Diary Of A School : Marching Flower
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari Senin adalah hari yang sangat dibenci oleh semua pelajar, termasuk gadis cantik berkulit putih bernama Sheila Gouverneur, atau akrab disapa Shei.
Dia masih saja berbaring di tempat tidur dengan posisi yang membuat orang melihatnya menggeleng-geleng.
"Shei, bangun!"
BRUK! "--Aaaw!"
"Kamu nggak sekolah? Liat jam, ini udah jam berapa?"
Teriakan suara wanita paruh baya bernama Rosa membuat Shei terperanjat sampai terjatuh dari tempat tidurnya.
"Mah! Bisa nggak sih bangunin Shei nggak teriak-teriak?" keluhnya.
"Dih, mamah udah baik-baik bangunin kamu daritadi kamu nya aja yang kayak kebo dibangunin susah. Buruan mandi! Liat tuh, jam berapa? Mau nggak ikut ujian?"
Shei mengusap-usap pantatnya yang masih sakit melirik jam menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit.
"Mampus, Mah! Shei telat!" Shei berdiri, terbirit-birit masuk ke dalam kamar mandi.
"Ya Allah, punya anak gadis begini amat. Nggak ada akhlak sama orang tua sendiri."
Setelah melakukan ritual mandi dengan cepat tidak seperti biasanya, karena harus mengejar waktu. Seragam yang ia kenakan masih berantakan, dia berlari, melompat-lompat kecil sambil memasangkan sepatunya.
"Kalau bukan anak sendiri, udah papah buang ke kali," celetuk Kevin, pria paruh baya yang tengah duduk tenang sambil menyesap kopi di pagi hari.
"Pah, mah, aku berangkat."
"Shei..."
Suara Kevin membuat Shei harus mengubah tubuhnya kembali ke arah kedua orang tuanya. Shei mencium punggung tangan mereka "Assalamu'alaikum." Shei tersenyum manis.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Shei kembali melanjutkan langkahnya untuk menuju sekolah. Supir pribadinya sudah setia menunggunya di luar, Shei segera masuk ke dalam mobil.
"Pak, ngebut! Shei udah telat, nih!"
"Baik, Non Shei."
...****************...
Sedari tadi Shei tidak berhenti mengoceh kepada supirnya, untuk terus mengebut agar bisa sampai sekolah lebih cepat. Jakarta seperti ini bagaimana bisa? Selalu macet meski sudah berangkat lebih awal apalagi jika berangkat seperti Shei ini, lebih parah.
Pukul tujuan lebih dua puluh menit, akhirnya Shei sampai juga di sekolah. Meski gerbang sudah ditutup rapat oleh satpam.
"Pak! Pak! Pak!" Shei berteriak memanggil satpam di dalam.
Satpam itu datang berlari. "Neng, kalau manggil nggak usah teriak segala, gadis cantik kayak neng mah harus lembut, anggun."
Shei memutarkan bola matanya malas. "Pak, bukain dong pintunya!"
"Eits,, tidak bisa,, tidak bisa... Kalau mau dibukain makanya jangan telat."
"Ihh si bapak nyebelin, amat! Nggak kasian apa liat murid yang nggak bisa ikut ujian hari ini?"
Satpam itu terdiam hampir termakan rayuan balas kasihan dari murid ini. Namun seketika segera menggeleng kepalanya. "Nggak. Pergi sana, hus..." Usirnya.
"Wah bapak nggak sopan ngusir saya kayak binatang!" decak Shei mengerutkan keningnya.
"Eh eh siapa? Bapak nggak gitu, kok."
"Dih, tadi barusan apa? Saya bilangin loh ke Kepala Sekolah kalau satpam disini nggak ada etika," ancam Shei.
"Jangan, dong! Eneng!"
"Nama saya Shei bukan Eneng!"
"Iyah yah Nak Shei. Yaudah bapak bukain gerbangnya asalkan Nak Shei jangan ngadu ke Kepala Sekolah yah?"
Shei tersenyum penuh kemenangan. "Nah gitu, dong. Dari tadi, kek. Buruan, Pak! Buka! Udah telat nih saya!"
"Sabar atuh, Neng."
"Shei, Pak! Shei."
"Iyah yah. Galak amat."
Shei langsung lari dengan sekuat tenaga, saat ada guru, Shei langsung sembunyi, mengintip dirasa gurunya sudah pergi. Shei merasa lega. Melihat ke lapangan, upacara masih berlangsung. Shei memeriksa jam berapa di jam tangannya, dalam lima menit.
Semua siswa berpencar setelah selesainya upacara. Shei masih setia menyembunyikannya di balik tembok, sembari mengintip mencari temannya.
"Nah,, Lisa! Shuttt, shuuut," teriak Shei seperti berbisik dengan susah payahnya dia memanggil sahabatnya itu akhirnya Lisa menyadari hal itu.
"Shei, lo kemana aja?"
"Shutt! Jangan keras-keras, nanti gue ketahuan kalau gue nggak ikut upacara," bisiknya. "Babu babu mana? Hah?"
"Ke toilet dulu barusan."
"Nggak guna banget punya babu. Yaudah ayok cabut."
"Kemana?"
"Ke kelas lah. Kan mau ujian."
"Masih lima menit lagi, mending ke kantin dulu."
"Ke kantin? Ayok. Lagian perut gue belum diisi juga, nanti bisa nggak konsen gue ngisi soal."
"Oke deh! LETGO!"
Shei dan Lisa adalah duo bad girl di Nusantara High School. Bad girl hanya pakaiannya, berparas cantik, kaya raya, pintar, berprestasi, tapi sayang.... sikapnya minus.
Berjalan ke arah kantin, mereka mendapatkan berbagai macam tatapan yang dilontarkan. Namun, mereka tidak peduli.
"Shei, Shei! Si Babu malah ada di kantin, pacaran."
"Wah kampret tuu anak!"
Segera Shei menghampirinya, menatap tajam manik Babu itu, tapi yang mendorongnya keras oleh Lisa. Shei tertegun melirik ke arah Lisa, Lisa kembali melirik ke arah Shei.
"Tunggu apa lagi?"
"Ah iiyah. Babu! Babibubebo! Ngapain lo disini pacaran sama dia?"
"Aaku nggak pacaran sama dia," gugup gadis berkacamata, bisa dibilang nerd, namanya Alya, tapi duo minus itu memanggil Babu.
"Jangan pacaran sama dia! Dia itu miliknya..." Seketika perkataan Shei berhenti, dia sedang berpikir sambil melirik sahabatnya, Lisa.
"Mbak Lastri," bisik Lisa.
"Nah iyah Mbak Lastri yang punya warung di pengkolan ojek. Lo tahu, kan?"
Alya mengangguk.
"Nah bagus kalau lo tahu. Jangan deketin dia, nanti sama Mbak Lastri lo bakalan dipe--"
"AaaAaaaw!" Ringkis Shei, sosok murid laki-laki yang menjadi permasalahan disini, memilin telinganya Shei.
"Bener-bener lo itu nggak punya akhlak kalau ngomong! Siapa yang ngajarin?"
"Li-Lisah--Aawwhh!"
"Loh? Lok jadi ke gue, sih?" kelakar Lisa. "Permisi calon ketos, permisi Babu, saya izin undur diri. Assalamu'alaikum."
"YA LISA! JANGAN KABUR! AaAaw sakit, sakit!"
Lisa kabur dari amukan Calon Ketua OSIS Nusantara High School, agar tidak mendapat catatan merah lagi.
"Babu! Lo nggak mau nolongin gue apa?"
"Babu, Babu, dia punya nama, Shei! Alya," kelit Caketos, berkulit hitam manis dan tinggi, idaman semua murid Nusantara High School ini, tapi tidak termasuk Shei. Dia bernama David.
"Buruan minta maaf sama dia."
"Salah gue apa? Yang salah Lisa."
"Lo juga salah, buruan minta maaf. Kalau nggak gue laporin," ancam David.
Shei menghela nafas kesal. "Hm. Minta maaf."
"Yang bener minta maafnya."
"Iyah David. Punya sahabat dari zaman kandungan kok kayak ginih, sih," gerutu Shei.
"Harusnya gue yang ngomongnya kayak gitu."
"Ck. Alya, gue minta maaf."
"Iyah aku maafin," balas Alya.
"Nah ginih kan enak diliatnya," tutur David.
Sementara Shei tersenyum kakuk.
Syukur deh, semuanya aman.
...• • •...
Shei sudah ada di kelas, untungnya dia belum terlambat setelah keributan di kafetaria yang sepi di pagi hari. Kali ini Shei tenang, tengah mengisi lembar jawaban.
Namun terjadi sesuatu di luar kelas, masuk ke dalam kelas yang kami kenal merupakan guru di sekolah ini juga, mata semua penghuni kelas ini langsung melihatnya.
"Ada apa, Pak?" tanya pengawasan ujian.
Guru berbicara dengan sangat pelan menjelaskan sesuatu padanya. Tapi pandangan sekilas ke arah Shei, Shei menyadarinya.
"Anak-anak letakkan kembali alat tulis kalian, kalian tidak usah lagi mengerjakan ujian sekolah ini."
"Wah seriusan, Pak? Nggak usah dikerjain nih?"
"Bapak beneran ini?"
"Emang kenapa, Pak?"
"Kalian tidak usah berpura-pura, bahwa kalian juga sudah tahu. Semua soal beserta kunci jawaban bocor."
Deg!
"Kok bisa, Pak?" tanya Lisa.
"Sekolah sedang menyelidikinya."
Murid-murid menjadi ricuh atas masalah yang terjadi ini.
"Sheila," panggilnya.
"Iyah, Pak?" Shei segera menjawabnya.
"Ikut saya keluar sebentar."
"Hem?" Shei memberikan raut wajah yang bingung. Semua orang menatap ke arahnya, Shei terheran, namun ia bangkit mengikuti ucapan gurunya itu. "Baik, Pak."
"Shei ada apa?" bisik Lisa.
Shei menaikkan bahunya tidak tahu dengan perasaan yang gelisah.
Shei berjalan di belakang guru, keluar mengikutinya.
"Pak sebenarnya ada apa? Bapak mau bawa saya kemana?"
"Nanti juga kamu tahu."
Apa yang sebenarnya terjadi? Shei sama sekali tidak mengerti. Berakhir di depan ruang Kepala Sekolah.
David terlihat datang dengan panik memanggilnya. "Shei..." Shei menengok. "Lo nggak kenapa-kenapa?"
"Hah?" Shei semakin bingung dibuatnya. Tidak lama kemudian sosok kedua orang tuanya terlihat berada di sekolah. "Mamah? Papah? Kalian ngapain disini?"
"Sayang,, jelasin sama mamah. Kamu yang melakukan itu?" lirihnya.
Semakin menyipitkan matanya bingung. "Ngelakuin apa? Sebenarnya ada apa sih?"
"Bapak ibu, dan kamu Sheila, lebih baik kita bicarakan di dalam. Pak Kepala Sekolah juga sudah menunggu."
Mereka sudah ada di dalam begitu juga David yang masuk menemani Shei dan Kepala Sekolah sedang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka terkejut. Terutama untuk Shei.
Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Kepala Sekolah padanya. David segera melirik pada Shei, Shei terus menggeleng bahwa itu tidak benar. Juga menatap kedua orangtuanya. Bahwa ada kesalahan.
"Bagaimana kamu menjelaskan hal ini, Sheila?"
"Buat apa saya menjelaskan saya sendiri tidak tahu apa-apa. Apalagi saya bukan pelakunya," lirihnya. "Mah, pah. Kalian percaya sama Shei, kan? David?"
"Pak. Saya berkata jujur, buat apa saya mencuri kunci jawaban dan membocorkannya?" Tidak terima. "Bapak juga tahu saya ini murid pinter, dari keluarga berada. Semisalkan menjual kunci jawaban pada murid-murid lain. Untungnya apa bagi saya?"
"Pinter tapi kamu juga nakal," sindir guru botak itu. Shei langsung menatapnya tajam, kesal. "Sudah jelas, kamu terekam CCTV saat sedang mencurinya. Bukankah ini kamu?"
"Itu bukan saya!"
"Lalu ini apa? Wajah kamu terpampang jelas di rekaman ini."
Shei tertegun.
Ada dua rekaman CCTV yang ditampilkan, satu saat di kantor mencuri kunci jawaban tetapi wajahnya tidak terlihat dan rekaman lainnya saat di lorong wajahnya terlihat jelas, dan itu adalah Sheila. Pakaian yang dikenakan sama. Mengenakan sweter dan topi hitam yang sama.
"Tatapi, Pak. Itu buka--"
"Sudah Shei," potong Rosa. Sheila menyipitkan keningnya heran. "Pak Kepala Sekolah. Tentang kasus ini, apa pihak sekolah akan melaporkan anak kami ke polisi?"
"Polisi?" kejut Shei.
"Kasus ini adalah masalah besar, tetapi kami tidak akan melaporkan Sheila ke polisi, kami tahu Sheila masih di bawah umur dan harus menerima pendidikan lebih untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Jadi, pihak sekolah akan mengeluarkan Sheila dan tidak bisa lagi bersekolah di Nusantara High School."
Shei yang paling bingung dari semua orang, dia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ini. Meskipun di sekolah dia nakal, selalu mengerjai teman-teman sekolahnya, terutama Babu Alya, tetapi dia tidak pernah menyakiti teman-temannya atau melakukan kejahatan seperti itu. Memalukan.
Orang tuanya tidak menyangkal sama sekali, dan hanya menerima bahwa anaknya dituduh. Sheila marah.
"Mah, papah. Shei bisa jelasin kalau itu bukan Shei, maksud Shei yang mencurinya bukan Shei."
"Lalu siapa? Wajah kamu terekam jelas."
"Shei tahu, Mah. Memang Shei waktu itu pergi ke sekolah malam-malam tapi bukan buat nyuri kunci jawaban."
"Sheila." Kali ini suara damai dari ayahnya. "Tidak usah diributkan lagi. Meskipun kamu nggak salah, ayah sama mamah nggak akan ngizinin kamu buat tinggal disini. Bagusnya apa coba sekolah ini? Hem? Ayok."
Shei sedikit terhibur dengan perkataan ayahnya barusan. Setidaknya kedua orangtuanya tidak percaya terhadap tuduhan itu.
Sangat berat untuk pergi dari sekolah ini. Shei seperti orang bodoh yang sedang dipermainkan dengan masalah ini. Apa yang salah? Ini tidak adil! Bermacam tatapan kepadanya seolah menusuk membenarkan bahwa Shei benar-benar bersalah, dan menjadi orang jahat di sekolah ini. Padahal mereka sendiri yang tidak tahu diri, mereka yang membeli dan menggunakan kunci jawaban untuk mengikuti ujian sekolah, tetapi Shei yang terkena dampaknya yang tidak tahu apa-apa.
Berjalan mengabaikan tatapan mereka padanya. Shei menemukan sosok Babu Alya, ketika ditatap, Alya segera menurunkan pandangannya itu.
"Shei."
Lisa dan David menghampiri Shei yang akan pergi.
"Lo serius dikeluarin dari sekolah?" cemas Lisa.
Shei angguk dengan sendu.
"Shei, ayok," ajak Kevin yang duduk di kursi kemudi.
"Gue pergi."
"Shei."
Sebelum Shei pergi, Lisa memeluknya lebih dulu. "Gue bakalan kangen banget sama lo."
"Gue juga."
Kali ini, Shei dan David saling tatap.
"Gue tahu lo nggak salah. Gue yakin ada orang yang ngejebak lo," tutur David.
Lisa menatap gugup. Shei tersenyum senang karena masih ada orang yang mempercayainya.
"Setelah ini lo mau pindah kemana?"
"Gue juga nggak tahu. Yaudah gue harus pergi."
David memeluknya sejenak, Lisa memperhatikan mereka sedari tadi.
Shei masuk ke dalam mobil, ternyata hari ini adalah hari kesialannya.
...🌸...
...DIARY OF A SCHOOL SERIES 2...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
vio~~~~
aku mampir lagi nih ke ceritamu setelah baper sama cerita si kembar fauzan N fauzi yg memeras air mata... semoga yg ini jg seru y crtnya...
2021-09-14
1
Serly
wow
2021-08-05
1