Tolong Aku... Hiks Hiks

“Maaf Bu, saya baru mendapatkan buburnya. Soalnya di sana ngantri,” ucap Budi dengan membawa dua kantong kresek di tangannya.

Mendengar suara itu, Anita melepaskan genggaman tangannya dari tangan Raline dan segera menghapus air matanya. Ia menoleh ke arah tempat Budi berdiri yang menyodorkan kantong kresek itu padanya.

Anita menerima kantong kresek tersebut. “Wah, pinter juga kamu ya sekalian membeli air mineral. Terimakasih, Pak Budi …. Nanti uangnya saya ganti ya.”

“Gak usah, Bu. Gak apa- apa.”

“Eh, gak bisa gitu atuh. Tadi kan judulnya ditalangin dulu, berarti saya teh pinjam sama kamu. Dan saya harus membayarnya.”

“Biar aku aja yang ganti, Bunda. Itu masalah gampang,” ucap Raline tersenyum.

“Yasudah, kalau gitu kamu suapi Arsen ya. Nih bubur dan air mineral nya.” Anita malah memberikan kantong kresek itu pada Raline.

“Loh, kok dikasih ke aku, Bunda?” tanya Raline heran.

“Pak Budi, tolong bantu saya memeriksa sikring listrik di luar. Soalnya lampu di rumah ini masih mati. Kasihan nanti Arsen kepanasan kalau sampai siang AC- nya mati.” Anita kembali meminta bantuan Budi.

“Baik, Bu.” Budi kembali turun ke bawah.

“Raline, kamu teh jangan ngasih tahu Arsen kalau Bunda sama Om Rizal tadi ke sini. Bertingkah lah seolah- olah Bunda teh belum mengetahui keberadaannya di sini,” bisik nya pada Raline.

“Hah? maksudnya….” Raline terlihat kebingungan.

“Jangan lupa berikan obat ini ya. Yang dua ini tiga kali sehari dan yang vitamin sekali saja.” Anita bukannya menjawab, malah memberikan tiga lembar obat pada Raline.

“Tapi, Bunda___”

“Sudah, kamu rawat saja dia. Anggap saja ini teh sebagai permulaan untuk mendapatkan hatinya.” Anita tersenyum, lalu menepuk bahu Raline. “Selamat berjuang,” ucapnya memberi semangat lalu beranjak pergi.

“Makasih, Bunda ….” ucapnya terharu sembari memandangi Anita hingga tak terlihat lagi setelah menuruni tangga.

“Bunda salah … Aku sama sekali tak memahami KaChen. Yang ku lakukan hanya mengikuti semua perintahnya, agar ia merasa senang dan membutuhkan ku. Tapi semua itu tak merubah perasaannya padaku, sangat mustahil untuk meluluhkan hatinya,” lirihnya dalam hati dengan tatapan sendu.

Raline menghela nafas berat. Ia lalu melangkahkan kakinya menuju kamar tempat Arsen berada.

Ceklek …

Raline membuka pintu dengan perlahan. Dilihatnya Arsen masih tertidur pulas. Ia pun melangkah perlahan dan berhenti di samping tempat tidur. Disentuhnya kompresan Arsen yang ternyata sudah dingin. Ia kembali mencelupkannya pada air hangat dan mengompreskan nya kembali.

Raline mengambil kursi dari depan meja belajar, dan ia meletakkannya di sebelah tempat tidur untuk diduduki olehnya. Ia memandangi Arsen dengan sembari tersenyum.

"KaChen ganteng banget kalau lagi tidur. Bawaannya adem lihatnya. Tapi ... kalau sudah bangun, menyebalkannya tiada duanya." gumamnya dalam hati.

“Emh ….” Arsen mulai tersadar. Perlahan ia membuka matanya.

“KaChen … kamu sudah sadar,” ucapnya tersenyum semanis mungkin. Sepertinya ia ingin mencoba usulan Bunda untuk mendapatkan hatinya Arsen.

“Kenapa kau ada di sini?” tanya Arsen dengan suara serak khas bangun tidur.

“Bukankah KaChen sendiri yang memintaku datang ke sini dan mengantarkan sarapan untukmu.” Raline berbicara lemah lembut.

“Bunda mana?” Arsen mengedarkan pandangannya.

“Bunda?” tanya Raline berpura- pura.

“Iya, tadi aku mendengar suara Bunda.”

“Mungkin KaChen hanya bermimpi, orang dari tadi aku sendirian nungguin KaChen di sini.” Raline sebisa mungkin menyembunyikan kegugupannya karena takut ketahuan berbohong.

Tangan Arsen menyentuh keningnya yang terasa basah. “Apa ini?”

“Itu kompresan.” Raline masih dalam mode ramah.

Arsen melepaskan kompresan itu dan melemparnya ke lantai.

“Kok dibuang, kak?”

“Aku tidak butuh itu!” Arsen melirik sapu tangan basah tersebut.

“KaChen kan masih demam, dan harus di kompres.” Raline bicara selembut mungkin.

“Aku tidak sakit.” Arsen berusaha bangun, namun badannya terasa lemas.

“Nah kan susah bangun, tubuh KaChen itu masih lemas dan panas. Tadi saja diukur suhunya sampai 38.7 derajat celcius. Untuk manusia normal, suhu itu termasuk tinggi dan menandakan KaChen sakit demam …”, ucapnya lalu mengambil sapu tangan yang tergeletak di lantai.

“KaChen pakai lagi ya kompresan nya,” bujuk Raline.

“Aku bilang tidak ya tidak!!” Arsen malah membentak.

Raline menghela nafas panjang untuk menahan amarahnya. Ia memang butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi orang sekeras Arsen.

“Baiklah, kalau begitu KaChen makan dulu ya.” Raline masih bisa berbicara dengan lembut. Ia membuka kantong kresek yang diberikan Anita padanya.

“Apa itu?” tanya Arsen.

“Bubur ayam.”

“Aku tidak mau.” Arsen memalingkan wajahnya.

“Jangan harap aku akan memberikan mu ramen. KaChen kan sedang sakit, dan hanya boleh makan bubur ini. Lalu minum obat dan vitamin, oke anak baik.”

“Kau itu bukan dokter. Beraninya memberi ku obat sembarangan. Apa kau ingin meracuni ku sampai aku mati, hah”

Raline mendengus kesal. Sepertinya ia sudah tak ingin berbicara baik- baik lagi pada Arsen.

“Sembarangan … Kalau aku ingin kau mati, sejak tadi tidak usah menolong mu dan membiarkan mu tergeletak di lantai menggigil kedinginan di kamar yang gelap ini !!” bentaknya kesal.

Arsen tercengang melihatnya marah. “Lalu dari mana kau bisa mendapatkan obat itu?”

“Apa? Te tentu saja aku sudah berkonsultasi pada dokter dan meminta resep obat untuk mu. Lalu membelinya dari apotek." Raline terpaksa harus berbohong.

“Sudah cepat makan saja nih, biar nanti langsung minum obat.” Raline menyodorkan bubur dalam kemasan kotak makanan dari plastik kemasan sekali pakai.

“Aku tidak sudi makan bubur itu!” Arsen kekeuh menolak.

Krukkkkk krukkk …

“Hahaha, tapi sepertinya perut mu berkata lain.” Raline tertawa dengan renyahnya mengejek Arsen.

“Sial ….” Arsen berusaha bangkit hingga ia bisa duduk sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur.

“Sudah makan saja buburnya … atau mau aku suapi?” Raline semakin mengejek Arsen.

“Tidak usah, aku bisa makan sendiri. Sana pergi!” Arsen mengambil kotak bubur itu.

“Baiklah, sekarang aku disuruh pergi … Tadi aja bilang, Oline jangan tinggalkan aku, tolong aku disini gelap …” Raline menyindir.

“Apa? Aku bilang seperti itu?”

“Ya tentu saja.” Raline menjawab dengan santainya.

“Jangan mimpi kau!”

“Heh, seharusnya tadi ku rekam saat kau bicara seperti itu. Biasanya kalau orang sedang mengigau itu mengatakan hal yang sesungguhnya ia rasakan dalam hatinya loh.”

“Berkhayal saja sesuka mu. Pergi sana!”

“Iya, aku pergi.” Raline membalikan tubuhnya lalu beranjak pergi.

“Tunggu!” Arsen menghentikan langkah Raline.

Raline membalikan tubuhnya. “Ada apa lagi tuan?”

“Apa aku harus makan bubur ini pakai tangan?” tanya Arsen kesal.

“Ternyata demam membuat mu geger otak ya … Tentu saja makan itu pakai tangan, memangnya kau bisa makan pakai kaki? Mau makan atau atraksi?”

Arsen mendengus kesal. “Mana sendoknya?”

“Cari saja di dalam kantong kresek itu,” ucapnya menunjuk ke arah kursi, ia pun pergi meninggalkan Arsen seorang diri di dalam kamar.

Raline menuruni tangga dan berjalan ke arah dapur. Tak lama ia kembali dengan membawa gelas di tanganya. Saat hendak menaiki tangga, Budi datang dan memberitahukan listrik di rumah itu sudah kembali menyala. Raline pun segera naik.

Saat masuk, ia tersenyum karena senang melihat Arsen sudah selesai memakan buburnya.

“Katanya gak lapar, kok sampai habis gitu buburnya.” Raline yang baru masuk langsung menyindir.

“Diam kau! Untuk apa kemari lagi?” bentak Arsen.

“Nih gelas untuk kau minum, air mineralnya ada di kantong kresek.” Ia memberikan gelas kosong itu pada Arsen. “ Minum obatnya biar cepat sembuh, aku tidak bisa menjaga mu di sini sampai malam.”

“Aku tidak sakit.”

“Terserah … kalau kau terus seperti ini, aku akan memanggil Bunda agar datang kesini untuk memaksa mu minum obat.”

“Berani sekali kau mengancamku!”

“Memangnya selama ini siapa mengajariku untuk mengancam orang? Sudah cepat minum obatnya!”

Raline kemudian mengambil godie bag yang dibawanya. Ia duduk di kursi samping tempat tidur yang sebelumnya ia duduki. Ia mengelarkan kotak makan yang berisi dua buah sandwich. Lalu ia memakan salah satunya.

Arsen yang sudah selesai meminum obatnya, melihat itu nampak semakin kesal.

“Kurang ajar … kau memberikan ku bubur untuk orang sakit, sedangkan kau makan sandwich?”

“Suka- suka dong, orang ini jatah sarapan ku. Nyam …. Enak …” Raline memakannya dengan lahap sampai habis.

“Kau!” Arsen menunjuk wajah Raline.

“Apa?” Raline sewot.

“Cih ….” Arsen berdecih kesal.

“Sudah tidur lagi saja. Kalau sadar seperti ini, kau sangat rese dan menyebalkan.”

“Pergi sana!” Arsen mengusir Raline.

“Baiklah … Kau tidur saja, aku akan menjaga mu di ruang tengah saja.”

“Aku bukan bayi yang harus dijaga!”

“Siapa yang bilang kau seekor bayi. Aku disini karena malas jika sedang asik shopping atau jalan dengan teman- temanku, tiba- tiba mendapat telpon dari mu dan menyuruhku segera datang ke sini.”

“Kalau begitu sana pergi!” bentak Arsen semakin kesal.

“Baiklah … jangan menghubungiku kalau listrik di rumah ini mati lagi nanti malam.” Raline melengos begitu saja pergi meninggalkan Arsen.

“Apa? dia … dia benar- benar pergi ….” Arsen menggerutu pelan.

“Dasar … benar- benar tidak bisa menghargai orang lain. Sejak tadi aku sangat mencemaskan keadaanya, bahkan sampai aku bolos sekolah. Malah terus terusan diusir dan so so an tidak membutuhkan ku. Memangnya dia pikir ini rumah siapa? Berkat siapa dia bisa numpang tinggal disini. Iiiiihh, dasar menyebalkan … dia bahkan tak memanggil ku untuk kembali!” Raline pun menggerutu kesal.

Arsen pun kembali berbaring dengan perasaan kesal. Sedangkan Raline pergi ke bawah, ia lalu duduk di sofa ruang tengah. Ia menyalakan TV, bukannya menonton ia malah mengeluarkan ponsel untuk saling berkirim pesan dengan teman- temannya.

Raline di rumah itu hanya sampai sore saja. Siangnya ia memesan makanan via aplikasi online, dan sorenya sebelum pulang ia pun kembali memesan makanan untuk Arsen dan Budi yang ia tugaskan untuk menjaga Arsen. Ia pulang dengan menyetir sendiri.

Selama beberapa hari, Raline mengajak Naz menginap di rumah Rahmi dengan alasan belajar bersama dengan Raline. Jadi Arsen yang tinggal di sebelah, sama sekali tak bisa melihat Naz.

Raline pun tak pernah datang lagi ke rumah lamanya itu, dengan memberi alasan pada Arsen, bahwa ia takut ketahuan oleh Bunda. Lagi pula Arsen sudah dijaga oleh sopirnya.

Arsen akhirnya berniat kembali ke Bandung karena merasa kesal dan jengkel. Bagaimana tidak, selama empat hari disana tak bisa melihat Naz. Ditambah lagi Raline sulit dihubungi, seolah menghindarinya.

**

Jumat ini seperti biasa, Raline pulang sekolah mampir dulu ke rumah ibunya. Saat sampai, betapa terkejutnya ia mendapati Mira tergeletak di ruang tengah. Ia meminta bantuan Budi untuk membawa Mira ke rumah sakit.

Setelah diperiksa, ternyata Mira hanya kelelahan saja. Dokter memberinya resep obat dan menyarankan agar banyak beristirahat. Namun wajahnya begitu pucat.

Sorenya Raline pulang untuk meminta izin pada orang tuanya untuk menginap di rumah Mira. Dengan bantuan Naz ia berhasil mendapatkan izin. Dan malamnya ia tidur berdua bersama ibunya.

“Bu, aku kan udah bilang agar Ibu banyak istirahat, jangan bekerja dulu,” ucap Raline sembari memijat kaki ibunya.

“Kalau ibu gak kerja, ibu sama Elsa mau makan apa? Ibu malu kalau terus menerima bantuan mu dan Naz," ucapnya mengusap- usap dada.

“Tapi kan kami anak- anak ibu.”

“Ibu malu jika terus bergantung pada kalian. Apalagi itu berasal dari keluarga Harfi. Ibu tidak mau mereka beranggapan jika ibu memanfaatkan kalian untuk mendapatkan uang dari mereka.”

“Kalau ibu merasa keberatan, aku akan bekerja agar bisa mencukupi kebutuhan Ibu dan Elsa.” Raline berinisiatif.

Mira terharu mendengarnya.” Jangan, kamu kan masih sekolah. Belajar saja yang rajin, supaya bisa menjadi orang sukses.”

“Teman sekolah ku ada beberapa orang yang bekerja paruh waktu. Aku juga pasti bisa, Bu.”

“Jangan, Nak … Ibu tidak mau menyusahkan mu, padahal dulu ibu sudah dengan tega memberikan mu pada mereka. Ibu minta maaf, karena kamu terlahir dari wanita miskin seperti ibu, yang tak bisa memberi mu kehidupan yang layak. Kamu pasti malu menjadi anak ibu. Sementara kamu sudah terbiasa hidup berkecukupan dengan orang tua asuh mu. Maafkan ibu, nak.” Mira menundukkan kepalanya sembari terisak.

Raline berhenti memijat, ia duduk di tempat tidur di sebelah Mira. “Bu, ibu gak boleh ngomong gitu. Walau bagaimana pun aku tetap anak ibu … Aku tahu Ibu melakukan hal itu karena terpaksa dan demi kebaikan ku. Kalau dulu Ibu tidak memberikan ku pada mereka, mungkin aku tidak akan bisa hidup sampai sekarang. Aku sangat menyayangi mu, Bu.” Raline memeluk Mira.

“Ibu juga sangat menyayangi mu, anakku.” Mira membalas pelukan putrinya.

"Ibu harap kamu dan Elsa selalu menyayangi dan menjaga satu sama lain, saat ibu umsydah tak bersama kalian," ucapnya mengusap- usap punggung Raline.

"Ibu kok ngomong gitu?" Raline melepaskan pelukannya dan menatap mata ibunya karena merasa heran sekaligus takut.

Mira hanya tersenyum. " Sudah malam, ayok kita tidur," ajaknya lalu memberikan selimut pada Raline. Mereka pun tidur.

**

Keesokan harinya, pukul setegah enam pagi Mira sudah bersiap. Ia memakai pakaian tertutup dengan mengenakan kerudung. Elsa pun sudah memkai seragam sekolahnya dan tengah menyantap sarapannya.

“Loh, Ibu sama Elsa mau kemana sepagi ini?” tanya Raline yang baru keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk kimono.

“Sudah sana pakai baju seragam mu dulu, terus sarapan. Kita akan pergi ke suatu tempat, sebelum kalian berangkat ke sekolah.” Mira bukannya menjawab, malah menyuruh Raline bersiap.

Raline pun masuk ke kamar, dan dalam sepuluh menit ia sudah keluar degan memakai seragam serta menggendong tas ranselnya.

“Emangnya kita mau kemana sih, Bu?” Raline masih penasaran.

“Hari ini tepat tiga tahun meninggalnya ayah kalian. Ayok kita ke makam ayah kalian, sebleum kalian beangkat sekolah.” ucap Mira.

“Ayahku? Maksud ibu ayahnya Elsa?” tanya Raline.

Mira merasa heran dengan ucapan Raline. “Iya, ayah kalian. Ayah kamu dan Elsa.”

“Maksud ibu, ayah tiri ku?” Raline kembali bertanya untuk memastikan.

“Tentu saja ayah kandung mu, Raline.” Mira memperjelas.

“Apa? Ayah kandung ku?” Raline terkejut mendengarnya.

“Iy iya .…” Mira merasa heran dengan pertanyaan Raline.

“Tapi, ayah kandung ku kan Papa Syarief.”

Kini giliran Mira yang terkejut. “Bukan, Raline ….”

“Ma maksud ibu apa?” Raline semakin bingung.

“Bukankah Syarief dan Rahmi sudah memberitahukan mu semuanya? Berarti kamu juga tahu soal ayah kandung mu?” Mira berpikir Raline sudah mengetahuinya.

“Mama cuma bilang kalau ibu menukar ku dengan Naz saat kami baru lahir. Dan itu berarti aku anak Ibu dan Papa Syarief, kan?”

“Bukan, nak … Sayrief bukan ayah kandung mu.”

“Apa? Jadi Papa buka Ayah kandung ku?” Raline kembali terkejut mendengar pernyataan Mira.

“Bukan, nak … Ayah mu sudah meninggal, dan ia yang mendonorkan jantungnya untuk memberi mu kehidupan.”

“Gak … gak mungkin, itu semua gak mungkin.” Raline membekap mulutnya sendiri dan ta terasa air mata pun jatuh begitu saja.

“Tapi itulah kenyataannya, Nak ….” ucap Mira lirih.

“Enggak … ibu pasti bohong !!” Raline menggelengkan kepalanya karena merasa tak percaya.

“Ibu tidak bohong, Nak. Ibu pikir kamu sudah tahu ….”

“Ibu itu sebenarnya wanita macam apa? Ibu sudah tidur dengan beberapa lelaki, hah?” bentaknya pada Mira.

“Kakak !!” Elsa membentak Raline.

“Saat kejadian malam itu, Ibu sedang mengandung mu, Raline. Hiks hiks ….” lirihnya terisak.

“Enggak … Enggak mungkin !!” Raline berteriak dan menangis histeris dengan kedua tangan yang menutup telinganya.

“Raline ….” Mira mendekat dan hendak memegang tangan Raline, namun ia segera menempasnya.

“Jangan sentuh aku !! Aku benci sama ibu, aku benci … dasar wanita murahan !!!” Raline membentak ibunya. Ia lalu beranjak pergi, berlari sekencang mungkin meninggalkan rumah ibunya dengan hanya beralaskan sandal.

Hatinya begitu hancur mengetahui jika pria yang selama ini sangat ia sayangi ternyata bukan ayah kandungnya. Ia pun sangat marah terhadap ibunya. Rasa malu dan sesal ini meliputi dirinya, karena ia beranggapan dirinya terlahir dari seorang wanita murahan.

Raline terus berlari dengan deraian air mata, hinga ia sampai di jalan raya. Ia mengedarkan pandangannya kesana kemari, dan ia pun mengentikan sebuah taksi.

Mira dan Elsa mengejar Raline, namun mereka tak sanggup mengejar lagi setelah melihat Raline menaiki sebuah taksi.

“Raline ….” teriak Mira diiringi tangisan.

“Sudah, Bu … biarkan Kak Raline pergi. Dia sudah tega membentak dan menghina Ibu.”

“Enggak, Elsa … dia tetap anak Ibu. Ibu yang salah … Maafkan Ibu, Raline …. Huhuhuhuhu ….” Mira yang tak kuasa menahan kesedihan dan rasa bersalahnya, seketika pingsan di pinggir jalan.

Elsa berteriak minta tolong dan datanglah beberapa orang yang menolong mereka.

Sementara Raline di dalam taksi terus menangis. Sopir taksi yang bebrapa kali menanyakan tujuannya pun tak digubris sama sekali. Ia malah menangis semakin kencang.

Setelah mulai reda, Raline mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Hallo … tolong aku. hiks hiks ….”

------------------- TBC ----------------

**************************

Happy Reading ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!