Merindukan Kalian ....

“Hallo … Raline, kau dimana? Kemana saja kau?” tanyanya agak kesal.

“Tolong aku, hiks hiks.” Raline langsung mematikan telponnya begitu saja.

“Hallo ... Hallo Raline ….” Arsen tak mendengar suara Raline lagi. Ia pun kembali menghubungi nomor Raline.

‘Maaf nomor yang anda tuju sedang di luar jangkauan. Silahkan coba beberapa saat lagi.’

“Argh … sial, dia mematikan telponnya ….” Arsen merasa kesal.

“Dimana dia? Kenapa dia menangis dan minta tolong? Apa jangan- jangan … di diculik ….” Arsen berdialog sendiri.

“Ck, sudah lah … Kemarin saja dia tak bisa dihubungi, kenapa sekarang tiba- tiba menghubungiku?” Arsen yang baru saja masuk gerbang tol segera melajukan mobilnya untuk menuju Bandung.

Setelah satu jam menempuh perjalanan, ia mendapat telpon dari Anita. Arsen menggeser kursor warna hijau pada ponsel yang ia letakan pada dudukan ponsel di dashboard depan. Mode loud speaker pun diaktifkannya.

“Ya Hallo, Bunda.”

“Arsen, apa kamu tahu dimana keberadaan Raline?” Anita langsung melempar pertanyaan.

“Enggak.” Arsen menjawab singkat.

“Masa kamu teh gak tahu keberadaan Raline?” Anita merasa tak percaya.

“Aku gak tahu, Bunda … aku kan di Bandung.”

“Jangan pura- pura kamu teh! Bunda tahu kalau beberapa hari ini kamu tinggal di rumah sebelah. Dan itu atas bantuan Raline.”

“It itu … a aku …” Arsen menjawab dengan gelagapan.

“Cepet atuh kasih tahu Raline ada dimana? Itu Mbak Rahmi nyariin, jangan sampai kamu teh dilaporkan ke polisi karena nyulik anak orang.”

“Ya ampun Bunda, aku benar- benar gak tahu Raline dimana. Sudah beberapa hari ini aku tak bisa menghubunginya.” Arsen bicara jujur.

“Kalau gitu, sekarang kamu teh lagi dimana?” tanya Anita lagi.

“Aku lagi di tol menuju Bandung.”

“Balik lagi ke Jakarta sekarang!!"

“Ngapain, Bunda?”

“Balik sekarang!”

“Iya iya ….” Arsen pun manut.

Arsen lalu mencari gerbang keluar tol terdekat untuk kembali ke Jakarta. Walau sebenarnya ia sedang malas berurusan dengan Raline, namun ia tak bisa membantah perintah bunda nya.

Satu setengah jam sudah ia menempuh perjalanan hingga sampai di rumah bundanya. Ia pun turun dari mobilnya.

Anita langsung menyambut Arsen di depan pintu dengan tatapan tajam. “Dimana Raline?”

“Aku tidak tahu, Bunda.” Arsen masih mengatakan hal yang sama.

“Cari sekarang!” Anita langsung mengeluarkan dekrit kekaisaran.

“Apa? Aku baru saja sampai, masih capek.” Arsen masuk begitu saja ke dalam rumah dengan melewati bundanya.

Anita mendengus kesal. “Apa Raline ada menghubungi mu?”

“Tadi dia menelpon ku.” Arsen duduk selonjoran ke samping di kursi tamu.

“Kapan?” Anita pun ikut duduk di kursi yang berbeda.

“Pas aku baru masuk gerbang tol.”

“Dia bilang apa?” tanya Anita penasaran.

“Dia bilang tolong aku, kayaknya dari suaranya dia nangis.” Arsen bicara lurus tanpa ekspresi.

“Apa? Atuh kamu teh kenapa gak nolong dia, Arsen?”

“Aku telpon balik, handphone nya gak aktif.”

“Aduh,, dimana atuh ya dia teh?”

Arsen mengedikkan bahunya. “Memangnya ada apa?”

“Tadi teh bunda ditelpon Mbak Rahmi, katanya teh dia dikasih tahu sopir yang menjemput Raline dari rumah ibunya tidak menemukan keberadaannya. Bahkan Naz bilang Mira masuk rumah sakit pun Raline belum diberitahukan. Dicari di sekolah nya gak ada. Terus kata Elsa, Raline pergi dalam keadaan marah dan menangis. Makanya bunda nelpon kamu.” Anita menceritakan kronologi hilangnya Raline.

“Terus, apa urusannya dengan ku?” tanya Arsen heran.

“Apa? Kamu teh bener- bener ya. Memangnya kamu gak khawatir kalau terjadi sesuatu sama dia?” cerocos Anita kesal.

“Enggak.” Arsen menjawab dengan santainya.

Ting ting … Anita mendapat sebuah pesan pda ponselnya.

“Alhamdulillah …” ucapnya dengan perasaan lega.

“Bunda menang togel ya?”

“Sembarangan kamu … ayok antar Bunda ke rumah sakit.”

“Aku capek Bunda, kan bunda bisa nyetir sendiri.”

Anita mendengus kesal. Ia bangkit dari duduknya.

“Yasudah, Bunda akan pergi menemui Naz di rumah sakit sendirian saja.” ucapnya melengos begitu saja.

“Apa? Naz di rumah sakit?” Arsen terperanjat bangkit dari duduknya.

Ia mengejar Anita yang sudah menaiki tangga menuju ke kamarnya.

“Bunda, ada apa dengan Naz? kenapa dia ada di rumah sakit?” tanya nya yang sudah berada di kamar Anita.

“Itu bukan urusan kamu kan, Arsen. Bunda nyamperin Naz dulu ya, kamu mah istirahat saja di rumah, kan masih capek.” Anita malah menyindir Arsen.

“Bunda, aku ikut.”

“Gak usah … apa kamu teh lupa dengan perjanjian kita?”

“Persetan sama perjanjiannya, pokoknya aku ikut ke rumah sakit.”

“Kamu teh yakin?” tanya Anita ragu.

“Iya, ayok kita berangkat ….” Ucap Arsen tanpa takut dan ragu. Yang di pipikirannya sekarang hanya lah bertemu dengan naz secepatnya. Karena ia mengkhawatirkan Naz, tapi lebih kepada merindukannya.

Arsen kemudian keluar dari kamar Anita dan segera menuruni tangga dengan semangat karena akan bertemu wanita pujaan hatinya.

“Bagus Arsen … kamu lah yang melanggar perjanjian kita. Jadi Bunda berhak mencarikan pria lain untuk Naz." Anita bergumam dalam hati, kemudian ia tersenyum ketir. Ia kembali membuka pesan yang sebelumnya ia terima.

Naz

“Bunda aku sudah menemukan Raline”

“Dan sekarang kami sedang berada di rumah sakit”

“Ibu masuk ruang ICU”

“Raline sangat membutuhkan mu, Arsen …” gumam Anita dalam hati.

Anita menghubungi Naz dan menanyakan alamat rumah sakitnya. Ia kemudian menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas nya, ia lalu beranjak pergi.

Anita dan Arsen kini telah tiba di rumah sakit, keduanya segera menemui Naz yang sedang bersama Elsa di depan ruan ICU. Ia nampak memeluk gadis yang sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya terdengar suara isak tangis dari keduanya.

“Dek ….” Anita menyentuh bahu Naz dari arah belakangnya. Naz pun menoleh padanya.

“Bunda, hiks hiks.” Lirihnya yang kemudian melepaskan pelukannya dari Elsa.

“Kamu teh kenapa kok nangis gitu, Dek? Bagaimana keadaan Mira?”

“Ibu … ibu penyakitnya semakin parah … hiks hiks,” ucap Na smebari sesenggukan.

“Parah gimana?” Anita terkejut.

“Dokter bilang penyakit ibu sudah kronis. Ibu disarankan melakukan operasi lagi. Tapi ibu menolak dan meminta dokter merahasiakannya dari kami, hiks hiks.” Naz menjelaskan.

“Ya Allah, Mira …” Anita turut bersedih mendengarnya. “Terus Raline dimana?” ia mempetanyakan orang yang belum dilihatnya disana.

“Raline baru saja masuk ke dalam. Dia terus memaksa ingin melihat ibu, hiks hiks.”

“Sudah sudah, kalian teh jangan menangis ya. Lebih baik kalian teh berdoa untuk kesembuhan Mira.” Anita mencoba menenangkan kedua gadis yang terus menangis itu.

Sementara Arsen yang nampak tak dihiraukan keberadaannya, hanya berdiri saja seperti seorang pengawal yang tengah menjaga keamanan majikannya.

Raline yang sudah menggunakan pakaian steril khusus baru saja memasuki ruang ICU diantar oleh perawat yang kemudian keluar lagi meninggalkan Raline di dalam bersama ibunya.

Raline melangkah perlahan dengan air mata yang terus mengalir deras. Rasa sedih dan bersalah bercampur menjadi satu. Ia tak menyangka bahawa kemarahannya tadi pagi membuat ibunya sampai masuk ruang ICU.

Ia mengambil kursi dan duduk di sebelah ranjang. Hatinya semakin terasa sakit melihat keadaan ibunya yang berbaring lemah dan dipasang beberapa alat medis.

Disentuhlah tangan Ibunya dengan lembut, ditatapnya wajah wanita yang telah mengandung dan melahirkannya yang terlihat pucat pasi.

“Ibu … maafkan aku, hiks hiks … Maafkan aku, Bu,” ucapnya menunduk dengan penuh penyesalan.

Mira yang mulai sadar, perlahan ia membuka matanya. “Ra-line ….” ucapnya dengan suara lemah.

“Ibu … Ibu …maafkan aku, hiks hiks ... Maafkan aku sudah kasar sama ibu, hiks hiks.”

“Ibu minta maaf … Ayah mu sangat menyayangi mu,” Ucapnya terbata- bata. “Sejak tahu kamu putrinya … Ia ingin mengambilmu kembali, tapi dia takut tak bisa membiayai pengobatan mu.”

Raline hanya bisa menangis tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Maaf, karena ibu … kamu belum sempat bertemu dengan ayah mu. Dia hanya bisa melihat mu dari kejauhan.” Mira menghela nafas untuk mengumpulkan tenaga agar bisa terus bicara pada putrinya. Ia menggenggam tanga Raline.

“Tapi, sekarang dia sudah menjadi bagian dari dirimu,” ucapnya tersenyum, namun terlihat jelas ia menahan rasa sakit. “Ibu minta maaf … maaf Raline, maaf untuk segalanya ….” Mira sudah tak punya tenaga lagi untuk bicara. Ia menarik nafas yang nampak begitu berat. Ia menghembuskannya bersamaan dengan melepaskan genggaman tangannya.

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt ….

Alat pendeteksi detak jantung tiba- tiba berbunyi dengan menunjukkan garis lurus di monitornya. Raline luar biasa panik dan terkejutnya.

“Ibu … ibu … ibu bangun … bangun Ibu …”Raline menggoyang- goyang tubuh ibunya sembari menangis ketakutan.

“Dokter … suster ….!! Raline berteriak sekencang yang ia bisa.

“Ibu bangun, ibu bangun … huaaaaaaaa …” Raline masih berusaha membangunkan ibunya dengan menangis dan tubuhnya terasa bergetar ketakutan, takut akan terjadi sesuatu pada ibunya.

Tim medis telah masuk dan langsung memeriksa keadaan Mira. Salah satu perawat membawa Raline keluar dengan paksa, karena Raline terus menangis sambil berteriak.

Naz dan Elsa langsung menghampiri Raline yang baru saja keluar.

“Kak, Ibu gimana?” tanay Elsa cemas.

“Ibu … huaaaaaa …” Raline terus berteriak.

“Ibu kenapa, Raline?” Naz yang sama paniknya bertanya pada Raline.

“Ibu … huaaaaaaa…” Raline tak menjawab sati pun pertanyaan Naz dan Elsa.

“Suster ibu kami kenapa?” Naz yang merasa tak karuan bertanya pada perawat yang bersama Raline.

“Pasien sedang ditangani oleh dokter dan para perawat lainnya, Mbak. Harap kalian tenang,” ucap perawat itu.

“Ibu akan baik- baik saja, Raline. Ibu pasti baik- baik saja.” Naz dan Elsa memeluk Raline yang nampak ketakutan, ketiganya seolah saling menguatkan.

Tak lama dokter pun keluar dariruangan tersebut. Ketiga gadis itu segera menghampiri dokter.

“Dok bagaimana ibu kami?” tanya Naz harap- harap cemas.

“Dokter, detak jantungnya sudah kembali normal kan, dok?” Raline sangat berharap.

Dokter menundukkan kepalanya. “ Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan sudah berkehendak lain, Ibu Mira sudah meninggal.”

Raline, Naz dan Elsa sangat terkejut. mendengarnya, ketiganya seolah merasa kebas, bibir mereka membisu tak mampu berkata apa pun.

“Ibuuuuu .... “ ketiganya berteriak histeris.

Anita dan Arsen berusaha menenangkan mereka bertiga. Anita memeluk Naz dan Elsa, sedangkan Arsen memeluk Raline yang menangis histeris.

Setelah mereka diperbolehkan melihat jenazah Mira, semuanya masuk. Raline, Naz dan Elsa takhentinya menangisi kepergian ibu mereka. Hingga Raline pingsan dan dibawa ke ruang UGD dengan digendong oleh Arsen.

Anita mengurus administrasi dan menghubungi Syarief dan juga Rizal, suaminya. Mereka datang ke rumah sakit, begitu pula dengan Rahmi. Ia segera menemui Raline di ruang UDG untuk menguatkan dan menenangkannya.

Sementara Rizal dan Syarief ikut mengurus pemakaman Mira bersama para tetangga Mira. Mereka menunggu kedatangan kakak nya Mira yang merupakan keluarga satu- satunya yang dimiliki Mira sepeninggal orang tuanya.

Raline yang terlihat sangat lemas karena merasa sangat sedih dan terpukul, terus memaksa untuk ikut ke pemakaman. Dan setelah jenazah Mira dibawa ke rumah duka dan di shalatkan di masjid dekat rumah itu. Kemudian jenazah pun dibawa ke TPU yang sama dengan tempat mendiang suami dan putranya Mira dikuburkan.

Tangis Raline, Naz dan Elsa kembali pecah saat jenazah Mira dimasukan ke liang lahat. Apalagi Raline yang merasa sangat bersalah.

Setelah orang- orang meninggalkan pemakaman, Raline tak mau pergi. Ia terus memeluk papan nisan ibunya sembari menangis penuh penyesalan. Tak ada yang bisa membujuknya untuk pulang.

“Raline, ayok kita pulang … biarkan ibu beristirahat dengan tenang,” ajak Naz yang ditemani Anita, berada di hadapan Raline dan hanya terhalang oleh makam ibunya saja.

“Aku gak mau pulang, aku mau disini menemani ibu. Kasihan ibu sendirian, hiks hiks.”

“Istighfar Raline, jangan seperti ini … ayok pulang sama Mama ya, nak.” Rahmi pun ikut membujuk.

“Aku gak mau pulang, Ma … Aku mau nemenin Ibu, huhuhuhuhu ….” Tangisan Raline kembali pecah.

“Gak baik, nak … menagisi kuburan seperti ini. Ayok kita pulang ya, biarkan ibu mu beristirahat dengan tenang.” Rahmi terus membujuk, namun Raline tak bergeming. Ia tak mau melepaskan pelukannya pada papan nisan mendiang ibunya.

“Kakak … Kalau kakak disini, aku sama siapa? Hiks hiks.”

Mendengar suara Elsa, Raline seolah tersadar. Ada orang yang sama terpukulnya dengan dirinya karena kehilangan ibu mereka. Justru Elsa pasti jauh lebih sedih dibanding dirinya, karena kini Elsa tak punya siapa- siapa lagi selain dirinya.

Ia melepaskan tangannya perlahan dari papan nisan Mira. Pandangannya tertuju pada adiknya yang berdiri di belakangnya. Ia berusaha bangkit dan berdiri dengan dibantu oleh Rahmi yang semenjak dari rumah sakit, terus berada di sisinya.

“Elsa … hiks hiks”

“Kakak ….”Elsa mendekat, kemuidan ia memeluk kakaknya itu. Tangis keduanya pun kembali pecah.

“Sudah, nak … ayok kita pulang. Lebih baik kalian mendoakan ibu kalian daripada terus menangis dan meratapi seperti ini. Ayok kita pulang, hari sudah mulai sore.” Ajak Rahmi pada keduanya. Mereka pun kembali ke rumah duka.

Raline memutuskan untuk tinggal di rumah Mira bersama Elsa. Taka da yang biss menceghnya termasuk, Rahmi. Syarief yang mengkhawatirkan keselamatan putrinya, menugaskan beberapa orang untuk menjaga rumah itu.

Selama beberapa hari mereka ditemani oleh kakak nya Mira. Namun setelah tiga hari, beliau pamit pulang karena harus mengurusi suami dan anaknya.

Setiap pulang sekolah, Naz bersama ketiga sahabatnya selalu menemani Raline di rumah itu dan baru pulang sore. Karena Naz tak diizinkan menginap disana. Rahmi pun setiap hari datang mengantarkan makanan untuk kedua anak itu.

Raline kini tengah duduk berdua di atas tempat tidur bersama Elsa sembari melihat foto ayah dan ibu mereka.

“Elsa ….”

“Iya, Kak …”

“Ayah itu seperti apa?” tanya Raline yang tak berhenti memandangi foto ayah yang tak pernah ditemuinya seumur hidupnya. Ia memperhatikan setiap inci wajah ayahnya.

“Ayah orang yang sangat baik. Dia perkerja keras dan sangat menyayangi kami.”

“Aku iri pada kamu dan mendiang Eris. Kalian bisa merasakan kasih sayang ayah,” ucap Raline sendu.

“Tapi ayah juga sangat menyayangi mu, kak. Buktinya sebelum ayah meninggal, ia ingin mendonorkan jantungnya untuk kakak … Jadi, yang seharusnya iri itu aku, karena kakak memiliki bagian dari diri ayah.” Elsa seolah tak ingin membat Raline bersedih.

“Kenapa ayah meninggal? Apa dia juga sakit jantung seperti aku dan Eris?”

“Enggak, Kak. Ayah mengalami kecelakaan saat bekerja di tempat kontruksi kak. Ayah jatuh dari lantai empat, dan sebelum meninggal Ayah sempat mendapatkan penanganan medis selama dua hari di rumah sakit.” Elasa menceritakan penyebab kematian ayahnya.

“Apa?” Raline terkejut mendengarnya.

“Iya …” Elsa mengangguk.

“Apa tempat ayah berkerja bertanggung jawab?”

“Iya, Kak. Bahkan mereka memberikan aku dan Eris asuransi pendidikan. Tapi sayang, Eris juga malah ikut menyusul ayah.” Elsa kembali bersedih.

“Kamu jangan sedih … kamu masih punya kakak. Ibu bilang, kita harus saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain. Kita pasti kuat menjalani semua ini,” ucapnya memberi menguatkan adiknya. Mereka pun berpelukan.

“Sudah malam, ayok kita tidur. Besok pagi kita akan sibuk.”

“Iya, Kak …”

Keduanya pun tidur dengan Raline yang memeluk foto mendiang kedua orang tuanya.

“Selamat malam Ayah, selamat malam Ibu. Hadirlah dalam mimpiku, aku sangat merindukan kalian.” Pinta Raline dalam hatinya.

-------------- TBC ---------------

*************************

Happy Reding ….

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!