Hari ini merupakan peringatan tujuh harian meninggalnya Mira. Raline dan Elsa izin tidak masuk sekolah. Pagi- pagi sekali mereka sudah pergi ke tempat pemakaman umum dengan membawa tiga karangan bunga, satu keranjang bunga untuk ditabur beserta tiga botol air mawar.
“Assalamu’alaikum Ayah...." sapa Raline pada makam sang ayah. Ia berjongkok di dekat batu nisan yang tertera nama dan tanggal lahir serta tanggal meninggal ayahnya.
“Aku Raline, putri tertua mu …maaf baru kali ini menemui mu," ucapnya terisak. Ia sudah berusaha agar tidak menangis di pusara ayahnya itu, namun ia tak bisa menahannya lagi.
“Kakak… kan sudah janji gak akan nangis.” Elsa mengusap bahu kakaknya.
“Maaf Elsa …” ucapnya yang segera menghapus air matanya.
Elsa menyiramkan kan air mawar, sedangkan Raline menaburkan bunga. Ia meletakan karangan bunga di dekat batu nisan ayahnya. Raline memeluk batu nisan tersebut dengan penuh perasaan.
“Terimakasih ayah, kau telah memberiku kehidupan baru. Aku janji akan membuat ayah bangga pada ku dan aku akan menjadi kakak yang baik sekaligus orang tua untuk Elsa. Aku menyayangi mu, Ayah,” ucapnya lalu mencium batu nisan ayahnya.
Raline dan Elsa pun melakukan hal yangs ama pada kuburan Mira dan Eris. Seusai mereka memanjatkan doa, keduanya pun beranjak pergi meninggalkan TPU tersebut.
Seusai acara tahlilan, Rahmi dan Syarief membujuk Raline untuk kembali tinggal di rumah mereka, namun Raline terus menolaknya.
“Mama mohon, sayang … Mama gak bisa tenang kalau membiarkan mu tinggal disini. Apalagi, kalian seorang gadis remaja."
Raline nampak memikirkan sesuatu. Ia baru teringat akan kerjasama nya dengan Anita.
"Baiklah, aku akan tinggal di rumah Mama,asalkan Naz juga tinggal disana," ucapnya memberi syarat.
“Apa? Itu gak mungkin, Raline … Walau sebenarnya Mama menginginkan hal yang sama, tapi Anita tak akan mengizinkannya.”
“Aku gak mau tahu, kalau Mama berhasil membujuk Naz tinggal disana, barulah aku bersedia meninggalkan rumah ini.” Raline kekeuh dengan syaratnya.
Rahmi mendengus pasrah. Tak mungkin hanya demi memenuhi keinginan Raline, ia harus memaksakan kehendaknya pada Naz. Belum lagi ia harus menjaga perasaan Anita yang begitu menyayangi Naz.
“Tapi, bagaimana caranya?” tanya Rahmi bingung.
“Em … sebentar lagi kan kami ujian semester untuk kenaikan ke kelas tiga. Mama bisa menjadikan itu alasan untuk mengajari Naz dan belajar bersamaku. Lagi pula kan jika kami sudah kelas tiga nanti, harus bersiap menghadapi ujian nasional.” Raline memberi ide.
**
Keesokan harinya, Rahmi datang menemui Naz dan Anita untuk meminta Naz tinggal bersamanya dengan alasan yang disebutkan Raline. Anita menyerahkan keputusannya pada Naz. Ternyata ia mengajukan syarat jika Rahmi ingin Naz tinggal di rumahnya, maka Raline dan Elsa harus tinggal bersamanya juga disana.
Rahmi pun setuju, begitu juga Anita. Karena ia menyadari, Arsen yang sebentar lagi menyelesaikan kuliahnya pasti akan segera kembali tinggal di Jakarta. Sehingga akan lebih baik mengungsikan Naz ke rumah oang tua kandungnya.
**
Satu tahun telah berlalu, banyak perubahan yang terjadi pada diri Raline. Ia yang dulunya sangat manja, egois, keras kepala, kekanak- kanakan dan pemalas serta kerjaannya keluyuran dan belanja saja. Kini menjadi lebih dewasa, penyayang, penyabar dan rajin belajar. Bahkan ia sudah tak pernah bolong- bolong shalat atau puasa wajib lagi, selain sedang berhalangan.
Mungkin dirinya menyadari, jika ia tak pantas berbuat seenaknya, karena ia dan adiknya kini hidup dari belas kasihan keluarga asuhnya.
Ia pun selalu belajar bersama Naz, dan juga sering ikut belajar memasak, saat Rahmi mengajarkan Naz di dapur. Dan di sekolah pun ia sudah bisa masuk ranking sepuluh besar karena kesungguhannya dalam belajar.
Raline memenuhi janjinya untuk menjaga Naz dan menjauhkannya dari Arsen, hingga ia kembali lagi bersama Arfin. Dan bahkan Naz tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Arfin. Raline pun banyak membantu Naz dalam beberapa hal. Termasuk selalu menemaninya kemana pun ia pergi.
Namun sayang, satu setengah bulan sebelum pernikahan Naz, terjadi sesuatu diluar dugaan. Arsen yang sebelumnya tidak diberitahukan tentang pernikahan Naz, tiba- tiba datang dan murka pada Anita hingga menyebabkan Anita terkena serangan stroke. Arsen yang setelah mengamuk pergi begitu saja, tidak mengetahui hal yang menimpa bundanya itu.
Bukan hanya itu, keesokan harinya Arsen yang sudah dikuasai amarah hampir memperkosa Naz, saat ia datang sendirian ke rumah Anita yang sedang sepi. Beruntung ada Bagas, anaknya tetangga Anita menyelamatkan Naz. Sampai terjadi baku hantam, apalagi saat Arfin datang dan mengetahui hal itu. Ia hampir membunuh Arsen dengan menghajarnya secara membabi buta.
Beruntung hal itu bisa dihentikan oleh Rizal, Hardi dan beberapa tetangga yang melerai perkelahian mereka. Dan Naz pun mampu menghentikan serangan Arfin yang bernafsu ingin membunuh Arsen.
Hal itu membuat Raline membongkar semua kejahatan Arsen dan dirinya terhadap Naz selama ini. Setidaknya itu bisa membuat dirinya merasa sedikit lega, karena telah mengakui semua kesalahannya di masa lalu, dan membongkar kedok liciknya Arsen.
**
Kini Raline dan Arsen berada dalam mobil di sebuah parkiran rumah sakit tempat Anita dirawat. Hardi dan Rizal sudah masuk lebih dulu, sedangkan Raline meminta waktu untuk bicara dengan Arsen. ia duduk di kursi kemudi, sedangkan Arsen di jok sebelahnya.
“Apa kau puas sekarang?” Arsen yang merasa kesal dan geram pada Raline, memulai pembicaraan.
“Ya … Aku lega akhirnya bisa mengakui kejahatan yang sejak kecil aku lakukan pada Naz. Dan akhirnya dia tahu siapa dalang dari semua itu.” Raline bicara tanpa menoleh sedikit pun pada Arsen.
“Kau dan Bunda sama saja, kalian terus berusaha menjauhkan ku dari Naz.” Arsen sama sekali tak menunjukan rasa penyesalannya.
“Bukan aku atau Bunda. Tapi dirimu sendiri yang membuat mu jauh dari Naz …” Raline mencoba untuk tidak terlihat takut sekuat mungkin.
“Kau pikir dengan mengekangnya dan menjadikannya bergantung pada mu akan membuat Naz mencintai mu? Tidak …” Raline tersenyum kecut.
Raline mengalihkan pandangannya pada wajah Arsen yang masih terlihat babak belur.
“Lihatlah dirimu, sangat jauh perbandingannya dengan Kak Arfin … Ia mencintai Naz dengan tulus, dan selalu menjaga perasaan Naz. Dia benar- benar bisa melindungi Naz dari apa pun, termasuk dari kejahatan mu yang hampir menodai Naz.”
“Kau hanya seorang pecundang, pengecut yang licik dan beraninya hanya main ancam … Jangankan Naz, wanita mana pun tak akan mau dengan lelaki seperti mu.” Raline tsh kentinya mengeluarkan uneg-uneg.
“Diam kau!” bentak Arsen merasa geram. Ia menatap Raline dengan tatapan tajam.
“Sadarlah … lupakan Naz, buang jauh- jauh perasaan terlarang mu itu … Di hati Naz hanya ada satu orang, yaitu kak Arfin. Bahkan mereka tinggal satu langkah lagi menuju pernikahan yang merupakan impian kebahagiaan dari mereka berdua.”
Arsen membuang muka. “Aku tidak perduli. Bagaimana pun caranya, aku akan menggagalkan pernikahan mereka.”
“Jika kau tidak perduli pada mereka, maka pikirkanlah Bunda … Bunda sangat menyayangi mu.”
“Heh, dusta … Bunda hanya menyayangi Naz dan kakak- kakak ku yang lain. Baginya aku hanya anak pembuat masalah, makanya Bunda membuang ku ke Bandung.” Arsen tersenyum kecut.
“Kau salah … Bunda sangat menyayangi mu. Maka dari itu dengan sekuat tenaga Bunda berusaha menyadarkan mu dan menjauhkan mu dari Naz. Selain karena Naz adalah saudara sedarah mu, Bunda juga tidak ingin jika hati mu terluka … Naz mencintai orang lain, kau tidak bisa memaksakan cintamu pada nya.”
Arsen terdiam, dan tak membalas ucapan Raline. Deru nafasnya terdengar gusar, darahnya seakan mendidih. Rasa marah, sedih, kecewa, seolah bercampur menjadi satu.
“Dan lihat sekarang ... Apa kau sama sekali tidak merasa bersalah dengan kondisi bunda saat ini? Bunda sakit, bunda terkena stroke karena ulah mu … Sadarlah, sebelum semuanya terlambat ….” Raline menghela nafas berat untuk menahan agar ia tak menangis di depan pria angkuh itu.
“Apa pernah terpikir oleh mu jika Bunda sampai tiada karena serangan stroke itu?"
”Aku bisa merasakan betapa sedih dan sakitnya kehilangan seorang ibu. Apalagi jika kita adalah penyebab dari kematiannya. Rasa bersalah dan penyesalan akan terus menghantuimu seumur hidup mu.” Raline seolah mengutarakan apa yang dialaminya.
“Banyak hal yang dilakukan Bunda untuk kebaikan mu dan untuk melindungi mu. Bunda memberi mu kasih sayang yang lebih dibanding pada anak- anaknya yang lain .. Tapi, apa balasan mu? Kau tak memperdulikan Bunda sama sekali … Hingga kau bisa sampai setega ini kau melukai hati dan perasaaanya.” Raline menyeka air matanya agar tak jatuh membasahi pipinya.
“Minta maaf lah pada Bunda, sebelum semuanya terlambat.” Raline membuka pintu mobil dan keluar.
Ia meninggalkan Arsen begitu saja di dalam mobil seorang diri. Seolah ia ingin memberikan kesempatan untuk Arsen merenungkan kesalahanya. Itu pun jika ia menyadari apa yang dilakukannya selama ini adalah salah. Orang keras kepala dan egois seperti Arsen, nampaknya terlalu sulit mengaki kesalahannya.
Ceklek …
Raline membuka pintu ruangan tempat Anita dirawat, ia pun masuk.
“Loh, kamu kok sendiri? Arsen mana?” tanya Rizal.
“Nanti nyusul, Om … Bunda gimana, Om.”
“Dia baik- baik saja, tapi____”
“Tapi kenapa, Om ?”
“Anita mengalami kesulitan untuk berbicara, tangan kiri dan kaki kanannya pun tak bisa digerakan.”
“Apa?” Raline terkejut mendengarnya.
“Iya, Raline.” Rizal mengangguk pasrah.
“Tapi Bunda bisa sembuh, kan Om?”
“Insya Allah ….” Rizal mengangguk.
Ralin bernafas lega. “Syukurlah, kalau begitu … aku juga sudah mengabari Naz.”
“Oh, iya Om … Naz bilang soal kejadian hari ini supaya dirahasiakan darisiapa pun, termasuk dari Papa sama Mama. Dia tidak mau keluarga kita bercerai berai lagi,” ucapnya dengan memelankan suaranya agar tak terdengar oleh Anita.
“Anak itu … selalu memikirkan keluarga.” Rizal tersenyum haru.
“Boleh, aku melihat Bunda, Om?”
“Silahkan, tapi dia sedang tidur.”
Raline pun melangkahkan kaki nya menuju tempat Anita terbaring lemah yang terhalang oleh tirai. Anita nampak tertidur pulas dengan selang infus yang terpasang di lengan kanannya, hingga tak menyadari keberadaan Raline di dekatnya.
Ditatapnya wajah Anita yang nampak pucat, membuat hati Raline terenyuh. Seolah ia mengalami kilas balik saat menatap ibunya yang setahun lalu terbaring sakit hingga meninggal dunia.
Raline mengusap tangan Anita dengan lembut dan tatapan sendu.
“Bunda, cepat sembuh ya … Sebentar lagi Naz akan menikah dengan pria yang sangat dicintainya, sesuai harapan Bunda.” Raline tak kuasa menahan air matanya.
Ceklek …
Terdengar suara pintu terbuka.
“Arsen ….” Hardi menyapa nya.
Arsen tak menghiraukan Hardi dan ayahnya, ia segera menghampiri Anita. Langkahnya melambat saat ia melihat bundanya terbaring lemah tak berdaya. Ia terus mendekat dengan menatap sendu wajah bundanya itu.
“Bunda …” lirihnya.
Anita yang mendengar suara putranya, membuka matanya dengan perlahan.
“A ….” Anita seolah ingin menyebut nama putranya, namun ia tak mampu berkata. “ A …” ia kembali berusaha bicara.
“Bunda …” Arsen kembali memanggil.
“Akibat serangan stroke yang dialaminya, Bunda tidak bisa bicara, bahkan tidak bisa mengerakkan tangan kiri dan kaki kanannya … puas kau sekarang!”
Brukk…
Arsen begitu shock mendengarnya, ia menjatuhkan dirinya ke lantai. Ia bersimpuh di depan ujung tempat tidur dan tepat di depan kaki Anita, seolah meluruhkan sifat angkuh, keras kepala dan egoisnya.
“Bunda …” lirihnya dengan penuh rasa sesal. “Maafkana aku, Bunda … maafkan aku.”
Anita yang melihatnya nampak meneteskan air mata. Ingin rasanya ia berkata, namun apa daya mulutnya tak mampu besuara. Raline yang menyaksikan hal itu pun ikut meneteskan air mata. Ia kemudian beranjak pergi dan berpamitan pada Rizal, begitu pula Hardi.
Arsen bangkit lalu memeluk kaki Anita yang masih terbaring lemah. Ia terus mengucap maaf tiada henti diiringi tangisan penyesalannya. Rizal yang menyaksikan itu pun ikut terharu melihat putranya yang begitu angkuh, kini terlihat sangat menyedihkan.
“Maafkan aku Bunda ..maafkan aku … aku janji akan berubah, aku akan menurti semua ucapan mu.” Arsen terus memohon diiringi tangisan penyesalannya.
“Sudah Arsen, jangan seperti ini terus … Jangan membuat bunda sedih, karena itu akan mempengarui kesehatannya.” Rizal mengusap punggung Arsen.
“Aku memang anak yang durhaka dan tidak berguna.”
Perlahan, Arsen melepaskan pelukannya. Ia bangkit, lalu menatap wajah Anita yang berlinang air mata. Arsen melangkahkan kakinya, ia menggenggam tangan kiri Anita dan mengangkatnya lalu memukulkannya pada wajahnya berkali- kali.
“Pukul aku Bunda… pukul aku … beri anak durhaka mu ini pelajaran …”
“Cukup Arsen, hentikan !! kendalikan diri mu. Lihat bunda mu terus menangis seperti itu.” Rizal menahan tangan Arsen agar tidak memukulkan tangan Anita lagi padanya.
“Kalau begitu, Ayah yang pukul aku … kalau perlu pukul aku sampai mati, Yah …”
“Cukup Arsen ... cukup …”
Arsen yang benar- benar menyesali perbuatanya terus meminta dipukul, hingga ia bersimpuh dan memeluk kaki Rizal dengan tangisan penyesalan meminta pengampunannya atas semua kesalahan yang ia perbuat selama ini.
Rizal menepuk bahu Arsen. “Sudah, kami sudah memaaafkan mu. Brdirilah ….”. Arsen pun berdiri kemudian memeluk ayahnya.
Seusai itu Arsen pun meminta maaf kepada Naz yang datang pula ke rumah sakit untuk menjenguk Anita.
**
Semenjak itu Arsen mulai berubah, ia merawat Anita dan selalu menamaninya berobat serta teraphi untuk kesembuhannya. Ia pun sudah mengubur dalam- dalam perasaanya terhadap Naz.
Hingga saat yang dinanti oleh Naz dan Arfin tiba, yakni pernikahan mereka yang akan dilaksanakan esok hari. Naz yang usai melaksanakan acara siaraman di kediaman Anita, pergi bersama rombongan menuju hotel bintang lima milik Opa nya. Hotelnya tepat berada di samping gedung acara pernikahannya.
Untuk keluarga inti disediakan kamar president suit bagi setiap pasangan dan juga kakak beradik. Kamar Naz berada dalam jajaran lantai yang sama dengan keempat orang tuanya serta Raline yang satu kamar dengan Elsa.
Jam tujuh malam, Arini mendatangi kamar Raline untuk mengajaknya mendekorasi kamar pengantin tanpa sepengetahuan Naz. Ia pun pergi bersama Anita meninggalkan Elsa yang sedang asyik menonton film di kamar tersebut.
Saat di dalam lift, tanpa sengaja mereka berdua bertemu dengan Arsen yang memakai baju kaos dibalut jaket, namun hanya menggunakan celana pendek santai. Dan ia hanya beralaskan sandal hotel.
“Arsen … kamu mau kemana?” tanya Arini menyapa.
“Mau cari angin, Kak.”
“Yaelah, di kamar kan ada AC … emangnya kurang dingin?”
“Sekalian mau merokok.”
“Oh …” Arini pun paham.
Ting …
Bunyi dentingan lift menandakan penumpang telah sampai di tempat tujuan.
“Kita duluan ya …”
“Iya.”
Arini bersama Raline keluar dari lift, mereka berjalan menuju kamar yang sudah disiapkan untuk malam pengantin Naz dan Arfin. Ternyata disana sudah ada Hardi dan Dandy yang baru saja meletakan banyak bunga dengan bantuan pelayan hotel tersebut.
“Wow … banyak sekali bunga nya …” Arini merasa takjub.
“Mantap, nambah satu orang lagi yang bantu kita,” ucap Hardi senang saat melihat Raline yang akan membantu mereka.
“Ayolah, sekarang kita mulai menata nya. Kenapa mendadak gini sih, gak suruh desiner aja apa?” gerutu Dandy.
“Enggak apa- apa lah … ini kan pernikahan adik dan sahabat kalian. Ya itung- itung kado surprice dari para sahabat dan kakak- kaka tercinta.”
“Sayang, kamu kok mendadak lebay gitu … Apaan, dulu aja kita gak dikasih kejutan gini.”
“Udah ayok kita mulai, kalo lo kebanyakan cingcong. Nanti bisa kelar subuh nih," ajak Hardi.
Mereka berempat pun mulai mendekorasi kamar tersebut. Sebenarnya kamar hotel tersebut sudah mewah, hanya tinggal dihiasi bunga- bunga dan lainnya agar berubah menjadi tempat romantis untuk malam pertama pengantin baru.
Sementara di luar, Arsen yang semenjak tiba di hotel merasa kuarang nyaman, duduk di sebuah kursi di halaman hotel tersebut sembari menghisap rokok.
Sesekali ia mengusap kasa kepalanya, raut wajahnya terlihat jelas menampakkan kegelisahan. Padahal yang seharusnya merasa seperti itu adalah calon pengantin.
“Kenapa aku terus memikirkan Naz?" gumam nya dalam hati.
“Jangan bodoh Arsen … kau sudah melupakannya, jangan mengingatnya lagi … Ingat janji mu pada Bunda.” Arsen berdialog sendiri.
Arsen yang sudah menghabiskan satu bungkus rokok dalam satu jam, bangkit dari duduknya. Rasa gelisah masih terus merasuki dirinya. Arsen berjalan keluar dari area hotel milik Opa nya tersebut.
Ia berjalan tak tentu arah, hanya bergantung pada langkah kaki yang membawanya entah kemana.
Setelah berjalan agak jauh menyusuri trotoar, ia melihat suatu tempat yang tak asing baginya. Tanpa pikir panjang ia masuk ke tempat itu.
-------------- TBC -------------
*********************
Happy Reading …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments