Gawat, Bu !!

Anita yang baru saja menyuapkan makan siangnya, langsung menghentikannya setelah mendengar teriakan Arsen. Ia beranjak dari ruang makan dan berlari menuju kamar Arsen yang ternyata pintunya sudah terbuka.

Mbak Iyem pun membuntuti sang majikan dari belakang. Nampak Mbak Tati yang baru saja memasuki kamar Arsen.

Suara teriakan berubah menjadi suara jeritan tangisan Arsen yang meringis kesakitan. Saat memasuki kamar, Anita terkejut melihat Naz dan Raline juga ikut menangis di kasur yang sama bersama Arsen.

Nampak mbak Tati menggendong Raline dan terlihat telapak tangan Raline terkena cairan betadine.

“Ada apa ini?” tanya Anita panik.

“Huaaaaaaa … Raline mencekik tritit ku, bunda … huaaaaa … sakiit ….” Arsen menjawab disela tangisannya.

Ketiga bocah itu menangis bersamaan dan membuat Anita semakin panik. Ia segera menghampiri putranya. Dan melihat keadaan burung perkutut yang sudah dicekik oleh Raline.

“Astagfirullah … itu teh udah mau kering, kenapa atuh malah dipegang sama Raline. Aduh ya ampuun ….” Anita segera menggendong Arsen dengan hati-hati untuk menenangkannya.

Sedangkan Naz digendong oleh Mbak Iyem.

“Udah udah ya … gak apa- apa kok trititnya, cuman dipegang aja kan? Gak terluka kok," ucapnya melihat ke arah tritit Arsen, karena sang anak belum berani memakai celana.

“Sakit bunda … tadi dicekiknya kencang, huaaaaa ….” Arsen tak mau berhenti menangis dan mengosehkan kakinya.

“Sudah atuh diam ya, nak … nanti teh kalau kakinya gerak- gerak terus, trititnya sakit lagi loh. Kamu mah dipegang burung saja sampai nangis kejer, udah kayak orang kehilangan keperawanan aja.”

“Den Arsen kan laki- laki, Bu. Jadi hilang keperjakaan bukan keperawanan.” Mbak Iyem mengoreksi ucapan majikannya.

“Eh, iya lupa. Hahaha ….”

Kedua balita pun sudah berhenti menangis, karena mendengar tangisan Arsen sudah reda.

Arsen melihat ke arah Raline yang ternyata dia malah menertawakan Arsen. Ia langsung menunjuk Raline dengan tatapan tidak suka.

“Kamu … dasar borlin !!” ia mengatai Raline dengan sebutan aneh. Si balita malah tertawa seolah merasa senang mendapat panggilan aneh dari Arsen.

Gara- gara insiden itu, Arsen kembali tidak mau ditinggal oleh Anita sampai luka jahitnya benar- benar kering dan sembuh. Dan selama itu, Naz diungsikan sementara waktu di rumah Rahmi dan dilarang bermain di rumah Anita.

Namun setelah Arsen sembuh, ia kembali bermain lagi dengan Raline dan Naz. Semenjak kejadian pencekikan burung perkutut miliknya, ia memanggil Raline dengan sebutan Borlin. Si anak yang belum mengerti, senang aja dipanggil seperti itu oleh Arsen.

Meski ia sering merasa kesal karena dikerjai oleh kedua adiknya itu, tak membuatnya kapok bermain bersama mereka.

Dan ketiga anak yang berbeda usia itu pun tumbuh bersama hingga ketiganya kini sudah bersekolah.

**

Naz dan Raline kini berusia lima tahun dan sudah masuk sekolah TK, sedangkan Arsen berusia sembilan tahun sudah duduk di kelas 3 SD.

Ketiganya masih selalu bermain bersama, bahkan jika Naz dan Raline yang diganggu oleh teman sekolah atau anak yang satu komplek dengan mereka, Arsen akan memberi pelajaran pada anak- anak itu.

Sepeti hari ini, hari minggu pagi Raline bermain sepeda di lapangan sekitar komplek perumahan bersama Naz. Ada dua orang anak perempuan seumuran Arsen, tiba- tiba mengambil sepeda Raline secara paksa kemudian memakainya keliling lapangan.

Naz langsung berlari ke rumahnya dan mengadukannya pada sang kakak. Arsen yang sedang mengerjakan PR segera pergi bersama Naz ke lapangan yang tak jauh dari ruahnya itu. Ia menghampiri kedua anak yang tengah memakai sepeda Raline.

“Heh, kembalikan sepeda adikku!” seru Arsen sambil bekecak pinggang.

“Gak mau, aku kan sedang meminjamnya,” anak perempuan itu menolak mengembalikan sepeda Raline.

“Bohong … dia gak bilang pinjam, kakak.” Naz menyangkal perkataan anak itu.

“Ayo sini balikin.” Arsen memegang stang sepeda tersebut.

“Kalau aku gak mau, kamu mau apa? Wle,” anak itu malah mengejek.

“Aku akan menendang bokong mu sampai kamu tidak akan bisa duduk di sepeda itu lagi, bahkan tidak bisa duduk sama sekali.” Arsen mengeluarkan ancaman.

“Gak mau, apa yang sudah di tangan ku akan menjadi milikku.” Anak perempuan itu bersikeras tak mau mengembalikannya dan mengklaim sepeda itu miliknya.

Brukkk … dedebuk …

Arsen mendorong anak yang sedang menaiki sepeda itu hingga ia terjatuh dengan kaki sebelahnya tertimpa sepeda.

“Dasar pencuri !” Arsen memakinya.

“Huaaaaaa … Mama … kaki ku sakit…” anak itu pun menangis.

“Rasakan …” Arsen mengambil sepedanya kemudian ia membawanya dan memberikannya pada Raline.

“Borlin, nih sepeda mu ...” ucapnya saat sudah berada di depan Raline yang sedang duduk di kursi pinggir lapangan.

“Horee … terimakasih Kak Chentong, kamu memang pahlawanku.” Raline merasa senang dan mengangkat tangannya bersorak gembira.

“Ih kenapa sih suka manggil Kak Chentong, aku ini orang, bukan centong nasi.” Arsen merasa kesal dengan panggilan aneh dari Raline. Padahal ia sudah lama memanggilnya seperti itu dan sering diprotes oleh Arsen. Namun ia tak mau menuruti Arsen dan mengklaim itu adalah panggilan kesayangannya.

“Abisnya Kak Chentong juga manggil aku Borlin, wle ….”

“Hahaha … Centong Borlin, itu bahasa alien ya. Hahaha.” Naz malah menertawakan keduanya.

“Emm ... supaya gak terlalu panjang seperti kereta api tut tut tut, aku panggil KaChen aja ya.” Raline malah menyingkat panggilan kesayangannya.

“Terserah, ayok kita pulang ….” Arsen mengajak kedua adiknya pulang.

Raline yang sejak tadi duduk di bangku pinggir lapangan, kini bangkit. “Aduh … kaki ku sakit, kepalaku juga pusing.” ucap Raline yang kesulitan berjalan lalu tangannya mengusap kepalanya sendiri.

“Kamu kenapa, Borlin?” tanya Arsen.

“Tadi olin jatuh di dorong si kaka nakal itu,” ucap Naz melapor sambil melirikan matanya pada si anak nakal yang sedang menangis.

Arsen tak tega membiarkan Raline berjalan dengan kesakitan seperti itu. Dilihatnya sepeda Raline yang terlalu kecil jika digunakan olehnya yang berperawakan tinggi. Akhirnya ia menggendong Raline di punggungnya, sekalian ia menuntun sepeda Raline. Karena tidak mungkin Naz mengendarai dua sepeda sekaligus.

Mereka pun beranjak pergi kembali ke rumah Raline dan tak menghiraukan anak perempuan yang masih menangis sambil duduk di atas tanah lapangan itu.

“KaChen ….” Ucap Raline dalam hati. Senyuman bahagia pun terukir di bibir manisnya. Ia menempelkan pipinya pada punggung Arsen yang seolah dijadikan bantalan olehnya.

Arsen pun mengantarkan Raline sampai ke kamarnya dan membaringkan Raline di tempat tidurnya. “Kakak pulang dulu ya, mau menyelesaikan PR.”

“Iya, KaChen … terimakasih,” ucap Raline tersenyum. Arsen pun hanya membalas dengan senyuman.

“Naz kamu mau nginap atau pulang?” tanya Arsen yang sudah sangat hafal kebiasaan adiknya.

Mungkin karena sejak bayi, Naz lebih sering di rumah Raline.Makanya saat diajak pulang susahnya minta ampun. Tak jarang baik ayah atau bundanya membawa Naz pulang saat ia sudah tidur nyenyak di malam hari. Seperti menculik anak saja.

“Hehehe, aku mau main disini, Kakak.”

Arsen pun beranjak pergi meningalkan Raline dan Naz untuk pulang ke rumahnya.

**

Sorenya Naz pulang ke rumah lewat pintu samping yang menghubungkan halaman samping rumahnya dengan halaman samping rumah Rahmi. Ia sudah terbiasa pulang sendiri, karena tak perlu keluar gerbang dan melewati jalan raya, sehingga tidak perlu diantar.

Ia pulang hanya untuk mandi dan berganti pakaian saja, dan setelah itu akan kembali ke rumah Rahmi. Namun saat ia baru masuk ke dalam rumah, ia melihat bundanya sedang memarahi Arsen di ruang tengah. Naz pun berlari menghampirinya.

“Bunda kenapa marah- marah sama kakak?” Naz berdiri di depan bundanya sembari berkecak pinggang seolah marah pada bundanya.

“Eta tah kakak kesayangan mu yang bandel itu sudah melukai anak orang sampai gak bisa jalan. Tadi orang tuanya teh datang kesini, minta pertanggung jawaban. Masih kecil saja sudah seperti ini, gimana kalau sudah besar nanti.” cerocos Anita yang merasa kesal dengan kelakuan Arsen.

Naz langsung mendekat pada Arsen yang sedang duduk di sofa dengan menundukkan kepalanya. Ia pun dudukdi sebelah kakaknya.

“Bunda jangan marahin kakak … kasihan kakak.” Naz memeluk kakaknya dari samping. “Kakak jangan takut ya, Adek akan jagain kaka," ucapnya seolah bundanya adalah musuh yang menyerang kakaknya.

“Bunda teh gak mau kalau kamu sampai membuat masalah lagi. Kamu teh dari dari kecil bandelnya minta ampun, jauh banget sama kakak- kakak kamu. Pokonya mah besok kamu teh harus minta maaf sama anak perpempuan yang udah kamu dorong dari sepeda di lapangan tadi,” ucap Anita dengan nada tegas pada Arsen.

“Hah, maksud bunda kakak nakal yang tadi?” Naz teringat dengan anak yang sudah merebut sepeda Raline saat bermain di lapangan.

“Kakak nakal? Kakak kamu ini yang nakal mah, dek.” Nita merasa heran dengan perkataan Naz.

“Kaka perempuan itu yang nakal, dia ngambil sepeda Olin. Terus dorong Olin sampai kakinya sakit dan Olin pusing kepala.” Naz menceritakan kejadian di lapangan tadi pagi.

“Apa?” Anita terkejut mendengarnya.

“Iya, bunda. Makanya kak Arsen ambil lagi sepeda Oline yang direbut kakak nakal itu.”

“Jadi anak perempuan itu yang mulai duluan?” Anita bergumam sendiri, emdian ia kembali menatap Arsen.

" Tapi kamu teh gak boleh membalas kenakalan dengan kenakalan lagi, Arsen. Apalagi anak itu seorang perempuan, memangnya kamu teh mau dibilang pengecut yang beraninya sama perempuan? Ayah sama bunda gak pernah ngajarin kamu menyakiti orang lain seperti itu.”

Arsen melepaskan pelukan Naz, kemudian ia bangkit dan pergi begitu saja ke kamarnya dengan membanting pintu.

“Arsen !!” Anita meneriaki putranya yang sudah masuk ke kamar.

“Kakak ….” Seru Naz yang kemudian bangkit dan hendak mengejar kakaknya. Namun Anita mencegahnya.

“Adek, gak usah nyamperin kakak kamu. Biarkan dia sendiri di kamarnya untuk merenungkan kesalahannya.”

“Tapi kakak sedih, aku mau sama kakak ….” Naz tak tega melihat kakaknya bersedih seorang diri.

“Jangan, sudah ayo kita mandi. Kamu teh udah bau acem gini.”

“Gak mau … aku ke kamar kakak.” Naz menghentakan kakinya.

“Kalau adek teh gak mau mandi, adek gak boleh ke rumah Mama Rahmi. Disini aja mainnya sama bunda.” Anita memberi ancaman jitu pada Naz. Dengan terpaksa ia pun langsung mengikuti perintah bunda nya.

**

Keesokan harinya sekitar jam sepuluh pagi, Anita sudah tiba di sekolah TK untuk menjemput Naz dan Raline. Ia menggantikan Rahmi, karena kakak iparnya itu sedang berhalangan. Naz pun merasa sangat senang karena hal itu terbilang jarang dilakukan oleh bundanya. Apalagi saat bundanya bilang akan membawanya dan Raline jalan- jalan dan membelikan mereka es krim.

“Dadah Kiara, dadah Andes, dadah Ruby ….” Naz berpamitan pada ketiga teman sekelasnya.

“Dadah Nanaz ….” ucap ketianya serentak sambil melambaikan tangannya.

Naz dan Raline pun pergi dengan dituntun oleh Anita. Mereka berjalan menuju tempat Anita memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolah tersebut.

Namun sayang baru saja hendak naik mobil, Anita menerima telpon dari seseorang yang mengharuskannya pergi ke sekolah Arsen. Ia pun melajukan mobilnya menuju sekolah Arsen yang terletak dekat dengan sebuah panti asuhan yang sudah sering ia dan keluarganya kunjungi.

Naz dan Raline dititipkan kepada pengurus panti tersebut yang bernama Hafsah. Sementara Anita pergi ke sekolah Arsen untuk menemui kepala sekolah dan Guru wali kelasnya Arsen yang tadi menghubunginya.

Hafsah membawa Naz dan Raline masuk ke dalam. Kemudian keduanya dibawa ke halaman samping panti asuhan tersebut. Ternyata disana ada Rahmi bersama teman- teman arisannya yang sedang berkunjung ke panti asuhan untuk berdonasi.

“Bude, itu Mama Ami kan?” tanya Naz yang menyadari keberadaan Rahmi.

“Iya, itu mama kalian,” ucap Hafsah yang memang sudah kenal dengan keluarga Naz yang merupakan donator tetap panti asuhan Kasih Ibu yang dikelola olehnya itu.

“Mama ….” Teriak Naz dan Raline yang berlari menghampiri Rahmi yang berada di halaman samping tengah membagikan bingkisan pada anak- anak panti.

“Loh, kalian kok ada disini? Bukannya bunda bilang mau ngajak kalian jalan- jalan.” Rahmi merasa terkejut dan heran dengan eberadaan kedua putrinya disana.

“Bunda lagi ke sekolah Kak Arsen,” ucap Naz.

“Iya, kita mau ikut gak boleh.” Raline nampaknya kecewa.

“Oh, yasudah kalian main disini saja ya, tuh banyak anak- anak yang seumuran kalian.” Rahmi menunjuk anak- anak yang sedang mengantri untuk menerima bingkisan dari para sahabatnya.

“Ayo Olin, kita main ….”ajak Naz.

“Gak mau, kepala ku pusing ….” Raline mengusap kepalanya dengan raut wajah lesu.

“Kamu kenapa sayang? Apa kamu sakit?” tanya Rahmi.

“Aku capek, tadi di sekolah main terus.”

“Sini mama gendong.” Rahmi mengulurkan kedua tangannya.

“Aku juga mau digendong sama Mama.” Naz merengek.

“Elea cantik … berat dong kalau mama gendong kalian berdua. Kamu main saja gih sama anak- anak yang lain. Atau bantu Tante Fany memberikan bingkisan pada anak- anak panti.”

“Aku mau aku mau ….” Ucap Naz dengan semangat.

“Mbak Rahmi bawa Raline masuk kedalam saja, biar Naz aku yang temani,” Hafsah menawarkan bantuan.

“Terimakasih ya,“ ucap Rahmi yang menggendong Raline, kemudian mebawanya masuk ke dalam.

Rahmi duduk di kursi tamu lalu menepok- nepok bokong Raline yang ditimang dipangkuannya hingga ia tertidur. Hafsah yang sudah kembali ke dalam dan menghampiri Rahmi, menyarankannya untuk menidurkan Raline di kamar keponakannya yang kebetulan belum pulang sekolah. Rahmi pun membawa Raline ke kamar tersebut.

Rahmi baru saja keluar dari kamar dan menutup pintunya dengan perlahan. Ia mendapati Naz yang menghampirinya dengan raut wajah sedih.

“Sayang, kamu kenapa? Kok sedih gitu?” tanyanya heran.

“Aku sedih, ternyata teman- teman disini kata Tante Fany gak punya papa-mama, juga kakak- adik. Mereka sendirian gak punya keluarga,” ucapnya dengan raut wajah sedih.

“Oh, sayangku … hatimu sungguh baik sekali, bisa merasakan kesedihan orang lain. Sini sayangku, Mama peluk anak mama cantik ini.” Rahmi mengulurkan kedua tangannya dan Naz pun langsung memeluk wanita yang sudah terbiasa dipangil mama olehnya itu. Rahmi menciumi pipi dan kening Naz.

“Supaya anak mama gak sedih lagi, mama akan ajak kamu ke suatu tempat.”

“Kemana? Jajan es krim?” Naz sepertinya masih berharap makan es krim karena bundanya tak jadi membelikannya es krim.

“Aduh sayang, jangan sering makan es krim ah, nanti sakit gigi loh … Ayok kita jalan ke sana.“ ajaknya dengan menuntun tangan Naz. keduanya pun keluar dari panti dan pergi menuju tempat yang disebutkan oleh Rahmi dengan berjalan kaki.

“Mama apakah masih jauh? Kenapa gak pakai mobil aja sih?” Naz sepetinya merasa capek terus berjalan.

“Sebentar lagi, sayang ….” Ucapnya tersenyum.

Tak lama mereka pun tiba di sebuah lahan kosong yang konon katanya akan diuat sebuah taman disana. Jaraknya sekitar 300 meter dari panti asuhan kasih ibu.

Rahmi berhenti di sebuah tempat dan mengajak Naz duduk di sebuah kursi panjang muat untuk duduk tiga orang yang terbuat dari besi.

“Mama kita mau berenang?” tanya Naz.

“Enggak sayang … Itu bukan kolam renang, namanya danau. Ya walaupun tidak seluas danau yang pernah ita kunjungi dulu. Ini danau buatan jadi ukurannya jauh lebih kecil. Mama sering datang kesini untuk menyendiri atau sedang sedih.”

“Jadi mama sekarang sedih?” Naz menatap wajah mamanya.

“Enggak, kan kamu yang lagi sedih. Jadi mama ajak kamu ke sini. Berdiam diri disini sembari melihat pemandangan danau, membuat hati kita menjadi tenang dan adem.”

“Adem itu dingin?” tanya Naz.

“Hahahaha … beda sayangku,” Rahmi tertawa melihat kepolosan Naz.

Tiba- tiba datang seseorang menghampiri mereka. Nafasnya terlihat ngos- ngosan, sepertinya sudah berlari dengan jarak tempuh yang jauh.

“Bu, Bu Rahmi ....” ucapnya dengan terbata- bata karena masih ngos- ngosan.

“Ada apa?” tanya Rahmi merasa heran.

“Gawat, Bu …. Itu ... anu … Bude minta saya memanggil Bu Rahmi ….” Orang itu bicara tidak jelas.

“Pelan- pelan dong bicaranya … ada apa sebenarnya?” Rahmi mulai panik kemudian berdiri.

“Gawat Bu, ayok cepat ibu kembali ke panti sekarang juga ….” Orang itu menarik tangan Rahmi dan Ia pun pergi dengan menggendng Naz agar bisa berjalan lebih cepat.

-------------- TBC-----------

*********************

Happy Reading …

Terpopuler

Comments

Murif Lestari

Murif Lestari

ada apa ni

2021-07-12

0

Nefertiri

Nefertiri

Ada sesuatu Olin atau bunda anita nih?

2021-07-11

0

Adhianna Thalita

Adhianna Thalita

hmmm gantuuung....😥😥

ada sesuatu yg terjadi kah pada olyne

2021-07-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!