NovelToon NovelToon

Diary Of A School : Marching Flower

PROLOG SERIES 2

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hari Senin adalah hari yang sangat dibenci oleh semua pelajar, termasuk gadis cantik berkulit putih bernama Sheila Gouverneur, atau akrab disapa Shei.

Dia masih saja berbaring di tempat tidur dengan posisi yang membuat orang melihatnya menggeleng-geleng.

"Shei, bangun!"

BRUK! "--Aaaw!"

"Kamu nggak sekolah? Liat jam, ini udah jam berapa?"

Teriakan suara wanita paruh baya bernama Rosa membuat Shei terperanjat sampai terjatuh dari tempat tidurnya.

"Mah! Bisa nggak sih bangunin Shei nggak teriak-teriak?" keluhnya.

"Dih, mamah udah baik-baik bangunin kamu daritadi kamu nya aja yang kayak kebo dibangunin susah. Buruan mandi! Liat tuh, jam berapa? Mau nggak ikut ujian?"

Shei mengusap-usap pantatnya yang masih sakit melirik jam menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit.

"Mampus, Mah! Shei telat!" Shei berdiri, terbirit-birit masuk ke dalam kamar mandi.

"Ya Allah, punya anak gadis begini amat. Nggak ada akhlak sama orang tua sendiri."

Setelah melakukan ritual mandi dengan cepat tidak seperti biasanya, karena harus mengejar waktu. Seragam yang ia kenakan masih berantakan, dia berlari, melompat-lompat kecil sambil memasangkan sepatunya.

"Kalau bukan anak sendiri, udah papah buang ke kali," celetuk Kevin, pria paruh baya yang tengah duduk tenang sambil menyesap kopi di pagi hari.

"Pah, mah, aku berangkat."

"Shei..."

Suara Kevin membuat Shei harus mengubah tubuhnya kembali ke arah kedua orang tuanya. Shei mencium punggung tangan mereka "Assalamu'alaikum." Shei tersenyum manis.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Shei kembali melanjutkan langkahnya untuk menuju sekolah. Supir pribadinya sudah setia menunggunya di luar, Shei segera masuk ke dalam mobil.

"Pak, ngebut! Shei udah telat, nih!"

"Baik, Non Shei."

...****************...

Sedari tadi Shei tidak berhenti mengoceh kepada supirnya, untuk terus mengebut agar bisa sampai sekolah lebih cepat. Jakarta seperti ini bagaimana bisa? Selalu macet meski sudah berangkat lebih awal apalagi jika berangkat seperti Shei ini, lebih parah.

Pukul tujuan lebih dua puluh menit, akhirnya Shei sampai juga di sekolah. Meski gerbang sudah ditutup rapat oleh satpam.

"Pak! Pak! Pak!" Shei berteriak memanggil satpam di dalam.

Satpam itu datang berlari. "Neng, kalau manggil nggak usah teriak segala, gadis cantik kayak neng mah harus lembut, anggun."

Shei memutarkan bola matanya malas. "Pak, bukain dong pintunya!"

"Eits,, tidak bisa,, tidak bisa... Kalau mau dibukain makanya jangan telat."

"Ihh si bapak nyebelin, amat! Nggak kasian apa liat murid yang nggak bisa ikut ujian hari ini?"

Satpam itu terdiam hampir termakan rayuan balas kasihan dari murid ini. Namun seketika segera menggeleng kepalanya. "Nggak. Pergi sana, hus..." Usirnya.

"Wah bapak nggak sopan ngusir saya kayak binatang!" decak Shei mengerutkan keningnya.

"Eh eh siapa? Bapak nggak gitu, kok."

"Dih, tadi barusan apa? Saya bilangin loh ke Kepala Sekolah kalau satpam disini nggak ada etika," ancam Shei.

"Jangan, dong! Eneng!"

"Nama saya Shei bukan Eneng!"

"Iyah yah Nak Shei. Yaudah bapak bukain gerbangnya asalkan Nak Shei jangan ngadu ke Kepala Sekolah yah?"

Shei tersenyum penuh kemenangan. "Nah gitu, dong. Dari tadi, kek. Buruan, Pak! Buka! Udah telat nih saya!"

"Sabar atuh, Neng."

"Shei, Pak! Shei."

"Iyah yah. Galak amat."

Shei langsung lari dengan sekuat tenaga, saat ada guru, Shei langsung sembunyi, mengintip dirasa gurunya sudah pergi. Shei merasa lega. Melihat ke lapangan, upacara masih berlangsung. Shei memeriksa jam berapa di jam tangannya, dalam lima menit.

Semua siswa berpencar setelah selesainya upacara. Shei masih setia menyembunyikannya di balik tembok, sembari mengintip mencari temannya.

"Nah,, Lisa! Shuttt, shuuut," teriak Shei seperti berbisik dengan susah payahnya dia memanggil sahabatnya itu akhirnya Lisa menyadari hal itu.

"Shei, lo kemana aja?"

"Shutt! Jangan keras-keras, nanti gue ketahuan kalau gue nggak ikut upacara," bisiknya. "Babu babu mana? Hah?"

"Ke toilet dulu barusan."

"Nggak guna banget punya babu. Yaudah ayok cabut."

"Kemana?"

"Ke kelas lah. Kan mau ujian."

"Masih lima menit lagi, mending ke kantin dulu."

"Ke kantin? Ayok. Lagian perut gue belum diisi juga, nanti bisa nggak konsen gue ngisi soal."

"Oke deh! LETGO!"

Shei dan Lisa adalah duo bad girl di Nusantara High School. Bad girl hanya pakaiannya, berparas cantik, kaya raya, pintar, berprestasi, tapi sayang.... sikapnya minus.

Berjalan ke arah kantin, mereka mendapatkan berbagai macam tatapan yang dilontarkan. Namun, mereka tidak peduli.

"Shei, Shei! Si Babu malah ada di kantin, pacaran."

"Wah kampret tuu anak!"

Segera Shei menghampirinya, menatap tajam manik Babu itu, tapi yang mendorongnya keras oleh Lisa. Shei tertegun melirik ke arah Lisa, Lisa kembali melirik ke arah Shei.

"Tunggu apa lagi?"

"Ah iiyah. Babu! Babibubebo! Ngapain lo disini pacaran sama dia?"

"Aaku nggak pacaran sama dia," gugup gadis berkacamata, bisa dibilang nerd, namanya Alya, tapi duo minus itu memanggil Babu.

"Jangan pacaran sama dia! Dia itu miliknya..." Seketika perkataan Shei berhenti, dia sedang berpikir sambil melirik sahabatnya, Lisa.

"Mbak Lastri," bisik Lisa.

"Nah iyah Mbak Lastri yang punya warung di pengkolan ojek. Lo tahu, kan?"

Alya mengangguk.

"Nah bagus kalau lo tahu. Jangan deketin dia, nanti sama Mbak Lastri lo bakalan dipe--"

"AaaAaaaw!" Ringkis Shei, sosok murid laki-laki yang menjadi permasalahan disini, memilin telinganya Shei.

"Bener-bener lo itu nggak punya akhlak kalau ngomong! Siapa yang ngajarin?"

"Li-Lisah--Aawwhh!"

"Loh? Lok jadi ke gue, sih?" kelakar Lisa. "Permisi calon ketos, permisi Babu, saya izin undur diri. Assalamu'alaikum."

"YA LISA! JANGAN KABUR! AaAaw sakit, sakit!"

Lisa kabur dari amukan Calon Ketua OSIS Nusantara High School, agar tidak mendapat catatan merah lagi.

"Babu! Lo nggak mau nolongin gue apa?"

"Babu, Babu, dia punya nama, Shei! Alya," kelit Caketos, berkulit hitam manis dan tinggi, idaman semua murid Nusantara High School ini, tapi tidak termasuk Shei. Dia bernama David.

"Buruan minta maaf sama dia."

"Salah gue apa? Yang salah Lisa."

"Lo juga salah, buruan minta maaf. Kalau nggak gue laporin," ancam David.

Shei menghela nafas kesal. "Hm. Minta maaf."

"Yang bener minta maafnya."

"Iyah David. Punya sahabat dari zaman kandungan kok kayak ginih, sih," gerutu Shei.

"Harusnya gue yang ngomongnya kayak gitu."

"Ck. Alya, gue minta maaf."

"Iyah aku maafin," balas Alya.

"Nah ginih kan enak diliatnya," tutur David.

Sementara Shei tersenyum kakuk.

Syukur deh, semuanya aman.

...• • •...

Shei sudah ada di kelas, untungnya dia belum terlambat setelah keributan di kafetaria yang sepi di pagi hari. Kali ini Shei tenang, tengah mengisi lembar jawaban.

Namun terjadi sesuatu di luar kelas, masuk ke dalam kelas yang kami kenal merupakan guru di sekolah ini juga, mata semua penghuni kelas ini langsung melihatnya.

"Ada apa, Pak?" tanya pengawasan ujian.

Guru berbicara dengan sangat pelan menjelaskan sesuatu padanya. Tapi pandangan sekilas ke arah Shei, Shei menyadarinya.

"Anak-anak letakkan kembali alat tulis kalian, kalian tidak usah lagi mengerjakan ujian sekolah ini."

"Wah seriusan, Pak? Nggak usah dikerjain nih?"

"Bapak beneran ini?"

"Emang kenapa, Pak?"

"Kalian tidak usah berpura-pura, bahwa kalian juga sudah tahu. Semua soal beserta kunci jawaban bocor."

Deg!

"Kok bisa, Pak?" tanya Lisa.

"Sekolah sedang menyelidikinya."

Murid-murid menjadi ricuh atas masalah yang terjadi ini.

"Sheila," panggilnya.

"Iyah, Pak?" Shei segera menjawabnya.

"Ikut saya keluar sebentar."

"Hem?" Shei memberikan raut wajah yang bingung. Semua orang menatap ke arahnya, Shei terheran, namun ia bangkit mengikuti ucapan gurunya itu. "Baik, Pak."

"Shei ada apa?" bisik Lisa.

Shei menaikkan bahunya tidak tahu dengan perasaan yang gelisah.

Shei berjalan di belakang guru, keluar mengikutinya.

"Pak sebenarnya ada apa? Bapak mau bawa saya kemana?"

"Nanti juga kamu tahu."

Apa yang sebenarnya terjadi? Shei sama sekali tidak mengerti. Berakhir di depan ruang Kepala Sekolah.

David terlihat datang dengan panik memanggilnya. "Shei..." Shei menengok. "Lo nggak kenapa-kenapa?"

"Hah?" Shei semakin bingung dibuatnya. Tidak lama kemudian sosok kedua orang tuanya terlihat berada di sekolah. "Mamah? Papah? Kalian ngapain disini?"

"Sayang,, jelasin sama mamah. Kamu yang melakukan itu?" lirihnya.

Semakin menyipitkan matanya bingung. "Ngelakuin apa? Sebenarnya ada apa sih?"

"Bapak ibu, dan kamu Sheila, lebih baik kita bicarakan di dalam. Pak Kepala Sekolah juga sudah menunggu."

Mereka sudah ada di dalam begitu juga David yang masuk menemani Shei dan Kepala Sekolah sedang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Mereka terkejut. Terutama untuk Shei.

Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Kepala Sekolah padanya. David segera melirik pada Shei, Shei terus menggeleng bahwa itu tidak benar. Juga menatap kedua orangtuanya. Bahwa ada kesalahan.

"Bagaimana kamu menjelaskan hal ini, Sheila?"

"Buat apa saya menjelaskan saya sendiri tidak tahu apa-apa. Apalagi saya bukan pelakunya," lirihnya. "Mah, pah. Kalian percaya sama Shei, kan? David?"

"Pak. Saya berkata jujur, buat apa saya mencuri kunci jawaban dan membocorkannya?" Tidak terima. "Bapak juga tahu saya ini murid pinter, dari keluarga berada. Semisalkan menjual kunci jawaban pada murid-murid lain. Untungnya apa bagi saya?"

"Pinter tapi kamu juga nakal," sindir guru botak itu. Shei langsung menatapnya tajam, kesal. "Sudah jelas, kamu terekam CCTV saat sedang mencurinya. Bukankah ini kamu?"

"Itu bukan saya!"

"Lalu ini apa? Wajah kamu terpampang jelas di rekaman ini."

Shei tertegun.

Ada dua rekaman CCTV yang ditampilkan, satu saat di kantor mencuri kunci jawaban tetapi wajahnya tidak terlihat dan rekaman lainnya saat di lorong wajahnya terlihat jelas, dan itu adalah Sheila. Pakaian yang dikenakan sama. Mengenakan sweter dan topi hitam yang sama.

"Tatapi, Pak. Itu buka--"

"Sudah Shei," potong Rosa. Sheila menyipitkan keningnya heran. "Pak Kepala Sekolah. Tentang kasus ini, apa pihak sekolah akan melaporkan anak kami ke polisi?"

"Polisi?" kejut Shei.

"Kasus ini adalah masalah besar, tetapi kami tidak akan melaporkan Sheila ke polisi, kami tahu Sheila masih di bawah umur dan harus menerima pendidikan lebih untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Jadi, pihak sekolah akan mengeluarkan Sheila dan tidak bisa lagi bersekolah di Nusantara High School."

Shei yang paling bingung dari semua orang, dia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ini. Meskipun di sekolah dia nakal, selalu mengerjai teman-teman sekolahnya, terutama Babu Alya, tetapi dia tidak pernah menyakiti teman-temannya atau melakukan kejahatan seperti itu. Memalukan.

Orang tuanya tidak menyangkal sama sekali, dan hanya menerima bahwa anaknya dituduh. Sheila marah.

"Mah, papah. Shei bisa jelasin kalau itu bukan Shei, maksud Shei yang mencurinya bukan Shei."

"Lalu siapa? Wajah kamu terekam jelas."

"Shei tahu, Mah. Memang Shei waktu itu pergi ke sekolah malam-malam tapi bukan buat nyuri kunci jawaban."

"Sheila." Kali ini suara damai dari ayahnya. "Tidak usah diributkan lagi. Meskipun kamu nggak salah, ayah sama mamah nggak akan ngizinin kamu buat tinggal disini. Bagusnya apa coba sekolah ini? Hem? Ayok."

Shei sedikit terhibur dengan perkataan ayahnya barusan. Setidaknya kedua orangtuanya tidak percaya terhadap tuduhan itu.

Sangat berat untuk pergi dari sekolah ini. Shei seperti orang bodoh yang sedang dipermainkan dengan masalah ini. Apa yang salah? Ini tidak adil! Bermacam tatapan kepadanya seolah menusuk membenarkan bahwa Shei benar-benar bersalah, dan menjadi orang jahat di sekolah ini. Padahal mereka sendiri yang tidak tahu diri, mereka yang membeli dan menggunakan kunci jawaban untuk mengikuti ujian sekolah, tetapi Shei yang terkena dampaknya yang tidak tahu apa-apa.

Berjalan mengabaikan tatapan mereka padanya. Shei menemukan sosok Babu Alya, ketika ditatap, Alya segera menurunkan pandangannya itu.

"Shei."

Lisa dan David menghampiri Shei yang akan pergi.

"Lo serius dikeluarin dari sekolah?" cemas Lisa.

Shei angguk dengan sendu.

"Shei, ayok," ajak Kevin yang duduk di kursi kemudi.

"Gue pergi."

"Shei."

Sebelum Shei pergi, Lisa memeluknya lebih dulu. "Gue bakalan kangen banget sama lo."

"Gue juga."

Kali ini, Shei dan David saling tatap.

"Gue tahu lo nggak salah. Gue yakin ada orang yang ngejebak lo," tutur David.

Lisa menatap gugup. Shei tersenyum senang karena masih ada orang yang mempercayainya.

"Setelah ini lo mau pindah kemana?"

"Gue juga nggak tahu. Yaudah gue harus pergi."

David memeluknya sejenak, Lisa memperhatikan mereka sedari tadi.

Shei masuk ke dalam mobil, ternyata hari ini adalah hari kesialannya.

...🌸...

...DIARY OF A SCHOOL SERIES 2...

BAB 1 Kepindahan

1 bulan berlalu, Shei belum masuk kembali ke sekolah. Karena kejadian tuduhan yang membuat dirinya sampai dikeluarkan dari sekolah dan sampai sekarang Shei tidak mau bersekolah lagi. Shei juga, terus mencari tahu siapa pelaku sebenarnya? Siapa yang telah menjebaknya?

Gadis itu bangun di pagi hari setelah mendengar jam alarmnya. Matanya masih mengantuk saat dia menuruni tangga. Huwaa. Menguap.

"Morning sayang."

"Morning, Pah." Dicium ayahnya lalu berganti ke ibunya. "Morning, Mah."

"Papah sama mamah rapih banget pagi-pagi. Emang mau kemana?"

"Kamu lupa ya sayang. Hari ini mamah sama papah kan mau berangkat ke Australia."

"APA?!"

Terkejutnya.

Gadis itu melihat sekeliling, koper orang tuanya terlihat di depan pintu. Namun ia mencoba menyangkalnya tidak percaya. Mungkin ini masih mimpi, pikirnya. Dia pun bergegas menuju kamarnya. Dan orangtuanya yang duduk di meja makan terheran-heran dengan putrinya itu.

Dia kembali menidurkan tubuhnya di atas kasur, mengangkat selimut ke atasnya. Mata itu kembali terlelap. Namun dirasa ini tidak berhasil, mata itu membuka terkejut. Segera keluar dari dari tempat tidurnya berlari terbirit-birit sambil berterik.

"Mamah..... papah....." Menuruni tangga secepat kilat.

"Shei, kalau di tangga jangan lari-lari," tegur Rosa.

"Pah! Mah! Ini seriusan bukan mimpi?"

"Kamu ini kenapa sih, Shei? Udah bangun masih aja ngelindur," sindir Kevin melihat tingkah putrinya yang aneh di pagi hari.

"Iiiih papah...! Shei lagi mode serius nih," rengek nya.

"Phtt! Mode serius tapi kayak yang lagi ngelawak," ejek Rosa.

Shei mendengus kesal melipat kedua tangannya menatap ke arah kedua orangtuanya. "Mamah sama papah nyebelin."

"Hahaha iyah iyah maaf sayang. Kenapa hem?"

"Hari ini juga berangkat?"

"Iyah."

"Kenapa Shei nggak ikut sama mamah sama papah ke Australia juga? Shei juga kan belum masuk sekolah, mending Shei sekolah disana aja. Yah, pah, mah?"

"Sayang... kan kita udah bahas ini berkali-kali."

"Tapi mah... Shei, Shei." Shei kehabisan kata-kata.

"Selagi mamah sama papah di Australia, kamu kan sama omah."

"Tapi mah Shei udah lama nggak pernah ketemu omah. Nanti kalau omah garang sama Shei gimana? Terus terus omah sering mukulin Shei pake gayung, jadi nenek gayung deh ahh Shei nggak mau!"

"Huss kamu ini nggak boleh gitu, itu omah kamu," tegur Rosa.

"Padahal dulu kamu maunya sama omah terus daripada sama ayah sama mamah," sambung Kevin.

"Itu kan dulu. Sekarang Shei lupa lagi," putus Shei

"Alasan," sindirnya. "Udah ah. Sekarang kamu packing buat besok berangkat ke Bogor. Mamah sama papah juga udah urus buat kamu sekolah disana."

"Mah, Shei nggak mau! Shei nggak mau sekolah disana, ih! Kampung!"

"Kamu nggak tahu aja disana, adem."

"Emang di Jakarta nggak ada kampung? Disini juga ada loh, Shei," imbuh Kevin.

"Beda cerita, Pah."

"Udah nggak usah banyak protes. Kamu bakalan suka sekolah disana, daripada disini sekolah nggak bisa adil, punya temen pada gitu, buat kamu dikeluarin dari sekolah. Apalagi, ternyata kamu anak bandel. Kamu mau jadi anak durhaka sama mamah sama papah?"

Shei diam.

"Turutin kata mamah. Kamu udah salah pergaulan, ini juga salah kamu sendiri."

"Iyah, Pah."

Shei tidak bisa berkutik.

Hufh...

Kalah lagi.

Shei tidak bisa melawan mereka. Karena topik ini sudah dibahas berkali-kali olehnya.

Dia memikirkan nasibnya nanti setelah tinggal bersama nenek. Apa neneknya akan tetap baik seperti dulu ataukah sudah berubah. Shei takut neneknya berubah jadi nenek gayung. Dia terbawa dengan cerita horor yang ia baca semalam.

...•••...

Terlihat gadis muda sambil membawa koper di stasiun kereta api. Ia kebingungan harus pergi kemana, karena ini kali pertamanya ia kesini dengan menaiki transportasi kareta api dan ia pun harus pergi kesini sendirian tanpa ditemani kedua orangtuanya ataupun supirnya.

Ini hukuman dari mamah Rosa dan papah Kevin. Kesal dalam pikirannya. Ia mengambil kertas dalam saku bajunya, melihat alamat yang akan dituju sambil berjalan keluar dari stasiun.

Gadis itu bernama Sheila On Seven. Persis kayak nama band kan. Krik krik krik. Canda deng. Nama aslinya adalah Sheila Gouverneur, tapi ia selalu dipanggil Shei, umur 17 tahun, dan masih bersekolah. Ia anak tunggal dan orang tuanya sering meninggalkannya karena pekerjaan, mereka sibuk. Namun dia harus memahami mereka, mereka bekerja untuknya juga. Meski ia kesepian, ia selalu berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik untuk keluarganya.

"Duhh naek apa yah kesana? Mana gue tahu lagi ini dimana?"

"Ehh eneng bade kamana?"

Tiba-tiba saja ada dua orang pria yang terlihat sangar mendekatinya. Sheila merasa tidak ada yang beres dengan pria-pria ini.

"Iyah neng mau kemana? Biar sama akang-akang anu karasep ieu dibantu," sambung pria satunya.

"Lo ngilang kemana? Padahal lo udah janji nemenin gue ziarah." Seorang gadis bertopi melewati Shei sambil berteleponan dan gadis itu menatap Shei. Ketika Shei ingin meminta bantuan, gadis itu sudah terlalu jauh di depannya.

"Neng kok diem-diem aeeee awww?"

Mereka mencuri pandang ke tas yang Shei bawa.

Bener nih mereka preman. Gue harus kabur. 1 .. 2 ..

"Kabur...!!!!"

Berlari dengan kesusahan sambil membawa kopernya.

"Oy! Neng tong kabur atuh...!"

"Udag udag udag!"

Sheila berencana kabur karena merasa asing dengan kedua pria tersebut. Dia lari secepat mungkin tapi mereka mengejarnya sambil melihat sekeliling agar tidak terlalu mencolok. Tanpa mengetahui arah jalan Sheila berakhir di jalan buntu yang mengharuskannya terjebak disini. BODOH. Saat hendak berbalik arah, mereka sudah berada di belakangnya.

TOLONG!!!

"Hayoh teu bisa kabur deui."

"Mau kemana hah?"

"Hahahaha...."

"Mas jangan ambil barang-barang saya yah? Please! Saya nggak punya barang-barang berharga, kok. Suer!" Shei berusaha mengelabuinya.

Mereka saling tatap dan menahan tawa. "Phht BHWAAA HHAHAHAH...."

"Nggak punya barang berharga? Alahh neng teu keudah bohong, tinggali atuh baju eneng, celana eneng, tas na, cincinna aralus."

Shei langsung melihat pakaian yang dikenakannya. Memang Shei terlalu mencolok dengan pakaian yang dikenakannya, terlihat modis.

"Heem pada bagus. Neng pasti orang kayak monyet ya," sambung yang satunya.

"Orang kaya tolol!"

"Oh hahah heeh heeh orang kaya masksudna."

"Orang Jakarta nya?"

Sheila tidak mau menjawabnya.

"Kalau gitu, saya teriak yah mas?"

"Jangan dong! PEELIS!" Pria itu memohon untuk tidak berteriak namun pria yang satu lagi memukulnya.

"Oy! Ari maneh! Tong sieun, preman lain sih?"

"Kenapa jadi mereka yang berantem?" Shei membisik sendiri.

......................

Gadis bertopi tadi masih asik menelpon dengan seseorang, tapi kenyataannya dia sedang memarahi orang dibalik telepon tersebut.

"Lo kenapa nggak bilang ikut lomba?" decitnya.

"Ih!"

Kekesalannya itu menjadi hiburan ketika orang di balik itu merasa sedih karena.

"Hahaha makanya kalau mau lomba tuh minta restu dari orangtua, dan gue, liat kan lo nggak menang juara satu," ejeknya.

Dirasa ada yang aneh, dia kembali berjalan mundur melihat pada gang yang buntu. Ada seorang gadis yang sepertinya seumuran dengan dirinya akan dijambret.

......................

Ketika dua preman itu tengah berdiskusi. Larat. Bertengkar. Shei mencari celah untuk kabur.

"Hayoh! Mau kemana?"

Shei ketahuan.

"TOLONG......! Ada jambret...! Tolong!"

"Yah si Eneng mah kalakah teriak," paniknya. "Burukeun bawa-bawa barang na!"

"Jangan diambil! Ih!"

"Lepasin!"

"Si eneng tanaga na meuni kuat."

Ketika barang milik Sheila hendak dicuri dan dia harus mempertahankan barang miliknya, tiba-tiba seseorang datang dan berbicara.

"Ehekm!" Suara batukan membuat keributan itu terhenti. Gadis itu membuat preman tersebut langsung kaget.

Sheila terkesima dengan sosok gadis itu. Mungkin usianya tidak jauh dari umur Sheila dia terlihat muda, cantik dan tinggi.

Ouh. Gadis itu bukannya... gadis bertopi tadi.

Para preman yang hendak merebut barang-barangnya tadi, mereka tampak ketakutan dan gugup setelah kedatangan sosok gadis bertopi ini.

Dia memukul kepala preman itu satu per satu.

"Aww sakit sakit! Ampun!"

"Kalian masih mau ngejambret lagi hah?"

"Engga bos engga."

Wuoawww bos katanya?

Sheila terdiam seperti batu melihat preman itu menyerah kepada sosok gadis bertopi itu.

"Ini ketiga kalinya kalian kepergok."

"Maaf bos jangan dilaporin yah?"

Preman itu kembali menatap Sheila. "Nih neng akang kembaliin tasnya."

"Yang akang juga. Ambil lagi neng, maaf."

"Jangan lagi-lagi yah mas," pesan Shei dengan tegasnya.

Preman itu masih diam berpikir keras.

"Denger nggak?" Suara gadis bertopi itu terdengar lagi.

"Denger kok denger bos," jawabnya. "Sekali lagi akang minta.... " Mereka kabur terbirit-birit. "MAAF NENG BOSS."

Menghela nafas lega.

"Lo nggak papa?" tanyanya. "Barang-barang lo udah semua dikembaliin?"

"Udah kok udah," jawab Shei tersenyum.

"Em lo mau kemana?"

"Mau ke-" Seketika panik. "Kertas gue."  Dia mencari kertas dengan alamat di sakunya.

"Lo nyari apaan?"

"Kertas. Alamatnya. Duh! Kayanya jatuh di jalan waktu dikejar preman tadi."

"Lo nyatet selain di kertas nggak?

Shei berbinar-binar, dia sudah mengingatkannya. Segera Shei melihat ponselnya. "Syukur deh ada."

"Jadi?"

"Gue mau ke alamat ini." Shei memperlihatkan alamat rumah neneknya.

"Ohh lo ikut gue," pintanya. Dia hanya membalikkan tubuhnya lalu pergi tanpa menunggu Shei berbicara.

Shei sedikit ragu karena dia takut seperti tadi karena gadis ini disebut bos oleh preman. Tapi anehnya dia masih mengikutinya.

TIN...!

"Aaaa!"

Sheila terkejut.

Karena terlalu banyak berpikir membuat dia melamun, dia hampir berjalan ke jalan, jalan untuk kendaraan. Beruntung bos ini membantunya lagi.

"Hampir aja," ucapnya lalu menatap Shei dengen cemas. "Jangan ngelamun."

"Iiyah makasih."

Shei tersenyum kikuk.

Sebuah mobil berwarna putih biru tiba di dapan kami. Bhim bhim! Pengemudi itu tersenyum.

"Lo ikut sama paman ini, beliau tahu alamat yang lo tuju."

Shei terdiam ragu.

"Mbak percaya aja," sahut pengemudi itu. "Nggak liat nih ini mobil apa?"

Mata Shei langsung mengeceknya. Tertegun.

"Hehe mobil polisi, kan? Bapak ini polisi."

Shei lagi-lagi terkesima dengan gadis bertopi ini. Berani dengan preman-preman, dipanggil bos, dan sekarang kenalannya juga polisi.

"Yaudah pak saya ikut bapak. Tapi bapak bener kan polisi?"

"Hahah iyah mbak beneran."

Shei angguk lalu memasuki mobil polisi itu. "Bos makasih yah."

Pak polisi itu tertawa mendengar Shei memanggil gadis bertopi dengan bos. "Bos pergi dulu, dahh," ejeknya. Dia menatapnya malas.

Cuaca yang begitu menyejukkan yang tidak akan pernah ditemukan di ibu kota. Ada kenyamanan yang Shei rasakan meski dia hampir kehilangan barang-barangnya tadi.

Rumah minimalis dipenuhi oleh tanaman cantik. Hah... sudah lama ia tidak mengunjungi rumah neneknya.

"Pak makasih udah nganterin saya."

"Siap sama-sama mbak. Lain kali hati-hati kalau jalan sendirian, jangan pake baju yang terlalu mewah, di sini banyak preman, copet."

Shei mengangguk senyum.

Bhim. Pamitnya.

Akhirnya Shei sampai di rumah omah, dan omah lupa akan kehadiran cucunya yang akan datang.

Omah... Omah..

Sheila pasrah.

...🌸...

...Sheila Gouverneur...

BAB 2 D-Day School

Di pagi hari ini, secepat inikah aku harus sekolah kembali. Baru saja kemarin aku sampai di rumah omah dan juga harus mengalami kejahatan di kota ini. Yaampun. Sekarang aku harus langsung masuk sekolah di sekolah baruku disini.

Bagun di pagi hari, aku sudah lupa bagaimana caranya. Satu bulan putus sekolah.

"Astagfirullah!"

Shei terperanjat melihat neneknya duduk di meja makan sambil memegang gayung.

Mah, pah, apa kata Shei bilang, omah jadi nenek gayung. Batin Shei.

"Shei..."

"Iyah, Omah?"

"Kenapa berantakan pake seragamnya? Sini, omah benerin."

"Omah...., pake seragamnya emang kayak ginih, style anak gaul."

"Gaul apaan," celetuknya. "Kamu tuh kayak cabe-cabean yang sering omah liat di pasar. Sini cepetan, omah benerin."

Ya Allah, Shei dikatain cabe sama omah.

Nenek merapihkan seragam yang Shei kenakan. "Nah ini baru cucuk omah, cantik, manis, anggun. Senyum dong."

Shei tersenyum walau sedikit terpaksa, ia kembali bercermin untuk melihat. Rapih, tampak manis, seperti anak yang baik. Shei berpikir panjang, sudah lama ia tidak berseragam dengan penampilan seperti ini. Selama ini Shei berusaha menampilkan dirinya seperti bad girl di sekolah lamanya. Karena suatu alasan.

Dia duduk dan mulai sarapan dengan nenek.

"Omah kenapa bawa-bawa gayung?"

"Oh gayung ini? Hehe lupa kebawa, tadi habis nyiram bunga."

"Ah... iyah..." Shei berseri dengan perasaan lega.

Semoga omah nggak berubah jadi nenek gayung.

Masih teringat kejadian kemarin, nenek seharusnya menjemputnya dan dia tidak akan mengalami kejadian bertemu dengan preman-preman itu, bahkan nenek lupa kalau cucunya akan datang. Sudah berakhir. Sheila beruntung punya bos. Sheila lupa menanyakan namanya yang pada akhirnya malah dia panggil bos seperti yang lainnya.

...****************...

Shei diantar oleh Paman Jaka yang selalu menjaga nenek disini. Nenek berkata untuk pertama kali Shei harus diantar dulu dan selanjutnya Shei harus mandiri jika ingin tinggal di sini. Shei tahu, Shei sedikit manja jika bersama orang tuanya karena tidak selalu bersama orang tuanya yang selalu ditinggal.

Omah nggak tahu aja. Padahal aku anak bandel di sekolah dulu.

"Nah ini sekolah barunya," ucap paman Jaka.

Gerbang sekolah sudah terlihat bernama SMA Bakti Nusa. Shei tidak menyangka ada sekolah sebagus dan seindah ini di kota yang selama ini pernah Shei kunjungi dulu waktu kecil, entah kenapa perasaannya tenang melihat sekolah barunya ini terlihat lebih indah untuk dilihat. Semoga ini menjadi pertanda baik dalam pikiran Sheila.

"Non, paman nggak bisa anter sampe dalem soalnya paman ada urusan."

"Nggak papa, Paman."

"Paman pamit."

"Iyah paman makasih udah nganter."

Shei terdiam melihat sekolah barunya. Ia berdoa agar selalu ada kebaikan untuk mendekatinya di saat seperti ini. Perasaannya sedikit gugup, dia kembali merasakan suasana sekolah, dan terlintas kejadian di masa lalu membuatnya takut.

Dia masuk untuk menyapa guru yang sedang bertugas di gerbang untuk memeriksa murid-muridnya. Orang-orang disini memandang Shei, seperti biasa jika ada murid baru mereka selalu menatapnya. Mereka asing bagi Shei, dia mengabaikan tatapan itu.

"Ruang guru dimana ya?"

"Hei..."

Shei melihat ke kanan ke kiri untuk mengecek siapa yang disapa murid laki-laki itu. Shei menunjuk dirinya, dan mendapat anggukan dari murid itu.

"Murid baru?"

Shei angguk memperhatikan murid itu dari bawah sampai atas.

Keren sih... tapi.... kenapa pake kacamata item di sekolah emangnya mau fashion show.

"Mm mau tanya kalau ruang Kepala Sekolah di sebelah mana yah?"

"Kamu lurus aja terus nanti belok kanan."

"Ruang Kepala Sekolahnya disitu?"

"Bukan, disitu toilet," terangnya membuat Shei kesal namun ia tahan. "Nah terus lo lurus lagi belok kiri."

"Ruangannya disitu?"

"Bukan, disitu lapangan indoor."

Sabar Shei sabar... Pertama masuk sekolah jangan sampai ribut.

"Dipinggir lapangan indoor ada tangga, nah baru disitu ruang Kepala Sekolah."

"Kalau gitu makasih," ucap Shei dengan senyum paksanya.

Setelah murid baru itu pergi, pemuda berkacamata hitam itu berlari kencang lalu menaiki tangga ke lantai dua masuk salah satu kelas yaitu kelas yang bernama XI - Flower. Ia langsung menjadi pusat perhatian penghuni kelas tersebut.

"Oy oy oy ou oy...!"

"Lo bisa nggak masuk kelas biasa aja!"

"Sorry dahh, gue terlalau seneng bukan mau ribut."

Dia adalah Joy, orang terkaya kedua di kelas ini, anak dari seorang pembisnis dam desainer. Dia sangat periang.

Dia segera mengambil tempat duduk di depan kelas dan naik ke dalamnya, dia berdiri disana dengan maksud mengumumkan sesuatu yang membuatnya sangat bahagia.

"TOK TOK TOK PERHATIAN SEMUANYA ....."

Semuanya ditujukan padanya dan menjadi pusat perhatian seluruh kelas.

"Gue mau kasih informasi yang menyenangkan sekali...."

"Joy, buka dulu kacamatanya! Emangnya ini di mall," sindir Ghesa.

Ghesa, gadis termanis di kelas ini terutama saat dia tersenyum. Namun sayang, mulutnya seperti kicauan yang terlalu jujur ataukah bodoh. Tapi kita lihat siapa sebenarnya dia.

Joy dengan gayanya melepaskan kacamata hitamnya itu.

"Dih, sok gaya," lanjut Ghesa mengejeknya.

Joy menatapnya malas dan dia segera melanjutkan kembali informasi yang tertunda.

"Guys kita.... kedatangan murid baru lagi....."

JRENG JRENG JRENG

Semua orang bersemangat di kelas.

"Cewek cowok Joy? Masuk kelas mana?"

"Cewek. Masuk kelas kita lagi."

Penghuni kelas kaum adam berbahagian disini.

"Cantikk banget, gue udah liat tadi."

Tapi buat gue cantikkan ketua kelas kita. Batinnya.

Satu kelas semakin bersemangat tentang seorang siswi baru yang cantik, tetapi siswi lain di sini segera mengabaikan mereka yang sedang menikmati kedatangan bidadari baru. Segera guru itu datang ke kelas kami dan melihat Joy berdiri di atas kursi. Joy segera turun dari kursi, kembali ke tempat duduknya.

"JOY..." Sang guru yang bernama pak Satria, beliau adalah wali kelas kami. Ia bisa dikatakan sebagai seorang guru yang tampan bagi wanita, bisa dibilang masih muda di usia 27 tahun dan belum menikah.

"Ohiyah lupa, Pak." Joy lupa karena dia tidak mengembalikan kursinya.

"Oke anak-anak, kalian mungkin sudah tahu tentang kedatangan siswa baru di sekolah kita, dan hari ini dia akan mulai belajar di kelas kita, saya harap kalian menerimanya dan memperlakukannya dengan baik seperti flower simbol kita, mengerti?"

"Mengerti, Pak....."

Flower adalah sebuah kata dalam bahasa inggris yang artinya bunga. Kelas kami disebut bunga karena bunga merupakan salah satu sentra yang sering diberikan sebagai hadiah. Karena itulah kami semua hadir untuk menjadi pusat perhatian para siswa di sekolah ini. Ets, tapi sebenarnya kelas ini adalah kelas khusus, kelas yang semua siswanya adalah konglomerat.

Ya, sekolah ini memang agak diskriminatif. Tapi sekarang diskriminasi itu, sistem ini sudah ditiadakan oleh sekolah, siapapun bisa saja masuk kelas ini.

"Baik, Sheila silahkan masuk."

Sheila pun masuk ke dalam kelas dengan memberikan suasana ceria pada dirinya. Seluruh kelas segera berpaling padanya.

"Silahkan perkenal diri."

"Hallo nama saya Sheila Gouverneur, kalian bisa panggil Shei."

Kedengarannya mereka sedang membicarakan nama belakang Sheila karena mungkin terdengar aneh.

"Asalnya darimana Shei?"

"Jakarta."

"Sekolahnya?"

"Nusantara High School."

"Uwwwwaaaa....."

"Sama kayak Alya dong."

Alya? Dalam hati Shei kebingungan.

"Kenapa pindah?"

Kebingungan itu menjadi berubah ketika seseorang menanyakan alasan kepindahannya, Shei diam dan pak Satria menyadari hal itu.

"Shei kamu boleh duduk," papar Satria.

Segera seseorang datang dan memasuki kelas dengan tenang.

"Pagi, Pak."

Saat melewati kami. Warga kelas bersemangat, menertawakan perilaku siswi itu.

"Pagi pagi, kamu siswi kelas mana? Salah masuk yah?" sindir Satria.

Shei tersenyum pada situasi ini. Tapi karena agak mencolok, gadis itu menatap Shei. DEG. Mata itu, tatapan itu.

Apa dia bos waktu itu?

Murid itu kembali menatap Pak Satria. Dia meminta maaf karena terlambat beberapa menit ke kelas. Meskipun dia datang ke sekolah pagi-pagi, dia lebih dulu tinggal di suatu tempat. Pak Satria memaafkannya dan menyuruhnya duduk.

"Makasih, Pak."

Saat berjalan ke kursinya.

"Waoww.. Ghes, Ghesa??" Joy memanggilnya.

Tempat duduk mereka berdekatan, Joy di depannya sementara Ghesa duduk dibelakangnya.

"Apa Joy?"

"Ada yang berubah tapi apa yah?" Dia berbicara ketika siswi tersebut melewatinya. Siswi itu menepuk kepala Joy. "Adaww!" ringkisnya.

"Rambut baru cieee dipanjangin, nih. Selamat datang kembali Rave," ucap Ghesa.

"Welcome My Bos! Gimana?" sambung Joy. Segera Ghesa menendang kaki Joy agar tidak membuat Rave lebih memikirkan orangtuanya. "Gue salah apa?" rengeknya yang melebay-lebay.

Meskipun teman sekelasnya itu menyapanya, Rave acuh sekali.

"Oke Shei, kamu boleh duduk di...." Saat mencari tempat duduk kosong, hanya tempat duduk di samping siswi yang terlambat itu, Rave namanya dan dia menyadari hal itu, dia segera menatap langsung ke Pak Satria, tidak menerima. Rave dan Pak Satria saling berkirim pesan dengan ilusinya masing-masing.

"Shei, kamu sementara duduk di sebelah Brav. Nanti ketua kelas tolong bawakan tempat duduk dua karena tidak lama lagi teman kita akan kembali dari pertukaran pelajaran."

"Si Alvin udah mau pulang?"

"Pangeran kita kembali lagi nih."

Semua heboh.

"Semuanya tenang, sekarang kita kembali ke materi pembelajaran," kata Satria.

Shei tidak tahu apa yang mereka ributkan namun ada sesuatu yang aneh ketika melewati jalan kolom tempat duduknya. Menatap siswi berambut pendek, Shei merasa tidak asing.

Hendak untuk memulai Pak Satria merasa ada yang kurang lagi.

"Mana Ello? Dia belum juga masuk?" tanyanya. "Brave, Ello sudah ada kabar?

"Jam istirahat dia bakal dateng, Pak."

"Anak ini seenak jidat kayak yang punya sekolah aja," gerutu Satria.

Shei sudah duduk di sampingnya. Sambil memperhatikan pembelajaran dia mencuri pandang, membuat dia tidak nyaman.

"Apa?"

Shei terperanjat karenanya.

...🌸...

...Brave Razita...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!