“Raline … kenapa kamu teh ada disini?” Anita terkejut melihat keberadaan Raline. Ia menyimpan handuk kecil dan baskom kecil berisi air hangat di atas lemari laci samping ranjang.
"Ayok bunda antar kamu ke kamar. Ini teh masih malam, mending kamu teh tidur lagi."
“Gak mau … aku mau disini sama KaChen, huhuhuhuu.” Raline merengek ingin menemani Arsen yang masih menggigil namun sudah berhenti mengigau.
Anita menghela nafas sejenak. “Yasudah atuh kalau mau disini mah, tapi jangan nangis ya. Kasihan Arsen nya lagi sakit,” ucapnya dan Raline pun dengan segera menghentikan tangisannya serta menghapus jejak air matanya.
“Bunda, ini termometer-nya dan ini obat sirup penurun panas dari laci tempat obat di kamar Bunda.” Rezki yang baru masuk langsung memberikan termometer air raksa dan obat pada bundanya.
“Makasih Eki, kamu mah kembali lagi aja ke kamar. Biar bunda sama Raline yang menjaga Arsen,” ucapnya, dan Rezki pun kembali ke kamarnya.
Anita meletakan obat di dekat baskom kecil, kemudian ia mengibas- ibaskan termometer tersebut hingga garis bayangan hitamnya berada pada angka 35. Lalu ia menyelipkan termometer itu pada ketiak Arsen.
Sembari menunggu, Anita mencelupkan handuk kecil pada air hangat. Setelah airnya sedikit diperas namun handuknya masih semu basah, ia melipat handuk tersebut dan mengompres kan nya pada dahi Arsen.
“Bunda itu apa?” tanya Raline.
“Ini teh kompresan untuk meredakan panasnya Arsen," ucapnya yang kemudian mengambil termometer dari ketiak Arsen. Ia melihat dengan teliti.
“Ya ampun, panasnya sampai 37,6.” Anita terkejut melihat termometer tersebut.
Ia kembali ke dapur untuk mengambil segelas air minum serta termos berisi air panas. Dan setelah kembali ia membangunkan Arsen untuk meminum obatnya. Arsen pun kembali tidur setelah minum obat meski kelihatannya ia tak sadar sepenuhnya saat diberikan obat. Namun beruntung ia bisa menelan obat sirup tersebut.
Anita mengambil handuk dari dahi Arsen, lalu mencampurkan sedikit air dari termos pada baskom tersebut agar kembali hangat. Ia mencelupkan handuknya lagi pada air hangat itu dan mengompres kan nya lagi.
“Bunda kenapa di ambil dan di basahi lagi?” tanya Raline yan terus memperhatikan Anita.
“Soalnya teh kompresan nya sudah dingin, jadi harus dicelup lagi ke air hangat dan dikompres lagi.”
“Oh …”
“Bunda tinggal dulu ya, mau shalat isya. Raline bobo aja, pasti masih ngantuk.”
“Iya, Bunda."
Anita pun pergi meninggalkan Raline dan Arsen. Sementara Raline mengusap- usap kepala Arsen dengan lembut sembari tersenyum.
“Olin sayang KaChen ….” Ucapnya yang tak berhenti memandangi wajah Arsen.
Setelah beberapa saat, Anita pun datang dengan membawa bedcover dan bantal ditangannya. Ia menggelar karpet kecil yang ada di kamar Arsen.
“Raline bobo sama Arsen aja ya, Bunda bobo di bawah,” ucapnya setelah mengganti air kompresan nya lagi.
“Iya, Bunda ….”
Anita menatap lekat wajah putranya dengan perasan sedih. Hati ibu mana yang tak sakit melihat keadaan putranya seperti itu, sakit karena ketakutan di kurung di tempat gelap. Dan pelakunya adalah suaminya sendiri.
“Tega kamu, Mas … bersiaplah menerima hukuman dari ku.” Anita menggerutuki suaminya dalam hati.
Di sentuhnya kepala dan leher Arsen . “Alhamdulillah, panasnya sudah mulai turun.”
Ia pun bangkit, lalu berbaring di atas bedcover. Rasa kantuknya membuat ia kembali tertidur.
Raline yang berbaring di sebelah Arsen, nampaknya tidak bisa tidur. Ia terus memandangi Arsen. Disentuhnya kompresan Arsen yang ternyata sudah dingin. Ia pun turun dari tempat tidur dan melakukan hal yang sama yang sebelumnya Anita lakukan.
Dengan hati- hati ia menumpahkan air dari termos ke dalam baskom kecil, alu mencelupkan handuk ke sana dan mengompres kan nya lagi ke dahi Arsen. Ia terus melakukannya hingga beberapa kali saat kompresan nya dingin. Arsen pun beberapa kali terbangun, namun hanya setengah sadar dan tidur lagi.
“Aduh, kepala ku pusing.” Raline yang baru selesai mengompres Arsen, tiba- tiba pingsan dan tergeletak di lantai.
Saat adzan subuh Anita terbangun, dan betapa terkejutnya ia saat menoleh ke arah samping melihat Raline tidur di lantai.
“Ya ampun, kenapa Raline tidur di lantai?” Anita bangkit dan mendekat pada Raline. Ia hendak mengangkat Raline dan memindahkannya ke tempat tidur.
“Ya Allah, kenapa wajahnya pucat seperti ini?” Anita segera menggendongnya dan membawa Raline ke kamarnya. Ia membangunkan suaminya untuk memeriksa keadaan Raline.
Ia membaringkan Raline di atas tempat tidur di kamarnya, dan Rizal pun segera memeriksa keadaanya. Kemudian tanpa mengatakan apa- apa, Rizal meminta Anita memanggil kedua orang tua Raline untuk datang ke rumahnya. Ia pun menelpon Rahmi.
Tak lama setelah keduanya shalat subuh, Rahmi dan Syarief datang, Anita membawa keduanya masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua. Keduanya terlihat cemas mengetahui Raline pingsan.
“Raline ….” Rahmi langsung menghampiri Raline yang terbaring di tempat tidur Anita.
“Zal, kenapa Raline bisa sampai pingsan?” tanya Syarief.
“Semalam teh Raline terbangun jam 1 malam, dan ikut bersama ku ke kamar Arsen. Kami tidur disana menjaga Arsen yang demam, dan tadi subuh pas aku bangun, Raline teh sudah pingsan.”
Rizal baru teringat soal Arsen, lakubia menoleh pada istrinya yang malah memberinya tatapan tajam.
Rizal beralih pada Rahmi.
“Mbak, apa Raline pernah mengeluhkan sesuatu?”
“Memangnya kenapa, Zal?” Rahmi balik bertanya.
“Apa dia pernah mengeluhkan sakit di dadanya, sesak nafas, pusing, atau cepat kelelahan?”
“Iya, beberapa kali Raline mengeluh pusing karena capek katanya. Memangnya kenapa, Zal?”
Rizal menghela nafas berat. “ Semoga dugaan ku salah, sebaiknya kita segera membawa Raline ke rumah sakit.”
“Zal, ada apa sebenarnya? Jelaskan pada kami, dugaan apa maksud mu?” Syarief mulai khawatir.
“Tadi aku memeriksanya beberapa kali, denyut jantungnya tidak beraturan dan terdapat kebiruan di dekat bibirnya. Dan tadi Mbak Rahmi bilang, Raline mengeluhkan pusing dan cepat kelelahan.” Rizal menghentikan ucapannya dan kembali menghela nafas berat.
“Lalu?” Syarief menanti kelanjutannya.
“Saat masih balita Raline mengalami keterlambatan dalam pertumbuhannya, ia bisa berjalan dan bicara setelah usianya dua tahun. Dan Mbak Rahmi sering mengeluhkan Raline yang berat badannya sulit naik, bukan … Dugaan ku Raline menderita penyakit jantung bawaan, Mas.”
“Apa?” Rahmi, Syarief dan Anita terkejut mendengar perkataan Rizal.
“Gak mungkin, Zal.” Rahmi menggelengkan kepalanya dengan membekap mulutnya sendiri,.
“Zal, itu tidak mungkin … Kamu pasti salah.” Syarief pun tak percaya.
“Aku juga berharap dugaan ku ini keliru, sebaiknya kita lakukan pemeriksaan lanjutan pada Raline dan membawanya ke rumah sakit.”
“Ini gak mungkin, Mas … anak kita gak mungkin punya penyakit jantung, hiks hiks.” Rahmi tak kuasa menahan air matanya yang mengalir begitu saja.
Ia benar- benar shock dan menolak mempercayai diagnosa adik iparnya. Ia teringat pada putranya yang sudah meninggal. Rasa trauma ditinggal anak masih begitu membekas dihatinya. Dan kiini ia mendengar putrinya didiagnosa mengidap penyakit jantung, yang dikenal mematikan itu.
Anita mendekat pada Rahmi, ia mengusap punggung kakak ipar yang sedang duduk di atas tempat tidurnya itu dengan berlinang air mata.
“Mbak teh tenang dulu, kita kan belum tahu pasti. Mudah- mudahan Raline tidak apa-apa.”
Syarief pun sama halnya, ia pun terkejut dan tak percaya pada ucapan adiknya. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding dan mengusap kasar rambutnya.
“KaChen … KaChen ....” Raline mulai tersadar. Rahmi segera menghapus air matanya.
“Sayang, kamu sidh bangun, nak? Mana yang sakit, bilang sama mama.”
“Aku pusing, Ma ….”
Hatinya merasa tersenyuh, bibirnya bergetar dan air mata kembali jatuh membasahi pipinya. Rasa teakut pun kembali menghanti dirinya, takut menerima kenyataan jika memang Raline mengidap penyakit mematikan itu.
“Mama kenapa nangis?”
“Gak apa- apa, sayang … Mama cuma kangen aja sama Raline, karena semalaman gak melihat kamu.” Rahmi memaksakan tersenyum.
“Mama jangan sedih, nanti aku sedih.”
“Raline mau gak membuat Mama gak sedih lagi?” ucap Syarief.
“Iya, Papa.”
“Kalau gitu Raline ikut Papa sama Mama ke rumah sakit ya? Nanti pulangnya kita beli es krim.”
“Iya.”
Rizal menghubungi rumah sakit khusus penanganan penyakit jantung dan membuat janji dengan dokter spesialis jantung dan pembuluh, yang kebetulan ada jadwal praktek pagi.
Syarief mengangkat Raline untuk menggendongnya. Ia pun beranjak pergi diikuti Rahmi yang masih terus menangis yang digandeng oleh Anita. Mereka pulang ke rumah nya dan bersiap untuk berangkat ke rumah sakit.
Setelah Rahmi menyuapi Raline makan dan memberinya susu, mereka pun pergi ke rumah sakit. Rizal yang membawa mobilnya, karena ia khawatir pada sang kakak yang nampak masih shock.
“Kakak ….” Naz membangunkan Arsen.
“Emhh …” Arsen membkamatanya perlahan, dan yang pertama kali dilihatnya adalah adik kesayanganya, Naz
.
“Naz ….”
“Kaka bangun ….”
“Adek, kakaknya jangan digangguin dulu atuh, kakaknya masih sakit. Ayok mandi dulu.” Anita langsung menggendong Naz dan membawanya ke kamar mandi.
“Terimakasih, Naz ….” ucap Arsen tersenyum.
Hari ini tak biasanya, Naz berangkat ke sekolah tanpa Raline. Awalnya ia tak mau sekolah, bahkan tak mau makan karena ingin menyususl Raline ke rumah sakit. Namun kedatangan Opa Harfi, mampu membujuknya untuk sekolah. Bahkan makan pun disuapi oleh Opa- nya dan ia pundiantar ke sekolah oleh Opa- nya.
Namun tetap, di sekolah ia merasa sedih walau ketiga sahabatnya sudah mengajaknya bermain, tetap saja Naz murung.
Sepulang sekolah, Naz dijemput oleh Mbak Iyem dengan menggunakan taksi. Setelah turun ia langsung pergi ke rumah Rahmi. Namun ia tak mendapati keberadaan Raline dan Mama-nya itu. Akhirnya ia kembali ke rumah orang tuanya dengan perasaan sedih dan kecewa.
“Kak Arsen bobo karena sakit, Olin juga sakit. Terus aku main sama siapa, ih” keluhnya lalu menghentakkan kaki.
“Neng main sama Mbak Yem saja ya.”
“Gak mau, Mbak Yem gak seru.” Naz menolak sembari memonyongkan bibirnya. “Bunda mana?”
“Ibu tadi pergi setelah menerima telpon dari butik, Neng.”
“Aku mau bobo aja.” Naz pun pergi ke kamarnya.
Sementara di rumah sakit, Raline yang sejak pagi sudah melaukan beberapa test, kini tengah menunggu di ruang perawatan karena sejak pagi harus diinfus dan diberikan beberapa obat. Ia ditemani oleh Rizal dan Oma nya, sedangkan Syarief dan Rahmi dipanggil ke ruangan dokter.
Langkah keduanya terasa berat mengikuti suster sang petunjuk arah. Perasaan takut dan harap- harap cemas menyelimuti keduanya. Melihat Raline melakukan beberapa test saja membuat mereka sedih, apalagi sekarang menunggu hasilnya.
“Silahkan duduk, Bu, Pak ….”
“Terimaksih, Dok ….”
Syarief bersama istrinya duduk di kursi depan meja dokter. Sesaat suasana di dalam ruangan itu menjadi hening. Hanya suara berisik dari lembaram ketas yang dibuka oleh sang dokter. Diduga itu hasil pemeriksaan Raline.
“Jadi, bagaimana hasil test nya, Dok?” tanya Syarief membuka pembicaraan.
Dokter pun meletakan kertas- kertas yang sudah dibacanya itu.
“Begini Pak, dari hasil serangkaian test yang dilakukan putri Bapak dan Ibu, serta beberapa keterangan dari Ibu atas keluhan yang dirasakan pasien anak yang bernama Raline Eliana Harfi. Disini dinyatakan Raline menderita kelainan katup jantung, istilah lainnya penyakit bocor jantung.”
“Apa?” Syarief dan Rahmi kembali terkejut, hasil yang tak mereka inginkan ternyata menjadi kenyataan.
“Gak mungkin, Dok … hiks hiks … Dokter pasti salah.” Rahmi tak kuasa membendung air matanya lagi.
“Dok tolong periksa ulang hasil test nya, itu pasti salah, Dok …” ucap Syarief.
“Mohon maaf Pak, saya sudah memeriksa ulang dengan sangat teliti. Dan yang tadi saya sebutkanlah hasih akhirnya.”
“Gak munkin Mas … bagaimna bisa Raline masih sekecil itu harus menderita penyakit jantung. Hiks hikks.”
“Ibu dan Bapak tenangn dulu, penyakit ini InsyaAllah bisa disembuhkan. Bahkan ada beberapa anak yang dengan berobat jalan saja bisa sembuh dengan sendirinya. Karena penyakit yang di derita Raline masih tergolong penyakit jantung ringan.”
“Jadi anak kami bisa sembuh, Dok.” Rahmi berhenti menangis dan segera menghapus air matanya.
“Insya Allah, Bu … bisa dengan meminum obat rutin ataupun operasi. Untuk saat ini saya akan resepkan obat untuk Raline. Ibu dan Bapak harus menjaga asupan makanan untuk Raline. Saya sarankan rutin berolahraga ringan setiap hari, karena dia tidak boleh kelelahan dan setiap bulan harus rutin check- up untuk melihat perkembangan kesehatannya.”
“Iya, Dok.”
“Terimakasih banyak, Dok.”
Keduanya pun keluar dari ruangan dokter dengan persaan sedikit lega, tidak seperti saat akan masuk tadi. Dan beruntung Raline tidak perlu dirawat inap. Setelah satu botol infusan habis, ia pun sudah dipebolehkan pulang.
Saat sampai rumah, Raline langsung dibawa ke kamarnya untuk beristirahat. Namun setelah ia makan, ia menolak untuk minum obat. Segala cara bujuk rayuan sudah dilakukan oleh Rahmi, Syarief, dan Oma. Namun Raline tetap tidak mau dan malah nangis kejer. Akhirnya mereka meminta bantuan Anita yang kemudian datang bersama Arsen yang kondisinya sudah membaik.
Dari sekian orang, hanya Arsen yang mampu membujuk Raline sehingga ia mau meminum obatnya. Dan seterusnya Raline hanya mau minum obat bahkan diperiksa ke rumah sakit jika ditemani oleh Arsen.
Rahmi menjalankan saran dokter untuk memperhatikan asupan makanan untuk Raline dan sering mengajaknya jalan santai di sore hari. Naz pun melakukan hal yang sama dengan Raline, termasuk memakan makanan yang tidak ia sukai, sayuran.
Rahmi menjadi overprotektif pada Raline, ia yang sebelumnya lebih perhatian pada Naz, kini perhatiannya tercurah pada Raline. Terkadang Naz sering cemburu sampai menangis karena merasa kurang diperhatikan oleh Rahmi.
Semenjak itu, Opa nya sering datang setiap pagi hanya untuk mengantarkan Naz dan Raline ke sekolah. Bahkan setiap sarapan, Naz pasti akan disuapi oleh Opa nya, baik itu saat sarapan di rumah Rizal ataupun di rumah Syarief. Dan setiap malam minggu, Naz selalu diajak menginap di rumah Opa nya.
Naz merupakan cucu kesayangan Opa Harfi, padahal ia memiliki dua cucu perempuan dan yang lainnya cucu laki- laki. Terkadang hal itu membuat para cucu nya yang lain cemburu, karena perhatiannya selalu dikerahkan hanya untuk Naz.
**
Tak terasa kini Naz dan Raline sudah masuk sekolah dasar di sekolah yang sama dengan Arsen yang kini sudah kelas lima. Setelah satu setengah tahun, Raline masih belum dinyatakan sembuh. Ia masih berobat jalan, namun tak sesering sebelumnya.
Pagi ini keluarga Harfi tengah bersiap untuk menghadiri undangan dari adiknya Opa yang menikahkan putribungsunya. Naz yang baru selesai sarapan di rumah Rahmi dan seperti biasa disuapi oleh Opa nya, kemudian menghampiri Raline ke kamarnya.
“Olin kamu mau minum apa itu?” tanya Naz yang sama- sama memakai gaun princess dengan Raline, menanyakan obat yang baru saja diminum Raline dengan bantuan Mbak Tati.
“Mama bilang ini vitamin, supaya aku gak pusing,” ucapnya menjelaskan dan Mbak Tati pun pamit pergi.
Karena Raline yang susah minum obat, akhirnya Rahmi mengelabuinya dengan meminta pihak apotek mengganti kemasannya dalam bentuk botol dan ia mengatakan pada Raline jika itu adalah vitamin agar ia tak merasa pusing lagi.
“Aku juga mau minum itu.” tunjuk Naz.
“Nih, kamu ambil sendiri.” Raline memberikan botol obatnya pada Naz. ia pun membuka tutup botol obatnya yang ternyata isinya berupa kapsul. Naz mengambil satu, lalu saat hendak meminumnya Rahmi segera mencegahnya.
“Mama, ko vitaminnya dibuang?”
“Sayang, kamu gak boleh minum ini?”
“Kenapa? Itu kan vitamin nya Olin, dan aku boleh minum juga. Kata Mama punya aku punya Olin juga, dan punya Olin punya aku juga.”
“Iya, tapi ini khusus untuk Raline saja sayang.”
“Mama jahat, Mama gak sayang aku lagi.” Naz langsung berlari pergi keluar dari kamar Raline. Ia menghampiri Opa nya dan menangis sembari memeluk Opa nya.
Rahmi pun segera mengejarnya.“Elea cantik, jangan nangis dong, nanti riasannya rusak.”
“Mama jahat, Mama gak sayang aku lagi.”
“Kata siapa? Mama sayang kok sama kamu. Em, gimana kalau pulang dari pesta nanti, Mama akan membelikan mu vitamin juga.”
Naz melepaskan dirinya dari pelukan sang Opa dan membalikan badannya sehingga saling berhadapan dengan Rahmi. “Beneran?”
“Iya … Tapi vitaminnya sedikit berbeda dengan punya Raline. Nanti vitamin untuk elea cantik ini bentuknya a,b,c,d … dengan rasa buah- buahan.”
“Rasa alpukat ada?” tanya Naz polos.
“Hahaha, gak ada sayangku. Adanya rasa jeruk, anggur dan strauberry.”
“Aku mau aku mau …” ucap Naz dengan semangat.
Setelah semuanya siap, mereka semua berangkat menuju tempat acara pernikahan. Karena ini hari libur, anak –anak pun dibawa ke sana.
Setelah semua rangkaian acara selesai, tengah masuk acara prasmanan. Naz dan Raline tengah duduk sembari makan es krim di kursi luar ruangan gedung ditemani Mbak Tati. Karena mereka merasa kegerahan dan meminta keluar.
“Nanaz, nanti aku juga sudah besar mau menikah seperti onty Citra.” ucap Raline.
“Mau nikah sama siapa?” tanya Naz.
“Aku mau menikah sama KaChen.”
“Hahahaha …”
“Kok kamu malah ketawa.”
“Memang Kak Arsen mau menikah?”
“Iya dong kan sudah besar- besar boleh menikah. Tapi aku mau menikah sama KaChen. Karena Olin untuk KaChen.”
“Kalau Olin sama Ka Arsen, aku sama siapa?” tanya Naz yang seolah ingin ikutan menikah juga.
Raline mengedarkan pandangannya, dan ia mendapati beberapa anak laki- laki tengah bermain bola menggunakan balon warna warni dari tukang mainan.
“Tuh, Nanaz menikah sama dia saja!” Raline menunjuk pada salah satu anak lelaki itu.
“Hahahahaha ….” Naz malah tertawa setelah melihat orang yang ditunjuk Raline.
“Siapa yang mau menikah?” Tiba- tiba terdengar suara seseorang yang menghampiri keduanya.
------------- TBC ------------
********************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Adhianna Thalita
tentu saja kaka chen yg mo nukah sama olin...😉😉
tth othor yg baik hati dan tidak sombong kalo bisa masa kecilnya jangan terlalu panjang, cukup ambil garis besar pas masa masa tertentu aja soalnya di novel nya naz udah banyak cerita tentang masa kecil mereka, kalo bisa langsung masa sekarangnya aja tentang masa saling perjuangin cinta mereka yg memang blom terungkap d novelnya naz arfin, ya aku tau emang setiap cerita pasti ada proses perjalanannya cmn secara garis besar semua pembaca cahaya sang anas udah tau garis besar jalan cerita tentang olin arsen...😊
maaf ya tth othor ini cuman pendapatku aja kok bukan untuk menjatuhkan samasekali apalagi buat ngerusak alur ceritanya nggak samasekali, aku tetap menikmatinya kok....😀
dan sebagai masukan tth coba bikin pemberitahuan di novelnya cahaya sang anas kalo novel ini udah rilis, aku yakin blom banyak yg tau kalo tth udah bikin novelnya arsen buktinya aku aja telat tau kalo novel ini udah mulai up...😊
semangat dan selamat berkarya tth othor aku mendukungmu,.....💪😉😊😊😊
2021-07-16
0