Rahmi yang melihat orang itu nampak panik pun ikut panik. Ia teringat pada Raline yang ia tinggalkan di panti dalam keadaan tidur.
Pikirnya Raline menangis karena tak melihat keberadaannya disana yang merupakan tempat asing bagi Raline. Rahmi pun beranjak pergi meninggalkan danau itu dengan menggendong Naz agar bisa berjalan lebih cepat.
Tak lama ia bersama orang itu pun sampai di depan halaman panti. Betapa terkejutnya ia mendapati Anita, sang adik ipar tengah adu jotos bersama seorang wanita dengan kondisi pakaiannya agak kotor dan rambut keduanya berantakan. Sepertinya mereka sempat berguling di tanah.
Keduanya berusaha dipisahkan oleh Hafsah dan teman- teman Rahmi. Namun mereka berdua masih berteriak saling memaki. Rahmi segera menghampiri untuk menengahi mereka dan menyuruh orang tadi membawa Naz masuk ke dalam panti.
“Hentikan ! apa yang kalian lakukan!” Rahmi mencoba melerai keduanya, dan ia melihat ada beberapa orang menonton perkelahian mereka, termasuk anak- anak panti.
“Dia yang mulai duluan! Datang- datang langsung mendorong ku sampai jatuh ke tanah.” teriak Anita yang dipegangi oleh kedua sahabat Rahmi, sembari menunjuk wanita lawannya itu.
“Dia yang menjambak rambut indah saya!” wanita itu pun yang dipegangi Hafsah dan Fany meneriaki Anita.
“Hahaha, rambut indah ti hongkong! Keribo oge jiga domba galing.” Anita malah mengejek wanita itu.
"Hahaha, rambut indah dari Hongkong! Keribo juga kayak domba kriting."
“Apa? Kamu ngatain saya keribo kayak domba?” Wanita itu sewot tak terima dikatain mirip domba.
"Da he'euh atuh, tapi geulisan domba galing kamana- mana ketang.”
"Memang iya, tapi lebih cantik domba kriting kemana-mana kali.
“Ngomong pakai bahasa manusia dong!”
“Urang ge ngomong make bahasa jalema, maneh wae jin iprit teu ngarti bahasa sunda.” Anita terus memaki dengan bahasa Sunda.
"Saya bicara memakai bahasa manusia, anda saja jin iprit tidak mengerti bahasa Sunda.
“Dasar kampungan!” teriak wanita itu.
“Terus lamun urang kampungan, maneh kotaan kitu? Beungeut!”
" Terus kalau saya kampungan, lo kotaan gitu? Muka lo !"
“Diam!!” Rahmi meneriaki keduanya.” Apa kalian tidak malu menjadi bahan tontonan orang? Kalian benar- benar tidak tahu malu berkelahi di depan anak kalian!” ucap Rahmi yang melihat kedua anak lelaki yang wajahnya nampak bonyok pula.
Anita dan wanita itu pun berhenti saling meneriaki lalu mengedarkan pandangan. Mereka baru menyadari jika di sekeliling mereka ada beberapa orang yang sedang menonton atraksi keduanya. Mereka pun akhirnya berhenti berontak dari orang- orang yang memegangi tanganan mereka.
“Ayok, ikut saya masuk ke dalam untuk menyelesaikan masalah kalian berdua secara baik- baik.” Ajak Rahmi pada keduanya.
Anita dan wanita itu pun bersedia ikut bersama Rahmi masuk ke dalam. Keduanya duduk di ruang tamu panti tersebut, dan Rahmi meminta yang lainnya membawa kedua anak mereka ke dalam meninggalkan mereka bertiga.
“Ada apa ini sebenarnya?” tanya Rahmi pada kedua orang yang duduk di kursi yang berhadapan terhalang oleh meja.
“Kemarin Arsen sudah menjatuhkan Alisa, anak perempuan saya dari sepeda sampai kakinya terluka. Dan hari ini di sekolah, anak nakal itu memukul Hendri, anak lelaki saya. Padahal Hendri itu kakak kelasnya Arsen. Saya gak terima dong, kedua anak saya disakiti oleh anaknya dia.” Wanita itu menunjuk ke arah Anita.
“Itu mah karena anak dia yang mulai duluan. Alisa teh sudah merampas sepeda Raline dengan paksa dan Arsen memintanya mengembalikan sepeda adiknya itu. Anaknya dia teh gak mau mengembalikannya, itu teh namanya mencuri kan.”
“Anak saya bukan pencuri!”
“Wajar saja atuh anak saya menangkap pencuri, masih untung gak dilaporkan pada polisi juga.”
“Anak anda yang kriminal ....”
“Anak saya bukan kriminal. Dia teh datang ke kelas Alisa untuk meminta maaf karena insiden kemarin. Tapi Hendri malah menghajar anak saya. Wajar atuh anak saya membela diri.”
“Oh jadi anda menyalahkan anak saya? Makanya urus anak yang benar, jangan cuma diurus pembantu!”
“Sudah diam !!” Rahmi melerai kedua orang yang terus beradu mulut saling menyalahkan itu.
“Seharusnya kalian memberi contoh pada anak- anak kalian untuk menyelesaikan masalah dengan cara baik- baik. Kalian nasehati mereka, bukannya ikutan berkelahi seperti tadi. Apa kalian ingin anak kalian terus seperti itu saat bermasalah dengan orang lain?”
“Anak- anak itu emosinya labil, jadi kitalah sebagai orang tua yang harus membimbingnya dalam berperilaku serta mengendalikan emosinya. Kalau kalian seperti ini, sama saja membenarkan mereka berkelahi dengan temannya dan hal itu bisa menjadi kebiasaan bagi mereka. Bukannya menyelesaikan masalah, hal itu justru semakin menambah masalah. Saya harap kalian bisa bersikap bijak untuk kebaikan anak- anak kalian.”
Anita dan wanita itu pun terdiam mendengar ucapan Rahmi. Sepertinya keduanya baru menyadari bahwa yang mereka lakukan tadi adalah hal yang salah dan hanya memperkeruh keadaan saja serta mempermalukan mereka.
Rahmi meminta keduanya untuk saling bermaafan di hadapan anak- anak mereka yang dipanggil masuk ke ruang tamu. Ia pun meminta kedua anak itu berbaikan dan saling meminta maaf.
Mereka pun meminta maaf pada pengurus panti yang membawa Arsen dan Hendri masuk ke ruang tamu, karena telah membuat keributan di panti tersebut. Setelah itu mereka pun berpamitan pulang.
Rahmi yang kebetulan tidak membawa mobil, pulang bersama anak- anaknya dengan mengendarai mobil Anita. Anita duduk di jok sebelah pengemudi, sedangkan Raline, Arsen dan Naz duduk di jok penumpang.
Tak lama, mereka pun sampai di depan rumah Anita dan selama di perjalanan tak ada pembicaraan diantara keduanya. Hanya kedua putri mereka yang terus mewawancarai Arsen yang nampak babak belur itu.
Setelah turun dari mobil, Naz dan Raline tak mau ikut ke rumah Rahmi. Mereka lebih memilih masuk ke rumah Anita dengan alasan ingin mengobati Arsen. Padahal ia sudah diobati saat di sekolahnya. Bahkan tak biasanya Raline sampai meminta izin untuk menginap di rumah Anita, karena biasanya Naz lah yang selalu ingin menginap di rumah Rahmi.
**
Rizal yang baru pulang jam delapan malam tak langsung pergi ke kamarnya, melainkan masuk ke kamar Arsen.
“Ayah … “ seru Naz saat melihat ayahnya masuk dan langsung berlari menghampiri ayahnya. Rizal pun mengulurkan kedua tangannya dan memeluk putrinya.
“Muach muach muach “Rizal menciumi wajah putri kesayangannya itu.
“Ih, ayah geli … “ Naz menggelengkan kepalanya dengan manja.
“Hehehe, Putri kecil ayah kok belum bobo?” tanyanya.
“Aku sama Olin mau nemenin kakak disini, Ayah.”
“Sayangku, ini sudah malam, sudah waktunya kalian tidur. Supaya besok subuh saat bangun tubuh kalian segar dan saat di sekolah semangat belajarnya.”
“Kalau gitu aku sama Olin mau bobo disini aja di kamar kakak.”
“Kalau kalian bobo disini, nanti kamar putri cantik ditempatin sama Kak Dandy atau Kak Rezki.”
“Gak boleh, Kak Dandy sama Kak Eki suka ngumpetin mainan aku.”
“Kalau begitu, kamarnya jangan ditinggal lama- lama. Kalian bobo dulu ya, ayok ayah antar naik ke kamar mu.”
“Iya.” Naz mengangguk. “Ayok Olin, kita pergi ke kamar aku.”
Raline yang sebenarnya masih ingin di kamar Arsen pun dengan terpaksa mengikuti ajakan Naz. ia turun dari tempat tidur Arsen lalu berjalan menghampiri Rizal dan Naz. Mereka pun pergi meninggalkan Arsen.
Rizal menyelimuti Raline dan Naz yang sudah berbaring di atas tempat tidur setelah mereka selesai dari kamar mandi. Rizal mencium kening kedua anak gadis itu secara bergantian, setelah keduanya membaca doa sebelum tidur.
“Selamat malam putri kecil ….” ucap Rizal yang kemudian menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu ruangan. Ia pun turun lagi dan kembali masuk ke kamar Arsen.
“Bangun kamu ....” ucapnya membentak Arsen yang sudah selimutan, ia pun bangun dan duduk di tempat tidurnya. Arsen menundukkan kepalanya, karena sudah tahu jika Ayahnya akan memarahinya.
“Bagus kamu ya, masih anak ingusan saja sudah belajar berkelahi. Mau jadi apa kamu, hah?” Rizal nampaknya sudah mulai habis kesabaran menghadapi Arsen yang bandel.
Arsen tak menjawab dan terus menundukkan kepalanya seolah bersiap menerima kemarahan ayahnya.
“Ayah sangat malu sering menerima laporan dari sekolah mu karena kamu suka ngerjain anak lain. Kemarin orang tua anak perempuan datang kesini, karena kamu mendorongnya sampai terluka, beraninya sama anak perempuan. Dan tadi pagi kamu berkelahi di sekolah. Kamu itu dari kecil bandelnya gak hilang- hilang. Atau kamu mau ayah memasukan mu ke pesantren seperti Hardi?”
Arsen yang masih menunduk hanya menggelengkan kepalanya tanda ia tidak setuju dengan tawaran Ayahnya.
“Contoh Dandy dan Rezki, mereka selalu berprestasi dan tak pernah membuat masalah di sekolahnya. Mau jadi apa kamu kalau terus bandel seperti ini, hah?”
Arsen merasa geram karena selalu dibandingkan dengan kedua kakaknya. Ia menegakkan kepalanya, dengan berani menatap sang Ayah.
“Kak Dandy dan Kak Rezki terus yang selalu dipuji puji oleh Ayah. Sedangkan aku selalu salah di mata ayah!! Ayah selalu pilih kasih …” ucapnya dengan suara lantang.
“Diam kamu!” Rizal menarik tangan Arsen. “Sini kamu, ikut ayah.” Rizal menyeret Arsen pergi keluar kamarnya.
“Ayah, lepaskan! Aku mau dibawa kemana?” Arsen berontak saat Rizal membawanya melewati pintu dan keluar dari kamarnya.
“Diam! Ayah akan menghukum kamu!” Rizal terus menyeret Arsen berjalan menuju arah dapur.
“Jangan Ayah, aku mohon jangan kurung aku di gudang lagi, disana gelap Ayah, aku mohon!” Arsen nampaknya sudah mengetahui kemana ia akan dibawa.
“Om, KaChen mau dibawa kemana?” teriak seseorang dari depan pintu kamar Arsen yang mampu membuat Rizal menghentikan langkahnya. Anak itu berlari menghampiri Rizal dan Arsen.
“Om, KakChen mau dibawa kemana?” Raline kembali bertanya.
“Raline kembali ke kamar … Om akan menghukum kakak mu yang bandel ini.”
“Ayah maafkan aku … Tolong jangan kurung aku di gudang, aku takut … disana gelap, Ayah. Ampun , Ayah.” Arsen terus memohon.
“Diam kamu …ayo cepat ikut Ayah.” Rizal kembali melanjutkan langkahnya sementara Raline balik kanan dan beranjak pergi tanpa menoleh lagi.
Arsen yang melihat hal itu merasa sedih, karena Raline tak mau ikut membujuk Ayahnya dan malah pergi begitu saja. Ia pun dimasukan ke dalam gudang yang terletat di dekat dapur.
Blam …
Rizal kembali menutup pintu gudang lalu menguncinya.
Dor dor dor …
Arsen menggedor gedor pintu sembari berteriak.
“Ayah, buka … aku mohon buka … jangan tinggalkan aku disini. Aku janji tidak akan nakal lagi, aku mohon buka, Ayah …” Arsen terus berteriak sembari menggedor pintu.
“Renungkan kesalahan mu, Arsen. Ayah tidak akan percaya lagi dengan janji mu!” ucap Rizal lalu mencabut kunci pintunya.
Dor dor dor …
“Ayah, aku mohon buka … buka Ayah …” Arsen terus berteriak, hingga ia menangis lalu duduk di lantai dengan menyandarkan punggungnya ke pintu. “Buka Ayah … buka… hiks hiks.”
“Ayah, Kakak dimana? Jangan kurung kakak di gudang lagi, Ayah.”
Arsen menghapus air matanya saat mendengar suara adiknya dari luar sana. “Naz, tolong kakak Naz …” Arsen kembali berteriak dengan menggedor pintu.
Namun ia tak mendengar lagi suara adiknya. Ia kembali menangis sembari duduk memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Mungkin ia hanya berhalusinasi, pikirnya. Ia menangis karena ketakutan ditinggal di tempat yang gelap. Lampu disana mati dan belum diganti, tak ada penerangan sama sekali.
“Ayah … jangan kurung aku disini, aku takut, Ayah.” Lirihnya sembari menangis, tangannya semakin erat memeluk kedua kakinya dan tubuhnya pun gemetaran.
Sementara di ruang tengah, Naz dan Raline yang digendong oleh Rizal terus berontak minta diturunkan. Namun Rizal tak menghiraukan mereka dan terus berjalan menaiki tangga menuju kamar Naz.
“Ayah lepaskan!! aku mau menolong kakak, ayah jahat ayah jahat.”
“Lepaskan KaChen, Om … kaChen takut gelap, Om.” Raline ikut memohon.
“Kalian kalau tidak diam, kita bisa jatuh dari tangga ini,” ucap Rizal yang sedang menaiki tangga, dan keduanya pun tak berontak lagi, karena takut saat melihat ke bawah.
Rizal pun membawa keduanya masuk kembali ke kamar Naz, ia pun menurunkan kedua anak itu.
“Sekarang kalian tidur, ayah tidak mau dengar kalian merengek lagi. Atau mulai besok kalian tidak boleh bermain atau menginap bersama lagi. Ayah akan memnawa Naz ke Bandung tinggal di rumah Mimih.”
Seketika keduanya langsung terdiam saat mendengar ancaman Rizal. Tentunya mereka yang selalu bersama seperti anak kembar itu takut jika dipisahkan.
“Ayok berbaring lagi di tempat tidur. Ingat ya, jangan ada yang turun lagi ke bawah.”
“Ayah jahat, aku gak sayang ayah lagi.” Bentak Naz lalu ia menarik selimut dan menyembunyikan dirinya di dalam selimut karena marah pada ayahnya.
Rizal menghela nafas berat kemudian beranjak pergi dan masuk ke kamarnya yang hanya terhalang oleh kamar mandi dari kamar Naz. Ia mendapati istrinya sudah tidur lelap, sepertinya sangat lelap hingga ada keributan dari ketiga bocah itu pun tak membuatnya terbangun.
Ia mengambil handuk dan pakaian ganti, lalu pergi ke kamar mandi yang berada di luar kamarnya.
Saat ia selesai mandi dan baru masuk ke kamarnya, ada yang menarik tangannya dari belakang. Ia pun menoleh ke arah belakangnya.
“Raline ….”
“Om, tolong keluarkan KaChen dari gudang. KaChen takut gelap, Om.” Raline memohon sembari terisak.
“Raline, Arsen itu nakal dan harus mendapatkan hukuman supaya dia gak nakal lagi.”
“KaChen gak nakal, Om. KaChen berantem karena nolong aku, Om. KaChen itu baik, Om.”
“Sudahlah, dia dihukum hanya semalaman saja, besok subuh juga akan dikeluarkan dari gudang. Kamu kembali lagi ke kamar ya.”
“Gak mau, aku akan tetap disini sampai Om mengeluarkan KaChen.”
Rizal mendengus kesal, kemudian ia menggendong Raline dan membawanya kembali ke kamar Naz. “Sudah jangan pikirkan Arsen lagi, tuh lihat Naz saja sudah tidur. Sekarang kamu uga tidur, kaena Om juga capek dan ngantuk, selamat malam Raline,” ucapnya kemudian beranjak pergi.
**
Baru saja beberapa menit Rizal berbaring di tempat tidur tepat disebelah istrinya, ia kembali mendengar suara dari balik pintu kamarnya.
Tok tok tok …
“Om, tolong keluarkan KaChen dari gudang, Om. Aku mohon, kasihan KaChen, Om.” Raline terus memohon.
Rizal mendengus kesal. “Anak itu, benar- benar tidak mau menyerah. Sudahlah, aku sangat lelah hari ini, tidak usah menghiraukannya. Nanti juga kalau dia capek, pasti berhenti memohon dan kembali ke kamarnya,” ucapnya berdialog sendiri, kemudian ia berbaring menyamping dan menutup telinganya dengan bantal hingga ia tertidur.
“Emh … “ Anita terbangun dari tidurnya. “Ayah, jam berapa ini?” tanyanya pada sang suami. Bukan jawaban yang ia dengar, melainkan dengkuran keras suaminya.
“Ya ampun, aku belum shalat isya.” Anita baru teringat, dan setelah kesadarannya terkumpul ia pun bangkit dan menyalakan lampu kamarnya. Anita lalu berjalan menuju pintu keluar.
Ceklek …
“Astagfirullah …. “ ia terkejut melihat ada sesuatu tepat di depan pintu. Anita berjongkok dan melihatnya dengan seksama. “Raline … kamu teh ngapain tidur di sini? kamu ngelindur ya?” ucapnya sembari menepok pipi Raline.
Anita dengan segera menggendong Raline yang masih tertidur lelap. “Ya ampun, kasihan banget kamu teh pasti kedinginan tidur di lanati seperti itu.” ucapnya lalu masuk ke kamar Naz dan membaringkan Raline di sebelah Naz.
“Om, tolong keluarkan KaChen dari gudang, Om … KaChen takut gelap, Om.” Raline mengigau.
“Ya ampun, anak ini sepertinya mimpi buruk tentang Arsen," gumamnya pelan.
“Huhuhuhuhu … tolong KaChen, Om … huhuhuhu.” Raline terus mengigau sampai ia menangis.
“Raline … sayang … “ Anita menepok pipi Raline.
“KaChen ….” Teriak Raline yang kemudian membuka matanya. Anita dengan segera memeluk Raline dan menenangkannya.
“Bunda, tolong KaChen, huhuhuhu.”
“Ssssttt, sayang … kamu teh cuman mimpi buruk, tenang disini ada bunda ya. Mending kamu tidur lagi aja, ini baru jam satu malam.”
“Enggak Bunda, semalam Om Izal mengurung KaChen di gudang karena berkelahi disekolah, huhuhuhuu.”
“Apa?” Anita terkejut.
“Iya, Bunda. Gudangnya dikunci sama Om Izal, kuncinya dibawa.”
“Ya ampun, Arsen kan takut banget di ruangan gelap … Yasudah, kamu tidur lagi aja, Bunda mau ambil kunci dan mengeluarkan Arsen dari sana.”
Anita bergegas pergi ke kamarnya untuk mengambil kunci gudang yang ternyata ada di atas nakas. Ia segera pergi ke lantai bawah dan tanpa sepengetahuannya Raline pun ikut turun.
Saat tiba di dapur, Anita bertemu dengan Rezki yang sudah mengambil air minum.
Mereka berdua pun pergi ke gudang. Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu gudang mendapati Arsen yang tergeletak di lantai dengan memeluk kakinya yang di tekuk. Ia menggigil sembari terus memohon agar dibukakan pintu dan dikeluarkan dari sana.
Hati Anita merasa teriris melihat kondisi Arsen, dan saat disentuh dahinya ternyata panas. Anita dan Rezki menggotong lalu membawa Arsen ke kamarnya.
Setelah membaringkan Arsen, Anita pergi ke dapur untuk membawa air panas dan handuk kecil untuk mengompres Arsen. Ia meminta Rezki untuk mengambilkan thermometer di kamarnya. Saking paniknya, Ia tak menyadari keberadaan Raline di kamar Arsen.
Raline naik ke atas tempat tidur Arsen dengan raut wajah sedih.
“KaChen … hiks hiks.” Ia berbaring di sebelah Arsen dan memeluknya yang tengah menggigil dan terus mengigau.
“Ayah … buka pintunya, Ayah …Disini gelap … aku takut ….”
“Maafin Olin, KaChen … hiks hiks.” Raline terus menangis dan mengeratkan pelukannya pada Arsen.
--------- TBC ---------
********************
Happy Reading😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
RaniRiki
Olin udah perhatian dari kecil ya....
Ama arsen...
duh bpk2 tu emang ya kalau udah emosi...
kan kasian anaknya atuh sampai demam gitu...
2021-07-15
0
Adhianna Thalita
uuuuhhhh olin udah sweet dari kecil ya sama kaka chen....😘
kesian arsen, senakal nakalnya anak gak seharusnya d hukum dengan kekerasan atau sesuatu yg bikin anak trauma karna itu akan mempengaruhi mental anak itu sendiri....😇😇😇
2021-07-14
1