Shei baru saja keluar dari kamar mandi bersiap untuk pergi ke sekolah. Dia kembali berdandan seperti Shei sebelumnya, rumor dia kembali ke sekolah barunya karena masalah di sekolah lamanya.
"Shei, lo harus kuat." Ucapnya pada diri sendiri di saat bercermin.
"Sebelumnya lo bisa melalui ini semua, sekarang lo juga pasti bisa. Semangat!"
Shei pergi sambil menghibur dirinya sendiri. Ketika dia keluar, dia menemukan nenek yang sedang menyiram bunga dan paman Jaka yang sedang menyeka mobil.
"Shei? Kenapa dandanan kamu kayak gituh, kemarin udah cantik, sini omah rapihin."
"Nggak, Omah. Shei nyaman kayak ginih," tawar Shei. "Shei berangkat dulu." Pamitnya.
Sikap Shei berubah, nenek terheran.
"Non Shei, ayok paman anterin."
"Makasih paman. Tapi, Shei mau berangkat sendiri naik busway," sahutnya. "Omah paman, Shei berangkat."
No, I think I'll stay in tonight
Skip the conversations and the, oh, I'm fine's
No, I'm no stranger to surprise
This paper town has let me down too many times
Why do I even try?
Give me a reason why
Shei pergi membuat omah dan paman Joko kebingungan. Berjalan untuk sampai ke halte, sambil memasangkan earphone di telinganya, mendengar sebuah lagu untuk mengalihkan pikirannya terhadap masalahnya.
I thought that I could trust you, nevermind
Why all the switching sides?
Where do I draw the line?
I guess I'm too naive to read the signs
"Lagi dengerin apa?"
"Astaga!" Shei terperanjat kejut, melihat teman sekelasnya ada di depannya. Shei mentralkan nafasnya.
Alvin tersenyum ikut duduk di samping Shei. Shei jadi teringat kejadian kemarin, setelah melihat Alvin yang membantunya untuk membolos sekolah. Meski tentu saja Alvin sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Shei, namun Alvin sangat paham ia tidak banyak bicara.
"Soal kemarin..."
"Gue nggak bakalan bantu lo lagi buat bolos," tukasnya sambil terkekeh. Shei tersenyum, berusaha untuk tersenyum. "Gue harap itu pertama dan terakhir lo bolos."
"Gue nggak yakin," sahut Shei.
Busway telah tiba, Shei dan Alvin segera menaikinya. Shei pun duduk di kursi sebelah kanan.
"Boleh ikut duduk disini?"
Shei segera bergeser ke kursi sebelah, memberi tempat duduk kepada Alvin.
Shei menoleh ke arah jendela, dia melihat ke luar dengan earphone yang masih menempel di telinganya. Sementara Alvin membuka buku yang selama ini dia pegang, dia sedang membacanya sekarang. Beberapa menit telah berlalu, Alvin masih asik dengan bukunya, namun Shei teralihkan oleh pikirannya saat mencuri lirik Alvin. Alvin menyadari hal itu, ia menutup bukunya menoleh pada Shei.
"Bicara."
"Hah?"
"Lo mau ngomong sesuatu sama gue."
"Ah mm, iyah. Lo kenapa nggak nanya?"
"Soal?"
"Kemarin. Mungkin lo udah tahu apa yang terjadi kemarin, orang-orang pasti bicarain gue di sekolah."
Alvin malah tertawa kecil. "Terus apa gue harus ngelakuin yang sama seperti mereka? Ngomongin, maki-maki lo, jauhin lo? Gue bakal percaya sama diri gue sendiri."
"Maksudnya?"
"Apa kata orang tentang lo, gue nggak mikirin. Salah atau nggak nya lo, gue harap lo bisa ngatasin masalah itu, salah meminta maaf kalau nggak ya buktiin."
Alvin tersenyum setelahnya. "Udah sampe." Dia segera berdiri lalu melihat dulu Shei sebelum pergi. "Percaya, orang yang baik akan ada akhir yang bahagia."
Alvin meninggalkan busway lebih dulu. Shei terdiam dengan kata-kata Alvin tadi. Memikirkannya, membuat dirinya lebih percaya diri untuk menyelesaikan masalah ini.
Shei berjalan menuju gerbang sekolah dengan percaya diri meski orang-orang menatapnya dengan tidak senang, meski tidak terdengar tapi bisikan orang-orang serasa masuk, menusuk hati.
Okay Shei. Lakuin seperti sebelumnya.
Shei masuk ke dalam kelas, orang-orang menatapnya. Berjalan ke tempat duduknya, pemandangan sudah dirusak dengan coretan di mejanya 'Pembully Tidak Punya Hati'.
"Siapa yang coret meja gue?" tekannya.
Shei dengan berani menatap semua orang lalu ia menemukan sesuatu spidol di atas meja siswi yang ia kenal sebagai pengagum Ello. Shei menghampirinya.
"Hapus."
Siswi itu gugup.
"Hapus," tekan Shei lagi.
"Kenapa nyuruh gue?" dengusnya.
"Lo yang udah ngotorin meja gue."
"Bukan! Jangan nuduh sembarangan!"
Shei menyeringai mendengar hal itu. "Nggak suka kan dituduh?"
"Hah?" Siswi bernama Fay itu kebingungan.
Sementara aktivitas Rave yang tengah tertidur, terganggu, meski tidak bangun dia mendengarkan keributan itu.
Shei mengambil spidol di atas meja itu dan menunjukkannya. "Lo pake spidol ini buat nyoret meja gue." Shei memberikannya, dan Fay berdegup kencang karena gelisah. "Gue balik, coretan itu harus udah ilang."
Shei pun keluar dari kelas, orang-orang menatapnya kagum pada sikap Shei itu. Shei berhenti sejenak di depan pintu, menatap sebentar pada seseorang yang membuatnya sedikit kecewa, Ello. Shei pun pergi. Ello pun tersadar, dia berlari untuk menyusul Shei.
Rave yang tertidur akhirnya terbangun. "Lo yang ngelakuin itu?"
Fay menyadari pertanyaan itu untuknya. "Bukan!"
Namun Rave terus menatapnya. Fay menunduk, ia benar-benar tidak bisa menatap balik Rave. Fay pun akhirnya mengangguk mengakui.
"Hapus, gue nggak mau ada keributan di kelas."
Fay bangkit, mengambil tisu basah dan segera untuk menghapusnya.
"Shei..."
"Shei..."
Ello terus memanggil dan mengejarnya.
"Shei, tunggu."
"Apa?" sembur Shei di saat Ello menahan pergelangan tangannya.
"Gue mau minta maaf."
Emosinya mereda setelah mendengar itu.
"Sikap gue kemarin emang salah, lo mau maafin gue?"
Shei hanya berdeham.
"Apapun itu, gue bakal nunggu."
"Ayok," lanjutnya.
"Kemana?"
"Ke kelas lah, nggak denger tadi udah bel? Ayok."
Sesampainya di kelas. Nampaknya, wali kelas Flower telah lebih dulu tiba di kelas.
"Permisi, Pak."
"Kalian berdua datang terlambat, bapak catat poin pinalti kalian. Duduk."
"Terima kasih, Pak."
Shei dan Ello segera duduk.
"Shei," panggilnya.
"Iyah, Pak?"
"Kenapa kamu tidak mengikuti pelajaran kemarin?"
"Itu, saya kurang sehat. Saya langsung pulang."
"Lain kali kalau sakit beritahu. Tapi maaf bapak harus catat poin pinalti kamu itu."
Shei hanya mengangguk. Dia tidak mempedulikan point pelanggarannya itu.
"Ah, maaf pak saya datang terlambat."
Alvin baru saja tiba di kelas.
"Habis darimana?"
"Saya disuruh ke ruangan pak Raja tadi."
"Yasudah duduk."
"Terima kasih, Pak."
Ternyata Alvin diminta untuk kembali duduk di sebelah Rave. Dia pikir itu hanya kemarin, tapi nyatanya dia senang bisa duduk berdua dengan pacarnya. Alvin tersenyum ketika melihat Rave yang tertidur.
"Alvin," panggil Satria. "Bangunkan Brave."
"Baik, Pak."
"Rave... Rave? Bangun." Rave masih belum bangun juga, Alvin mencoba kembali, dia lebih mendekat, dan membisikkan sesuatu. "Kalau nggak bangun, aku peluk kamu sekarang."
Rave segera terbangun dengan gugup, menatap manik Alvin dengan tajam, bukan takut Alvin malah tersenyum. Alvin berhasil menggoda pacar dinginnya ini.
"Bapak akan bagikan lembar kertas ini, bapak harap kalian mengisinya dengan sungguh-sungguh."
"Bukan ujian atau kuis kan, Pak?"
"Lembar ujian hidup kalian di masa depan," sindirnya.
Pak Satria segera memberikan lembaran kertas itu pada murid-muridnya. Pengisian tujuan mereka nanti setelah lulus dari sekolah.
Ello dengan mudahnya langsung mengisi lembar kertas tersebut, dia memimpikan dirinya sebagai penyanyi rock terkenal yang dapat menginspirasi anak muda.
Pandangan Shei lalu beralih pada lembar kertasnya. Dia belum terpikirkan dengan apa yang dia inginkan, apalagi cita-citanya. Dia pun hanya menulis kalimat 'Tidak Tahu'.
Shei meletakkan pulpen, tidak ada beban sedikit pun.
...🌸...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Fadilla Sarista
🤔
2025-01-25
0
Reine
"Tidak tahu" demi apa:)
2021-07-05
1