia pada Arsen, tetaplah tidak tega jika membiarkannya kelaparan.
“Padahal kemarin sudah membeli banyak makanan … Tapi tetap saja minta dibawakan sarapan ... Heh, mungkin dia kemarin lupa gak beli beras.” Raline berdialog sendiri sembari melihat kotak bekal yang sudah disiapkan oleh ART nya di dalam godie bag.
Raline meminta sopirnya untuk parkir dan menunggunya di lapangan tempat bermain, agar Anita atau Naz tidak akan menyadari keberadaannya di rumah itu. Ia pun memakai topi dan jaket krepus agar tidak akada yang mengenalinya.
Raline masuk melalui gerbang utama dengan mengendap- endap seperti maling sembari menenteng godie bag berisi makanan.
Ting nong … Ting nong …
“Ih, kemana sih? Jangan- jangan dia belum bangun lagi … mana aku cuma bawa kunci serep gerbang aja, gara- gara tadi buru- buru berangkatnya.” Raline kembali memencet bel sambil melihat kesana kemari, namun Arsen tak kunjung membukakan pintu.
Raline memegang pegangan pintu, dengan reflex ia mendorongnya.
Ceklek …
Tiba- tiba pintunya terbuka.
“Loh, kenapa pintunya tidak dikunci … tahu gitu dari tadi tinggal masuk aja.” Raline pun masuk ke dalam rumah dan kembali menutup pintunya.
“Ya ampun, kenapa ruangan ini gelap gini, gorden nya juga gak dibuka.” Raline membuka gorden yang menutup jendela kaca ruang tamu juga jendela kaca yang menghadap ke halaman samping.
“KaChen … ini aku Raline, kamu dimana? Aku bawain sarapan nih ….” Raline memanggil Arsen, namun setelah ia berjalan melewati ruang tamu, ruang tengah, ruang ,makan hingga dapur tak menemukan keberadaan Arsen.
“Dia kemana sih? Apa masih tidur kali ya? Eh tapi … dia tidur di kamar mana ya?”
Raline memeriksa semua kamar yang ada di lantai bawah, namun tak menemukan keberadaan Arsen. Ia pun menaiki tangga menuju ke lantai dua dengan godie bag yang masih ditentengnya.
Langkah nya terhenti usai melewati pijakan tangga terakhir saat melihat dari kejauhan pintu kamar yang sedikit terbuka.
“Hmm, ternyata dia tidur di kamar ku. Dia masih menyukai teman bermain kami dulu.” ucapnya tersenyum sembari melangkah kan kakinya menuju kamar paling ujung yang terletak di sisi paling kanan.
Jika dilihat dari luar, itu adalah kamar depan yang mana dari jedela kacanya bisa melihat jelas ke jendela kamar Naz.
“Ayah, tolong buka pintunya … jangan kurung aku, disini gelap, Ayah … aku takut.”
Raline mendengar suara orang yang memohon dan ia yakini itu adalah suara Arsen. Ia langsung berlari menuju kamar itu.
Betapa terkejutnya ia melihat kondisi Arsen yang tergeletak di lantai dengan menekuk tubuhnya dan memeluk kedua kakinya yang di tekuk pula.
“KaChen ….” teriaknya dan langsung menghampiri Arsen. Raline pun duduk di lantai tepat di depan Arsen tergeletak.
“Tolong buka pintunya, Ayah … jangan kurung aku di gudang. Di sini gelap sekali, aku takut ….” Arsen yang masih memejamkan matanya terus mengigau dengan tubuh yang menggigil.
“KaChen bangun … buka mata mu … ini aku Raline. KaChen bangun ….” Raline menepok pipi Arsen untuk membangunkannya.
Ia melihat sekelilingnya yang ternyata ruangan itu memang gelap. Ia semakin panik saat menyentuh kening Arsen yang suhunya panas.
“Ya ampun, kenapa ruangan ini gelap? KaChen pobia dengan tempat gelap … gimana ini? Mana badannya panas ….” Raline langsung panik karena takut terjadi sesuatu pada Arsen.
Ia segera bangkit dan menekan stop kontak untuk menyalakan lampu. Namun setelah berkali- kali di tekan on- off nya, lampu di ruangan itu tidak menyala. Ia lalu membuka gorden yang menutupi jendela kaca kamarnya, sehingga ruangan itu nampak terang.
Raline yang sangat panik melihat kondisi Arsen yang terus menggigil dan tak hentinya mengigau, merasa kebingungan harus minta tolong pada siapa. Ia pun tak mungkin mampu mengangkat tubuh Arsen seorang diri.
Ia menghela nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. Diambil lah ponsel dari dalam tasnya dan segera mencari nomor kontak sopirnya. Dengan segera ia mendial nomor itu dan menempelkan ponsel pada telinganya.
Tuut … tuut …
Panggilan pun telah tersambung.
“Ayo dong Pak Budi, angkat telponnya ….” Raline tak bisa berhenti panik. Dan saat terdengar suara orang di seberang sana mengangkat telponnya, Raline langsung nyerocos.
“Hallo, Pak Budi lama banget sih angkat teponnya. Gak tahu apa orang lagi panik. Cepetan sekarang juga samperin aku ke sini. Kak Arsen pingsan dan tubuhnya panas banget!”
“Apa? Arsen pingsan?” tanya orang diseberang sana.
Deg …
Betapa terkejutnya ia mendengar suara orang tersebut. Raline melihat layar ponselnya, dan disana tertera nama Bunda Anita. Ia membekap mulutnya sendiri.
“Astaga … kenapa aku menelpon Bunda?” Raline bergumam dalam hati.
Mungkin saking paniknya, ia sampai tak menyadari bahwa nomor kontak yang ia tekan adalah bunda Anita bukan Budi sopirnya.
“Hallo, Raline … kamu teh tadi bilang Arsen pingsan? dimana pingsannya? Kamu teh lagi bersama Arsen? Kamu sekarang dimana?” Anita yang terdengar panik terus bertanya.
”Aduh, bagaimana ini? Aku harus bilang apa sama Bunda?” Raline hanya bisa bergumam dalam hati.
“Raline .…” bentak Anita.
“Iy iya Bunda … Eng, aku ... em itu … anu."
“Kamu teh kalau ngomong yang jelas atuh!”
“Aduh, gak ada jalan lain selain memberitahukan Bunda tentang keberadaan kami. Kalau terus dibiarkan, KaChen sakitnya bisa tambah parah.” Raline kembali berdialog dalam hati, ia menghela nafas panjang untuk berbicara pada Anita.
“Bunda, sebenarnya KaChen ada di rumah lama. Semalam dia menginap disini, tapi barusan saat aku kesini dia pingsan dan badannya panas.”
“Apa? di rumah lama siapa?”
“It itu Bunda … rumah lama tempat tinggal ku dulu bersama mama- papa.”
“Maksudnya rumah yang di sebelah?”
“Iy iya, Bunda.”
“Apa? Jadi Arsen dan kamu teh ada di rumah sebelah?”
“Iy iya, Bunda.”
“Kenapa kalian bisa di sana?” Anita terus menodong Raline dengan beberapa pertanyaan.
“Emm, ceritanya panjang Bunda. Sebaiknya Bunda sama Om Ijal kesini sekarang. Aku khawatir banget, KaChen wajahnya pucat.”
“Iya iya, Bunda ke sana sekarang.” Anita pun langsung menutup sambungan telponnya.
“Oline, tolong aku … bujuk Ayah agar tidak mengurungku di tempat gelap ini. Aku takut ….” Arsen tak hentinya terus mengigau.
“KaChen …. Aku disini …” Lirihnya sedih, ia melepaskan tangan Arsen dari kakinya dengan perlahan. Ia lalu menggenggam tangan Arsen yang terus menggigil itu.
Raline mengangkat kepala Arsen dan membaringkannya di pangkuannya. Raline terus mengusap- usap kepala Arsen untuk menenangkannya agar ia tidak merasa ketakutan lagi.
“Aku disini KaChen … aku tidak akan meningalkan mu sendiri,” ucapnya terisak.
Sekesal apa pun ia pada Arsen, tetap tak tega melihatnya dalam kondisi seperti itu. Ucapan Arsen mengingatkan Raline pada masa kecil mereka, dimana Arsen yang selalu menolongnya dan menjadi pahlawan baginya. Namun, saat Arsen dihukum oleh ayahnya, ia tak bisa menolongnya. Sampai Arsen mengalami trauma hingga kini.
“Maafkan aku, KaChen … maafkan aku … hiks hiks… aku akan kesalahan ku pada mu, hiks hiks.”
Tiba- tiba ponselna berdering, dan saat ia melihat layar poselnya tertera nama si pemanggil Budi sopir. Raline menghapus air matanya dan mengangkat panggilan telpon tersebut.
“Halo, Pak Budi … sekarang juga ke sini ya, aku butuh bantuan.”
“Baik, Non.”
Raline menutup sambungan telponnya dan menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku baju seragamnya.
Tak lama Anita pun datang bersama Rizal yang membawa tas yang berisi alat pemeriksaan yang biasa dibawa oleh seorang dokter ketika hendak memeriksa keadaan pasien.
Bersamaan dengan itu, Budi pun datang. Ia dan Rizal mengangkat Arsen dan membaringkannya di tempat tidur. Rizal pun dengan segera memeriksa keadaan Arsen.
“Raline, sejak kapan Arsen demam seperti ini?” tanya Rizal usai menyentuh kening Arsen.
“A aku gak tahu, Om. Aku juga baru datang, dan rumah ini dalam keadaan gelap. Kayaknya listriknya bermasalah, Om.”
“Gelap?” tanya Anita dan Rizal serentak. Keduanya menatap Raline.
"Iya." Raline mengangguk.
“Semalam kan ada pemadaman listrik dan baru nyala dini hari. Ya ampun, berarti Arsen seperti ini dari jam delapan malam,” ucap Anita lalu membekap mulutnya membayangkan anaknya ketakutan semalaman.
Rizal menempelkan termometer digital pada ketiak Arsen. Ia memandang wajah Arsen dengan tatapan sendu dan rasa bersalah. Ia sadar betul, trauma yang dialami oleh Arsen adalah karena perbuatannya saat Arsen masih kecil. Dan ia tak menyangka bahwa akibat hukuman yang ia berikan dulu, dampaknya berkepanjangan hingga kini.
“Maafkan Ayah, Nak ….” Lirihnya dalam hati.
Nit nit nit …
Suara thermometer membuyarkan lamunan Rizal, ia segera mengambil thermometer tersebut dan melihat hasilnya.
“Gimana Yah?” tanya Anita cemas.
“Demamnya tinggi, sampai 38,7. Kalau gak turun- turun sebaiknya di cek lab. Takutnya dia terkena DBD atau Typus.”
“Ya ampun tinggi banget, Om … Tadi juga dia terus mengigau," ucap Raline yang terlihat begitu cemas.
Rizal merasa semakin bersalah pada putranya itu.
"Ayah ambil obat dulu di rumah,” ucapnya membereskan peralatan lalu bangkit dan beranjak pergi. Nampak ia menyeka air matanya.
Anita duduk di pinggiran tempat tidur. Ia mengusap lembut kepala putranya.
“Ngapain atuh kamu teh tidur disini? Tinggal ke rumah sendiri apa susahnya, nak.” ucapnya dengan tatapan sendu.
“Dia sudah tahu soal putusnya Naz, Bunda. Katanya kalau Bunda tahu dia disini, Bunda tidak memperbolehkanya bertemu dengan Naz karena melanggar perjanjian.” Raline memberitahukan Anita.
“Ya Allah … sampai kapan atuh kamu teh terus mengharapkan Naz …. Sakit hati Bunda harus menyakiti mu seperti ini, Arsen. hiks hiks … Bunda teh sayang sama kamu, kapan kamu akan mengerti dan sadar … hiks hiks.”
“Bunda ….” Raline mengusap bahu Anita.
Anita segera menghapus air matanya. Ia mengarahkan pandangannya pada Raline.
"Kamu lagi Raline, kenapa gak bilang sama Bunda kalau Arsen ada disini?”
“It itu, eng … soalnya KaChen sendiri yang meminta ku untuk tidak memberitahukan siapa pun kalau dia ada disini?” Raline menjawab dengan gelagapan.
“Terus, ngapain dia ada di Jakarta?” Anita kembali bertanya.
“Eng … katanya KaChen mau tinggal disini selama seminggu. Soalnya mau nyari tempat magang.”
“Apa? Dia mau magang di Jakarta?” Anita terkejut mendengarnya.
“Eng engak, Bunda. Katanya mau magang di Bandung.”
“Apa? Magang di Bandung nyari tempat di Jakarta? Kamu teh bicara yang bener atuh, kok gak jelas gitu?” gerutu Anita.
“Tapi, emang gitu kata KaChen nya juga. Ak aku aja bingung. Dia bilang mau tinggal disini seminggu sekalian nyari tempat magang oleh temannya.”
“Hmm, kalau gitu mah dia cuman mau bermalas- malasan di sini. Sedangkan temannya yang mencari tempat magang. Dasar anak itu!” Anita menngelengkan kepalanya lalu mengela nafas berat.
“Sudahlah, kamu ambilkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres Arsen. Bunda akan menemani Arsen di sini.”
“Iya Bunda.” Raline pun segera melaksanakan tugas dari Anita.
“Saya gimana, Bu?” tanya Budi dengan polosnya.
“Kamu teh siapa?” Anita seolahbaru menyadari keberadaanBudi disana. Padahal tadi kan dia yang membantu Rizal mengangkat Arsen.
“Saya kan sopirnya Non Raline, Bu. Hehe ….”
“Oh iya saya lupa … Tolong belikan bubur ayam yang ada di depan gerbang pintu utama perum, ya.”
“Baik, Bu.” Budi mengangguk.
“Oh iya, pakai uang kamu dulu ya. Saya gak bawa dompet, nanti saya ganti.”
“Siap, Bu … saya permisi dulu, Bu.” Budi pun beranjak pergi.
Tak lama Raline datang dengan membawa air hangat pada baskom kecil dan sapu tangan. Karena hanya sapubtangan yang ia temukan. Anita segera mengompeskannya pada dahi Arsen.
Rizal pun datang dengan membawa obat- obatan dalam sebuah tas. Karena Arsen yang masih belum sadar, Rizal pun menyuntikan obat untuk meredakan demamnya.
“Ayah berangkat saja, biar Bunda yang menjaga Arsen di sini. Bukannya tadi teh bilang mau berangkat pagi- pagi, karena jam 8 nanti ada jadwal operasi.”
“Baiklah, nanti setelah Arsen sadar berikan obat ini padanya. Kalau ada apa- apa, langsung hubungi Ayah ya.” Rizal memberikan obat dan vitamin pada Anita.
“Iya, Yah.” Anita mencium tangan suaminya, dan Rizal pun dengan berat hati terpaksa meninggalkan putranya yang belum sadarkan diri.
“Raline, kamu juga sebaiknya berangkat ke sekolah.”
“Enggak Bunda, aku disini aja menemani Bunda. Lagi pula ini sudah jam tujuh lebih dan percuma kalau berangkat juga akan kesiangan.”
“Nanti orang tua mu bisa marah atuh kalau tahu kamu bolos untuk menjaga Arsen.”
“Enggak apa- apa, Bunda. Cuman sehari ini aja kok ….”
“Sehari apa? Tiga minggu lalu kamu bolos beberapa hari untuk merawat Ibu mu yang sakit. Masa sekarang kamu bolos lagi.”
“Tenang aja Bunda, aku udah kirim pesan ke wali kelas ku kalau aku izin tidak masuk.”
Anita mendengus pasrah. “Yasudah atuh kalau kamu memaksa … Em, bagaimana kalau kita ngobrol di luar supaya tidak menganggu tidur Arsen.”
“Iya, Bunda.“
Keduanya pun keluar dari kamar tempat Arsen tidur. Mereka duduk di ruangan dekat tangga yang terdapat sofa dengan later L dan menghadap ke televisi.
“Raline ….”
“Iya, Bunda,” sahut Raline.
“Kenapa kamu teh tidak memberitahukan Bunda tentang Arsen yang ada di sini? bukankah kita sudah sepakat untuk bekerja sama menjauhkan Arsen dari Naz? Kalau begini mah sama saja kamu mendukung dia untuk mendekati Naz lagi.”
“Ak aku minta maaf Bunda. KaChen kembali mengancam ku dan melarangku agat tidak memberitahukan siapapun tentang keberadaannya di sini,” ucapnya menundukan kepala karena merasa bersalah.
“Apa hanya karena itu?” tanya Anita penasaran.
“Hah? Ma maksud Bunda?” Raline menegakkan kepalanya.
“Raline, Bunda juga seorang wanita dan tentunya bisa memahami apa yang kamu rasakan.”
“Ma maksud Bunda?” Raline semakin bingung dibuatnya.
“Apa kamu mencintai Arsen?” Anita langsung pada intinya.
“Ap apa? He-he-he … Bunda jangan mengada- ngada.” Raline gelagapan dan terlihat kikuk.
“Bunda gak mengada- ngada, tapi bunda teh tahu kalau sejak kecil kamu teh pengen menikah sama KaChen mu itu, kan.”
“It itu pasti Naz yang bilang ya?”
“Iya.” Anita mengangguk.
“Ya ampun, Bunda … namanya juga masa kanak- kanak, pastinya omongannya suka ngasal. Bunda gak usah menganggap hal itu serius.” Raline tak mau mengakui.
Anita mengenggem tangan Raline dan menatapnya dengan lekat. “Raline, bunda teh tanya sekali lagi. Apa kamu teh benar- benar mencintai Arsen?”
“Bu Bunda ….” Raline semakin gugup.
“Jawab Raline … Bunda teh yakin jika selama ini kamu tunduk dan mau mengikuti apa pun yang diperintahkan oleh Arsen, bukan semata- mata karena kamu takut dengan ancamannya. Tapi karena kamu teh mencintainya, iya kan?”
Raline tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Anita yang seolah menodongnya untuk mengaku. Rasa terkejut dan bingung menerpa dirinya, karena memang itulah kenyataannya.
Namun ia tak mau orang lain mengetahui tentang perasaannya itu, termasuk Arsen sendiri. Ia hanya terdiam membisu lalu menundukkan kepalanya.
“Raline ... Jika kamu benar- benar mencintainya. Tolong bantulah dia untuk berubah. Bantu dia untuk sadar. Bantu dia untuk melupakan perasaannya terhadap Naz.” Anita memohon dengan terisak.
“Bunda ….” Raline menegakkan kepalanya dan membalas tatapan Anita.
“Bunda minta tolong, Raline. Hanya kamu yang mengetahui Arsen seperti apa, dan hanya kamu yang bisa memahami nya,” ucapnya penuh harap dengn liangan air mata.
“Bunda ….”lirihnya dengan mata yang berkaca- kaca.
“Bunda janji, akan membantu mu untuk memperjuangkan cinta mu,” ucap Anita dengan penuh keyakinan.
“Tapi Bunda … Di hati KaChen hanya ada Naz, dia tidak menyukai ku. Apalagi setelah dia tahu kalau aku lah anaknya Bu Mira.” Raline kembali menundukkan kepalanya.
“Justru karena itu … karena kamu tidak ada hubungan darah dengannya, maka kamu bisa menjadi pasangannya. Bunda janji akan membantu mu, Raline.”
“Tapi bunda aku ______ “ ucapan Raline terhenti saat mendengar langkah kaki seserorang yang mendekat ke arah meeka.
----------- TBC -----------
********************
Happy Reading ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Murif Lestari
lanjut teteh
2021-07-28
0